Banjir Di Kota Medan: Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An

(1)

BANJIR DI KOTA MEDAN : SUATU TINJAUAN HISTORIS 1971-1990-an

SKRIPSI SARJANA

Dikerjakan

O l e h

NAMA : Piolina NIM : 040706025

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

BANJIR DI KOTA MEDAN : SUATU TINJAUAN HISTORIS 1971-1990-an

SKRIPSI SARJANA OLEH

NAMA : Piolina NIM : 040706025

Pembimbing,

Dra. Nina Karina, M.SP NIP. 131 460 525

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Lembar Persetujuan Ujian Skripsi

BANJIR DI KOTA MEDAN : SUATU TINJAUAN HISTORIS 1971-1990-an Yang diajukan oleh :

NAMA : Piolina NIM : 040706025

Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh : Pembimbing,

Dra. Nina Karina, M.SP tanggal………. NIP. 131 460 525

Ketua Departemen Sejarah,

Dra. Fitriaty Harahap, SU tanggal………. NIP. 131 284 309

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi

BANJIR DI KOTA MEDAN : SUATU TINJAUAN HISTORIS 1971-1990-an SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN O

l e h

NAMA : Piolina NIM : 040706025 Pembimbing,

Dra. Nina Karina, M.SP NIP. 131 460 525

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Sastra USU Medan, Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra

Dalam bidang Ilmu Sejarah

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(5)

Lembar Persetujuan Ketua Jurusan

DISETUJUI OLEH :

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN SEJARAH

Ketua Departemen,

Dra. Fitriaty Harahap, SU NIP. 131 284 309


(6)

Lembar pengesahan skripsi oleh Dekan dan Panitia Ujian

Diterima oleh.

Panitia Ujian Fakultas Sastra Uneversitas Sumatera Utara Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra Dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Sastra USU Medan.

Pada : Hari : Tanggal :

Fakultas Sastra USU Dekan

Drs. Syaifuddin, M.A,. Ph.D Nip 132 098 531

Panitia Ujian.

No. Nama Tanda Tangan

1. ………. (……….) 2. ………. (……….) 3. ………... (……….) 4. ………. (……….) 5. ………. (……….)


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala kasih saying dan karunia-Nya yang tiada tara sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis banyak mendapat bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Ibu Dra. Nina Karina, M. SP sebagai pembimbing dalam penulisan skripsi ini yang telah begitu banyak memberikan dorongan, semangat, dan telah meluangkan waktu untuk membimbing penulis.

2. Bapak Pimpinan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, penulis tak lupa mengucapkan terima kasih atas segala bantuan yang diberikan selama mengikuti perkuliahan.

3. Ibu Dra. Fitriaty Harahap S.U, selaku Pimpinan Departeman Sejarah yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis selama dalam perkuliahan. 4. Ibu Dra. Nurhabsyah M.Si, selaku Sekretaris Departemen Sejarah yang telah

banyak memberikan bantuan kepada penulis baik selama dalam perkuliahan maupun dalam penyusunan skripsi ini.

5. Seluruh Dosen, Staf Pengajar, Staf Administrasi pendidikan Departemen Sejarah yang telah banyak membantu penulis dari mulai masa perkuliahan hingga dalam penyelesaian skripsi ini. Terkhusus penulis ucapkan kepada Bapak Edi Sumarno yang telah memberikan masukan-masukan kepada penulis. Semoga Allah SWT yang akan membalas semua kebaikan yang telah diberikan kepada penulis amin.

6. Ibu Dra. Penina Simanjuntak, MS., selaku Dosen Wali yang telah banyak memberikan nasehat-nasehat kepada penulis mulai dari awal perkuliahan


(8)

hingga penyusunan skripsi ini. Semua nasehat yang ibu berikan akan selalu penulis ingat.

7. Ayahanda Herman Tony Lopumeten dan Ibunda Diana Ketaren yang tercinta dan tersayang yang telah membasarkan, mendidik dan menyekolahkan Ananda serta tidak henti-hentinya memberikan do’a dan dukungannya kepada Ananda selama dalam mengikuti perkuliahan. Segala bentuk nasehat dan petuah yang Ayahanda dan Ibunda berikan senantiasa akan selalu Ananda ingat. Tak mungkin Ananda dapat membalas semua pengorbanan yang Ayahanda dan Ibunda berikan, hanya Allah SWT yang dapat membalasnya. Terakhir Ananda hanya dapat memanjatkan do’a kepada Allah SWT agar Ayahanda dan Ibunda selalu mendapat lidunganNYA amin.

8. Kakakku Melony Juwita S.Pt., dan Abang Iparku Heru Sumantri S.Pt., yang telah memberikan anjuran-anjuran dan saran-saran sehingga adikmu ini bisa menamatkan sarjana mengikuti jejak kalian. Serta adik kecilku Giza Aura dengan senyum manismu yang selalu bisa membuat kakak semakin semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Abang, Kakak senior dan alumni serta Adik-adik sejurusan terima kasih atas dukungan yang kalian berikan. Sahabat-sahabat ku Stambuk 04 terkhusus kepada Ains, Debby, Dence, Wardicha, Oriza, Debbi dan Iche serta bang Cipleks 03 yang telah banyak memberikan dukungan kepada penulis. Semoga Tuhan YME memberikan ganjaran yang setimpal atas semua kebaikan yang telah diberikan.

10. Ija’s Familiy, Ibu’ Ijah dan Icha, terima kasih atas dukungan moril dan materi yang telah diberikan, tak mungkin penulis dapat membelas semua kebaikan yang telah diberikan, semoga Allah SWT memberikan ganjaran yang berlipat ganda atas semua kebaikan yang telah diberikan amin.


(9)

Akhirnya untuk semua pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan beribu ucapan terima kasih. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah diberikan dengan ganjaran yang berlipat ganda.

Medan, Maret 2009. Penulis,


(10)

DAFTAR ISI

Halaman Halaman Pengesahan

Kata Pengantar………... i

Daftar Isi………..……… iii

Abstrak………. v

Daftar Tabel………. vi

Daftar Lampiran………. vii

BAB I PENDAHULUAN……… 1

BAB II GAMBARAN UMUM KOTA MEDAN……….. 15

2.1. Sejarah Berdirinya Kampung Medan……… 16

2.2 Perkembangan Kota Medan Melalui Pertumbuhannya….... 19

2.3 Kota Medan Menjadi Gemeentee 1918……… 23

2.4 Fluktuasi Banjir di Kota Medan ………..…… 28

BAB III SEJARAH TERJADINYA BANJIR DI KOTA MEDAN 1970-1990………..………... 32

3.1 Peran Serta Pemerintah dan Masyarakat Terhadap Pemeliharaan Drainase………..…….... 32

3.1.1 Defenisi Banjir………..……….. 32

3.1.2 Debit Banjir………..……….. 34

3.1.3 Defenisi Sungai………..………. 34

3.1.4 Kondisi drainase………..………... 36

3.1.5 Penanganan drainase………..…………... 40

3.2 Perubahan Tata Guna Lahan Terhadap Debit Aliran……… 44

3.3 Manajemen Tata Air Kota Medan………..…... 53


(11)

3.5 Urbanisasi dan Aspek Sifat-sifat Wilayah Perkotaan………... 57

BAB IV DAMPAK DAN PENANGGULANGAN BANJIR DI KOTA MEDAN………..……….... 60

4.1 Kerugian yang Diderita………..……….. 60

4.2 Kerusakan Lingkungan………..………. 61

4.3 Perencanaan Wilayah Sungai Deli Terpadu dan Menyeluruh………..………... 63

4.3.1 Konsep Pengelolaan DAS Terpadu……… 63

4.4 Pembiayaan Dana Operasi dan Pemeliharaan……….. 68

4.5 Peran Serta Masyarakat dan Pemerintah Kota Medan ………... 69

4.6 Pembentukan Lembaga dan Dewan Kota………... 70

BAB V PENUTUP………..………..…………... 73

5.1. Kesimpulan………..………..……... 73

5.2. Saran………..………..………. 74


(12)

Abstrak

Sebagai kota yang memiliki masa kejayaan pada masa lalu, kota Medan telah tumbuh dan berkembang menjadi kota yang sangat besar dan menjanjikan bagi siapapin yang berani mempertaruhkan kemampuan dan mengadu nasib di kota terbuka ini (opened city), namun apbila sebuah kota tidak ditunjang dengan saranan dan prasarana, maka penduduknya pun bias dikatakan masih berada di bawah standar dari kehidupan perkotaan. Misalnya saja, drainase yang sangat berperan mengentaskan masalah banjir baik pada masa Belanda hingga saat ini masalah drainase menjadi masalah yang pelik dan sulit direalisasikan. Akibatnya sering terjadi kebanjiran dan genagan-genangan yang menyebabkan penduduk merasa tidak nyaman dan tidak aman untuk melanjankan kehidupannya di kota Medan. Prasarana kota berfungsi untuk mendistribusikan sumber daya perkotaan dan merupakan pelayanan mendasar bagi masyarakat kota. Sejalan dengan fungsi ini, kualitas dan efisiensi dari prasarana ini akan menjaga kesehatan dari sistem sosial kota, menjamin kelangsungan perekonomian dan aktivitas bisnis dan menentukan kualitas hidup masyarakat kota. Kekuatan ekonomi suatu kota dapat dilihat dari kondisi prasarana kotanya. Maka dari itu, drainase yang terpadu dan penaggulangan masalah banjir secara integrated memungkinkan dapat menjadi pemecahan masalah banjir serta ditunjangnya pelaksanaan pemanfaatan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan tidak hanya berpegang pada sungai induk saja dalam hal ini sungai Deli. Genangan air menimbulkan berbagai kerugian bagi masyarakat kota. Sumber daya yang ada dalam penanganan drainase kota meliputi informasi pengelolaan, institusi pengelola, keterlibatan masyarakat, pendanaan dan peraturan adalah terbatas sehingga perlu dikelola dengan manajemen yang lebih baik, terpadu dan berkelanjutan. Sejarah banjir di kota Medan yang dibahas di dalam skripsi ini bukanlah hanya berpatok pada peristiwa banjir pada satu periode saja, namun dari berbagai kasus dan ditinjau dari berbagai aspek sehingga penelusuran sejarah lingkungan ini dapat memberikan kesimpulan yang mana pada akhirnya dapat membantu berbagai elemen untuk mengatasi masalah yang apabila diperhitungkan secara materi meninggalkan banyak kerugian bagi pemerintah maupun penduduk kota Medan. Sejarah banjir di kota Medan dimulai sejarah peristiwa-peristiwa banjir yang pernah terjadi di kota Medan pada masa Medan masih menjadi gemeentee kemudian dilanjutkan pada awal tahun 1970 dimana perkembangan kota yang begitu pesatnya membawa pengaruh yang cukup besar dalam menimbulkan tingkat fluktuasi banjir di kota Medan.


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Perkembangan Jumlah Penduduk di Kampung Medan

Hingga Menjadi Kota Medan dari Tahun 1823-1965………. 18

2. Data Penggunaan Lahan pada DAS Deli………. 47

3. Isu Dan Permasalahan Di Metropolitan Mebidang... 53

4. Profil DAS Deli……….... 63


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

Daftar Informan……… 80

Daftar Gambar 1. Suasana ketika terjadi banjir di jalan Gatot Subroto km. 8,5……… 81

2. Medan Flood Control Project 1990……… 81

3. Suasana banjir Jln. Asia Medan 1980……… 82

4. Banjir membuat masyarakat kesulitan keluar rumah………. 82

5. Tepian Sungai Deli. Jembatan Helevetia. Medan………. 83

6. Medan Flood Control 1990………. 83

7. Banjir di Kelurahan Aur………. 84

8. Sungai Deli 84 9. Menara Ayer Bersih……….. 85

10. Enterpreuner Kota Medan Tjong A Fie bersama Staf Deli Bank….. 85

11. Perkembangan Kota Medan awal abad ke-20……….. 86


(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Negara yang besar adalah Negara yang menghargai jati diri bangsanya dan jati diri sebuah bangsa hanya dapat dibuktikan melalui observasi perjalanan empunya yaitu sejarahnya. Oleh karena itu, dimanapun kita berpijak pada salah satu sudut dunia ini, tidak membutuhkan banyak waktu untuk menemukan jejak-jejak peninggalan berharga berupa perbuatan manusia di masa lalu. Dan sebuah peristiwa temporal yang menghebohkan umat manusia tidak akan mudah terlupakan begitu saja karena manusia memiliki hasrat untuk membuktikan kemampuannya, melalui peristiwa tersebut agar terus menerus diingat dan dikenang dari masa ke masa. Karena kebesaran masa lalu adalah sumber inspirasi bagi sebuah bangsa, dimanifestasi secara fenomental dalam pembangunan sebuah kota. Begitu pula sejarah perkotaan, sejarah perkotaan belum banyak mendapat perhatian dari kalangan sejarawan akademis.1

Seperti yang terjadi pada Negara-negara berkembang maka penduduk di daerah perkotaan di Indonesia sejak decade 1950 cenderung meningkat. Antara tahun 1950-1960 laju pertumbuhan penduduk di Indonesia 3 % per tahun kemudian pada tahun 1961-1970 meningkat menjadi 3,6 % per tahun dan pada dasawarsa 1971-1981 mencapai angka sekitar


(16)

5 %.2 Namun, yang kemudian selalu menjadi persoalan adalah pengendalian pertumbuhan dan perkembangan kota itu yang harus diseimbangkan dengan daya dukung lingkungannya.3

Perkembangan dan kemajuan kota diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk dan sebagai konsekuensinya perkembangan kegiatan usaha ekonomi maupun social dari peningkatan penduduk. Beberapa hal yang menjadi daya pikat kota antara lain pertumbuhan ekonomi, perluasan tenaga kerja serta fasilitas infrastruktur kota itu sendiri atau wilayah sekitarnya. Ketika daya dukung kota terlampuai maka timbul berbagai macam permasalahan seperti meningkatnya kebutuhan akan fasilitas infrastruktur. Akibatnya perubahan tata guna lahan berdampak negative kepada kota itu sendiri terutama menurunnya tingkat kenyamanan akibat terbatasnya areal tanah yang ada. Secara lebih khusus perubahan tersebut berdampak pada banjir dan genangan yang cenderung meningkat dari waktu ke waktu.4

Kota-kota besar di Indonesia mengalami peningkatan populasi mausia karena daya pikat yang merangsang manusia berpindah dari desa ke kota. Lahan-lahan yang sebelumnya untuk daerah suaka alam sehingga menjaga keseimbangan, diambil alih untuk pemukiman, industri dan lainnya. Namun, dampaknya dapat kita rasakan sangat besar, seperti banyak

2

Kodoatie, Robert J dan Sugiayanto, Banjijr, Beberapa Penyebab dan Metode Pengendaliannya

Dalam Perspektif Lingkungan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002., hlm. 1

3

ibid, hlm. 3 4


(17)

kekacauan medis dan sebab-sebab kematian lainnya dan ketidakmampuan, berkaitan dengan urbanisasi.5

5

McNaughton., Wolf, Larry C, Ekologi Umum (terj) Sunaryo Pringsoseputro da Srigandono,

Meskipun begitu, letak geografis juga sangat mempengaruhi keadaan lingkungan suatu daerah. Factor ini menyebabkan keuntungan dan kerugian bagi penduduk yang bertempat tinggal pada daerah tersebut. Salah satunya yang banyak merugikan manusia saat ini adalah bencana banjir yang secara matematis tidak dapat terelakkan.

Masalah banjir di kota Medan agaknya tidak terlepas dari kondisi geografis kota ini yang memang dilalui sejumlah sungai besar dan sungai kecil beserta beberapa anak sungai lainnya. Sungai besar yang membelah kota Medan, adalah sungai Belawan, sungai Deli, sungai Percut dan sungai Kera serta sungai Babura.

Sebagaimana kita ketahui, kota Medan adalah sebuah kota yang kecepatan laju perekonomian dan aspek sosailnya lainnya tergolong sangat pesat. Dimulai dari didirikannya sebuah kampung kecil oleh seorang petinggi bangsawan Karo, hingga kota ini berubah menjadi sebuah kota praja, pusat pemerintahan, perekonomian, pendidikan dan lain sebagainya. Dengan adanya perkembangan tersebut, menyebabkan minat sangat besar dari penduduk sekitar kota Medan untuk hijrah dan melakukan urbanisasi yang sangat besar jumlahnya sehingga menjadi perhatian utama pemerintah kota Medan. Oleh karena itu, pemerintah kota Medan berupaya untuk mengentaskan masalah ini melalui pemekaran wilayah kota Medan yang disetujui oleh Gubernur Propinsi Sumatera Utara.


(18)

Sejarahnya, sejak tahun 1918 Medan telah berupa kotapraja kecuali kota Maksum dan daerah sungai Kera yang berada di bawah kekuasaan Kesultanan Deli. Ketika itu penduduknya berjumlah 43.826 orang yang terbagi ke dalam bangsa Eropa sebanyak 409 orang, bangsa Pribumi sebanyak 25.000 orang bangsa Cina sebanyak 8.269 orang dan bangsa lainnya sebanyak 130 orang. Kemudian melalui Keputusan Gubernur Propinsi Sumatera Utara no. 66/III/PSU menyatakan bahwa mulai tangga 21 September 1951 kota Medan diperluas hingga tiga kali lipat. Disusul Maklumat Walikota no.21 tanggal 29 Sepetember 1951, luas teritorialnya menjadi 5.130 ha dengan 4 kecamatan yaitu Kecamatan Medan, Kecamatan Medan Timur, Kecamatan Medan Barat, dan Kecamatan Baru. Melalui UU Darurat no.7 dan 8 tahun 1956 Propinsi Daerah Tingkat II dibagi menjadi Kabupaten Deli Serdang dan Kotamadya Medan. Melalui Peraturan Pemerintah no. 22 tahun 1973, pemerintah memasukkan sebagian wilayah Kabupaten Deli Serdang ke kotamadya Medan sehingga daerah ini memiliki luas 26.540 ha yang terdiri dari 11 kecamatan dan 116 kelurahan. Kemudian, melalui Surat Persetujuan Menteri Dalam Negeri no.140/2271/PUOD pada tanggal 5 Mei 1986, jumlah kelurahan ditambah menjadi 144 dari 11 kecamatan. Selanjutnya melalui Peraturan Pemerintah RI no. 59 tahun 1991 tentang pembentukan kecamatan termasuk dan kecamatan pemekaran di kotamadya Daerah Tingkat II Medan sehingga dari 11 kecamatan diubah menjadi 19 kecamatan dan melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no. 49 tahun 1991 tentang pembentukan bberapa


(19)

kecamatan di Sumatera Utara termasuk dua kecamatan pemekaran di kotamadya Daerah Tingkat II Medan, sehingga dari 19 kecamatan menjadi 21 kecamatan yaitu :

1. Kecamatan Medan Kota : 26 kelurahan

2. Kecamatan Medan Timur : 18 kelurahan

3. Kecamatan Medan Barat : 13 kelurahan

4. Kecamatan Medan Baru : 18 kelurahan

5. Kecamatan Medan Deli : 6 kelurahan

6. Kecamatan Medan Labuhan : 7 kelurahan

7. Kecamatan Medan Johor : 11 kelurahan

8. Kecamatan Medan Sunggal : 14 kelurahan 9. Kecamatan Medan Tuntungan : 11 kelurahan

10.Kecamatan Medan Denai : 14 kelurahan

11.Kecamatan Medan Belawan : 6 kelurahan 12.Kecamatan Medan Amplas : 8 kelurahan 13.Kecamatan Medan Tembung : 7 kelurahan

14.Kecamatan Medan Area : 12 kelurahan

15.Kecamatan Medan Polonia : 5 kelurahan 16.Kecamatan Medan Maimun : 6 kelurahan 17.Kecamatan Medan Selayang : 6 kelurahan 18.Kecamatan Medan Helvetia : 7 kelurahan


(20)

19.Kecamatan Medan Petisah : 7 kelurahan 20.Kecamatan Medan Marelan : 4 kelurahan 21.Kecamatan Medan Perjuangan : 9 kelurahan6

Akibat adanya pemekaran wilayah yang dilakukan beberapa kali oleh pemerintah kotamadya Medan, hasil statistic jumlah penduduk kota Medan menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat yaitu : interval jumlah penduduk pada tahun 1971-1980 sebesar 635.562 – 1.378.9557, serta persentase pertumbuhan penduduk pada tahun 1961-1971 yang berada pada level 2,90 % pada tahun 1971-1980 naik hingga 3,58 % dan angka ini semakin bertambah.8

Masalah pengrusakan lingkungan dengan salah satu dampaknya adalah banjir di kota Medan, yang telah berlangsung dari tahun ke tahun dan hasilnya kesengsaraan bagi Maka dari itu, apabila kita berbicara mengenai masalah urbanisasi yang dikaitkan dengan dampak lingkungan hidup fisik, dan social kota, maka kita tidak dapat mrlepaskan diri dari pengaruh perkembangan kota, kemajuna industri, teknologi dan pembangunan. Akibat dari perkembangan dan pembangunan dapat menimbulkan berbagai jenis dampak lingkungan hidup baik yang positif maupun yang negative. Dampak ini bagi lingkungan kota yang bersifat negative dapat timbul di berbagai kota di dunia dan terutama di Negara berkembnag, termasuk kota-kota di Indoneia.

6

Badan Pusat Statistik Medan Dalam Angka Thaun 1999., hlm xiii-xvi 7

Kantor Statistik Propinsi Sumatera Utara dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Tingkat II *ropinsi Sumatera Utara, Sumut Dalam Angka 1988, hlm. 42

8


(21)

masyarakat dan pemandangan yang tidak lagi indah dari suatu kota dan tentu saja hal ini menyebabkan kota cenderung terkesan kumuh. Menurut Badan Pusat Statistik kotamadya Medan, banjir pada tahun 1987 terjadi sebanyak 11 kali begitu pula pada tahun 1988, sedangkan pada tahun 1989-1990 masing-masing pernah mengalami banjir sebanyak 1-2 kali. Kerugian akibat bencana alam ini terhitung hingga ratusan juta rupiah yaitu sekitar Rp. 428.000.000 pada tahun 1986-1990. Jumlah yang tidak sedikit pada kurun waktu tersebut.9

9

Kantor Badan Pusat Statistik kotamadya Medan, Kotamadya Medan Dalam Angka Tahun 1991,

Persoalan banjir di kota Medan ternyata kini sudah menjadi penyakit kronis dan jadi tradisi tahunan. Sebenarnya berbagai upaya telah dilakukan, dan tidak terhitung berapa dana yang telah tercurahkan di berbagai proyek penanganan banjir kota ini. Selama sepuluh tahun terakhir saja upaya penanangan banjir sudah menghabiskan sedikitnya Rp. 300 miliar. Namun, kenyataaannya dana tersebut seperti air di padang pasir, seluruh uang rakyat itu habis entah ke mana, sementara banjir terus menjadi kegelisahan bagi masyarakat kota Medan.

Namun, sampai sekarang banjir masih saja menghantui 2,1 juta jiwa masyarakat kota Medan. Ini karena banjir kini tidak bergantung jika hujan turun di hulu sungai Deli saja, hujan di kota Medan pun bisa menyebabkan orang Medan bermasalah dengan genangan-genangan air di mana-mana. Begitu pula sejumlah kawasan permukiman padat penduduk yang menjadi langganan rendaman banjir, terutama kalau hujan deras mengguyur di bagian hulu sungai-sungai yang melintasi kota Medan.


(22)

Untuk menuntaskan banjir, pihak pemerintah kota Medan pernah memakai jasa tim konsultas dari Belanda untuk menemukan jalan keluar untuk air yang selama ini membanjiri kota Medan. Dari penelitian tersebut, antara lain diidentifikasi masalah sedimentasi atas drainase serta kecenderungan warga masyarakat yang selalu terbiasa membuang sampah ke sungai dan parit, hingga menyebabkan banjir selalu terjadi di Medan.

Saat ini langkah darurat pemerintah kota Medan dalam menangani banjir, yaitu dengan menggiatkan program pembersihan drainase di lokasi rawan banjir. Selanjutnya, Dinas Pekerjaan Umum Medan juga terus melancarkan pemetaan lokasi genagan air setiap musim hujan untuk persiapan darurat jika hujan lebat melanda kota Medan. Tidak menampik bahwa beralihfungsinya daerah resapan menjadi permukiman juga turut menambah kuantitas banjir di kota Medan. Selain itu, pertumbuhan penduduk di sepanjang bantaran sungai yang juga berpotensi menimbulkan penyempitan sungai. Sebagai perbandingan, masyarakat kota Mdna harus mengambil pelajaran dari bencana banjir yang terjadi di ibukota Jakarta dan juga di daerahnya sendiri yang disebabkan hilangnya daerah resapan air karena terlalu banyak digunakan untukmembangun perumahan atau pertokoan.

Belajar dari peristiwa di Jakarta, maka warga kota Medan harus dapat mewaspadai wilayah selatannya antara lain kawasan Sembahe, Pancur Batu, Namu Rambe, dan Deli Tua sebagai wilayah perbukitan yang merupakan kawasan resapan air. Jangan sampai kondisinya semakin parah akibat eksploitasi. Fungsi resapan air daerah itu dinilai mulai


(23)

dialihkan menjadi komplek perumahan serta pembangunan villa dan bungalow. Hal ini sangat berbahaya karena dapat mengancam daerah di bawahnya dari serangan banjir sewaktu-waktu. Dari uraian-uraian ini jelaslah bahwa perubahan unsure-unsur lingkungan dapat menjadi salah satu factor penyhebab terjadinyha bencana banjir.

1.2 Rumusan Masalah

Permasalahan yang akan dibahas di dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana peristiwa banjir di kota Medan dan letak permasalahannya yang

menyebabkan dammpak langsung dan tidak langsung pada masyarakat kota.

2. Bagaimana penganggulangan bencana banjir yng diupayakan oleh pemerintah dan peran serta masyarakat kota Medan beserta swasta yang terkait.

1.3 Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini memiliki tujuan dan manfaat yang penting tentunya, bukan hanya bagi peneliti tetapi juga bagi masyarakat umum.

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Untuk mengetahui bagaimana peristiwa banjir di kota Medan dan letak

permasalahannya yang menyebabkan dampak langsung dan tidak langsung pada masyarakat kota Medan.


(24)

2. Untuk mengetahui bagaimana penganggulangan bencana banjir yng diupayakan oleh pemerintah dan peran serta masyarakat kota Medan beserta swasta yang terkait. Manfaat dari penelitian ini, yaitu:

1. Sebagai tambahan referensi bagi masyarakat umum dalam mengetahui sejarah bencana banjir di kota Medan agar selurh jajaran masyarakat dan pemerintah kota sadar akan lingkungannya yang dapat menyebabkan banjir.

2. Menambah inventarisasi sumber sejarah lokal umumnya di daerah Propinsi Sumatera Utara dan khususnya bagi masyarakat kota Medan dan sekitarnya.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian di dalam penelitian ini berkisar pada tahun 1971-1990. awal penelitian dimulai pada tahun 1970-an karena penulis menganggap pada kisaran tahun 1970-an kotamadya Medan mengalami pemekaran wilayah untuk pertama kalinya sehingga hal ini diyakini sebagai tindakan awal untuk memperhitungkan masalah urbanisasi di kota Medan. kemudian, penelitian akan diakhiri pada tahun 1990 yang menampakkan perbandingan yang cukup besar mengenai bencana banjir yang terjadi di kota Medan. jika kurangnya intensitas bencna banjir pada akhir tahun 1990-an, maka penelitian yang menyangkut campur tangan pemerintah dan masyarakat kota Medan patut diadakan.

Kerangka pemikiran yang digunakan adalah pemikiran mengenai amnesia sejarah


(25)

disaster) berulang terjadi setiap tahun, serta ttidak adanya upaya penangan bencana ini

secara permanen, maka kondisi ini adalah sebuah pertanda terjadinya amnesia sejarah

bencana di dalam memori kolektif masyarakat. Banjir sebagai sebuah amnesia sejarah bisa

diartikan sebagai sebuah kondisi dimana masyarakat kita secara personal maupun kolektif menjadi kehilangan ingatannya tentang bencana banjir ketika bencana itu berlalu. Dalam kondisi ini, semua pihak akan ribut dan saling menyalahkan ketika bencana banjir terjadi. Namun, kita segera melupakannya ketika bencana banjir itu bencana banjir itu berlalu. Demikian seterusnya kondisi ini terjadi berulang-ulang dari tahun ke tahun.

Kondisi amnesia sejarah yang terulang ini sebenarnya sangat bebahay kalau tidak ditanggulangi. Ketika kesadaran kolektif masyarakat tentang bencana hilang, maka masyarakat secara sadar maupun tidak sadar akan membenarkan klaim pemerintah bahawa banjir adalah bencana alam, yang lama kelamaan masyarakat kita menjadi terbiasa akan keadaan ini. Di sis lain, kesadaran palsu (false conciousness) masyarakat yang disebabkan oleh adanya amnesia ini sangat menggemberikan pihak yang selama ini menikmati keuntungan dari eksploitasi hutan yang menjadi penyebab utama terjadinya banjir bandang, seperti pengusaha dan pemerintah yang gagal dalam menangani banjir secara permanen.

Permasalahan banjir sebenarnya adalah permasalahan dampak banjir terhadap manusia. Fenomena banjir sebenarnya fenomena alamiah di dataran banjir. Namun banjir menjadi masalah ketika aktivitas manusia berada di daerah rawan banjir, sehingga banjir akan menganggu manusia. Permasalahan perilaku manusia yang menyebabkan banjir


(26)

seperti pembuangan sampah hanalah secuil dari permasalahan yang menyebabkan banjir. Penyebab banjir yang utama tentunya curah hujan yang berlebih sehingga menyebabkan tingginya debit air sungai. Permsalahan banjir terbesar adalah penggunaan lahan di daerah rentan banjir (flood plain) oleh manusia, sehingga manusia menerima dampak banjir.

1.5 Tinjauan Pustaka

Di dalam penelitian ini penulis menggunakan buku yang berkaitan tentang masalah perkotaan di Indonesia umumnya dan khususnya mengenai masalah banjir di kota Medan pada kisaran tahun 1970-1990 diantaranya :

Buku yang ditulis oleh Kodoatie, Robert J dan Sugiyanto, Banjir, Beberapa

Penyebab dan Metode Pengendaliannya Dalam Perspektif Lingkungan, Yogyakarta :

Pustaka Pelajar, 2002. secara umum berisi tentang masalah banjir, penyebab dan penanggulangannya dikaitkan pada perspektif lingkungan. Di dalmnya juga terdapat pembahasan mengenai dampak banjir terhadap suatu lapisan masyarakat meskipun hanya membahas pada dimensi waktu kekinian sehingga buku ini dapat dikatakan hanya berorientasi pada unitemporal dan bukannya multitemporal walaupun menggunakan

multidimensional.

Efendi, Said, Strategi Pembangunan Menuju Kota Medan Bestari, Medan : Yayasan Pola Pembangunan Daerah, 1997. di dalam buku ini kta dapat mengetahui berbagai strategi pembangunan kota Medna yang dilakukan pemerintah kota Medan, salah satunya adalah


(27)

strategi Bestari (Bersih, Sehat, Rapi, dan Indah) seta strategi pemanfaatan potensi kota

peripheral (kota satelit yang mengelilingi kota induk) yang memuatkan kota Medan

sebagai kota inti dengan nama Mebidang (Medan, Binjai, Deli Serdang).

Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1994. Buku ini merupakan langkah awal penulus dalam pencarian ide-ide dan pemikiran mengenai sejarah perkotaan.

Colombijn, Freek., Darwegen, Martine., Baskoro, Purmawan., Khusyaini, Jhony Alfian (ed)., Kota Lama Kota Baru, Sejarah Kota-kota di Indonesia, Yogyakarta : Ombak, 2005. Di dalam buku ini terdapat banyak informasi mengenai berbagai sejarah perkotaan di Indonesia yang ditulis oleh penulis dari dalam negeri dan penulis asing.

Selain itu, penulis juga menggunakan literatur-literaur mengenai proyek Metropolitan Medan Urban Development Project (MMUDP) yang berkaitan dalam menjawab permasalahan tentang kebijakan pemerintah untuk menanggulangi bencana banjir. Pada tahun 1998, Asian Development Bank (ADB) memberikan bantuan kepada pemerintah Republik Indonesia dengan nilai sekitar 116 juta dollar AS melalui Metropolitan Medan Urban Development Project (MMUDP). Pemerintah pusat sendiri dan pemerintah propinsi (pemprop) Sumatera Utara diwajibkan menyediakan 82,2 juta dollar AS untuk proyek tersebut sehingga total nilai proyek 198,2 juta dollar AS atau sekitar 1,68 triliun.


(28)

Pembangunan ini menitikberatkan pada pengembangan infrastruktur permukiman yang terbagi ke dalam dua sektor, yaitu drainase dan banjir kota. Seluruh pengerjaan diprioritaskan pada pengoptimalan kembali Daerah Aliran Sungai (DAS) yang sering menyempit oleh maraknya bangunan liar. Setelah itu, baru dilanjutkan dengan normalisasi saluran air yang berada di kawasan kota. Namun, dari data yang diperoleh meski proyek penanggulangan banjir dengan dana miliaran rupiah sudah ada namun banjir akibat hujan tetap terlihat hampir di setiap sudut kota. Ironisnya, ruas jalan protokol yang berada di pusat kota pun tak luput dari genangan air.

1.6 Metode Penelitan

Penulisan sejarah merupakan suatu karya ilmiah yang memerlukan adanya suatu metode untuk menghasilkan suatu tulisan sejarah. Metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dari peninggalan masa lalu10. Metode berupa aturan-aturan yang dirancang untuk membantu dengan efektif dalam mendapatkan kebenaran dari suatu peristiwa sejarah. Metode sejarah bersifat ilmiah jika dengan ilmiah dimaksudkan mampu untuk menentukan fakta yang dapat dibuktikan dengan fakta, maka diperoleh hasil pemeriksaan yang kritis terhadap dokumen sejarah dan bukan suatu unsur daripada aktualitas yang lampau11

10

Louis Gottscalk, Mengerti Sejarah, terjemahan Nugroho Notosusanto dari judul

Understanding History, Jakarta: UI Press, 1985, hal. 32.

11

Ibid, hal. 143.


(29)

Tahap pertama dari penelitian ini adalah tahap heuristik yaitu: mengumpulkan literatur termasuk bahan-bahan keterangan berkenaan dengan penelitian, data atau laporan juga sebagai referensi digunakan situs internet dan wawancara dengan informan-informan yang telah dipilih untuk mendapatkan keterangan lebih lengkap dan mendalam. Dengan demikian penulisan skripsi ini dilakukan melalui studi kepustakaan dan penelitian lapangan.

Dari data atau sumber yang terkumpul dilakukan kritik terhadap sumber agar menjadi sumber yang dipilih. Langkah ini disebut kritik sumber, baik kritik intern maupun kritik ekstern. Kemudian langkah berikutnya adalah interpretasi, yaitu menafsirkan sumber-sumber yang terkumpul agar menjadi fakta yang valid. Langkah yang terakhir adalah historiografi, yaitu penulisan secara sistematis dan kronologis.

Metode sejarah digunakan oleh penulis dengan tahapan-tahapan seperti disebutkan di atas untuk menghasilkan tulisan bersifat ilmiah.


(30)

BAB II

GAMBARAN UMUM KOTA MEDAN

Medan merupakan ibukota Provinsi Sumatera Utara dengan letak wilayah pada posisi 30.30’ LU-30.48’ LU dan 980.39’BT-980.47’36”BT dengan ketinggian 0-40 meter di atas permukaan laut. Suhu kota Medan pada pagi hari berkisar 23,70 ºC-25,10 ºC, siang berkisar 29,20 ºC-32,90 ºC, dan pada malam hari berkisar 26 ºC-30,8 ºC. sedangkan kelembaban udara berkisar antara 68 % sampai 93 %.


(31)

Posisi dan letak kota Medan berada di dataran pantai Timur Sumatera, persis di antara Selat Malaka dan jajaran pegunungan yang membujur dari Barat Daya sampai wilayah tenggara Pulau Sumatera menjadikan kota Medan daerah yang strategis baik untuk menjalankan roda perekonomian hingga pusat kebudayaan, Medan adalah tempat yang selalu terbuka bagi siapa saja yang memiliki kompeten dan kemampuan bertahan hidup sebagai orang kota. Topografinya miring ke utara dan berada pada ketinggian 0-40 meter di atas permukaan laut dengan kelembaban dan curah hujan yang relatif tinggi. Mengenai curah hujan di Tanah Deli, Medan dapat digolongkan dua macam yakni : Maksima Utama yang berarti bagi waktu yang lebih banyak mendapat curah hujan dan Maksima Tambahan yang berarti bagi waktu yang mendapat lebih sedikit curah hujan. Maksima Utama terjadi pada bulan-bulan Oktober s/d bulan Desember sedang Maksima Tambahan antara bulan Januari s/d September. Secara rinci curah hujan di Medan rata-rata 2000 pertahun dengan intensitas rata-rata 4,4 mm/jam.

Secara keseluruhan jenis tanah di wilayah Deli terdiri dari tanah liat, tanah pasir, tanah campuran, tanah hitam, tanah coklat dan tanah merah. Hal ini merupakan penelitian dari Van Hissink tahun 1900 yang dilanjutkan oleh penelitian Vriens tahun 1910 bahwa di samping jenis tanah seperti tadi ada lagi ditemui jenis tanah liat yang spesifik. Tanah liat inilah pada waktu penjajahan Belanda berada di tempat yang bernama Bakaran Batu (sekarang Medan Tenggara atau Menteng) orang membakar batu bata yang berkwalitas tinggi dan salah satu pabrik batu bata pada zaman itu bernama Deli Klei.


(32)

2.1. Sejarah Berdirinya Kampung Medan

Sebelum menjadi sebuah kota yang megah, kota Medan adalah sebuah perkampungan yang disebut dengan kampung Medan yang pertama kali dibuka oleh Guru Patimpus pada sekitar tahun 1590 di kawasan yang disebut Medan pada masa itu. Menurut tradisi masyarakat setempat, perkampungan yang dibuka oleh Guru Patimpus itu disebut

kuta istilah dalam bahasa Karo karena Guru Patimpus adalah bangsawan berketurunan suku

Batak Karo. Kampung Medan sebagai sebuah kuta menjadi satu bagian di dalam kesatuan kekuasaan tradisional suku Batak Karo yang dinamakan Urung Sepuluh Dua Kuta yang juga disebut Hamparan Perak.

Sedangkan lokasi pertama kalinya diketahui letak kampung Medan adalah terletak di sekitar pertemuan delta sungai Babura dan sungai Deli yaitu tepatnya di sekitar kantor walikota Medan saat ini.

Sebenarnya mengenai sejarah awal kampung Medan banyak sekali yang belum tergali sejak berdirinya pada sekitar tahun 1590 hingga kedatangan bangsa Belanda pada tahun 1861 semisal keadaan budaya dan sosial yang berpengaruh di kampung Medan dan aspek-aspek sejarah lainnya namun, dengan menelusuri keadaan alamiah masyarakatnya kita dapat meniympulkan seperti keadaan masyarakatnya yang sebenarnya hingga saat ini masalah kependudukan menjadi masalah utama bagi pemerintah kota Medan.

Sejarah berdirinya Kampung Medan diawali dari dimulainya penelitian kependudukan dan sosial yang dilakukan oleh seorang sarjana Inggeris. Pada sekitar tahun


(33)

1823 saat seorang John Anderson telah berkunjung ke Kampung Medan yang mana penduduknya hanya berjumlah sekitar 200 orang, dimana terdapat wilayah-wilayah yang termasuk ke dalam kota Medan saat itu bernama Desa Pulo Brayan, Desa Babura dan Kampung Jawa. Desa-desa ini adalah desa primer yang tumbuh dari keberagaman dan heterogenitas masyarakatnya.

Pada waktu Belanda mulai melakukan penjajahannya di Deli, dalam kawasan yang sekarang dikenal sebagai kota Medan sudah lebih dahulu terdapat sejumlah perkampungan yang ditempati oleh penduduk suku bangsa Melayu dan Karo. Menurut perkiraan Residen Riau, Netscher penduduk yang terdapat dalam wilayah kekuasaan Sultan Deli berjumlah kira-kira 2000 orang pada masa itu, Labuhan Deli sebagai ibukota kerajaan Deli berpenduduk kurang lebih 1000 orang, termasuk 20 orang Cina dan 100 orang India. Sedang di Kampung Medan Puteri terdapat 50 rumah tangga pada waktu itu.12

Hingga kedatangan Jacobus Nienhuys, seorang pengusaha yang tertarik pada perusahaan perkebunan, yang mula-mula mendirikan kantor pusat perkebunan Deli

Maatschappij di Kampung Medan Putri dipindahkan ke Labuhan Deli dan berhasilnya

panen tembakau pada tahun 1881 hingga mencapai 82.356 pak dan terjual dengan harga tinggi di negeri Belanda menyebabkan bertambah banyaknya perusahaan-perusahaan tembakau swasta dari berbagai negeri di luar Nusantara yang membuka usaha disini dan diikuti oleh pengusaha-pengusaha lainnya dari Eropa. Bidang pemerintahanpun secara

12

Tim Penguumpulan, Penelitian dan Penulisan Sejarah Perkembangan pemerintahan Kotamadya Daerah Tingkat II medan, Sejarah Perkembangan Pemerintahan Kotamadya daerah Tingkat II Medan (bahan


(34)

administratif turut menyusul kemajuan akibat merambahnya kemajuan di bidang perkebunan ini. Pada sekitar tahun 1874 sudah dibuka 22 perusahaan perkebunan asing.

Akibat berkembang pesatnya perkebunan-perkebunan swasta, secara otomatis lahan permukiman pun semakin bertambah luas yang diperuntukkan bagi pengusaha sendiri maupun tenaga-tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menjadi buruh perkebunan. Interaktif antar bangsa ini menyebabkan semakin bertambah banyak pulalah imigran yang datang dan pergi ke Kampung Medan. Untuk lebih jelasnya perhatikan tabel di bawah ini:

Tahun Jumlah Penduduk

1823 200

1860 3.500

1905 14.250

1920 45.248

1930 76.584

1941 93.799

1950 158.950

1957 338.000

1960 465.000

1965 705.734

Tabel 1. Perkembangan Jumlah Penduduk di Kampung Medan Hingga Menjadi Kota Medan dari Tahun 1823-1965 13

13

Kantor Badan Pusat Statistik kotamadya Medan, Kotamadya Medan Dalam Angka Tahun 1979, hlm. 90-91


(35)

Dari tabel di atas jelaslah bahwa perkembangan jumlah penduduk kota Medan yang cukup drastis menyebabkan tingkat urbanisasi yang tinggi sehingga dari analisa yang didapat bahwa jumlah penduduk yang semakin meningkat dapat menimbulkan gejala-gejala masalah kependudukan dimana pada akhirnya akan membawa masyarakat itu sendiri pada persoalan banjir yang didasari pada konsep lingkungan yang tidak seimbang antara manusia dan alamnya.

2.2 Perkembangan Kota Medan Melalui Pertumbuhannya

Perkembangan kampung Medan menjadi sebuah kota berhubungan erat dengan dibukanya perkebunan-perkebunan asing yang mengambil keuntungan dari komoditi ekspor ketika itu. Kesuksesan perkebunan-perkebunan ini diawali setelah berita kehebhan yang ada di negeri Belanda ketika Jacobus Nienhuys membawa hasil panen tembakau ke negeri Belanda dengan kualitas terbaik dan mencapai keuntungan yang besar. Maka dari banyak pengusaha-pengusaha perkebunan mengadu peruntungan di tanah Deli yang juga dijuluki sebagai Paris van Sumatera ini.

Setelah dibukanya perkebunan-perkebunan tembakau swasta, maka keadaan kampung Medan telah beubah menjadi sebuah kampung yang sudah dapat dikatakan sebagai sebuah kota karena jumlah penduduknya telah mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Maka dari itu, dari pihak pemerintah Belanda memiliki ide untuk memindahkan keresidenan Sumatera Timur yang awalnya berada di Riau untuk pada akhirnya


(36)

dipindahkan ke kota Medan karena lokasinya yang strategis, mudah dijangkau dari daratan dan lautan. Maka, ide itu disetujui oleh Gubernur Sumatera Timur sehingga kota Medan menjadi Ibukota Keresidenan Sumatera Timur. Sejak Medan menjadi ibukota Keresidenan Sumatera Timur pada tanggal 1 bulan Maret tahun 1887 maka tumbuhlah kampung-kampung seperti Petisah Hulu, Petisah Hilir, kampung-kampung Sungai Rengas, Kampung Aur dan Kampung Keling. Kemudian muncul kampung lain yang masuk ke wilayah Sultan Deli yaitu Kampung Maksum, Kampung Baru, Kampung Sungai Mati dan lain-lain.

Dalam rangka kota Medan bersiap menjadi ibukota Sumatera Timur, sejak tahun 1886 dicari cara untuk membenahi kota agar pantas dalam kedudukan itu. Saluran-saluran yang lama diganti dengan sistem drainase yang baik, jalan-jalan diaspal, penerangan listrik dipasang kecuali air minum yang kondisinya belum baik. Komiaris-komisaris dari Deli Mij, tuan-tuan perkebunan seperti Tuan P. Kolf dan J. van Vollenhoven berhasil membujuk direksi mereka untuk mengatasi hal ini. Kemudian dibangunlah perusahaan air minum (PDAM Tirtanadi saat ini) pada akhir 1907 dengan kemampuan tandon air 1200 m³ dengan 21 km menyuplai 283 rumah. 14

Untuk memenuhi kebutuhan air bersih yang semakin meningkat di kota Medan, pada tahun 1929 mulai dipasang pipa-pipa besar untuk menyalurka air dari Sibolagit ke medan.

15

14

Hasibuan, Gindo Maraganti., Peran Serta Masyarakat dan Kelembagaan Terpadu dalam

Pengelolaan banjir di Kota Medan (Studi Kasus Banjir Kota Medan), Medan, 2005, hlm. 2

15

Tim Penguumpulan, Penelitian dan Penulisan Sejarah Perkembangan pemerintahan Kotamadya Daerah Tingkat II medan, Loc Cit, hlm. 36


(37)

Pembangunan perusahaan listrik Medan dimulai tahun 1898 dan mulai berperasi pada Maret tahun 1900 untuk menerangi jalan-jalan di Medan dan kebutuhan pasokan listrik untuk Medan Hotel, rumah Tjong A fie, Hotel De Boer, Istana Maimoon dan lain-lain. Salah satu perbedaan yang mencolok dimana hanya sebuah rumah yaitu rumah Tjong A Fie yang mendapatkan pasokan listrik sementara yang lainnya adalah berupa instansi, hotel-hotel, dan bangunan-bangunan megah. Jelaslah bahwa di dalam sejarah pembangunan kota Medan, peran warga asing dari Eropa dan keluarga Tjong A Fie memiliki peranan yang sangat besar.

Bukan hanya perusahaan-perusahaan perkebunan yang berkembang pesat, selain sejumlah kampung-kampung baru mulai dibuka, bangunan-bangunan bergaya Eropa pun mulai dibangun arsitektur yang indah seperti Istana Maimun dan Mesjid Raya Medan yang dibangun tenaga ahli dari Belanda yang bernama Van Erp. Bahkan Medan disebut-sebut sebagai kota ratu (queen city) dari Pulau Sumatera dan terlebih lagi pionir lokasi pertumbuhan peusahaan perkebunan di Sumatera Timur yang sangat penting dan progresif. Saat ini kota Medan memiliki keanggunannya tersendiri, bersinar dalam hal bisnis yang dikelilingi kota-kota kecil yang indah yang ketika itu memiliki sanitari yang hanya dimiliki kota Medan dan banyak kota di Inggris Raya. Memiliki hotel-hotel yang bagus, jalus kereta api dengan arsitektur yang indah, lapangan pacuan, klub-klub lapangan tennis dan sepak bola, bioskop, dan semua atribut modern dari sebuah kota yang maju.


(38)

Namun tidak hanya itu, jika melihat situasi perkembangan sungai-sungai yang membelah kota Medan untuk mencari tahu penyebab awal ketidakacuhan berbagai pihak untuk lebih mengerti aspek-aspek yang mempengaruhi indikasi penyebab banjir di kota Medan. Maka kita perlu mengetahui berbagai aspek itu termasuk sungai yang dulunya sangat berperan dan sangat penting bagi kehidupan masyarakat di kota Medan.

Sekitar tahun 1874 sebuah Benteng Belanda yang cukup besar dan kokoh bangunannya sudah siap dibangun berdekatan dengan kawasan Medan Puteri, yaitu di lokasi wisma Benteng dan Lippoland yang sekarang. Bangunan yang tampaknya menunjukkan identaitas kota medan pada saat sudah mulai tumbuh dan berkembang. Tempat benteng Belanda itu dibangun sangat strategis menurut ukuran masa itu. Karena letaknya berdekatan dengan kawasan pemukiman penduduk pribumu dan sekaligus dekat pula dengan Sungai Deli. Sungai itu dahulu dapat dimanfaatkan oleh serdadu belanda untuk mempermudah hubungan dengan Labuhan yang merupakan kota pelabuhan untuk memasuki Deli dari arah laut atau meninggalkannya dari menuju laut. Dapatlah dilihat betapa penting dan strategisnya kedudukan benteng Belanda itu, yang berdekatan dengan letak kampong Medan selaku pelabuhan tongkang dari laut yang membongkar muatan di situ untuk diteruskan dengan perahu-perahu lebih kecil mudik ke Deli Tua dan mudik Sungai Babura.16

16

Tim Penguumpulan, Penelitian dan Penulisan Sejarah Perkembangan pemerintahan Kotamadya Daerah Tingkat II medan, Ibid, hlm.63


(39)

Dari sini, maka jelaslah perkembangan kampong Medan menjadi sebuah kota bergantung pada jalur transportasi yang ketika itu berupa transportasi air dikarenakan jalur darat yang berupa jalan setapak dan masih dikelilingi hutan belantara dianggap lebih aman dan lebih cepat untuk sampai ke tujuan. Berbeda dari sekarang sungai-sungai ini hanya berupa tempat membuang sampah dan diabaikan kebersihannya menyebabkan sungai tampak kumuh dan kotor. Memang sangat ironis apabila dibadingkan dengan perannya ketika sungai sangat diperhatikan dan dijadikan asset untuk mendapatkan nafkah sehari-sehari.

2.3 Kota Medan Menjadi Gemeentee 1918

Dalam perkembangannya, pada tahun 1909 Medan dijadikan Kota Praja oleh pemerintah Hindia Belanda. Akibat perkembangan yang semakin pesat, pada tahun 1915 Kersidenan Sumatera Timur ditingkatkan kedudukannya menjadi Gubernemen dan gubernur yang pertama adalah H.J. Crijzen. Kelak sultan Deli Makmum Arrasyid memindahkan sebagian tanahnya yang luas menjadi tanah kota pada tahun 1918 untuk menampung perluasan kota. Sampai tahun 1937 kota Medan telah menjadi pusat kegiatan administrasi pemerintah dan ekonomi.17

17


(40)

Ketika Gemeentee Medan dibentuk tahun 1918, yang menjadi kepala pemerintahan adalah seorang burgermeester dibantu oleh sebuah raad (majelis) yang pada permulaannya beranggotakan 15 orang yang diangkat pemerintah. Daniel Baron MacKay adalah orang yang pertama kali menjabat sebagai burgermeester kota Medan.

Gemeentee Medan untuk pertama kalinya memiliki dana bagi peremajaan kotanya

sebesar 32.000 gulden. Dana ini dipergunakan bagi banyak masalah pengairan dan sumber daya air seperti untuk keperluan penyediaan air minum di kota Medan, membiayai pembersihan saluran-saluran air (drainase) dan pembiayaan pompa pemadam kebakaran yang ketika itu telah dibentuk volksraadnya. Dana yang cukup besar ini diperoleh antara lain terdiri dari :

1. Tunjangan yang diberikan oleh Kerajaan Deli

2. Kontribusi suka rela yang diberikan oleh penduduk di kota Medan, ini adalah tindakan yang secara halus meminimalkan keraguan masyarakat akan pajak tanah yang terlalu tinggi sehingga dikatakan hanya sebagai hibah.

3. Hasil dari sewa pasar, tanah dan sawah serta bangunan-bangunan di kota Medan.

Sebelum mendapat hak untuk menjalankan pemerintahan otonom sepenuhnya,

Gemeentee Medan lebih dahulu menjalani masa peralihan dalam pemerintahannya selama

lebih kurang 9 tahun. Selama masa peralihan itu, Gemeentee Medan belum mempunyai

Burgermeester (walikota) dan masih berada di bawah kekuasaan Asisten Residen Deli dan


(41)

Serdang. Karena pada masa itu secara struktural wilayah kota Gemeentee Medan merupakan salah satu wilayah pemerintahan yang langsung tunduk pada pemerintahan Deli dan Serdang yang dipimpin Asisten Residen.

Dalam keadaan yang demikian itu, pemerintah kolonial membentuk Gemeenteeraad (Dewan Kota) untuk menjalankan pemerintahan Gemeentee Medan. Dewan Kota tersebut diketuai oleh Asisten Residen Deli dan Serdang

Pemilihan anggota Dewan Kota berdasarkan sistem golongan yaitu : 10 orang Eropa, 5 orang Bumiputera Indonesia dan 2 orang Timur Asing. Nama-nama pejabat tersebut adalah :

I. Anggota dari bangsa Eropa : 1. Tj. Dijkstra

2. J.M. Groenewegen 3. J.N. Helissen 4. T.W. Rossum

5. Ir. K.K.J.L. Steinments 6. Mr. H.W.B. Thien 7. Ir. M. Velkenburg 8. Mr. G. Van der Veen 9. J. de Waard


(42)

II. Anggota dari bangsa Pribumi : 1. Abdullah Lubis

2. Arsjad glr. Datuk Sinaro Rajo 3. Mohammad Arif (Tujung) 4. Raden Nurngali

5. Raden Pirngadi

III. Anggota dari bangsa Timur Asing 1. Gan Host Soei

2. Jap Soen Tjhay 18

Dilihat dari segi kebangsaan, hal tersebut sangat kontras bahwa bangsa Eropa memegang sebagaian besar peran menentukan pemerintah dan pelaksanaannya membentuk kota Medan, dari segi nasionalisasi hal ini menyebabkan ketidakadilan dan dengan begitu menciptakan cikal bakal ketidakharmonisan antara masyarakat pribumi dan bangsa Eropa yang selanjutnya akan menyebabkan berbagai pemberontakan dan rencana awal yang seharusnya dapat memperindah wajah kota Medan menjadi terhambat dan terhenti begitu saja tanpa ada perbaikan-perbaikan.

Walikota juga merangkap ketua dari gemeenteraad, yang bersama-sama

menjalankan pekerjaan sehari-hari dengan Raad van Burgermeester en Wathouders

18

Tim Penguumpulan, Penelitian dan Penulisan Sejarah Perkembangan pemerintahan Kotamadya Daerah Tingkat II medan Op Cit, hlm. 122


(43)

(Dewan Pemerintahan Kota). Dari uraian ini didapatlah bahwa dibentuknya gemeenteeraad sebagai suatu dewan kota agar kiranya gemeentee kota Medan dalam melaksanakan perencanaan dan pembangunan selalu melibatkan masyarakat atau stakeholder melalui dewan tersebut yang artinya cikal bakal dewan kota yang sudah terbentuk pada 1 April 1909 dan pada saat pertama kalinya kota Medan dibentuk adalah suatu hal yang perlu dicontoh, dipedomani utnuk perencanaan dan pelaksanaan kota Medan.

Perkembangan kota Medan yang pesat menjadikan Medan sebuah kota yang modern yang ditandai dengan gaya bangunan yang bersifat mendunia. Banyak orang yang mengatakan bahwa kota Medan menjadi sangat unik di Hindia Belanda, karena telah menjadi kota bergaya Eropa dalam nuansa Inggris. Hal ini disebabkan antara lain karena kuatnya pengaruh Singapura pada kolonial Inggris yang berimbas pada gaya bangunan di kota Medan.

Pada tahun 1911, Gemeentee Medan mulai membentuk Gementee Werken yang berarti Dinas Pekerjaan Umum untuk kotapraja Medan. Di samping itu, pada tahun yang sama kotapraja Medan mulai memberlakukan Pajak Tontonan. Dan pada tahun itu pulalah layanan pos mengalami perkembangan baru, karena gedung kantor pos Medan telah dibangun pada lokasi yang berseberangan dengan bangunan Hotel De Boer dengan begitu bangunan kantor pos juga memperindah kotapraja Medan yang baru mulai tumbuh dan berkembang.


(44)

Selain itu, pada 5 Maret 1909 dikeluarkannya Surat Keputusan pemerintah Hindia Belanda di Bogor dan ditandatangani oleh Gubernur Jenderal J.B. Van Heutsz. Pada pasal 3 menyebutkan sebagai berikut :

“Di dalam kotapraja Medan, di luar tanah-tanah di bawah penguasaan militer, tidak disediakan uang dari Keuangan Umum Hindia Belanda untuk keperluan :

a. Pemeliharaan,. Perbaikan dan pembaruan dan pembangunan jalan-jalan dengan pekerjaan-pekerjaan yang temasuk di dalamnya, seperti penanaman pohon-pohon, pembikinan tebing-tebing jalan dan sungai, benteng-benteng, pinggir-pinggir jalan, selokan-selokan, perigi-perigi, batu kilometer, papan nama, jembatan-jembatan, bubusanbubusan, turap-turap, dinding-dinding beton di pinggir sungai; juga darii pekerjaan-pekerjaan lain untuk kepentingan umum sepertilapangan-lapangan, kebun-kebun, parit-parit pembuangan air, saluran-saluran parit untuk menyiram roil, pekerjaan-pekerjaan untuk memperoleh atau membagi air minum, air pencuci, rumah potong, pasar-pasar, pajak-pajak (los-los pasar) dan lain-lain.;

b. Penyiraman jalan-jalan umum, pengangkutan sampah-sampah sepanjang jalan-jalan umum, lapangan-lapangan dan kebun-kebun.;

c. Penerangan jalan-jalan.; d. Pemadam kebakaran.;


(45)

e. Tanah-tanah pekuburan.; dengan oengertian bahwa untuk pembangunan pekerjaan-pekerjaan yang luar biasanya mahalnya, dapat diberikan subsidi oleh pemerintah.19 Dari sumbber tersebut, maka sudah sejak masa penjajahan Belanda pengurusan maslaah banjir yaitu dengan pembuatan sdaluran-saluran dan drainase sudah dikerjakan namun hingga kini maslaah ini memang membutuhkan tenaga, pikiran dan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu, permasalahan yang sudah mengakar ini untuk selanjutnya dapat dipecahkan melalui metode-metode baru yang dulu tidak diambil oleh pemerintah kota Medan.

Demikianlah, selain pembangunan-pembangunan drainase untuk menambah kesan kota yang akan dimiliki gemeentee medan, pemerintah HIndia Belanda melakukan berbagai pembangunan dan begitu pula infrastruktur untuk menyokong kebutuhan masyarakatnya seperti pemenuhan kebutuhan kehidupan kota. Pemenuhan kebutuhan kehidupan sebuah perkotaan juga berhubungan dengan pusat perbelanjaan. Di Kota Medan, pada bulan Maret 1933 diresmikanlah pusat pasar yang menempati areal di sekitar Jalan Soetomo, yang saat itu adalah Wilhelminestraat, dan Jalan Sambu (Hospitalweg). Pusat pasar itu meliputi empat bangunan besar dan panjang yang megah. Diceritakan bahwa intelektual Belanda yaitu burgermeester G. Pitlo pada saat itu sangat kagum pada kebudayaan Perancis. Dan Karena itu ia membangun Centrale Passer seperti bangunan Les Halles (Pasar Sentral) di Paris. Demikian pula halnya dengan bentuk dan pola taman-taman di Medan.

19


(46)

2.4 Fluktuasi Banjir di Kota Medan

Akibat pertumbuhan kota dari tahun ke tahun semakin tinggi, maka kehidupan perkotaan yang dialami kota Medan pun tidak terlepas dari keterlibatan penduduknya mengenai masalah banjir, pada masa penjajahan Belanda, banjir ataupun genangan-genangan air telah banyak ditemukan kota Medan. Dan untuk mengatasi masalah ini, pemerintah Belanda membuat parit-parit berukuran besar untuk meanmpung genangan-genangan air ini, namun karena pada masa tersebut adalah masa yang sangat kacau dikarenakan banyaknya pemberontakan-pemberontakan dan masalah politis, sehingga masalah lingkungan ini tidak terperhatikan oleh pemerintah sehingga pelaksanaan drainse primer yang dibuat oleh pemerinntah Belanda berkesan tergesa-gesa dan tampak belum jadi seutuhnya. Sehingga keoptimalan drainase-drainase ini kurang mencapai sasaran dan pada puncaknya adalah peristiwa banjir yang tejadi berulang dan terulang kembali hingga saat ini. Selain itu, masalah banjir di kota Medan adalah disebabkan adanya penggundulan hutan secara besar-besaran dengan tingkat frekuensi penebangan hutan yang terlalu cepat untuk selanjutnya dijadikan lahan perkebunan adalah penyebab utama, berbeda dengan yang dialami kota Medan pada saat ini.

Peristiwa banjir di kota Medan yang hampir rata-rata 10-12 kali/tahun sangat dipengaruhi oleh kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli dan DAS Belawan di daerah hulu. Mencakup Kabupaten Karo, Kabupaten Deli Serdang dan Kota Medan.


(47)

Bencana banjir di kota Medan sendiri sebagian besar terjadi di sepanjang Sungai Deli berawal dari pegunungan Bukit Barisan pada ketinggian 1725 m di atas permukaan laut hingga Selat Malaka dengan panjang 75,8 km mengalir ke kota Medan yang berada di bagian hilir DAS Deli dengan ketinggian berkisar 0-40 m di atas permukaan laut mempunyai luas DAS Deli seluas 481,62 km². Sungai ini merupakan saluran utama yang mendukung drainase kota Medan dengan cakupan wilayah pelayanan sekitar 51 % dari luas kota Medan.

Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan unit ekosistem wilayah yang komponen-komponennya terdiri dari subsistem lingkungan (lingkungan alam) dan subsistem sosial ekonomi, dimana proses ekologi di dalam subsistem lingkungan berinteraksi dengan proses yang terjadi dalam masing-masing subsistem. Diantara subsistem tersebut, subsistem sosial dan ekonomi merupakan subsistem yang paling dinamis dan mempunyai potensi untuk berpengaruh positif dan negatif terhadap subsistem alam. Dari uraian tersebut, dapat dipahami bahwa pengelolaan DAS merupakan pengelolaan sumber daya alam yang dapat pulih (renewable) seperti air, tanah dan vegetasi (ekosistem) dalam sebuah DAS dengan tujuan untuk memperbaiki, memelihara dan melindungi keadaan DAS agar dapat menghasilkan hasil air (water yield) untuk kepentingan pertanian, kehutanan, perkebunan, peternakan, perikanan dan air minum masyarakat, industri, irigasi, tenaga listrik, rekreasi dan sebagainya.


(48)

Daerah Aliran Sungai (DAS) memikul beban yang semakin berat sehubungan dengan tingkat kepadatan penduduknya yang sangat tinggi dan pemanfaatan sumberdaya alamnya yang intensif. Di sisi lain, tuntutan terhadap kemampuannya dalam menunjang sistem kehidupan, betapapun berbagai upaya rehabilitasi lahan dan konservasi tanah telah dilakukan selama ini, kondisiny masih jauh dari memadai, bahkan terdapat indikasi belakangan ini bahwa kondisi DAS semakin menurun. Meningkatnya frekuensi banjir Sungai Deli di kota Medan serta di beberapa wilayah lainnya merupakan indicator betapa tidak optimalnya kondisi DAS di atas antara lain disebabkan adanya ketidakterpaduan antar sector dan wilayah dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan DAS tersebut. Dengan kata lain, masing-masing berjalan sendiri-sendiri dengan tujuan yang kadangkala bertolak belakang.

Ruas-ruas jalan Kota Medan selalu tergenang jika menerima curah hujan, meski curah hujan yang terjadi relatif tidak terlalu lama. Ruas jalan itu adalah Jalan Willem Iskandar, Jalan Letda Sujono, Jalan Raden Saleh, Jalan Stasiun, Jalan Sisinga Mangaraja, Jalan Sutomo, Jalan Gatot Subroto, Jalan AH Nasution, Jalan Denai, Jalan Brigjen Katamso dan Jalan Yos Sudarso.

Jumlah itu di luar ruas jalan kecil seperti Jalan Pelita II, Jalan Kapten Jamil Lubis, Jalan Pahlawan, Jalan Tangguk Bongkar, Jalan Selamat dan Jalan Pertahanan. Jika hujan turun


(49)

lebih deras dan lebih lama, maka genangan airnya akan lebih tinggi dan tidak jarang merendam rumah warga.

Jumlah ruas jalan yang tergenang itu semakin banyak jika dilihat ke pinggiran Kota Medan yang yang merupakan daerah perbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kota Binjai. Contohnya, daerah Lau Dendang, Percut, Desa Medan Estate dan Perumnas Mandala Medan yang merupakan bagian Kecamatan Percut Sei Tuan, Deli Serdang. Demikian juga dengan daerah Sunggal dan Diski, Deli Serdang yang berbatasan langsung dengan Kota Binjai.


(50)

BAB III

SEJARAH TERJADINYA BANJIR DI KOTA MEDAN 1970-1990

3.1 Peran Serta Pemerintah dan Masyarakat Terhadap Pemeliharaan Drainase 3.1.1 Defenisi Banjir

Banjir adalah debit air yang melebihi besar kapasiitas pengaliran air tertentu. Terdapat dua peristiwa banjir yaitu :

1. Peristiwa banjir atau genangan air yang terjadi pada daerah yang biasanya tidak terjadi banjir.,

2. Peristiwa banjir karena limpahan air banjir dari sungai karena debit banjir tidak mampu dialirkan oleh alur sungai atau debit banjir lebih besar dari kapasitas pengaliran sungai yang ada. Peristiwa banjir sendiri tidak menjadi permasalahan, apabila tidak mengganggu manusia melakukan kegiatan pada daerah dataran banjir. Maka perlu adanya pengaturan-pengaturan daerah daratan banjir untuk mengurangi kerugian akibat banjir (Flood Plain Management)

Sumber genangan- genangan air atau banjir di kota Medan dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu :


(51)

1. Banjir kiriman, aliran banjir yang datangnya dari daerah hulu di luar kawasan yang tergenang. Hal ini terjadi jika hujan yang terjadi di daerah hulu menimbulkan aliran banjir yang melebihi kapasitas sungainya atau banjir kanal yang ada, sehingga terjadi limpasan.

2. Banjir lokal, genangan air yang timbul akibat hujan yang jatuh di daerah itu sendiri. Hal ini dapat terjadi jika hujan yang terjadi melebihi kapasitas system drainase yang ada. Pada banjir lokal, ketinggian genangan air antara 0,2-0,7 m dan lama genangan antara 1-8 jam. Terdapat pada kawasan dataran rendah.

3. Banjir rob, banjir yang terjadi baik akibat aliran langsung air pasang, atau air balik dari saluran drainase akibat terhambat oleh air pasang. Banjir pasang merupakan banjir rutin akibat air laut pasang yang terjadi pada kawasan Medan Belawan.20 Banjir merupakan permasalahan yang menghampiri setiap kota-kota besar di Indonesia tanpa terkecuali kota Medan. Dalam rangka pembangunan kota Medan, pihak Pemerintah Propinsi Sumatera Utara dan Pemerintah kota Medan telah banyak melakukan kebijakan pembangunan untuk mendukung kota Medan menjadi kota Metropolitan seperti penataan pembangunan pemukiman, gedung-gedung pertokoan, perbaikan dan pembangunan sarana tramsportasi di seluruh kota Medan. Masalah banjir adalah masalah utama yang dihadapi pemerintah kota Medan, terutama daerah pinggiran kota Medan yang

20


(52)

sering berdampak langsung kepada seluruh anggota masyarakat yang terkena banjir yang melanda daerah permukiman dan perumahan mereka.21

Pada tanggal 23 Desember 1992 dimana seluas 1.513 Ha areal tergenang air dengan kedalaman 1.5 meter meliputi daerah pemukiman, jalan, perkebunan dan transportasi umum di sepanjang aliran sungai Sei Badera. Kecamatan Medan Marelan merupakan daerah yang paling banyak terkena dampak dari sering meluapnya air sungai Sei Badera yang mengakibatkan banjir setiap tahunnya. Akibat dari banjir tersebut ialah lumpuhnya kegiatan perekonomian masyarakat dan menghancurkan lahan areal pertanian dan perkebunan penduduk serta sarana transportasi berupa jalan dan jembatan.

22

3.1.2 Debit Banjir

Banjir itu sendiri dapat dilihat dari debit banjir dan volume air sungai yang meluap meskipun dalam setiap kasus banjir debit dan volume banjir berbeda-beda.

Penelitian banjir di kota Medan dapat diperoleh melalui kegiatan analisis hidrologi yang secara umum hasilnya dapat berupa debit banjir maksimum, volume banjir, atau hidrograf banjir. Metode rasional bertujuan untuk memperkirakan debit puncak. Rumus yang digunakan adalah Qp = k C I A

Dimana Qp : Debit puncak (m3 /detik)

21

Haldun, Muhammad, Implikasi Normalisasi Sungai Sei Badera Terhadap Permukiman

Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan (Thesis), Medan : Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera

Utara, 2008, hlm. 75-76 22


(53)

k : 0,278

C : Koefisien limpasan tergantung pada karakteristik DAS I : Intensitas hujan selama waktu konsentrasi (mm/jam) A : luas DAS (km2) 23

Yang dimaksud dengan sungai adalah sungai secara umum, baik sungai besar maupun sungai kecil. Sungai merupakan refleksi dari daerah yang dilaluinya. Faktor-faktor seperti kualitas air (unsur kimia dan temperatur), habitat yang ada (flora dan fauna), kondisi hidrolik sungai (debit muka air, frekuensi aliran dan lain-lain), dan morfologi sungai dapat dipakai sebagai indikator untuk menganalisa kondisi daerah aliran sungai tersebut. Jika di daerah sekitar sungai banyak aktifitas dengan kualitas penjernihan air limbah yang tidak memadai, maka kualitas air sungai (terutama sungai kecil dan menengah) tersebut juga akan terlihat jelas menurun. Jika suatu daerah relatif tandus, maka akan direkam oleh sungi kecil yang direfleksikan ke dalam bentuk kurva hidrografiknya dengan waktu mencapai puncak yang pendek dan debit puncak yang tinggi serta waktu kering yang lama.

3.1.3 Defenisi Sungai

24

23

Hasibuan, Gindo Maraganti., Peran Serta Masyarakat dan Kelembagaan Terpadu dalam

Pengelolaan banjir di Kota Medan (Studi Kasus Banjir Kota Medan), Medan, 2005, hlm. 31

24

Maryono, Agus., Ekohidrolik Pembangunan Sungai, Menanggulangi Banjir dan Kerusakan


(54)

Sungai merupakan komponen ekodrainase utama pada system sungai yang bersangkutan. Konsep alamiah ekodrainase adalah bagaimana membuang air kelebihan selambat-lambatnya ke sungai. Sehingga sungai-sungai alamiah mempunyai bentuk yang tidak teratur, belokan-belokan dan lain-lain. Bentuk-bentuk ini pada hakikatnya berfungsi untuk menahan air supaya tidak dengan cepat mengalir ke hilir serta menahan sediment. Di samping itu drainase juga berperan dalam rangka menurunkan enerji air tersebut.

Sungai alamiah umumnya memiliki angka kekasaran dinding yang tinggi. Jika dibandinngkan dengan sungai yang telah diluruskan, sungai alamiah memiliki kemampuan mengalirkan debit aliran lebih kecil pada tinggi muka air yang sama. Pada proyek renovasi sungai (renaturalisasi perlu dipertimbangkan kenaaikan muka air akibat kenaikan kekasaran dinding sungai).

3.1.4 Kondisi drainase

Sebagian besar saluran drainase utama kota Medan, baik yang alamiah maupun buatan, di bagian hilir mempunyai elevasi dasar saluran lebih rendah dari pada elevasi dasar sungai. Hal ini menyebabkan sedimentasi serius dan menimbulkan pendangkalan. Sistem drainse utama yang ada, sebagian besar belum mempunyai garis sempadan yang jelas. Hal


(55)

ini menimbulkan kerancuan dalam upaya pengelolaan dan pengawasan bangunan liar di sepanjang tepi sungai.

Kondisi saluran drainase yang lebih kecil juga tidak kalah memprihatinkan. Kapasitas saluran makin hari makin menurun akibat sedimentasi, sampah, dan pemeliharaan yang kurang. Tidak mengherankan jika sampai saat ini masalah banjir kiriman dan banjir pasang merupakan masalah yang beluim terpecahkan. Genangan air dan banjir masih selalu terjadi, terutama pada saat musim hujan. Hal ini akan semakin sulit diatasi jika pengembangan kota tidak dapat dikendalikan dengan baik.

Konsep drainase konvensional yang selama ini dianut yaitu drainase didefinisikan sebagai suatu usaha untuk membuang atau mengalirkan air kelebihan di suatu tempat secepatnya menuju sungai dan secepatnya dibuang ke laut, menurut tinjauan hidrolik tidak bisa lagi dibenarkan. Dengan konsep pembangunan secepat-cepatnya ini, akan terjadi akumulasi debit di bagian hilir dan rendahnya konservasi ekologi di hulu. Sungai di hilir akan menerima beban yang lebih tinggi sewaktu debit puncak lebit cepat dari pada keadaan sebelumnya dan akan terjadi penurunan kualitas ekologi daerah hulu. Jika sungai kecil, menengah dan besar dijadikan sarana drainase dengan konsep konvensional seperti diatas, maka akan didapat suatu rezim saluran drainase sebagai ganti rezim sungai. Ekodrainase diartikan suatu usaha mengalirkan air yang berlebih ke sungai dengan waktu seoptimal munngkin sehinngga tidak menyebabkan terjadinya masalah kesehatan dan banjir di sungai yang terkait.


(56)

Buruknya sistem drainase di kota Medan menyebabkan kota metropolitan ini kerap digenangi air bila hujan datang. Ternyata kondisi ini menyebabkan aktivitas ekonomi didalam dan luar kota Medan terganggu. Kondisi jalan-jalan rusak, seperi yang terlihat dijalan Bahagia by Pass, Mandala by Pass, jalan Platina Raya, Marelan, Kawasan Padang Bulan, dan jalan Letda Sujono adalah sebagian besar kawasan yang umumnya menjadi kawasan sering tergenanng air, selain itu, jalan-jalan yang rusak itu tidak hanya berbahaya apabila dilintasi pengendara jika tergenang air namun juga menyebabkan jalanan macet, sehingga aktivitas perdagangan terhambat.

Curah hujan selama satu jam meluapkan sejumlah parit di wilayah kota Medan, termasuk parit busuk, persis ketika seluruh ummat Islam melaksanakan sholat Jumat. Di Kelurahan Sei Kera Hilir I dan II, Kecamatan Medan Perjuangan, hujan yang turun itu mengakibatkan air parit yang meluap, jalan-jalan tergenang air, bahkan di setiap gang di daerah itu, sehingga rumah warga sebagian dimasuki air.

Terdapat juga bangunan rumah penduduk di pinggir jalan yang menutupi saluran air ke parit untuk kepentingan pribadi. Banjir setinggi lutut orang dewasa itu terjadi pada sejumlah kelurahan pada tiga kecamatan yakni Kecamatan Medan Labuhan, Medan Deli dan Medan Marelan.

Pemandangan jalan yang berlubang bagaikan kubangan tampaknya telah menjadi penyakit kronis yang tak terobati. Pemerintah seolah-olah angkat tangan dan yang parahnya lagi, pengaspalan jalan lebih dari sekedar tambal sulam. Meski sebelumnya telah diaspal


(57)

semua, namun tingkat ketahanan aspal sangat rentan jika terjadi hujan lebat dan lalu lalangnya angkutan bermuatan besar. Kondisi ini pun sangat rentan mengambil korban jiwa, setidaknya selain kecelakaan lalu lintas sering terjadi kendaraan jadi cepat rusak. Oleh sebab itu perbaikan jalan akan sia-sia jika sistem drainase di kota Medan tidak segera ditangggulangi. Perbaikan drainase terlebih dahulu dibangun kemudian jalan yang rusak di perbaiki kalau tidak perbaikan jalan akan sia-sia.

Untuk diketahui, perbaikan drainase sudah pernah dilakukan dan nilai proyeknya yang ratusan milyaran rupiah dengan nama Metropolitan Medan Urban Development projek (MMUDP). Terangkum dan proyek tersebut sebagai proyek perbaikan sistem drainase untuk kawasan Medan, Deli Serdang dan Binjai (Mebidang). Namun sayangnya, pemanfaatan dan pertanggungjawabannya tidak jelas.

Pada masa periode walikotamadya A.S. Rangkuty (1980-1990) sebuah proyek raksasa dalam upaya mengatasi perkembangan dan penataan kotamadya Medan dengan nama Metropolitan Medan Urban Development Project (MMUDP). Proyek ini membutuhkan dana yang luar biasa besar jumlahnya dan pemerintah terpaksa melakujkan pinjaman-pinjaman ke berbagai instansi.25

25

Tim Penguumpulan, Penelitian dan Penulisan Sejarah Perkembangan pemerintahan Kotamadya

Menurut catatan, MMUDP yang dilaksanakan pada tahun 1990-an memiliki dana sebesar 138 juta dollar Amerika yang berasal dari pinjaman Asian Development Bank (ADB) senilai 82.8 juta dollar Amerika dan dana dari


(58)

perintah kota sebesar 53.2 juta dollar Amerika. Sedangkan untuk perbaikan jalan pemerintah harus mengeluarkan sebesar 8 miliar rupiah melalui APBD.

Sasaran proyek MMUDP I ini ada 6 komponen yaitu, mengadakan pelebaran sarana lalu lintas, pembangunan roil-riok, drainase air limbah, dan lain-lain. Tidaklah mengeherankan bila proyek ini sangat merepotkan karena harus melakukan penggalian di tengah kota. Berbagai protes muncul menanggapi cara pelaksanaan proyek tersebut dan berbagai kendala dan dampak menyebabkan berbagai keriguan penduduk. Namun, tanpa dimulai dari yang seperti ini, maka pembangunan kotamadya Medan tak akan pernah menjadi Kota Metropolitan yang didambakan.26

1. Sektor Air Bersih

Kemudian pada masa pemerintahan Bachtiar jafar, MMUDP pada tahap I yang telah berakhir (1982-1989) kini MMUDP II harus segera dilaksanakan dengan 10 komponen yang menjadi sasarannya yaitu :

2. Sektor Air Limbah 3. Sektor Drainase 4. Sektor Persampahan

5. Sektor Perbaikan Kampung dan Prasarana Pasar 6. Sektor Jalan-jalan Kota

7. Sektor Pengaturan Lalu Lintas

26

Tim Penguumpulan, Penelitian dan Penulisan Sejarah Perkembangan pemerintahan Kotamadya Daerah Tingkat II medan, Ibid


(59)

8. Sektor Small Town Deli Serdang 9. Sektor Small Town Binjai

10.Sektor Pengendalian Banjir 27

Sebagai catatan, sekktor pengendalian banjir hingga belum tercapai sepenuhnya sehingga proyek yang sangat memakan banyak waktu dan biaya ini bias dikatakan gagal bahkan dengan dana yang besar itu ada pejabat pemerintah yang melakukan korupsi dengan memenggal dana untuk pengendalian banjir dan dana itu untuk selanjutnya masuk ke kantong pribadi.

3.1.5 Penanganan drainase

Disamping perbaikan saluran limbah, kegiatan lain yang penting dalam program penyelamatan lingkungan pemukiman adalah pembangunan drainase. Kegiatan ini sangat diperlukan terutama bagi daerah-daerah perkotaan yang ssering mengalami banjir akibat letaknya yang rendah atau tofografinya yang datar. Genangan-genangan air tersebut akan menyebabkan terjadinya kerusakan pada badan-badan jalan dan prasarana lingkungan lainnya.28

Masyarakat tidak peduli dengan kondisi drainase yang ada di depan rumah atau lingkungannya yang rata-rata memiliki kedalaman hanya 10 m dimana pada awalnya

27

Tim Penguumpulan, Penelitian dan Penulisan Sejarah Perkembangan pemerintahan Kotamadya Daerah Tingkat II medan Ibid, hlm. 233

28


(60)

kedalaman drainase adalah 60 cm, akibat dari minim atau tidak adanya pemeliharaan maka sedimen atau sampah masuk di dalamnya, yang berakibat jika hujan turun satu jam saja maka akan terjadi banjir atau genangan-genangan di lokasi ini. Hasil wawancara dengan masyarakat di lokasi Jalan Garuda Raya Perumnas Mandala membenarkan bahwa aparat pemerintah kecamatan atau desa khususnya kepala daerah tidak berperan untuk melibatkan masyarakat agar berpartisipasi menangani Operasi dan Pemeliharaan (OP) drainase, padahal mereka siap bergotong royong dan siap membayar iuran. Demikikan juga kondisi drainase di sepanjang Jalan Asia simpang Jalan Bakaran Batu, kedalaman drainase hanya 5-10 cm.

Dalam pembangunan drainase dulunya kurang melibatkan masyarkaat setempat sehingga peran serta masyarakat dalam memelihara drainase pasca konstruksi dapat dikatakan sangat minim sekali atau tidak ada, padahal mereka siap untuk berperan serta dan ingin membayar apabila iuran ditetapkan bagi mereka. Maka dari itu, ada kiranya kita perlu mengetahui defenisi peran serta masyarakat dalam pembangunan untuk melihat apakah msyarakat merupakan elemen untuk menciptakan dan menanggulangi banjir.

Defenisi masyarakat dalam pembangunan :

1. Suatu masyarakat dikatakan berdaya apabila mereka dapat tampil sebagai pelaku utama dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhannya. Masyarakat yang bergantung pada pihak lain adalah masyarakat yang tidak berdaya.


(61)

2. Pembangunan komunitas : Pembangunan yang dimulai dengan masyarakat menyatakan keinginannya untuk masa depannya. Jadi pada prinsipnya bahwa setiap pembangunan baik fisik maupun non-fisik memerlukan sosialisasi sebelumnya kepada masyarakat terlibat di dalam proses pembangunan dan proses pemeliharaan setelah pembangunan itu selesai. Sehingga peran fasilitator dalam pembangunan itu selesai. Sehingga peran fasilitator dalam pembangunan masyarakat adalah sebagai dimulai dengan donor dan memberikan setelah mengenali kebutuhan masyarakat yang akan menguntungkan mereka, serta membantu masyarakat dalam kesejahteraannya dengan turut merencanakan masa depan masyarakat.

3. Peran serta masyarakat sebagai suatu cara melakukan interaksi antar dua kelompok atau sebagai proses dimana masalah-masalah dan kebutuhan lingkungan sedang dianalisa oleh badan yang bertanggungjawab.

4. Pembangunan dengan peran serta masyarakat secara aktif disebut juga dengan pembangunan partisipatif yaitu suatu proses pembangunan yang memberdayakan masyarakat mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan hingga pengwasan hingga pengawasan pembangunan. Di samping itu masyarakat juga menjadi prioritas dalam menikmati hasil-hasil pembangunan.

5. Peran masyarakat dapat dibedakan menjadi tiga tahapan yaitu :


(62)

b. Tahap pelaksanaan yaitu masyarakat berperan serta dalam pelaksanaan kegiatan baik secara fisik maupun non-fisik.

c. Tahap pemanfaatan yaitu masyarakat ikut berperan serta dalam menikmati dan memanfaatkan hasil-hasil pembangun

6. Partisipasi masyarakat menjadi bagian terpenting dalam pengambilan keputusan atas alokasi sumberdaya. Faktor-faktor yang mempengaruhi peran serta masyarakat terdiri dari tiga hal yakni keadaan sosial masyarakat, kegiatan program pembangunan meliputi kegiatan yang direncanakan dan dikendalikan pemerintah yang dapat berupa organisasi masyarakat dan tindakan kebijakan, serta keadaan alam (faktor fisik atau keadaan geografis daerah).

7. Para ahli perencanaan hutan dan lingkungannya, sebagaimana halnya para

pengambil keputusan semakin memikirkan rehabilitasi daerah aliran sungai. 29 Walaupun suatu DAS merupakan suatu unit fisik, bukan unti sosial, unit ini didiami oleh manusia, sumberdayanya dipakai untuk kegiatan-kegiatan produktif manusia, diperburuk dan dirusakkan oleh mereka. Hal inilah penyebab mengapa perencanaan tata guna lahan atau sebuah program pengawasan erosi tidak dapat difektifkan dan tidak dapat ditopasng kecuali apavila dirancang dengan mengikutsertakan penduduk di sekitar DAS dalam pekerjaan rehabilitasi. Proyek-proyek DAS berkaitan dengan manusia. Kunci untuk menjamin partisipasi masyarakat dalam program-program terletak pada rancangan strategi

29

Hasibuan, Gindo Maraganti., Peran Serta Masyarakat dan Kelembagaan Terpadu dalam


(63)

yang luas dan didasarkan pada suatu pengertian yang lebih baik atas kebutuhan-kebutuhan yang mereka rasakan dan prioritas dan khususyna penguasaan lahan setempat. Hal ini berarti bahwa waktu yang cukup harus disediakan pada awal proyek dalam kajian sosiologi supaya menetapkan bentuk stimulan (rangsangan) yang diperlukan untuk memperoleh kerjasama petani.

Proyek MMUDP I dan II (Medan Metropolitan Urban Development Project) pada tahun 1982-1990 adalah untuk membuat dan memperbaiki drainase primer dan sekunder non-sungai, dalam hal ini di bawah bimbingan Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara. Namun dikarenakan belum selesainya pekerjaan secara keseluruhan karena adanya masalah pembebasan tanah baik Proyek Banjir Medan MMUDP, maka saluran drainase belum dapat berfungsi secaram optimal ditambah pada pelaksanaannya sulit berkoordinasi walaupun terdapat Provincial Project Management Unit (PPMU) hal ini terbukti dengan banyaknya subdrain zaman Belanda yang tidak berkoneksi dengan saluran drainase baik baru maupun rehabilitasi, pada beberapa lokasi di kota Medan seperti Sutomo, Sutrisno, Sambu, Jalan Parit Mas, dan lain-lain. Hal utama lain yang terlupakan bahwa proyek-proyek APBN tersebut maupun kota Medan tidak mengalokasikan atau tidak memiliki dana Operasi dan Pemeliharaan untuk pemeliharaan bangunan-bangunan tersebut.

Sebagai bahan tambahan seperti apa peran serta pemerintah untuk tetap menjaga Operasi dan Pemeliharaan drainase di kota Medan, maka ada baiknya kita mengetahui


(64)

defenisi kelembagaan sebagai refleksi peran pemerintah dalam menangulangi banjir dan dampaknya.

1. Kelembagaan adalah aturan main yang berperan penting dalam mengatur

penggunaan atau alokasi sumberdaya secara efisien, merata dan berkelanjutan (sustainable).

2. Kelembagaan adalah lembaga atau organisasi yaitu bentuk persekutuan antara dua atau lebih yang bekerjasama secara formal terkait formal terkait dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditentukan.

3. Kelembagaan secara evolusi tumbuh dari masyarakat atu sengaja dibentuk. Namun pada hakekatnya bentuk kelembagaan mengatur tiga hal esensial yaitu penguasaan, pemanfaatan, dan transfer teknologi.

4. Kelembagaan sosial yang juga disebut lembaga kemasyarakatan merupakan

himpunan norma-norma segala tingkatan yang berkisar pada suatu kegiatan pokok di dalam kehidupan masyarakat. 30

3.2 Perubahan Tata Guna Lahan Terhadap Debit Aliran

Pada awal tahun 1950-an, jawatan Pekerjaan Umum yang bertugas menangani tata kota dan kebersihan kota Medan, tetap menyelenggarakan pekerjaannya secara teratur. Hampir seluruh parit-parit dibersihkan, air-air yang ada dalam parit itu megalir lancer

30

Hasibuan, Gindo Maraganti., Peran Serta Masyarakat dan Kelembagaan Terpadu dalam


(65)

menuju parit besar yang melintang dan membelah sebagian besar kota Medan, dari jalan Antara menyusur Jalan Batu, Jalan Emas, Jalan Sampali, jalan Mabar dan menembus Jalan Serdang. Parit-parit ini menampung seluruh aliran parit-parit yang ada di kawasan Sukaramai, Kota Maksum, Sei Rengas, Pandahulu. Parit-parit yang ada di kawasan kota Medan lainnya bermuara ke Sungai Deli dan Babura. Dan di tebing-tebing parit itu semuanya ditumbuhi rumput yang juga dibabat hamper setiap harinya.31

Kemudian pada tanggal 3 Juli 1974, di bawah kepemimpinann A.M. saleh arifin pembangunan kota Medan lebih banyak ditujukan kepada penataan sarana fisik sesuai dengan perkembangan kependudukaan yang ada pada waktu itu yang ada pada tahun 1974 telah mencapai 1.015.520 jiwa. Hal itu memang tak dapat ditunda lagi karena Kotam Medan selain sebagai ibukota Provinsi Sumatera utara juga merupakan Wilayah pembangunan Utama A.32

Berbeda pada awal 1970-an, setidaknya jawatan Pekerjaan Umum telah mengabaikan kebersihan parit-parit tadi dan sumbatan-sumbatan yang menyebabkan banjir banyak terdapat di areal-areal rawan banjir tersebut. Kesan yang ditimbulkan adalah peemerintah hanya bertujuan membangun kota Medan dengan berbagai bangunan megah dan modern tanpa mempedulikan lingkungan yang mendukung dimana bangunan tersebbut

31

Tim Penguumpulan, Penelitian dan Penulisan Sejarah Perkembangan pemerintahan Kotamadya Daerah Tingkat II medan , Op Cit, hlm. 209

32


(66)

berada. Sehingga tata kota dan lahan yang dimanfatkan tidak optimal berdasarkan konsep lingkungan.

Perubahan tata guna lahan, urbanisasi, penebangan hutan, atau penghutanan kembali mempengaruhi aliran sungai dan menyebabkan perubahan aliran nyata. Laju urbanisasi membawa pengaruh langsung pada masalah kepadatan penduduk dan kerapatan bangunan. Kerapatan bangunan meningkat, maka luasan daerah yang kedap air menjadi besar sehingga volume aliran permukaan menjadi naik dan laju, infiltrasi menjadi menurun secara proporsional. Dampak yang diakibatkan dengan meningginya volume limpasan langsung adalah debit puncak (peak discharge) menjadi besar yang selanjutnya menimbulkan masalah banjir pada masa penghujan.

Berdasarkan data penggunaan DAS Deli, tampak bahwa dari segi tata ruang sudah menyalahi aturan yang berlaku dimana seharusnya luas hutan adalah sebesar 30 % dari luas DAS. Selanjutnya dijelaskan dalam tabel berikut :

Kelas Luas (Ha) Luas (%)

Hutan 3.655 7,59

Belukar 2.068 4,29

Kebun Rakyat 285 0,59

Kebun Cokelat/Kelapa Sawit/Kelapa 2.284 4,74


(67)

Tanaman Campuran 16.154 33,54

Tegalan 1.836 3,81

Perkebunan Tembakau 5.628 11,69

Alang-alang 479 0,99

Rawa 69 0,14

Pemukiman 5.374 11,16

Lain-lain 2.187 4,54

Jumlah DAS Deli 48.162 100

Tabel 2. Data Penggunaan Lahan pada DAS Deli 33

Kita semua tersentak dan kaget bahwa ternyata alam telah memberikan reaksi yang demikian hebat. Walaupun factor alam (curah hujan yang tinggi) memberikan kontribusi penyebabnya namun tindakan yang besar terhadap terjadinya bencana ini antara lain dengan penggundulan hutan. Lebih luas lagi dapat dikatakan telah terjadi perubahan tata guna lahan yang signifikan sehingga berpengaruh besar terhadap banjir dan longsor.

Menurut Philip Kivell dalam bukunya “ Land and The City” lahan sebagai kekuatana dan lahan sebagai basis dari system perencanaan (land as the basis of the

planning system) dan lahan sebagai lingkungan (land as environtment) yang kalau kita lihat

jika hal ini kita terapkan dalam pelaksanaan Land Use Planning maka susunan table di atas dapat sesuai dengan UU tenntang kehutanan tersebut

33


(68)

Musibah yang terjadi sebenarnya merupakan isyarat-isyarat alam yang seolah-olah ingin mengatakan bahwa manusia perlu menjaga kelestariannya, jangan mengubah tat guna lahan tanpa memperhatikan keseimbangannya. Alam bilamana dirusak akan secara kontinu melakukan keseimbangan baru yang dampaknya berupa malapetaka untuk kelangsungan hidup manusia.

Perubahan tata guna lahan memberi andil besar terhadap kenaikan tajam debit sungai. Misal suatu Daerah Pengaliran Sungai (DPS) yang semula berupa hutan mempunyai debit 10 m³/detik apabila diubah menjadi sawah, maka debit sungainya akan menjadi antara 25 sampai 90 m³/detik atau ada kenaikan debit sebesar 2,5 sampai 9 kali dari debit semula. Bila hutan diubah menjadi kawasan perdagangan atau perindustrian maka debitnya yang semula 10 m³/detik akan meningkat tajam menjadi antara 60 sampai 250 m³/detik atau meningkat menjadi 6 sampai 25 kali debit semula.

Perubahan yang paling besar adalah apabila kawasan hutan itu dijadikan daerah beton/beraspal maka hujan yang turun semuanya akan mengalir di permukaan dan tidak yang meresap ke dalam tanah. Kita dapat melihat bahwa perubahan debit 10 m³/detik berubah menjadi 6,3 sampai 35 kali.

Bilamana daerah pengaliran sungai berupa persawahan kemudian dijadikan kawasan perindustrian maka debit sungainya akan naik menjadi 2 sampai 3 kali.

Dapat disimpulkan bahwa normalisasi yaitu dengan melebarkan atau mengeruk sungai tidak akan ada artinya selama perubahan lahan di atas (hulu) sungai tidak


(1)

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009.

USU Repository © 2009

109

Gambar 6. Medan Flood Control 1990


(2)

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009.

USU Repository © 2009

110


(3)

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009.

USU Repository © 2009

111


(4)

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009.

USU Repository © 2009

112


(5)

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009.

USU Repository © 2009

113


(6)

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009.

USU Repository © 2009

114