The Effectiveness Of Chitosan And Biofilter Of Water Hyacinth (Eichornia Crassipes (Mart) Solm ) And Mussel Anodonta Woodiana As An Adsorbent In Waste Processing Which Contains Hg, Cd And Pb Metals

(1)

TAIWAN (Anodonta woodiana) SEBAGAI ADSORBEN PADA

PENGOLAHAN LIMBAH YANG MENGANDUNG LOGAM

Hg, Cd DAN Pb

TETI RESMIANTY

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

TAIWAN (Anodonta woodiana) SEBAGAI ADSORBEN PADA

PENGOLAHAN LIMBAH YANG MENGANDUNG LOGAM

Hg, Cd DAN Pb

TETI RESMIANTY

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Efektifitas Kitosan dan Biofilter Eceng Gondok (Eichornia crassipes (Mart) Solm) dan Kijing Taiwan (Anodonta woodiana) Sebagai Adsorben pada Pengolahan Limbah yang Mengandung Logam Hg, Cd dan Pb adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2012

Teti Resmianty NIM P052100251


(4)

TETI RESMIANTY. The Effectiveness of Chitosan and Biofilter of Water Hyacinth (Eichornia crassipes (Mart) solm ) and mussel Anodonta woodiana As an Adsorbent in Waste Processing Which Contains Hg, Cd and Pb Metals. Under Supervised by ETTY RIANIand ALBERT NAPITUPULU.

Environmental problems need attention, because many activities in residential, agriculture, mining, and industry sectors can produce waste water that is discharged into the environment. Waste processing was generated by various sectors must be processed before being discharged into the environment. Various kinds of methods are used to process the waste. One of the methods can do developed for the waste processing which contains Hg, Cd and Pb Metals is done waste absorption method by chitosan solution then followed by biofilter of mussel

Anodonta woodiana and water hyacinth. Chitosan solution can absorb Pb metals for 46,65%, Hg for 78,64%, and Cd for 53,52%. The use of biofilter can decrease Pb levels of waste for 98,05%, Hg for 98,88%, and Cd for 97,86%. The use of these biomaterials has three types of these biomaterials. These are easy to find in the environment, so these can be used more optimal in the process of waste processing.

Keywords: Chitosan, mussel Anodonta woodiana and water hyacinth (Eichornia crassipes (Mart) solm ).


(5)

TETI RESMIANTY. Efektifitas Kitosan dan Biofilter Eceng Gondok (Eichornia crassipes (Mart) Solm) dan Kijing Taiwan (Anodonta woodiana) Sebagai Adsorben pada Pengolahan Limbah yang Mengandung Logam Hg, Cd dan Pb. Dibimbing oleh ETTY RIANIdan ALBERT NAPITUPULU.

Kerusakan lingkungan merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian, karena berbagai kegiatan pada sektor pemukiman, pertanian, pertambangan dan industri dapat menghasilkan air limbah yang dibuang ke lingkungan. Cara menghilangkan bahan pencemar perairan memilih metode yang ekonomis dan tidak memerlukan biaya yang tinggi dalam operasional maupun biaya pemeliharaan alat. Kitosan merupakan senyawa protein berpotensi tinggi untuk menyerap logam, dan mudah terbiodegradasi serta tidak beracun. Kitosan sudah di gunakan untuk menyerap logam seperti Cu, Ni, dan Co. Semua logam tersebut dapat mengalami penyerapan dengan baik. Selain dengan kitosan, adsorbsi juga dapat dilanjutkan dengan penggunaan biomaterial, yaitu penggunaan biofilter untuk mengadsorbsi logam berat yang tersisa dalam limbah.

Penelitian dilakukan terhadap kondisi adsorpsi kitosan terhadap limbah dengan memberikan variasi konsentrasi limbah dan variasi kecepatan alir. Penelitian dengan menggunakan biofilter dilakukan untuk mengukur daya absorpsi eceng gondok (Eichhornia crassipes (Mart) Solm) dan kijing taiwan (Anodonta woodiana) dalam pengolahan limbah cair berdasarkan variasi waktu kontak dengan limbah.

Penelitian dilakukan dengan menggunakan limbah simulasi yang mengandung logam Pb, Hg dan Cd sebanyak 15 liter ditempatkan dalam bak limbah lalu dialirkan kedalam bak limbah yang berisi larutan kitosan sebanyak 5 liter. Penelitian adsorpsi limbah dengan larutan kitosan dilakukan dengan variasi 3 kecepatan alir yaitu 3 liter/jam, 6 liter/jam dan 9 liter/jam dengan variasi konsentrasi larutan kitosan yaitu 0,25%, 0,5% 1% dan 1,5%. Hasil adsorpsi limbah dilakukan pengujian dengan menggunakan Atomic Absorption Spectrofotometer (AAS). Hasil adsorpsi yang menunjukan nilai optimal di lanjutkan dengan absorpsi menggunakan kijing taiwan dan eceng gondok.

Hasil penelitian menunjukan hasil adsorpsi kitosan terhadap logam Pb dan Cd optimal pada konsentrasi kitosan 1% dengan kecepatan alir 3 liter/jam yaitu sebesar 46,65% (Pb) dan 53,52% (Cd). Pada adsorpsi logam Hg, adsorpsi optimal pada konsentrasi kitosan 1% dengan kecepatan alir 6 liter/jam yaitu 78,64%.

Hasil percobaan memperlihatkan bahwa untuk limbah Pb, Hg dan Cd didapat bahwa logam berat dalam air dapat diadsorpsi optimal pada konsentrasi kitosan 1%. Pada umumnya, kenaikan jumlah adsorben menyebabkan kenaikan jumlah adsorbat yang terserap. Hal ini disebabkan oleh semakin banyak jumlah adsorben yang digunakan, memberikan luas permukaan bidang kontak yang semakin besar juga sehingga molekul adsorbat yang teradsorpsi semakin besar. Pada konsentrasi kitosan 1,5% terjadi penurunan nilai adsorpsi pada logam Hg dan Pb hal ini dikarenakan pada konsentrasi 1,5% sudah jenuh dan aktivitas ion menurun dengan meningkatnya konsentrasi karena makin kuat ikatan antar ionnya dibanding dengan konsentrasi rendah, untuk hal ini mulai konsentrasi 1,5% sudah


(6)

kombinasi (eceng gondok + kijing taiwan), diperoleh bahwa kemampuan absorpsi terbaik adalah menggunakan biofilter kombinasi dengan waktu absorpsi 28 hari. Kosentrasi Pb dari nilai 14,73 ppm hingga dibawah limit deteksi, sehingga limbah telah bebas dari logam Pb. Kosentrasi Hg dari nilai 12,65 ppm turun menjadi dibawah limit deteksi sehingga dapat dikatakan limbah telah terbebas dari logam Hg. Kosentrasi Cd dari nilai 20,48 ppm turun menjadi 0,02 ppm. Konsentrasi 0,02 ppm adalah konsentrasi yang sangat kecil sekali sehingga dapat dikatakan limbah juga terbebas dari logam Cd. Kemampuan kitosan dalam mengadsorpsi logam Pb, Hg dan Cd dapat dipegaruhi oleh konsentrasi larutan kitosan dan kecepatan alir air limbah. Semakin cepat aliran air limbah maka semakin sedikit ion logam yang terjerap. Hal ini dpengaruhi oleh waktu kontak logam dengan gugus-gugus aktif kitosan.

Kemampuan adsorpsi kitosan menyerap limbah mengalami peningkatan seiring dengan kenaikan konsentrasi, namun ada tingkat kejenuhan adsorpsi ketika konsentrasi terus di naikkan. Kemampuan penyerapan limbah yang mengandung logam Pb,Hg dan Cd dipengaruhi jenis biofilter yang mempengaruhi kemampuan absorpsi logam berat. Kemampuan kijing taiwan, eceng gondok berbeda-beda dalam menjerap logam berat. Kemampuan penjerapan logam akan semakin baik ketika kedua biofilter ini dikombinasikan dalam 1 bak limbah. Dengan meningkatnya waktu kontak, maka semakin tinggi penjerapan logam berat biofilter.

Kata kunci: Kitosan, kijing Anodonta woodiana dan eceng gondok (Eichornia crassipes (Mart) solm)


(7)

@Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(8)

Penguji luar komisi

Pada ujian Tesis : Jumat, 13 April 2012 pukul 10.00 WIB 1. Dr.Ir. Yunizar Ernawati, M.S.


(9)

(10)

ii

Halaman

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.4. Manfaat Penelitian ... 6

1.5. Hipotesis Penelitian... 6

1.6. Kerangka Pemikiran ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Limbah Industri ... 9

2.2. Pencemaran Air ... 10

2.3. Logam Berat... 11

2.4. Adsorpsi ... 16

2.5. Kinetika Adsorpsi ... 17

2.6. Adsorben... 24

2.7. Adsorbat ... 25

2.8. Kitosan... 27

2.9. Eceng Gondok (Eichhornia Crassipes (Mart) Solm) ... 31

2.10.Kijing Taiwan (Anodonta woodiana) ... 35

2.11.Spektrofotometri... 39

2.12.Spektrofotometri Serapan Atom... 41

III. METODE PENELITIAN ... 45

3.1. Waktu Tempat dan Penelitian ... 45

3.2. Bahan dan Alat... 45

3.3. Cara Kerja... 46

3.4. Rancangan Percobaan... 49

3.5. Jenis dan Sumber Data ... 50

3.6. Pengambilan Contoh... 50

3.7. Jenis/Teknik Pengambilan Data Penelitian... 50

3.8. Analisa Kadar Logam Secara AAS... 50

3.9. Pengolahan Data Adsorpsi... 51


(11)

iii

4.3. Penggunaan Biofilter untuk Penjerapan Logam Berat yang Masih

Tersisa dalam Limbah... 60

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 69

5.1. Kesimpulan ... 69

5.2. Saran ... 69

DAFTAR PUSTAKA ... 71


(12)

iv

Halaman

1. Karakteristik kitosan dengan beberapa parameter yang penting... 31

2. Hasil proksimat analisis kitosan... 53

3. Hasil adsorpsi logam Pb dengan kitosan... 56

4. Hasil adsorpsi logam Hg dengan kitosan... 57

5. Hasil adsorpsi logam Cd dengan kitosan... 58

6. Efektivitas jenis biofilter dalam menyerap logam Pb pada 3 kecepatan alir limbah dan waktu perlakuan... 61

7. Daya absorpsi biofilter optimal dalam menyerap logam Pb dengan variasi 3 kecepatan alir limbah dan waktu perlakuan... 62

8. Efektivitas jenis biofilter dalam menyerap logam Cd pada 3 kecepatan alir limbah dan waktu perlakuan... 63

9. Biofilter optimal dalam menyerap logam Cd pada variasi kecepatan alir limbah dan waktu perlakuan... 64

10.Efektivitas jenis biofilter dalam menyerap logam Hg pada 3 kecepatan alir limbah dan waktu perlakuan... 66

11.Biofilter optimal dalam menyerap logam Hg pada 3 kecepatan alir limbah dan waktu perlakuan... 67


(13)

v

Halaman 1. Kerangka pemikiran pemilihan pengolahan limbah dengan kitosan

dan biofilter...

8

2. Transformasi kitin menjadi kitosan ... 29

3. Tanaman eceng gondok (Eichhornia crassipes (Mart) Solm)... 33

4. Morfologi eceng gondok (Eichornia Crasipes) ... 34

5. Gambar kijing taiwan (Anodonta Woodiana)... 6. Gambar anatomi Anodonta woodiana ... 36 36 7. Skema instrumentasi spektrofotometer UV-Visible... 39

8. Skema instrumentasi AAS... 42

9. Alat percobaan untuk simulasi limbah dan penampungnya... 46

10.Diagram adsorpsi kitosan terhadap ion logam Pb... 56

11.Diagram adsorpsi kitosan terhadap ion logam Hg... 57

12.Diagram adsorpsi kitosan terhadap ion logam Cd... 58 13.Diagram absorpsi limbah terhadap ion logam Pb dengan variasi

adsorben dan lama waktu absorpsi...

62 14.Diagram absorpsi limbah terhadap ion logam Hg dengan variasi

adsorben dan lama waktu absorpsi...

64 15.Diagram absorpsi limbah terhadap ion logam Pb dengan variasi

adsorben dan lama waktu absorpsi...


(14)

vi

Halaman 1. Hasil % adsorpsi kitosan terhadap ion logam Cd, Pb dan Hg

dengan variasi kecepatan alir dan konsentrasi kitosan karakteristik

kitosan dengan beberapa parameter yang penting ... 73 2. Hasil adsorpsi kijing taiwan, eceng gondok dan kombinasi

terhadap logam Pb... 74 3. Hasil adsorpsi kijing taiwan, eceng gondok dan kombinasi

terhadap logam Hg... 75 4. Hasil adsorpsi kijing taiwan, eceng gondok dan kombinasi

terhadap logam Cd... 76 5. Hasil penetapan kadar air dan kadar abu... 77 6. Hasil penetapan kadar nitogen... 78 7. Perhitungan kadar derajat deasetilasi dan prosentase


(15)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan hidayahNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan dengan baik. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2011 yaitu pencemaran lingkungan dengan judul Efektifitas Kitosan dan Biofilter Eceng Gondok (Eichornia crassipes (Mart) Solm) dan Kijing Taiwan (Anodonta woodiana) Sebagai Adsorben pada Pengolahan Limbah yang Mengandung Logam Hg, Cd dan Pb.

Terimakasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Etty Riani, M.S dan Bapak Dr. Albert Napitupulu, SE, M.Si selaku pembimbing, serta ibu Dr.Ir. Yunizar Ernawati, M.S selaku penguji luar komisi yag telah banyak memberikan saran. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S selaku ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) beserta staf yang telah banyak memberikan informasi dan layanan terbaik.

Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Herawati, M.Si selaku Manager di Labortaorium Uji Akademi Kimia Analisis (AKA) Bogor atas kesempatan dan bantuan fasiitas untuk pelaksanaan kegiatan penelitian. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada suami tercinta (Dedi Haryono) beserta ananda tercinta (Khansa Fay’i Safira dan Thalita Azzahra Putri) serta seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya. Ucapan terimakasih tidak lupa penulis sampaikan kepada rekan-rekan kerja di AKA Bogor, rekan-rekan di Laboratorium Uji AKA Bogor, dan rekan-rekan mahasiswa PS-PSL IPB angkatan tahun 2010.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2012


(16)

Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 31 Agustus 1974, penulis merupakan anak kedua dari pasangan Bapak Nano Margono (Almarhum) dan Ibu Komalasari (Almarhumah).

Penulis menyelesaikan pendidikan SD di Jakarta, SMP hingga SMA di Bekasi. Tahun 1992 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Bekasi dan pada tahun yang sama penulis diterima di Akademi Kimia Analisis Bogor dan lulus program studi Diploma 3 pada tahun 1995. Pada tahun 2000 penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas MIPA Jurusan Kimia di Universitas Nusa Bangsa dan lulus tahun 2002. Pada tahun 2010 penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan di Program Pascasarjana IPB. Program studi yang diambil adalah Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL).

Bidang pekerjaan yang pernah ditekuni penulis setelah lulus Diploma 3 adalah sebagai Quality Control di PT. Pacific Rim. Sejak tahun 2004 sampai saat ini penulis sebagai dosen luar di Akademi Kimia Analisis Bogor.


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Permasalahan lingkungan untuk saat ini perlu mendapat perhatian, karena berbagai kegiatan pada sektor pemukiman, pertanian, pertambangan dan industri dapat menghasilkan air limbah yang dibuang ke lingkungan. Apabila air limbah tersebut tidak dilakukan pengolahan maka akan menimbulkan pencemaran air yang menyebabkan penurunan kualitas air. Oleh karena itu maka air limbah tersebut harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke lingkungan. Adanya logam berat di perairan, berbahaya baik secara langsung terhadap kehidupan organisme, maupun efeknya secara tidak langsung terhadap kesehatan manusia.

Kehadiran pencemar pada suatu perairan dapat dideteksi dengan beberapa cara yaitu cara kimia, fisika dan biologi. Cara kimia dan fisika telah lama digunakan, namun cara ini memiliki kelemahan. Pendeteksian secara kimia memerlukan waktu yang relatif cukup lama dan terbatas hanya untuk mendeteksi zat kimia tertentu saja ( Jenner et al. 1992). Dalam rangka melengkapi kedua cara tersebut dikembangkan cara biologis. Pada cara biologis pendeteksian dilakukan dengan menggunakan organisme hidup (biomonitor). Biomonitor dapat di manfaatkan dalam sistim peringatan dini karena dipercaya mempunyai respon yang cepat, penanganannya mudah dan dapat dilakukan diluar habitat aslinya. Organisme biomonitor dapat bereaksi terhadap seluruh spektrum kimia. Penggunaan biomonitor tidak dapat mengenal jenis polutan, tetapi hanya merupakan metode pelengkap yang berharga dari metode kimia (Jenner et al.

1992).

Urbanisasi dan pertumbuhan penduduk yang demikian pesatnya telah membuat tekanan tekanan pada kondisi sungai di sekitar wilayah industri. Permintaan air bersih untuk kebutuhan domestik semakin meningkat. Pada wilayah perkotaan pengolahan air limbah banyak dirasakan kurang efektif karena tidak sesuai dengan volume air limbah yang tersedia. Alasan di balik masalah pengolahan air limbah adalah kurangnya dana pemerintah dan pengusaha hal ini


(18)

dikarenakan proses pengolahan air limbah dengan cara-cara fisika kimia adalah proses yang mahal. Salah satu cara yang telah sering di terapkan dalam instalasi pengolahan air limbah adalah dengan metode lumpur aktif, namun cara ini pun sulit dan membutuhkan biaya yang tinggi dalam operasional maupun dalam pemeliharaannya (United Nations, 1995).

Penetralan limbah cair yang mengandung logam berat telah dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya telah dilakukan oleh Suprihatin dan Nastiti Siswi Indrasti dalam jurnalnya yang berjudul “Penyisihan Logam Berat dari Limbah Cair Laboratorium dengan Metode Presipitasi dan Adsorpsi”. Pengembangan metode untuk menghilangkan keberadaan logam-logam berat di lingkungan lebih banyak difokuskan pada pengembangan metode yang bersifat ramah lingkungan. Metode adsorpsi merupakan metode pengolahan air limbah yang cukup unggul dibandingkan dengan metode lain. Keuntungan utama sistem adsorpsi adalah biayanya murah, tidak ada efek samping zat beracun, serta mampu menghilangkan bahan-bahan anorganik (Gupta et al. 1988). Penggunaan bahan organik sebagai adsorben saat ini banyak dikembangkan karena tehnik-tehnik ini tidak memerlukan biaya tinggi dan sangat efektif untuk menghilangkan kontaminan logam-logam berat di lingkungan (Saleh, 1994).

Cara lain juga bisa dilakukan dengan menggunakan biofilter. Cara ini dapat dilakukan dengan menggunakan tanaman, misalnya eceng gondok atau dengan menggunakan hewan, misalnya dengan menggunakan kijing taiwan (Anodonta woodiana). Cara biofilter ini juga pernah di teliti sebelumnya oleh Novita (2005) dalam tesisnya yang berjudul “Penyerapan Logam Pb dan Cd oleh Eceng Gondok (Eichhornia crassipes): Pengaruh Waktu Konsentrasi dan Lama Waktu Kontak”.

Pemilihan metode adsorpsi limbah dengan kitosan dilakukan mengingat kitosan merupakan senyawa protein berpotensi tinggi untuk penyerapan logam dan mudah terbiodegradasi serta tidak beracun. Widodo (2005) melaporkan bahwa kitosan sudah pernah digunakan untuk menyerap logam seperti Cu, Ni dan Co yang berasal dari limbah tekstil. Logam-logam tersebut dapat diamati mengalami penyerapan dengan baik.


(19)

air yang memiliki kemampuan untuk menyerap dan mengakumulasi logam berat (Ingole et al. 2003). Tumbuhan ini berpotensi dalam menyerap logam berat karena merupakan tanaman dengan toleransi tinggi yang dapat tumbuh baik dalam limbah, pertumbuhannya cepat serta menyerap dan mengakumulasi logam dengan baik dalam waktu yang singkat. Eceng gondok juga dapat menurunkan nilai

Biochemical Oxygen Demand (BOD), Total Suspended Solid (TSS) dan Chemical Oxygen Demand (COD) limbah cair (Zayed et al. 1998).

Secara umum diketahui bahwa logam berat merupakan elemen yang berbahaya di permukaan bumi. Beberapa unsur logam berat seperti timbal (Pb), kadmium (Cd), merkuri (Hg), arsen (As) dan alumunium (Al) tidak mempunyai fungsi biologi sama sekali bagi manusia. Logam-logam tersebut sangat berbahaya walaupun dalam jumlah yang relatif kecil dan menyebabkan keracunan (toksik) pada makhluk hidup (Darmono, 1995).

Penelitian kali ini limbah yang di teliti adalah limbah yang mengandung Hg, Cd dan Pb karena di anggap ketiga logam tersebut mempunyai nilai toksisitas yang tinggi dan berbahaya bagi lingkungan. Penggunaaan pengaturan kecepatan alir yang bervariasi dilakukan untuk mengetahui pengaruh kecepatan alir terhadap adsorpsi kitosan terhadap limbah yang mengandung logam berat sehingga dari data dapat diketahui kecepatan alir optimal penyerapan kitosan terhadap limbah mencapai titik optimum.

Hasil penelitian lain tentang kemampuan eceng gondok menyerap dan mengakumulasi logam berat telah dilakukan oleh Novita (2005) yang menjelaskan bahwa kemampuan penyerapan dan akumulasi logam berat oleh eceng gondok lebih tinggi untuk logam dalam bentuk campuran dibandingkan logam dalam bentuk tunggal. Menurut Novita (2005) bahwa semakin tinggi konsentrasi logam dalam limbah maka semakin tinggi penyerapan logam oleh eceng gondok. Adanya peningkatan waktu kontak akan meningkatkan penyerapan logam berat oleh eceng gondok. Kecepatan proses adsorpsi eceng gondok terhadap logam berat dapat dipelajari dalam suatu kajian tentang kinetika adsorpsi. Pengetahuan tentang kinetika dapat digunakan sebagai sumber informasi untuk menentukan langkah langkah pengurangan toksisitas dan proteksi lingkungan, sehingga dampak negatif penggunaan logam berat dapat direduksi, namun penelitian ke arah hal ini masih


(20)

minim oleh karena itu perlu dilakukan penelitian pengolahan limbah yang mengandung logam Hg, Cd, dan Pb. Pada penelitian ini dipelajari kinetika adsorpsi logam berat oleh kitosan dengan variasi konsentrasi kitosan dan kecepatan alir. Penelitian ini juga mempelajari absorpsi biofilter dengan metode variasi waktu interaksi biofilter dengan logam berat. Pada penelitian ini diharapkan akan diperoleh suatu kejelasan mengenai bagaimana absorpsi logam berat oleh kitosan yang dilanjutkan dengan absorpsi dengan biofilter.

1.2. Perumusan Masalah

Metode pengolahan limbah dapat dilakukan dengan cara kimia dan biologi. Cara kimia yang telah banyak dilakukan untuk pemisahan logam berat adalah dengan cara resin penukar inon (ion exchanger resins), dan beberapa metode lainnya seperti dengan cara electrodialysis, adsorpsi dengan arang aktif dan reverse osmosis namun cara-cara tersebut membutuhkan biaya yang cukup tinggi dan tenaga ahli untuk pengoperasiannya. Saat ini dikembangkan suatu metode dengan menggunakan alternatif sistem pengolahan limbah cair yang mudah dan murah dalam pengoperasiannya dan pengontrolannya.

Metode pengolahan limbah cair dengan menggunakan kitosan dapat dilakukan karena kitosan memiliki struktur pori dan gugus fungsional yang memenuhi persyaratan sebagai adsorben. Dalam rangka efisiensi adsorpsi kitosan, dalam penelitian ini dilakukan variasi kecepatan alir air limbah dan variasi konsentrasi adsorbat sehingga dapat diketahui kondisi optimum penyerapan logam.

Limbah yang sudah mengalami adsorpsi oleh kitosan dilakukan pengolahan lebih lanjut dengan menggunakan biofilter. Biofilter dilakukan dengan menggunakan kijing taiwan (Anodonta woodiana) dan eceng gondok (Eichhornia crassipes (Mart) Solms ). Metode pengolahan limbah dengan cara ini dilakukan karena kijing taiwan dan eceng gondok memiliki kemampuan alami untuk mengakumulasi logam dalam jaringannya. Sehingga metode ini sangat menarik untuk dikembangkan (Sulistiawan, 2007).

Biofiltrasi secara luas dipandang sebagai cara ekologis alternatif yang dapat diterima yang tidak bertentangan dengan cara konvensional dan teknik


(21)

fisikokimia untuk menetralkan logam dalam air llimbah. Beberapa penelitian terdahulu telah dilakukan dan membahas biofiltrasi memanfaatkan kemampuan gulma liar yang mengambang di permuakaan air tawar dan merupakan gulma air jenis eceng gondok untuk air limbah yang mengandung logam berat (Mahesh et al. 2008) .

Sistem pengolahan limbah dengan menggunakan tanaman air lebih ekonomis dibandingkan pengolahan limbah secara konvensional. Dalam salah satu hasil penelitian, dilaporkan bahwa pengolahan limbah dengan menggunakan tanaman air hanya membutuhkan setengah dari harga pengolahan limbah dengan metoda activated sludge untuk konstruksi dan dua pertiga untuk biaya operasi (Tchobanoglous et al. 1979 di acu dalam Jensen 1988). Informasi mengenai perkiraan biaya untuk sistem pengolahan limbah dengan menggunakan tanaman masih sangat sedikit.

Tanaman air (aquatic plant) memiliki kemampuan berbeda dalam menyerap dan mengakumulasi logam. Beberapa tanaman merupakan akumulator logam yang spesifik, misalnya Salvania natans merupakan akumulator yang baik untuk Hg dan Lemna polyrrizha merupakan akumulator yang baik untuk Zn, namun ada beberapa tanaman yang dapat menyerap berbagai jenis logam

Certophylum demersum (L.), Spirodela polyrrizha (L.) Schleid, Bacopa monnieri (L.) Pennell, Hygrorrhyza aristata dapat menyerap dan mengakumulasi Cu, Cr, Fe, Mn, Pb dan Cd (Rai et al. 1995 di acu dalam Zayed et al. 1998).

Kijing mempunyai sifat filter feeder, Kadar (1997) menyatakan bahwa fungsi Anodonta woodiana adalah sebagai pembersih perairan. Karnaukhov (1997) menyatakan bahwa Anodonta woodiana mampu menyaring air sampai 40L/hari dan dapat mengekstrak bahan-bahan yang bersifat koloid, kandungan bahan organik baik tersuspensi maupun partikel dengan kemampuan rata-rata menurunkan kandungan bahan organik diperairan sampai 99,5%. Berdasarkan hal tersebut secara rinci rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh adsorpsi kitosan terhadap limbah dengan memberikan variasi kecepatan alir dan mengetahui kemampuan eceng gondok dan kijing taiwan dalam pengolahan limbah cair.


(22)

1.3. Tujuan Penelitian

1. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kecepatan alir optimal dan konsentrasi adsorben optimal pada pengolahan limbah yang mengandung logam berat.

2. Mengetahui kemampuan kijing taiwan dan eceng gondok sebagai biofilter logam berat Pb, Hg dan Cd.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan :

1. Mengetahui kemampuan kitosan dalam mengadsorpsi ion logam Pb, Hg dan Cd yang merupakan pencemar dominan dalam limbah cair dan sebagai justifikasi ilmiah penggunaan kitosan, eceng gondok dan kijing taiwan sebagai adsorben logam berat, yang nantinya dapat diaplikasikan untuk pengolahan limbah cair

2. Menemukan solusi untuk mengatasi permasalahan limbah cair yang mengandung logam berat murah dan ramah lingkungan.

3. Hasil penelitan ini dapat membantu industri-industri yang menghasilkan limbah, seperti industri garment, tailing, industri bahan-bahan pewarna dan sebagainya menjadi industri yang bersih dari limbah logam berat dalam rangka terwujudnya industri yang ramah lingkungan.

1.5. Hipotesis Penelitian

1. Kemampuan adsorpsi kitosan untuk menyerap limbah dipengaruhi kecepatan alir dan konsentrasi adsorben.

2. Kijing taiwan dan eceng gondok memiliki kemampuan dalam menyerap limbah anorganik dan semakin lama waktu kontak organisme-organisme ini dengan limbah, maka akan semakin tinggi daya absorpsinya.


(23)

1.6. Kerangka Pemikiran

Proses adsorpsi melibatkan adanya adsorben yang dapat mengikat molekul melalui gaya tarik menarik antar molekul, pertukaran ion, dan ikatan kimia. Penggunaan biomaterial kitosan sebagai penyerap ion logam berat merupakan salah satu teknologi yang dapat di pertimbangkan, mengingat meterialnya mudah di pilih dan membutuhkan biaya yang relatif murah. Pengolahan limbah yang umum dilakukan biasanya di proses dengan cara fisika, kimia dan biologi. Metode pengolahan limbah dengan cara electrodyalisis, reverse osmosis, karbon aktif, ion exchange resin dan activated sludge merupakan cara-cara pengolahan limbah yang membutuhkan teknologi yang tinggi dalam prosesnya sehingga membutuhkan biaya yang tinggi pula karena menggunakan bahan kimia dan keahlian dalam pengoperasiannya.

Proses pengolahan limbah secara biologi terhadap adsorben kitosan, eceng dan kijing taiwan akan mampu menyerap logam, mampu mengakumulasi logam dan biofilter dapat tumbuh dengan baik di dalam kolam limbah, sehingga dapat terjadi penurunan konsentrasi logam berat dalam limbah. Hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai rekomendasi bagi industri-industri yang menghasilkan limbah.

Berdasarkan hal diatas maka penelitian penyerapan logam berat dengan menggunakan kitosan, kijing taiwan dan eceng gondok dapat memberikan gambaran tentang penurunan konsnetrasi Pb, Hg dan Cd dalam air limbah dapat di lihat pada gambar alur kerangka penelitian.


(24)

Penurunan konsentrasi logam berat dalam limbah Mampu menyerap

Logam dan meng- akumulasi logam dalam biofilter . Biofilter dapat tumbuh dengan baik dalam koam limbah.

REKOMENDASI BAGI INDUSTRI YANG

MENGHASILKAN LIMBAH

Gambar 1. Diagram Alir Kerangka pemikiran Pemilihan Pengolahan Limbah Dengan Kitosan

Kualitas lingkungan

Fisika Logam berat

Pengolahan Limbah

Kimia

 Teknologi tinggi  Mahal

 Sulit

Kitosan

Activated sludge  Electrodyalisis

 Reverse osmosis  Karbon aktif  Ion exchange

resin

Tanaman air (Eceng gondok)

Hewan air (kijing taiwan)


(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Limbah Industri

Perkembangan industri sangat mempengaruhi perkembangan ekonomi di seluruh dunia dan mencakup berbagai macam usaha. Diharapkan perkembangan industri berwawasan lingkungan sehingga dapat mengurangi potensi terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Secara global, ekonomi industri telah digunakan sebagai suatu sistem sumber daya terbuka melalui pemanfaatan bahan baku mineral dan energi, dengan pembuangan limbah berdampak pencemaran terhadap lingkungan. Tantangan yang dihadapi oleh komunitas global saat ini adalah membuat ekonomi industri lebih mengarah kepada sistem tertutup dengan sasaran: penghematan energi, mengurangi limbah, mencegah pencemaran, dan mengurangi biaya (UNO, 1995). Dua unsur penting yang perlu diperhatikan adalah:

1. Industri harus mencakup eko-efisiensi dalam mewujudkan pendekatan produksi lebih bersih, termasuk perolehan maksimum produk dari minimal bahan baku, rancangan produksi, teknologi pengolahan dengan me-minimalisasi dampak lingkungan dan penanganan limbah untuk mencegah pencemaran lingkungan.

2. Limbah industri harus di anggap sebagai bahan baku berharga yang dapat

di olah lebih lanjut atau dengan kata lain di daur ulang.

Limbah industri yang paling banyak mengandung logam berat adalah limbah tailing karena ketika tailing di buang dalam bentuk bubur, fraksi pasir cenderung mengendap di sekitar titik pembuangan dan lumpur akan mengendap jauh dari titik pembuangan sebagai suspensi dalam waktu lama. Secara mineralogi

tailing dapat terdiri atas beraneka mineral seperti silika, silikat besi, magnesium, natrium, kalium, dan sulfida. Sulfida mempunyai sifat aktif secara kimiawi, dan apabila bersentuhan dengan udara akan mengalami oksidasi sehingga membentuk garam-garam bersifat asam dan aliran asam mengandung sejumlah logam beracun seperti Hg, Cd dan Pb (Herman, 2006).


(26)

2.2. Pencemaran Air

Air merupakan salah satu kebutuhan dasar yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kelangsungan hidup. Oleh karena itu penting bahwa suplai air yang berkualitas harus tersedia untuk berbagai kegiatan. Saat ini hal tersebut menjadi semakin sulit mengingat pencemaran skala besar disebabkan oleh aktivitas industri, pertanian dan domestik. Kegiatan ini menghasilkan limbah organik dan anorganik. Beberapa polutan umum adalah fenol, pewarna, deterjen, insektisida, pestisida dan logam berat. Sifat polutan dalam air limbah tergantung pada sumber dan bervariasi dari satu tempat ke tempat lain. Polutan ini beracun dan menyebabkan kerugian pada kehidupan manusia dan hewan jika konsentrasinya melebihi dari yang ditetapkan. Salah satu cara mengatasi pencemaran air, adalah dengan mengolah air limbah untuk menghilangkan polutan sebelum dibuang ke lingkungan.

Sejumlah metode seperti koagulasi, proses membran, adsorpsi, dialisis, flotasi busa, osmosis, degradasi fotokatalitik dan biologis merupakan metode yang digunakan untuk mengurangi tingkat konsentrasi pencemaran air dari logam berat. Jenis proses yang di pilih untuk mengurangi kadar pencemaran adalah tergantung pada sifat polutan. Namun, proses adsorpsi sering di anggap paling tepat karena dapat menghilangkan polutan anorganik dan organik, prosesnya juga lebih sederhana. Ion logam adalah salah satu kategori penting dari polusi air, yang beracun bagi manusia melalui rantai makanan piramida. Berbagai ion logam berat beracun di buang ke lingkungan melalui berbagai kegiatan industri, merupakan salah satu penyebab utama polusi lingkungan. Kitin dan kitosan derivatif telah di teliti sebagai adsorben untuk menghilangkan ion logam dari air dan air limbah. Kemampuan adsorpsi kitosan untuk logam berat dapat dikaitkan dengan:

1. Hidrofilisitas yang tinggi karena banyaknya jumlah kelompok hidroksil unit glukosa.

2. Banyaknya jumlah kelompok fungsional. 3. Reaktivitas kimia yang tinggi.


(27)

2.3. Logam Berat

Logam-logam dari dalam bumi digolongkan sebagai sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui. Secara kimiawi logam bereaksi untuk menuju ke tingkat stabil biasanya dengan cara membentuk garam atau bentuk unsur yang stabil. Sebanyak 20 logam diklasifikasikan sebagai racun dan sebagian dilepaskan ke lingkungan dalam jumlah yang menimbulkan risiko terhadap kesehatan manusia. Berbeda dengan logam biasa, logam berat adalah istilah yang digunakan untuk kelompok logam berat dan metaloid yang dentisitasnya lebih tinggi dari 5 g/cm3. Logam berat diperairan terdapat dalam bentuk terlarut dan tersuspensi (terikat dengan zat padat tersuspensi. Logam berat terletak disudut kanan bawah dalam sistem periodik unsur, memiliki afinitas yang tinggi terhadap unsur S dan biasanya bernomor atom 22 sampai 92 dari periode keempat sampai dengan periode ketujuh. Biasanya mempunyai daya hantar listrik yang tinggi dan merupakan bahan pencemar lingkungan yang tahan urai.Unsur-unsur logam berat tersebut biasanya erat kaitannya dengan masalah pencemaran dan toksisitas. Berdasarkan sifat fisika dan kimianya, tingkat atau daya racun logam berat terhadap hewan dan air dapat di urutkan dari tinggi ke rendah sebagai berikut: merkuri (Hg), kadmium (Cd), seng (Zn), timbal (Pb), kadmium (Cd), nikel (Ni), kobalt (Co) (Sutamihardja et al. 1982).

Menurut Kementerian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1990) dalam Marganof (2003), sifat toksisitas logam berat dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu :

1. Bersifat toksik tinggi yang terdiri atas unsur-unsur Hg, Cd, Pb, Cu dan Zn.

2. Bersifat toksik menengah yang terdiri dari Cr, Ni dan Co. 3. Bersifat toksik sangat rendah yang terdiri dari Mn dan Fe.

Logam berat bersifat toksik karena logam berat tersebut dapat berikatan dengan ligan dan struktur biologi. Sebagian besar logam membentuk ikatan dengan berbagai enzim dalam tubuh. Ikatan-ikatan ini dapat mengakibatkan tidak aktifnya enzim yang bersangkutan, hal inilah yang mengakibatkan terjadinya toksisitas logam tersebut. Logam yang terikat pada enzim sulit untuk di identifikasi karena tidak diketahui enzim mana yang menjadi target dari ikatan


(28)

logam tersebut. Afinitas atau daya gabung dari ikatan logam dengan enzim biasanya sangat kuat (Darmono, 1995).

Logam berat tidak pernah terurai atau terdegradasi seperti polutan organik yang dapat terurai oleh pemaparan sinar matahari atau panas. Logam tersebut dapat ditimbun dalam landfill dan tercuci dalam sedimen, tetapi tidak pernah menghilang seluruhnya dan mengancam di masa mendatang. Logam berat umumnya pada kadar rendah sudah bersifat toksik bagi tumbuhan, hewan dan manusia. Logam berat ini akan terakumulasi di dalam tubuh dan akan disalurkan sepanjang perjalanan rantai makanan (Kusnoputranto, 1995).

2.3.1. Sumber Logam Berat

Keberadaan logam, termasuk logam berat dibumi telah ada sejak milyaran tahun yang lalu. Logam-logam tersebut ditemui diseluruh tipe batuan, tetapi terkonsentrasi dalam bijih (ore), tergantung pada sejarah geologi regional. Mereka terbawa kepermukaan secara alami oleh aktivitas erosi dan aktivitas vulkanik kemudian tercuci bersama aliran air dan kadang-kadang terendapkan di dalam sungai, danau dan lautan. Ada sebagian yang terpendam dalam batuan dan terkadang terangkat serta masuk ke dalam siklus kembali (Kusnoputranto, 1995).

Secara alamiah logam berat di kandung oleh berbagai mineral dalam berbagai batuan penyusun kerak bumi. Mineral tersebut umumnya adalah mineral kelam yang banyak ditemukan pada batuan basa atau ultra basa. Selain terdapat secara alami, keberadaan logam berat banyak ditentukan oleh kegiatan manusia. Kontribusi manusia jauh lebih besar dibandingkan sumber sumber alami. Sebagai contoh adalah pembakaran batu bara dan minyak yang melepaskan logam berat dalam jumlah besar ke udara, penggunaaan timbal dalam kendaraan bermotor, penggunaan pupuk dan pestisida yang mengandung kadmium (Cd), pengilangan bijih, pembakaran sampah dan produksi semen (Kusnoputranto, 1995).

2.3.2. Pencemaran Logam Berat

Pencemaran lingkungan adalah perubahan lingkungan yang tidak menguntungkan, sebagian karena tindakan manusia yang disebabkan oleh


(29)

perubahan pola penggunaan energi dan materi, tingkatan radiasi, bahan-bahan fisika dan kimia dan jumlah organisme (Sastrawijaya, 1991).

Laju tingkat mobilisasi, perpindahan dan akumulasi logam berat di lingkungan yang terjadi akhir-akhir ini terus mengalami peningkatan yang tidak terkendali dan semua ini adalah akibat kegiatan yang dilakukan oleh manusia. Suatu proses produksi dalam industri yang memerlukan suhu yang tinggi, seperti pertambangan batubara, pemurnian minyak, pembangkit listrik dengan energi minyak dan pengecoran logam banyak mengeluarkan limbah, terutama logam logam yang relatif lebih mudah menguap dan larut dalam air (bentuk ion), seperti As, Cd, Pb dan Hg (Darmono, 1995).

Pencemaran logam berat berkaitan dengan kesehatan manusia yang biasanya terjadi di dalam sel tubuh. Pengaruh tersebut diantaranya adalah mengganggu reaksi kimia, menghambat absorpsi dari nutrien-nutrien yang esensial serta dapat merubah bentuk senyawa kimia yang penting menjadi tidak berguna (Kusnoputranto, 1995).

Menurut Kusnoputranto (1995), keracunan logam berat pada manusia terdiri dari : 1. Keracunan akut, misalnya akibat paparan logam di tempat kerja yang

dapat menimbulkan kerusakan paru paru, reaksi kulit dan gejala gejala

gastriinterestinal akibat kontak singkat dengan konsentrasi tinggi.

2. Keracunan kronik, kadmium (Cd) dapat menyebabkan penyakit ginjal. Timbal, metal merkuri dan senyawa timah organik dapat menyebabkan kerusakan degenerasi dan kerusakan otak. Arsen dapat menyebabkan kerusakan sistem syaraf, menyebabkan rasa kebal, sakit dan dapat kehilangan kontrol otot-otot ekstremitas lengan dengan tungkai. Kromium, selenium, kadmium, nikel dan arsen dapat menyebabkan kerusakan hati, ginjal, kanker kulit dan efek kronik lainnya.

Beberapa unsur logam yang termasuk elemen mikro merupakan logam berat yang tidak mempunyai fungsi biologi sama sekali. Logam tersebut bahkan sangat berbahaya dan dapat menyebabkan keracunan (toksisitas) pada mahluk hidup, yaitu timbal (Pb), kadmium (Cd), merkuri (Hg), arsen (As) dan alumunium (Al). Berikut ini penjelasan mengenai toksisitas yang disebabkan oleh beberapa logam berat pada mahluk hidup.


(30)

2.3.2.1. Merkuri (Hg)

Merkuri (Hg) berbentuk cair keperakan pada suhu kamar, dan mempunyai rapatan 13,534 g/mL pada 25oC. Merkuri tidak dipengaruhi asam klorida atau asam sulfat encer, tetapi mudah bereaksi dengan asam nitrat. Reaksi merkuri dengan asam nitrat pekat panas yang berlebihan akan terbentuk ion merkurium (II):

Hg + 8 HNO3 3Hg2+ + 2NO + 6NO3 + 4H2O (Vogel, 1979)

Merkuri pada pH antara 6-7 mengendap sebagai HgO yag memiliki kelarutan 0,052 liter dalam pelarut H2O 20oC. Merkuri dan turunannya telah lama diketahui sangat beracun. Kehadirannya diperairan dapat menimbulkan kerugian pada manusia karena sifatnya yang mudah larut dan terikat dalam jaringan tubuh organisme air. Selain itu, pencemaran perairan oleh merkuri mempunyai pengaruh terhadap ekosistem setempat yang disebabkan oleh sifatnya yang stabil dalam sedimen, kelarutannya yang rendah dalam air dan kemudahannya di serap dan terkumpul dalam jaringan tubuh organisme air, baik melalui proses (Chlorella sp), mussel (genus Vivipare) dan ikan herbivore Gyrinocheilus aymonieri (fam.

Gyrinochelidae) karena penyerapan merkuri oleh organisme air lebih cepat dibandingkan proses ekskresi (Budiono, 2003).

Merkuri (Hg) adalah salah satu jenis logam berat yang sangat berbahaya. Bahaya Hg, khususnya Hg metil (MeHg), telah dikenal luas dari tragedi yang terjadi di teluk Minamata, Jepang. Tragedi tersebut terjadi karena produk sampingan yang mengandung MeHg dibuang ke dalam teluk tersebut oleh pabrik kimia penghasil klorida vinil dan formaldehida milik perusahaan Chisso. Melalui proses akumulasi secara biologi (bioakumulasi), proses perpindahan secara biologi (biotransfer), dan pembesaran secara biologi (biomagnifikasi) yang terjadi secara alamiah, organisme laut mengakumulasi MeHg dalam konsentrasi tinggi dan selanjutnya terjadi keracunan pada manusia yang mengkonsumsinya (Yasuda

et al. 2000).

Keberadaan merkuri di lingkungan perairan umumnya berasal dari limbah industri pertambangan emas, pengeboran minyak dan lain-lain. Adanya merkuri di lingkungan akan membahayakan kesehatan manusia. Daya racun yang dimiliki akan bekerja sebagai penghalang kerja enzim, sehingga proses metabolisme tubuh


(31)

terputus. Lebih jauh lagi, merkuri ini akan bertindak sebagai penyebab alergi, mutagen, teratogen atau karsinogen bagi manusia. Merkuri dapat masuk dalam tubuh melalui kulit, pernapasan dan pencernaan (Widiyatna, 2005).

2.3.2.2. Kadmium (Cd)

Kadmium adalah suatu logam putih, mudah di bentuk, lunak dengan warna kebiruan. Titik didih 767 ºC membuatnya mudah terbakar, membentuk asap cadmium oksida. Kadmium dan bentuk garamnya banyak digunakan pada beberapa jenis pabrik untuk proses produksinya. Industri pelapisan logam adalah pabrik yang paling banyak menggunakan kadmium murni sebagai pelapis, begitu juga pabrik yang membuat Ni-Cd baterai. Bentuk garam Cd banyak digunakan dalam proses fotografi, gelas, dan campuran perak, produksi foto - elektrik, foto -

konduktor, dan fosforus. Kadmium asetat banyak digunakan pada proses industri porselen dan keramik. Keberadaan kadmium di alam berhubungan erat dengan hadirnya logam Pb dan Zn. Dalam industri pertambangan Pb dan Zn, proses pemurniannya akan selalu memperoleh hasil samping kadmium yang terbuang dalam lingkungan. Kadmium masuk ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. Kadmium dan senyawanya sangat beracun bahkan pada konsentrasi rendah dapat terjadi bioakumulasi pada organisme dan ekosistem (Bhatnagar, 2009).

2.3.2.3. Timbal (Pb)

Timbal (Pb) yang juga sering di sebut timah hitam (lead) merupakan salah satu logam berat yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan organisme lainnya. Kegiatan industri yang perpotensi sebagai sumber pencemaran Pb misalnya industri baterai, bahan bakar, kabel, pipa serta industri kimia. Selain itu juga sumber Pb dapat berasal dari sisa pembakaran pada kendaraan bermotor dan proses penambangan. Semua sisa buangan yang mengandung Pb dapat masuk ke dalam lingkungan perairan dan menimbulkan pencemaran (Herman, 2006).

Pb di dalam tubuh manusia dapat masuk secara langsung melalui air minum, makanan atau udara. Pb dapat menyebabkan gangguan pada organ seperti gangguan neurologi (syaraf), ginjal, sistem reproduksi, sistem hemopoitik serta


(32)

sistem syaraf pusat. Selain itu pula Pb di dalam badan perairan dapat meracuni dan mematikan organisme yang ada di dalam perairan tersebut, sehingga dapat mengganggu keseimbangan ekosistem (Santi, 2001).

2.4. Adsorpsi

Adsorpsi adalah suatu proses di mana suatu komponen bergerak dari suatu fasa menuju permukaan yang lain sehingga terjadi perubahan konsentrasi pada permukaan. Zat yang di serap di sebut adsorbat sedangkan zat yang menyerap di sebut adsorben. Pada umumnya adsorpsi dapat dibedakan menjadi dua yaitu adsorpsi kimia (kemisorpsi) dan adsorpsi fisika (fisisorpsi). Adsorpsi fisika disebabkan oleh interaksi antara adsorben dan adsorbat karena adanya gaya tarik

van der waals, adsorpsi ini biasanya bersifat reversibel karena terjadi melalui interaksi yang lemah antara adsorben dan adsorbat, tidak melalui ikatan kovalen (Mc. Cabe et al. 1999).

Panas adsorpsi fisika tidak lebih dari 15-20 kkal/mol atau 63-84 kJ/mol. Adsorpsi kimia adalah adsorpsi yang melibatkan interaksi yang lebih kuat antara adsorben dan adsorbat sehingga adsorbat tidak bebas bergerak dari satu bagian ke bagian yang lain. Proses ini bersifat irreversibel sehingga adsorben harus dipanaskan pada temperatur tinggi untuk memisahkan adsorbat. Panas adsorpsi kimia biasanya lebih besar dari 20-30 kkal/mol atau 84-126 kJ/mol (Parker, 1993). Faktor-faktor yang mempengaruhi adsorpsi (Weber et al. 1980) antara lain:

a. Waktu kontak dan pengocokan

Waktu kontak yang cukup diperlukan untuk mencapai kesetimbangan adsorpsi. Jika fase cair yang berisi adsorben dalam keadaan diam, maka difusi adsorbat melalui permukaan adsorben akan lambat, diperlukan pengocokan untuk mempercepat adsorpsi.

b. Luas permukaan adsorben

Luas permukaan adsorben sangat berpengaruh terutama untuk tersedianya tempat adsorpsi. Luas permukaan adsorben semakin besar maka semakin besar pula adsorpsi yang dilakukan.


(33)

Kemurnian adsorben dapat ditingkatkan melalui aktivasi. Adsorben buatan biasanya lebih sering digunakan daripada adsorben alam, karena kemurnian adsorben buatan lebih tinggi.

d. Ukuran molekul adsorbat

Ukuran molekul adsorbat menentukan batas kemampuannya melewati ukuran pori adsorben. Kecepatan adsorpsi menurun seiring dengan kenaikan ukuran partikel.

e. Temperatur

Reaksi pada adsorpsi biasanya yang terjadi secara eksotermis. Kecepatan adsorpsi akan naik pada temperatur yang lebih rendah dan akan turun pada temperatur lebih tinggi.

f. pH larutan

Pengaruh pH pada proses adsorpsi merupakan fenomena kompleks, antara lain menyebabkan perubahan sifat permukaan adsorben, sifat molekul adsorbat dan perubahan komposisi larutan.

g. Konsentrasi adsorbat

Adsorpsi akan meningkat dengan kenaikan konsentrasi adsorbat. Adsorpsi akan tetap jika terjadi kesetimbangan antara konsentrasi adsorbat yang di serap dengan dengan konsentrasi adsorben yang tersisa dalam larutan.

2.5. Kinetika Adsorpsi

Kinetika kimia mencakup suatu pembahasan tentang kecepatan (laju) reaksi dan bagaimana proses reaksi berlangsung. Definisi tentang laju reaksi adalah suatu perubahan konsentrasi pereaksi maupun produk dalam satuan waktu Orde reaksi merupakan bagian dari persamaan laju reaksi. Orde reaksi terhadap suatu komponen menurut Atkins (1999) merupakan pangkat dari konsentrasi komponen itu, dalam persamaan laju reaksi.

2.5.1. Mekanisme Adsorpsi

Adsorpsi adalah suatu peristiwa fisik atau kimia pada permukaan yang dipengaruhi oleh suatu reaksi kimia antara adsorben dan adsorbat. Adsorben


(34)

adalah padatan atau cairan yang mengadsorpsi sedang adsorbat adalah padatan, cairan atau gas yang di adsorpsi. Jadi proses adsorpsi dapat terjadi antara padatan dengan padatan, gas dengan padatan, gas dengan cairan dan cairan dengan padatan (Ketaren, 1986).

Menurut Setyaningsih (1995), adsorpsi adalah terjadinya perpindahan massa adsorbat dari fasa gerak (fluida pembawa adsorbat) ke permukaan adsorben. Adsorpsi terjadi karena adanya gaya tarik menarik antara molekul adsorbat dengan tempat-tempat aktif di permukaan adsorben. Adsorpsi merupakan peristiwa terjadinya perubahan kepekatan dari molekul, ion atau atom antara permukaan dua fase.

Walstra (2003) mendefinisikan adsorpsi sebagai proses difusi suatu komponen pada suatu permukaan atau antar partikel. Komponen yang terserap di sebut adsorbat dan bahan yang dapat menyerap di sebut adsorben. Adsorben dapat berupa padatan atau cairan. Adsorbat terlarut dalam cairan atau berada dalam gas.

Suatu zat dapat digunakan sebagai adsorben untuk tujuan pemisahan bila mempunyai daya adsorpsi selektif, berpori (mempunyai luas permukaan per satuan massa yang besar) dan mempunyai daya ikat yang kuat terhadap zat yang hendak dipisahkan secara fisik maupun kimia (Setyaningsih, 1995).

Mekanisme peristiwa adsorpsi dapat dijelaskan sebagai berikut: molekul adsorbat berdifusi melalui suatu lapisan batas ke permukaan luar adsorben (di sebut dengan difusi eksternal); sebagian ada yang teradsorpsi di permukaan luar, sebagian besar berdifusi lebih lanjut ke dalam pori-pori adsorben (di sebut dengan difusi internal). Bila kapasitas adsorpsi masih sangat besar, sebagian besar akan teradsorpsi dan terikat di permukaan, namun bila permukaan sudah jenuh atau mendekati jenuh dengan adsorbat, dapat terjadi dua hal, yaitu:

1. Terbentuk lapisan adsorpsi kedua dan seterusnya di atas adsorbat yang telah terikat di permukaan, gejala ini di sebut adsorpsi multilayer.

2. Tidak terbentuk lapisan kedua dan seterusnya sehingga adsorbat yang belum teradsorpsi berdifusi keluar pori dan kembali ke arus fluida (Setyaningsih, 1995).


(35)

2.5.2. Faktor yang Mempengaruhi Daya Adsorpsi

Menurut Kobya (2008) faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah fluida yang di adsorpsi oleh adsorben adalah sebagai berikut:

2.5.2.1. Jenis Adsorbat

a. Ukuran molekul adsorbat

Ukuran molekul yang sesuai merupakan hal yang penting agar proses adsorpsi dapat terjadi. Molekul-molekul adsorbat yang dapat di adsorpsi oleh adsorben adalah molekul-molekul yang diameternya lebih kecil atau sama dengan diameter pori adsorben.

b. Kepolaran zat

Apabila diameter molekul adsorbat sama dengan diameter pori adsorben maka molekul-molekul non polar yang lebih kuat di adsorpsi oleh adsorben dari pada molekul-molekul yang polar. Molekul-molekul yang non polar dapat mengganti kan molekul-molekul yang polar yang telah lebih dulu teradsorpsi.

2.5.2.2. Karakteristik Adsorben

a. Kemurnian adsorben

Adsorben yang memiliki kemurnian lebih tinggi akan memiliki kemampuan adsorpsi yang lebih baik.

b. Luas permukaan dan volume pori adsorben

Jumlah molekul adsorbat yang di serap oleh adsorben akan meningkat dengan bertambahnya luas permukaan dan volume pori adsorben. Sehingga seringkali adsorben diberi perlakuan awal seperti karbonisasi dan aktivasi untuk meningkatkan luas permukaan dan volume porinya.


(36)

2.5.2.3. Temperatur

Proses adsorpsi merupakan proses eksotermis, oleh karena itu maka peningkatan temperatur pada tekanan yang tetap akan mengurangi jumlah senyawa yang teradsorpsi berdasarkan prinsip Chatelier.

2.5.2.4. Tekanan

Jumlah zat yang di adsorpsi akan bertambah dengan menaikkan tekanan adsorbat. Hal ini terjadi pada proses adsorpsi fisika, sedangkan pada proses adsorpsi kimia jumlah zat yang di adsorpsi akan berkurang dengan menaikkan tekanan adsorbat.

2.5.3. Adsorpsi Isotermis

Kesetimbangan adsorpsi terjadi bila fluida dikontakkan dengan adsorben padat dan molekul adsorbat berpindah dari fluida ke padatan sampai konsentrasi adsorbat pada fluida dan padatan berada dalam keadaan setimbang. Data kesetimbangan adsorpsi yang dihasilkan pada temperatur konstan di sebut adsorpsi isotermis. Pada adsorpsi isotermis terdapat hubungan antara jumlah zat yang terserap perunit massa adsorben dengan tekanan adsorbatnya. Adsorpsi isotermis dapat di hitung dengan mengukur tekanan adsorbat pada saat awal sebelum terjadi kesetimbangan dan pada saat terjadinya kesetimbangan. Adsorpsi isotermal merupakan hubungan antara jumlah molekul, volume dan massa gas yang teradsorpsi dengan tekanan yang terukur pada temperatur tertentu (Kobya, 2008).

2.5.4. Mekanisme Adsorpsi Logam Berat oleh Kitosan

Interaksi kitosan dengan logam berat terjadi karena adanya proses pengkompleksan, dimana penukaran ion, penyerapan dan pengkelatan terjadi selama proses berlangsung. Ketiga proses tergantung dari ion logam masing-masing. Kitosan menunjukkan afinitas yang tinggi terhadap logam transisi golongan 3 dan dengan logam golongan non alkali pada konsentrasi yang rendah (Muzzarelli, 1973).


(37)

Adsorpsi fase cairan dapat terjadi di tiga daerah antarmuka, yaitu padatan- cairan, cairan-cairan atau cairan-gas. Jumlah cairan yang teradsorpsi pada permukaan adsorben tidak lepas dari luas permukaan adsorben yang dapat ditentukan dengan persamaan isoterm adsorpsi. Selain itu distribusi ukuran pori juga tidak kalah penting untuk ditentukan. Parameter yang terakhir dapat ditentukan dengan metode analisis molekular yang menggunakan molekul dengan ukuran yang berbeda sebagai adsorbatnya.

Untuk sistem adsorpsi larutan pada adsorben, isoterm adsorpsi larutan pada padatan dapat diperoleh dari plot jumlah yang di serap sebagai fungsi dari prubahan konsentrasi. Perubahan konsentrasi disebabkan oleh keluarnya salah satu atau kedua komponen larutan. Adsorpsi dari larutan lazim di sebut adsorpsi karena lazimnya terjadi persaingan antara kedua komponen larutan (zat terlarut dan zat pelarut). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi adsorpsi larutan, yaitu interaksi adsorben-adsorbat, interaksi adsorbat-adsorbat, porositas adsorben, dan keheterogenan permukaan serta efek sterik adsorbat (bobot, ukuran, geometri, dan struktur kimia molekul adsorbat) juga berpengaruh terhadap proses adsorpsi yang kompetitif tersebut.

a. Interaksi adsorben-adsorbat

Kompetisi adsorpsi antara kedua komponen larutan pada permukaan adsorben bergantung pada kekuatan interaksi antara adsorben dan kedua komponen larutan. Hal tersebut dipengaruhi oleh polaritas adsorben dan adsorbat, misalnya senyawa polar akan terjerap lebih kuat pada permukaan adsorben yang polar daripada senyawa nonpolar.

b. Porositas adsorben

Karbon aktif memiliki berbagai ukkuran pori yang memungkinkan terjadinya efek saringan molekular parsial, jika kedua komponen larutan memiliki ukuran yang berbeda. Faktor ini meningkatkan adsorptivitas adsorben pada komponen larutan (zat terlarut atau pelarut) yang ukurannya lebih kecil sedangkan adsoprtivitas molekul yang lebih besar diabaikan. c. Heterogenitas permukaan

Distribusi gugus –NH2 pada molekul kitosan yang tidak merata merupakan salah satu contoh yang menunjukan keheterogenan permukaan adsorben,


(38)

akibatnya, kemampuan menjerap adosrbat berbeda-beda untuk setiap tapak penjerapan. Selain itu, keheterogenan permukaaan adsorben lain misalnya keberadaaan oksigen atau nitrogen pada permukaan karbon juga dapat mengakibatkan adsorpsi perferensial untuk molekul tertentu (bisa zat terlarut atau pelarut) saat digunakan pada larutan biner yang memiliki komponen dengan ukuran dan polaritas beragam.

d. Efek sterik

Pada konsentrasi rendah, ukuran senyawa aromatik tersubstitusi lebih meruah, sehingga terjerap lebih sedikit dibandingkan dengan benzena. e. Orientasi molekul teradsorpsi

Orientasi molekul juga mempengaruhi adsorpsi larutan pada padatan. Idealnya, adsorbat berbentuk bola sehingga orientasinya baik dipermukaan adsorben.

2.5.5. Mekanisme Adsorpsi Logam Berat pada Eceng Gondok

Besarnya kemampuan eceng gondok dalam melakukan penyerapan dikarenakan adanya vakuola yang besar dalam struktur selnya (Bowen, 1966, di acu dalam Heider et al. 1984). Vakuola merupakan rongga-rongga besar di dalam bagian sebuah sel yang berisi cairan vakuola. Cairan vakuola merupakan kumpulan berbagai bahan organik yang kebanyakan merupakan bahan cadangan makanan atau hasil samping metabolisme. Oleh karena itu vakuola berfungsi sebagai tangki bahan (Suardana, 2011). Banyaknya bahan-bahan yang di serap oleh vakuola menyebabkan vakuola menggelembung sehingga sitoplasma terdorong kepinggiran sel. Ini menyebabkan pertukaran atau penyerapan bahan antara sebuah sel dengan sekelilingnya menjadi lebih effisien.

Selain oleh besarnya vakuola, kecepatan penyerapan ditentukan pula oleh transpirasi dari tumbuhan tersebut. Eceng gondok mempunyai kecepatan transpirasi yang lebih besar dibandingkan dengan tumbuhan lain, misalnya

Salvinia sp (kayambang). Kecepatan transpirasi ini disebabkan karena eceng gondok mempunyai ukuran lobang stomata yang besar, yakni dua kali lebih besar dari kebanyakan tumbuhan lainnya (Penfound & Earle 1948, di acu dalam Gopal, 1987).


(39)

Mekanisme penyerapan logam berat oleh akar eceng gondok secara fisika dapat digambarkan sebagai berikut:

a. Logam berat dalam air umumnya bermuatan positif. b. Akar tanaman termasuk eceng gondok bermuatan negatif.

Kedua muatan ini akan saling tarik menarik, sehingga logam berat akan diakumulasikan dalam akar eceng gondok.

Teori ini juga menyatakan pada tumbuhan yang sudah kering dan mati, akar masih memiliki muatan negatif yang cukup untuk menarik muatan positif dari logam berat. Johnson (1994), di acu dalam Matagi & Mugabe (1998) menyatakan bahwa eceng gondok memiliki bulu bulu yang bermuatan listrik yag dapat menarik partikel-partikel koloid seperti logam berat sehingga dapat menempel di akar.

2.5.6. Mekanisme Absorpsi Logam Berat oleh Kijing Taiwan

Mekanisme penyerapan logam berat oleh kijing taiwan adalah berdasarkan pada sifat kijing taiwan sebagai filter feeder yaitu sistem metabolisme dan pernapasannya menyatu sehingga mampu menyaring partikel yang berukuran antara 0,1 sampai 50,0 µm dari badan air, selanjutnya pada ukuran partikel > 4,0 µm mampun menyaring hingga 100%. Karena sifat tersebut maka kijing taiwan digunakan sebagai pembersih perairan (Kadar, 1997).

Alat pencernaan kijing berturut-turut terdiri dari mulut yang tidak berahang atau bergigi, sepasang labial palps yang bercilia, oesofagus, lambung, usus, rektum, dan anus. Selain alat pencernaan, di dalam tubuh kerang terdapat pula hati yang menyelubungi dinding lambung, ginjal, pembuluh darah, dan pembuluh urat saraf. Kijing atau kerang air tawar tergolong filter feeder, yaitu hewan yang memperoleh makanan dengan cara meyedot air. Volume air yang dapat disaring oleh kerang adalah 2,5 liter per individu dewasa per jam. Air masuk ke dalam mantel melalui bagian bawah inhalant siphon (alat penyedot) terus mengalir menuju insang dan keluar lagi melalui bagian atas inhalant siphon. Partikel makanan akan ikut bersama air berlindung dalam lendir, sebelum dikirim ke mulut. Pada bagian itu, partikel makanan akan di pilih. Partikel kecil akan lolos masuk ke dalam oesophagus, lalu ke dalam usus. Sedangkan partikel besar akan


(40)

keluar lagi bersama air melalui inhalant siphon (Salman & Southgate 2005). Makanan yang masuk bersama air tadi digerakkan, diperas, lalu di cerna dengan bantuan cilia (rambut getar) pada tubuhnya. Cilia mampu bergerak 2-20 kali per detik.

Sifat kebanyakan ikan yang sangat agresif menangkap makanan, namun kerang air tawar bersifat sangat pasif. Kerang air tawar tidak dapat berenang seperti ikan, oleh sebab itu makanan yang masuk ke dalam kerang air tawar sangat tergantung kepada kondisi perairan yang ditempatinya. Perairan yang subur dapat memberikan sumbangan makanan yang cukup bagi kerang air tawar. Makanan itu akan di pilih sesuai dengan kebutuhan tubuhnya. Pada perairan ini hewan itu akan tumbuh cepat. Sebaliknya, perairan yang kurang subur tidak dapat memberikan sumbangan makanan yang cukup bagi kerang air tawar, sehingga pertumbuhannya akan lambat (Moorkens, 1999).

Jenis dan ukuran makanan yang masuk sangat tergantung pada umurnya. Saat larva, kerang air tawar memakan organisme yang berukuran sangat kecil, beberapa mikron, seperti bakteri, detritus, mikro organisme hijau dan organisme tak berwarna. Menjelang dewasa menangkap makanan berukuran lebih besar, termasuk diatomae, macam-macam protozoa, kepingan plankton dan organisme lainnya (Beran, 1997).

2.6. Adsorben

Adsorben merupakan zat padat yang dapat menyerap komponen tertentu dari suatu fase fluida. Kebanyakan adsorben adalah bahan-bahan yang sangat berpori dan adsorpsi berlangsung terutama pada dinding pori-pori atau pada letak-letak tertentu di dalam partikel itu, oleh karena pori-pori biasanya sangat kecil maka luas permukaan dalam menjadi beberapa orde besaran lebih besar daripada permukaan luar dan bisa mencapai 2.000 m2/g. Pemisahan terjadi karena perbedaan bobot molekul atau karena perbedaan polaritas yang menyebabkan sebagian molekul melekat pada permukaan tersebut lebih erat daripada molekul lainnya (Mc. Cabe et al. 1999).

Menurut Suzuki (1990), adsorben yang digunakan secara komersial dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu kelompok polar dan non polar.


(41)

1. Adsorben polar di sebut juga hydrophilic.

Jenis adsorben yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah silika gel, alumina aktif, dan zeolit.

2. Adsorben non polar di sebut juga hydrophobic.

Jenis adsorben yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah polimer adsorben dan karbon aktif. Menurut IUPAC (Internasional Union of Pure and Applied Chemical) ada beberapa klasifikasi pori yaitu :

a. Mikropori : diameter < 2nm b. Mesopori : diameter 2 – 50 nm c. Makropori : diameter > 50 nm

Menurut Mulyati (2006), beberapa karakteristik yang harus dipenuhi oleh adsorben untuk dapat menjadi adsorben komersial adalah sebagai berikut:

(1) Memiliki luas permukaan yang besar per unit massa sehingga kapasitas adsorpsinya tinggi.

(2) Ketahanan struktur fisik yang tinggi.

(3) Mudah diperoleh, harga tidak mahal, tidak korosif dan tidak beracun. (4) Tidak terjadi perubahan volume yang berarti selama proses adsorpsi dan desorpsi.

(5) Mudah dan ekonomis untuk diregenerasi.

(6) Secara alamiah dapat berinteraksi dengan adsorbat (Suzuki, 1990).

2.7. Adsorbat

Adsorbat adalah substansi dalam bentuk cair atau gas yang terkonsentrasi pada permukaan adsorben. Adsorbat terdiri atas dua kelompok yaitu kelompok polar seperti air dan kelompok non polar seperti metanol, etanol dan kelompok hidrokarbon (Suzuki, 1990).

Karbondioksida merupakan jenis adsorbat yang sesuai digunakan untuk adsorben jenis hidrofobik seperti karbon aktif. Karbondioksida merupakan persenyawaan antara karbon dengan oksigen. Pada kondisi tekanan dan temperatur atmosfir, karbondioksida merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau, tidak reaktif, tidak beracun dan tidak mudah terbakar (non flammable). Pada kondisi triple point, karbondioksida dapat berupa padat, cair ataupun gas


(42)

bergantung pada kondisinya. Karbondioksida berada pada fase padat pada temperature 109 oF (-78,5 oC) dan tekanan atmosfir akan langsung menyublimasi tanpa melalui fase cair terlebih dahulu. Pada tekanan dan temperatur di atas triple point dan di bawah temperatur 87,9 oF (31,1oC) maka karbondioksida cair dan gas akan berada pada kondisi kesetimbangan.

Dalam proses adsorpsi terjadi proses pengikatan oleh permukaan adsorben padatan atau cairan terhadap adsorbat atom-tom, ion-ion atau molekul-molekul gas atau cairan lainnya (Microsoft, 2000) yang melibatkan ikatan intramolekuler di antara keduanya (Osmonics, 2000). Melalui proses pengikatan tersebut, maka proses adsorpsi dapat menghilangkan warna dan logam (Kadirvelu & Namasivayam 2003).

Cheremisinoff dan Ellerbusch (1978) dalam Pari (1995) mengatakan bahwa ada dua metode adsorpsi yaitu adsorpsi secara fisik (physisorption) dan adsorpsi secara kimia (chemisorption). Adsorpsi secara fisik terjadi karena perbedaan energi atau gaya tarik menarik elektrik (gaya Van der Waals) sehingga molekul-molekul adsorbat secara fisik terikat pada molekul adsorben. Jenis adsorpsi ini umumnya adalah lapisan ganda (multi layer) dalam hal ini tiap lapisan molekul terbentuk di atas lapisan-lapisan yang proporsional dengan konsentrasi kontaminan. Makin besar konsentrasi kontaminan dalam suatu larutan maka makin banyak lapisan molekul yang terbentuk pada adsorben. Adsorpsi fisik ini bersifat dapat balik (reversible) yang berarti atom-atom atau ion-ion yang terikat dapat dilepaskan kembali dengan bantuan pelarut tertentu yang sesuai dengan sifat ion yang diikat. Sedangkan adsorpsi secara kimia, ikatan yang terjadi adalah ikatan kimia yang kuat dan bersifat tidak dapat balik (irreversible) karena pada pembentukannya diperlukan energi pengaktifan sehingga untuk melepaskannya diperlukan pula energi yang besarnya relatif sama dengan energi pembentukan.

Menurut Setyaningsih (1995), mekanisme adsorpsi adalah peristiwa molekul adsorbat berdifusi melalui suatu lapisan batas ke permukaan luar adsorben (di sebut difusi eksternal), sebagian ada yang teradsorpsi di permukaan luar dan sebagian besar berdifusi lanjut di dalam pori-pori adsorben (di sebut difusi internal).


(43)

2.8. Kitosan

Kebutuhan manusia untuk mengkonsumsi udang semakin bertambah, sehingga juga menimbulkan meningkatnya jumlah limbah udang. Meningkatnya jumlah limbah udang ini merupakan masalah yang perlu di carikan upaya-upaya pemanfaatannya. Hal ini bukan saja memberikan nilai tambah pada usaha pengolahan udang, akan tetapi juga dapat menanggulangi masalah pencemaran lingkungan yang ditimbulkan, terutama masalah bau yang dikeluarkan serta estetika lingkungan yang kurang bagus (Manjang, 1993).

Kitosan merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, larutan basa kuat, sedikit larut dalam HCl dan HNO3, dan H3PO4, dan tidak larut dalam H2SO4. Kitosan tidak beracun, mudah mengalami biodegradasi dan bersifat poli-elektrolitik (Hirano, 1986). Kitosan dapat dengan mudah berinteraksi dengan zat-zat organik lainnya seperti protein dan lemak, oleh karena itu kitosan relatif lebih banyak digunakan pada berbagai bidang industri terapan dan industri farmasi dan kesehatan (Muzzarelli, 1986).

Sebagian besar limbah udang berasal dari kulit, kepala, dan ekornya. Fungsi kulit udang tersebut pada hewan udang (hewan golongan invertebrata) yaitu sebagai pelindung (Neely dan Wiliam, 1969). Kulit udang mengandung protein (25 % - 40 %), kalsium karbonat (45 % - 50 %), dan kitin (15 % - 20 %), tetapi besarnya kandungan komponen tersebut tergantung pada jenis udangnya. Sedangkan kulit kepiting mengandung protein (15,60 % - 23,90 %), kalsium karbonat (53,70 % - 78,40 %), dan kitin (18,70 % - 32,20 %), hal ini juga tergantung pada jenis kepiting dan tempat hidupnya. Kandungan kitin dalam kulit udang lebih sedikit dari kulit kepiting, tetapi kulit udang lebih mudah di pilih dan tersedia dalam jumlah yang banyak sebagai limbah (Focher et al. 1992).

Proses isolasi kitin dan kitosan terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi proses isolasi kitin dan kitosan dari bahan baku rajungan menggunakan metode enzimatik khususnya pada tahap deproteinisasi. Faktor-faktor tersebut berupa konsentrasi enzim, pH dan suhu proses. Perlakuan terbaik pada penelitian tahap I adalah konsentrasi enzim 3 % yang memiliki parameter kadar protein 29,5 % dan rendemen 14,15 %. Pada kombinasi perlakuan terbaik pada penelitian tahap II dihasilkan pada perlakuan pH 7,0 dan suhu 60 oC yang memiliki parameter


(44)

sebagai berikut: kadar air 1,76 %, kadar abu 0,21 %, viskositas 64,50 cps, kadar protein 13,88 %, derajat deasetilasi 7,69 % dan rendemen 15,13 %. Hasil penelitian terbaik dimanfaatkan sebagai bahan pengkoagulasi limbah cair

precooking tuna kaleng. Komposisi koagulan yang dihasilkan adalah kadar air 17,25 %, kadar lemak 2,54 %, kadar protein 69,90 % dan hasil koagulan 8,26 % (Hartati et al. 2002).

Isolasi kitin dari limbah kulit udang dilakukan secara bertahap yaitu tahap pemisahan protein (deproteinasi) dengan larutan basa, demineralisasi, tahap pemutihan (bleaching) dengan aseton dan natrium hipoklorit. Transformasi kitin menjadi kitosan dilakukan tahap deasetilasi dengan basa berkonsentrasi tinggi (Ferrer et al. 1996 ).

Kitosan yang di sebut juga dengan β-1,4-2 amino-2-dioksi-D-glukosa merupakan turunan dari kitin melalui proses deasetilasi. Kitosan juga merupakan suatu polimer multifungsi karena mengandung tiga jenis gugus fungsi yaitu asam amino, gugus hidroksil primer dan sekunder. Gugus fungsi ini menyebabkan kitosan mempunyai reaktifitas kimia yang tinggi (Tokura & Nishi 1995).

Kitosan mudah mengalami degradasi secara biologis, tidak beracun dan merupakan flokulan, koagulan yang baik serta pengkelat logam. Kitosan telah digunakan bersama-sama dengan bahan-bahan polimer perdagangan PA 322 dan PN161, serta diperoleh bahwa penambahan 1 % larutan kitosan dan polimer tersebut ternyata mempengaruhi penurunan kekeruhan, bentuk padatan sementara (suspended solid), COD, dan kandungan krom. Penggunaan 1% larutan dalam waktu penyelesaian 90 menit memberikan hasil yang terbaik, yaitu mengurangi 98,8 % kekeruhan dan 97,9 % bentuk padatan, 84 % COD, serta 100 % kandungan khrom (Hartanto et al. 2003). Gambar 2 adalah struktur kima kitin dan kitosan.


(45)

Gambar 2 Transformasi kitin menjadi kitosan (Habibie, 2000).

Gambaran reaksi pelepasan gugus asetil pada kitin sehingga mengalami transformasi menjadi kitosan dapat diamati dalam Gambar 2 tersebut, yang menggambarkan bahwa kitin dihasilkan masih banyak mengandung gugus asetil yang terikat kuat. Gugus asetil tersebut banyak terlepas dari ikatannya setelah dilakukan proses deasetilasi dengan basa kuat. Jika di lihat dari konformasi strukturnya maka struktur kitosan memiliki gugus amida yang lebih terbuka di luar dan lebih mudah untuk melakukan kontak dengan senyawa lainnya karena tidak terhalangi oleh gugus asetil (Habibie, 2000).

Kitosan memiliki gugus amida yang lebih terbuka di luar dan lebih mudah untuk melakukan kontak dengan senyawa lainnya karena tidak terhalangi oleh gugus asetil. Hal inilah yang menjadi pertimbangan dan asumsi bahwa aktivitas kitosan akan semakin meningkat sering dengan semakin banyaknya gugus asetil yang terlepas sehingga gugus amida semakin bebas untuk melakukan kontak dengan senyawa lainnya (Darmawan, 2007).

2.8.1. Sumber Kitosan

Pada umumnya keberadaan kitin di alam tidak terdapat dalam keadaan bebas, akan tetapi berikatan dengan protein, mineral, dan berbagai macam pigmen (zat warna). Kitin tersebar luas di alam, sumber utama yang dapat digunakan memproduksi kitin dalam skala besar dan dijadikan untuk pengembangan lebih lanjut adalah kitin yang terdapat pada crustaceae yang dipanen secara komersil


(46)

seperti kepiting, udang, dan lobster. Kitin dari jenis crustaceae ini banyak tersedia dalam jumlah besar sebagai limbah industri pangan (Meriatna, 2008).

2.8.2. Manfaat Kitosan

Kitosan banyak dimanfaatkan dalam industri farmasi, tekstil, metalurgi, kesehatan, kosmetik, pertanian dan industri lainnya. Dalam industri farmasi, banyak turunan kitosan disintesis, antara lain N-Succinyl-Kitosan yang dikenal dengan baik sebagai polimer yang larut dalam air. Selanjutnya, banyak di antara senyawa tersebut menunjukkan biokompatibilitas dan biodegradabilitas yang tinggi. Karena itu kitosan dan turunannya telah menarik perhatian sebagai bahan untuk digunakan dalam bidang obat-obatan dan kesehatan. Baru-baru ini, untuk

drug targeting (sasaran obat) dan pengontrolan sifat biofarmasi dari obat, telah dikembangkan sebagai bagian dari drug delivery (Meriatna, 2008).

Dalam industri kesehatan, kitin dan kitosan menunjukkan aktivitas anti bakteri, menunjukkan potensi yang besar dalam meredakan dan mencegah penyakit atau memberi kontribusi terhadap kesehatan yang baik. Material yang dapat terurai dan non toksik dapat sebagai penahan sakit, mencegah infeksi dan mempercepat penyembuhan luka. Sehingga banyak digunakan sebagai pembalut luka (Tarigan, 2008).

Dalam industri pertanian dan pengawetan makanan, kitosan yang diperoleh dari dinding sel jamur atau dari kulit crustacea mampu menghambat pertumbuhan jamur dan bakteri yang bersifat patogen dan menyebabkan resistensi tumbuhan terhadap infeksi jamur dan virus. Efek penghambatan meningkat segera setelah daun diberi kitosan. Hal ini menjadi acuan menjadikan kitosan sebagai bahan pengawet makanan (Tarigan, 2008).

Dalam industri kosmetik, kitosan dan turunannya dapat digunakan sebagai bahan kosmetik, pasta gigi, krim badan dan tangan serta produk perawatan rambut. Biopolimer ini juga telah di teliti sebagai bahan formulasi kosmetik khususnya untuk kulit yang sensitif (Tarigan, 2008).

Kitosan digunakan untuk mengikat logam dengan cara pengkhelat pada industri metalurgi. Kemampuan kitosan sebagai pengkhelat karena kitosan mempunyai satu kumpulan amino linier bagi setiap unit glukosa. Kumpulan


(47)

amino ini mempunyai sepasang elektron yang dapat berkoordinat atau membentuk ikatan-ikatan aktif dengan kation logam. Unsur nitrogen pada setiap monomer kitosan di katakan sebagai gugus yang aktif berkoordinat dengan kation logam (Meriatna, 2008). Tabel 1 adalah tabel yang menunjukkan karakteristik kitosan berdasarkan parameternya.

Tabel 1 Karakteristik kitosan dengan beberapa parameter yang penting

No Parameter Nilai

1 Bentuk Partikel Dari bubuk sampai serpihan

2 Kadar Air (%) <10

3 Kadar Abu (%) <2

4 Derajat Deasetilasi (%) >70

5 Warna Larutan 6 Viskositas (cps)

Rendah Medium Tinggi

Ekstrak Tinggi

<20 200 – 799 800 – 2000

>2000 Sumber : Meriatna (2008)

2.9. Eceng Gondok (Eichhornia Crassipes (Mart) Solm )

Eceng gondok adalah tumbuhan air yang mengapung (floating) dan termasuk dalam phylum Spermathophyta kelas Monocotyledone, ordo Liliaceae,

famili Pontederiaceae, genus Eichornia crassipes (Mart) Solm (Gopal, 1981). Eceng gondok pertama kali ditemukan oleh seorang ilmuwan bernama Carl Friedrich Philipp von Martius, seorang ahli botani berkebangsaan Jerman pada tahun 1824 ketika sedang melakukan ekspedisi di sungai Amazon Brasil (Goldfrey, 2000). Tumbuhan ini telah menyebar keseluruh daerah sub tropis dan menjadi salah satu tumbuhan yang menjadi perhatian karena memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi sehingga tumbuhan ini di anggap sebagai gulma yang dapat merusak lingkungan perairan dan dengan mudah menyebar melalui saluran air ke badan air lainnya. Eceng gondok masuk ke Indonesia pada tahun 1894 di Kebun Raya Bogor sebagai tanaman hias dan penutup kolam ikan.

Penyebaran yang luas keseluruh dunia menyebabkan berkembangnya nilai tumbuhan ini. Di Myanmar dikenal dengan nama „Beda bin‟ atau “Ye padauk”. Di


(48)

Kamboja di sebut dengan „Kamplauk‟, di Vietnam dikenal dengan istilah ‟Lucbinh‟ dan di Malaysia dikenal dengan nama „Keladi bunting‟. Eceng gondok bukan hanya sebagai tanaman hias untuk kolam, namun dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuat kertas, kompos, biogas, kerajinan tangan, sebagai media pertumbuhan bagi jamur merang dan sebagainya. Di berbagai negara seperti Jerman, Amerika, Australia, Inggris, China, Chech, dan Egypt, eceng gondok digunakan untuk mengolah limbah domestik dan limbah cair industri seperti limbah pabrik kertas, tekstil, industri, karet, industri kimia dan pabrik kelapa sawit (Kurniadie, 2002).

Pertumbuhan yang cepat dan kerapatan eceng gondok yang tinggi menyebabkan tumbuhan ini di anggap sebagai gulma yang dapat merusak lingkungan perairan. Gangguan ini bisa dirasakan secara langsung atau tidak langsung terhadap pemanfaatan perairan secara optimal, untuk itu diperlukan penanganan yang tepat agar dampak postifnya tetap dapat berfungsi dengan baik (Kurniadie, 2002).

Banyak penelitian yang telah melaporkan kemampuan tanaman air dalam menyerap dan mengakumulasi logam berat. Eceng gondok (Eichernia crassipes (Mart) Solm) merupakan salah satu jenis tanaman yang memiliki kemampuan untuk menyerap dan mengakumulasi logam berat (Ingole, 2003). Banyak peneliti yang tertarik pada potensi tumbuhan ini karena eceng gondok merupakan tanaman dengan toleransi tinggi, dapat tumbuh baik dalam limbah, pertumbuhan- nya cepat dapat menyerap dan mengakumulasi logam dengan baik dan dalam waktu singkat. Eceng Gondok juga dapat menurunkan nilai Biologycal Oxygen Demand (BOD), Total Suspended Solid (TSS) dan Chemical Oxygen Demand

(COD) limbah cair (Zayed et al. 1998). Zhu (1999) dalam penelitiannya melaporkan bahwa eceng gondok mempunyai kemampuan untuk menyerap beberapa logam berat seperti Cd, Cr, Cu, As, Ni dan Se.

2.9.1. Biologi Eceng Gondok

Eceng gondok memiliki daun berwarna hijau yang licin berkilat, bentuknya bulat dan lebarnya 2-5 inci. Memiliki bunga berwarna ungu dan memiliki garis kuning pada bunga yang besar. Berkembang biak secara generatif


(49)

(seksual) dan vegetatif (aseksual). Perkembang biakan secara vegetatif lebih umum daripada generatif. Induk eceng gondok memperpanjang stolonnya kemudian tumbuh anaknya di ujung stolon. Eceng gondok berakar serabut yang tidak bercabang. Akarnya memproduksi sejumlah besar akar lateral yaitu 70 buah/cm. Panjang akar bervariasi mulai dari 10-300 cm (Godfrey, 2000).

Pertumbuhan eceng gondok memerlukan cahaya yang cukup. Suhu optimum untuk pertumbuhannya adalah berkisar antara 27-30oC. Pada daerah tropik tumbuhan ini dapat berkembang dengan baik. Pertumbuhan terhenti pada suhu dibawah 10oC atau suhu diatas 40oC dan akan mati pada suhu dibawah 0 oC atau 45 oC dalam waktu 48 jam. Faktor lainnya yang mempengaruhi pertumbuhan eceng gondok adalah pH. Kisaran pH optimum untuk pertumbuhannya aldalh 6-8. Pada pH 4 tumbuhan ini lebih banyak menyerap unsur P (phospor) dan pada pH 7 lebih banyak menyerap unsur N (nitrogen) dan unsur K (kalium) (Gopal, 1987). Gambar 3 adalah gambar tanaman eceng gondok dan Gambar 4 adalah gambar morfologi eceng gondok.


(1)

Lampiran 2. Hasil adsorpsi kijing taiwan, eceng gondok dan kombinasi terhadap logam Pb

Ul

an

g

an

Awal

A

ds

o

rps

i

ki

to

sa

n

Kijing Eceng gondok

Kijing+ eceng

Kijing Eceng gondok

Kijing+ eceng

Kijing Eceng gondok

Kijing+ eceng

3 liter/

Jam

3 liter/ Jam

3 liter/ Jam

6 liter/ Jam

6 liter/ Jam

6 liter/ Jam

9 liter/ Jam

9 liter/ Jam

9 liter/ Jam

1 27,61 14,17 3,41 2,55 0,30 6,28 4,50 0,44 4,53 3,92 0,29

2 27,61 15,29 3,29 2,64 0,33 6,29 4,53 0,49 4,49 3,89 0,29

Rerata 27,61 14,73 3,35 2,59 0,32 6,28 4,52 0,46 4,51 3,91 0,29

Efisiensi


(2)

Lampiran 3. Hasil adsorpsi kijing taiwan, eceng gondok dan kombinasi terhadap logam Hg

Ul

an

g

an Awal

Kijing Eceng gondok

Kijing+ eceng

Kijing Eceng gondok

Kijing+ eceng

Kijing Eceng gondok

Kijing+ eceng

3 liter/

Jam

3 liter/ Jam

3 liter/ Jam

6 liter/ Jam

6 liter/ Jam

6 liter/ Jam

9 liter/ Jam

9 liter/ Jam

9 liter/ Jam

1 48,09 12,53 0,94 0,52 12,45 3,03 12,08 1,61 0,07 10,42 11,44

2 48,43 12,78 0,94 0,50 11,91 2,82 11,78 1,62 0,27 11,02 11,59

Rerata 48,26 12,65 0,94 0,51 12,18 2,92 11,93 1,62 0,17 10,72 11,51 Efisiensi


(3)

Lampiran 4. Hasil adsorpsi kijing taiwan, eceng gondok dan kombinasi terhadap logam Cd

Ul

an

g

an

Awal

A

ds

o

rps

i

k

it

o

sa

n

Kijing Eceng gondok

Kijing+ eceng

Kijing Eceng gondok

Kijing+ eceng

Kijing Eceng gondok

Kijing+ eceng

3 liter/

Jam

3 liter/ Jam

3 liter/ Jam

6 liter/ Jam

6 liter/ Jam

6 liter/ Jam

9 liter/ Jam

9 liter/ Jam

9 liter/ Jam

1 44,06 20,79 10,35 5,63 1,47 9,56 7,28 0,40 12,54 5,86 4,23

2 44,06 20,17 10,47 5,52 1,48 9,52 7,36 0,48 12,42 6,09 4,27

Rerata 44,06 20,48 10,41 5,58 1,48 9,54 7,32 0,44 12,48 5,97 4,25 Efisiensi


(4)

Lampiran 5. Hasil penetapan kadar air dan kadar abu 1. Hasil penetapan kadar air kitosan

Kadar air ( % ) = (bobot sampel – bobot kering) x 100 % bobot sampel

Ulangan

Pinggan Kosong

(g)

Bobot Sampel

(g)

Pinggan + Sampel

(g)

Bobot Akhir

(g)

Bobot kering (g)

Kadar Air (%) 1 30,0810 1,0890 31,1700 31,1099 1,0289 5,52 2 30,0814 1,0018 31,0832 31,0281 0,9467 5,50 Rerata 5,51

Contoh perhitungan kadar air :

Kadar air (%) = 1,0890 - 1,0289 x 100 % = 5,52 % 1,0890

2. Hasil penetapan kadar abu kitosan Kadar abu = bobot abu x 100 % bobot sampel

Contoh perhitungan kadar abu :

Kadar abu (%) = 0,0010 x 100 % = 0,33 % 0,3006

Ulangan

Cawan Kosong

(g)

Bobot Sampel

(g)

Cawan + Sampel

(g)

Bobot Akhir (g)

Bobot Abu (g)

Kadar Abu (%) 1 22,7894 0,3006 23,0900 22,7904 0,0010 0,33 2 18,7183 0,3002 19,0185 18,7194 0,0011 0,37 Rerata 0,35


(5)

Lampiran 6. Hasil penetapan kadar nitrogen 3. Hasil penetapan kadar nitrogen

- Standardisasi HCl 0,1 N

N HCl = Bobot boraks ( mg ) V HCl (mL) x bst boraks

Contoh perhitungan normalitas HCl : N HCl = 19,16 = 0,0106 N 9,43 x 190,6

Perhitungan kadar protein

% N total = ((mL contoh – mL blanko) x N HCl x 14 x fp) x 100 % bobot sampel ( mg )

Contoh perhitun gan

kadar nitrogen :

N total (%) = ( ( 10,85 – 0,50 ) x 0,0107 x 14 x 5 ) x 100 % = 3,52 % 217,9

Ulangan

Bobot Boraks

(mg)

Bst Boraks

V HCl (mL) N HCl 1 19,16 190,6 9,43 0,0107 2 19,13 190,6 9,45 0,0106

Rerata 0,0106

Ulangan

Bobot Contoh

(mg)

mL contoh

mL

blanko N HCl fp Bst N

% N total

1 217,9 10,85 0,5 0,0106 5 14 3,52

2 217,9 10,90 0,5 0,0106 5 14 3,54


(6)

Lampiran 7. Perhitungan kadar derajat deasetilasi dan prosentase adsorpsi - Perhitungan kadar derajat deasetilasi kitosan

Serapan pada angka gelombang 1655 cm-1 A1655 = log (Po/P)

= log (8,2/4,9) = 0,223 Serapan pada angka gelombang 1655 cm-1

A3450 = log (Po/P)

= log (8,2/1,2) = 0,834 Kadar (%) derajat deasetilasi :

% Derajat deasetilasi = [ 1 – (A1655/A3450) x (1/1,33) ] x 100 % = [ 1 – (0,223/0,834) x (1/1,33) ] x 100 % = 80 %

- Contoh perhitungan prosentase adsorpsi

Contoh perlakuan pada larutan kitosan 0,25% untuk menentukan adsorpsi Pb: % adsorpsi = ( kadar awal – kadar akhir ) x 100 %

kadar awal

Perlakuan 0,25 % adsorpsi = ( 27,61 – 18,65 ) x 100 % = 32,45 % 27,61


Dokumen yang terkait

SYNTHESES CHITOSAN CROSSLINK AND GRAFTING AS ADSORBENT TOXIC METALS WASTE.

0 0 4

LAJU PENURUNAN LOGAM BERAT PLUMBUM (PB) DAN CADMIUM (CD) OLEH EICHORNIA CRASSIPES DAN CYPERUS PAPYRUS (The Diminution Rate Of Heavy Metals, Plumbum And Cadmium By Eichornia Crassipes And Cyperus) | Tosepu | Jurnal Manusia dan Lingkungan 18450 37063 1 PB

0 0 9

DETERMINATION OF pH EFFECT AND CAPACITY OF HEAVY METALS ADSORPTION BY WATER HYACINTH ( Eichhornia crassipes ) BIOMASS | Shofiyani | Indonesian Journal of Chemistry 21774 40860 1 PB

0 0 5

this PDF file Removal of Heavy Metals from Leachate Using ElectroAssisted (EAPR) and UpTake by Water Hyacinth ( Eichornia crassipes ) | Putra | Indonesian Journal of Chemistry 3 PB

0 0 7

EICHORNIA CRASSIPES) TERHADAP PENURUNAN LOGAM CHROMIUM PADA LIMBAH CAIR PENYAMAKAN KULIT The Influence Of Plant Density Water Hyacinth (Eichornia Crassipes) Againts Metal Loss Chromium In Tannery Waste Liquid

0 0 7

THE USE Of WATER HYACINTH (EICHORNIA CRASSIPES) In DECREASING The LEVELS Of METALS Of COPPER (Cu) ON THE WATERS OF LAKE TEMPE, WAJO REGENCY

0 0 13

PHYTOCHEMICAL ANALYSIS OF WATER HYACINTH (Eichhornia crassipes) OF AGRICULTURAL WASTE AS BIOSENSITIZER FOR FERRI PHOTOREDUCTION

0 0 9

Adsorption of Lead and Copper Using Water Hyacinth Compost (Eichornia Crassipes)

0 0 8

An Analysis on Hemocytes Profile in Kijing Taiwan (Anodonta woodiana) and Water Quality in Freshwater Aquaculture Ponds

0 0 8

THE EFFECTIVENESS OF CHITOSAN IN CHELATING TOXIC METALS AND CONSUMPTION RISK REDUCTION OF GREEN COOKLE ( Perna viridis)

0 0 11