POLITIK DAN HUKUM A. Politik Nasional

10 dengan melibatkan para ahli konstitusi dan berbagai keahlian yang diperlukan, sebagaimana yang pernah dilakukan sesuai rekomendasi amandemen yang terakhir dan diberi kewenangan yang lebih luas; di samping melakukan me-review dan mengevaluasi hasil amandemen, juga untuk mengkaji sistem dan struktur ketatanegaraan sesuai hasil amandemen tersebut serta merancang penyempurnaan UUD 1945 berikut hasil amandemennya dan menyusun desain sistem dan struktur ketatanegaraan yang sesuai dengan kebutuhan bangsa ini dan sistem demokrasi yang ingin kita bangun, 2 mulai menjajagi untuk kemungkinan membangun konsensus nasional dalam rangka penataan dan penyempurnaan sistem dan struktur ketatanegaraan yang terlebih dahulu dituangkan dalam UUD 1945. 3. Menjamurnya komisi-komisi atau badan-badan negara independen auxialary state institutionagency yang kini jumlahnya lebih-kurang mencapai 30 lembaga, seperti Komnas HAM, Komisi Perlindungan Anak, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan sebagainya, menimbulkan pertanyaan bagi warga masyarakat. Belum lagi ada beberapa UU yang merekomendasikan pembentukan lembaga semacam itu namun belum diwujudkan karena berbagai alasan. Sebagian di antara lembaga-lembaga negara tersebut dapat berfungsi dengan baik, namun sebagian besar ditengarai kurang berjalan dengan baik karena berbagai alasan. Sebagian lembaga tersebut digagas sesuai kebutuhan karena bidangnya bersifat multi-sektoral sehingga tidak cukup hanya ditanganinya departemen atau instansi pemerintah yang sudah ada. Namun sebagian lainnya dibentuk sebagai reaksi dari tidak berfungsi optimalnya atau terjadinya deviasi-deviasi fungsi-fungsi lembaga-lembaga atau instansi-instansi pemerintah yang ada. Banyaknya komisi-komisi negara tersebut, bukan hanya memperbesar anggaran pengeluaran negara, juga menggambarkan adanya krisis kelembagaan karena banyak instansi-instansi penting di lingkungan pemerintahan yang tidak berfungsi dengan baik, tidak memiliki kredibilitas dan tidak memperoleh kepercayaan poblic trust masyarakat. Dengan kata lain di balik menjamurnya komisi-komisi negara itu juga sekaligus tergambarkan adanya kedaruratan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karena itu, Muktamar mendesak pemerintah untuk menghentikan munculnya kembali komisi-komisi negara baru sekaligus memberikan batas waktu bagi komisi-komisi tertentu yang tugas dan fungsi pokoknya sudah dapat dikembalikan kepada instansi-instansi 11 sebagaimana mestinya dan memperkuat komisi-komisi tertentu yang memang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan nasional. 4. Jarak antara rakyat dengan partaiwakilnya di lembaga legislatif terputus sehingga praktik politik yang dilakukan oleh para wakil rakyat tidak lagi untuk kepentingan rakyat melainkan untuk kepentingan dirinya sendiri dan partai politiknya. Rakyat hanyalah dijadikan sebagai pendulang suara dalam setiap Pemilu. Di sisi lain, komitmen partai dan wakil rakyat untuk tetap melakukan kontrolpenyeimbang terhadap kebijakan pemerintah justru dipertanyakan karena partai dan wakil rakyat lebih memilih menjadi mitra pemerintah yang cenderung tidak kritis. Akibatnya wakil rakyat hanyalah menjadi kepanjangan tangan pemerintah yang berkuasa dan sulit melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan. Di sisi lain, belakangan ini, peran civil society semakin lemah untuk melakukan kontrolpenyeimbang terhadap jalannya pemerintahan. Kelompok civil society tampaknya tidak mampu membaca arah perubahan politik nasional sehingga cenderung pasif dalam merespon kebijakan politik pemerintah. Oleh karena itu, Muktamar merekomendasikan agar elemen-elemen politik semakin mendekatkan dirinya dengan kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi dan partai politiknya. Mereka hendaknya juga mengambil sikap kritis dalam menyikapi kebijkan politik pemerintah. Sejalan dengan hal ini, kelompok civil society hendaknya memperkuat posisinya sebagai kekuatan penyeimbang terhadap jalannya pemerintahan.

B. Politik Internasional

1. Sejak dasawarsa lalu ada skenario besar untuk membangun persepsi bahwa Islam identik dengan terorisme. Persepsi ini dibangun atas dasar terjadinya peristiwa pengeboman WTC, 11 September 2001 yang dilakukan oleh kelompok Al-Qaedah. Dalam konteks Indonesia persepsi ini dibangun dengan adanya pelaku terorisme berasal dari pesantren, sehingga muncul tudingan miring bahwa pesantren adalah tempat suburnya terorisme. Dalam konteks ini, kelompok civil society, terutama ormas Islam sebenarnya sudah dilibatkan untuk ikut memecahkan persoalan dunia, tetapi pelibatan ini masih kurang secara optimal, terutama penanggulangan ormas Islam untuk memainkan peran kontributifnya dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme. 12 Oleh karena itu, Muktamar merekomendasikan agar dilakukan upaya pelurusan persepsi global terhadap jihad yang disalahpahami sebagai terorisme. Pemerintah hendaknya juga melibatkan peran pemuka agama dalam penyelesaikan konlik, termasuk konlik-konlik yang berbasis agama. Upaya-upaya yang dilakukan oleh ormas-ormas Islam, seperti NU melalui International Conference of Islamic Scholars ICIS, perlu mendapatkan dukungan lebih besar lagi dari pemerintah, agar peran yang dilakukan ormas-ormas itu bisa lebih maksimal. 2. Konlik yang terjadi di belahan dunia, terutama yang terjadi di Timur Tengah dan Asia Tenggara, meski berlatarbelakang pada kepentingan politik dan ekonomi, tetapi tidak lepas dari latarbelakang pada agama dan suku. Perang etnik dan agama terjadi karena campur tangan asing dan ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola perbedaan etnik dan agama. Adanya kecenderungan pembiaran konlik di sejumlah negara yang minoritas muslim, seperti hailand Selatan, Philipina Selatan, Mynmar, Oigur Singjan, dll. Oleh karena itu, Muktamar merekomendasikan agar pemerintah aktif terlibat dalam penyelesaian konlik terutama yang melibatkan umat Islam seperti konlik Palestina-Israel, konlik di hailand Selatan dan konlik Filipina Selatan, dengan melibatkan seluruh komponen bangsa dalam kesederajatan dan kesetaraan sekaligus menghilangkan ego-ego sejarah, ideologi, ekonomi, dan politik. Upaya-upaya yang telah dilakukan selama ini perlu ditingkatkan, termasuk menfasilitasi ormas-ormas keagamaan untuk melakukan mediasi tersebut sebagai bagian dari second track diplomacy.

C. Hukum dan HAM

1. Terjadinya inkonsistensi penyelenggaraan negara dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia diakibatkan oleh banyaknya kepentingan politik yang bermain dalam setiap penyelesaian kasus HAM. Dalam kenyatatannya, pemerintah kurang mampu sepenuhnya melindungi korban pelanggaran HAM sehingga mengakibatkan terhambatnya rehabilatasi korban pelanggaran HAM. Oleh karena itu, Muktamar merekomendasikan agar pemerintah segera merehabilitasi hak-hak korban pelanggaran HAM termasuk 1 hak komunitas adat dalam ekplorasi sumber daya alam, korban lumpur Lapindo, korban kejahatan HAM masa lalu dan korban sengketa tanah dan agraria. 2. Carut marut sistem penegakan hukum dan peradilan di Indonesia semakin jelas dengan banyaknya praktik maia peradilan. Maia ini adalah jaringan kerjasama dalam memperdagangkan perkara hukum antara oknum aparat penegak hukum dan pihak di luar peradilan, yang sebenarnya sudah menjadi persoalan hukum sejak sekitar 30 tahun yang lalu. Berkat “jasa” mereka tidak sedikit pelanggar hukum yang justru terbebas dari jeratan hukum, sedangkan rakyat kecil yang melakukan pelanggaran kecil saja dijebloskan ke dalam penjara. Ketidakadilan dalam penegakan hukum terjadi karena moralitas aparat penegak hukum yang mudah goyah oleh praktik suap. Jika dibiarkan terus praktik maia peradilan ini di satu sisi makin mengikis kepercayaan masyarakat dan di sisi lain akan semakin menghancurkan kredibilitas dan kewibawaan lembaga peradilan. Oleh karena itu, Muktamar merekomendasikan agar pemerintah mengerahkan segala daya upaya untuk memberantas maia peradilan dan budaya korup di kalangan aparat penegak hukum yang selama ini memperlemah penegakan hukum di negeri ini. Sejalan dengan hal ini, Satuan Tugas Pemberantasan Maia Hukum hendaknya tidak hanya diberi wewenang ad hoc tetapi harus menjalankan tugasnya secara sistemik. 3. Masih lemahnya birokrasi dan hukum serta besarnya orientasi kekuasaan pada pihak-pihak yang sedang memegang kekuasaan, baik lingkungan eksekutif, legislatif maupun yudikatif, di negeri ini memberi celah terhadap praktik korupsi. Sementara itu, tidak tegasnya aparat penegakkan hukum dalam menjerat pelaku korupsi semakin memberi angin segar kepada para koruptor. Oleh karena itu, Muktamar merekomendasikan agar negara memperkuat sistem kelembagaan dan kewenangan penanganan korupsi secara mandiri tetapi tetap kordinatif, seperti kemandirian KPK dan pengadilan tipikor, kejaksaan dan kehakiman, sehingga mereka bisa independent dari kekuasaan.