Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. USU Repository © 2009
63 defenisi kelembagaan sebagai refleksi peran pemerintah dalam menangulangi banjir dan
dampaknya. 1.
Kelembagaan adalah aturan main yang berperan penting dalam mengatur penggunaan atau alokasi sumberdaya secara efisien, merata dan berkelanjutan
sustainable. 2.
Kelembagaan adalah lembaga atau organisasi yaitu bentuk persekutuan antara dua atau lebih yang bekerjasama secara formal terkait formal terkait dalam rangka
mencapai tujuan yang telah ditentukan. 3.
Kelembagaan secara evolusi tumbuh dari masyarakat atu sengaja dibentuk. Namun pada hakekatnya bentuk kelembagaan mengatur tiga hal esensial yaitu penguasaan,
pemanfaatan, dan transfer teknologi. 4.
Kelembagaan sosial yang juga disebut lembaga kemasyarakatan merupakan himpunan norma-norma segala tingkatan yang berkisar pada suatu kegiatan pokok
di dalam kehidupan masyarakat.
30
3.2 Perubahan Tata Guna Lahan Terhadap Debit Aliran
Pada awal tahun 1950-an, jawatan Pekerjaan Umum yang bertugas menangani tata kota dan kebersihan kota Medan, tetap menyelenggarakan pekerjaannya secara teratur.
Hampir seluruh parit-parit dibersihkan, air-air yang ada dalam parit itu megalir lancer
30
Hasibuan, Gindo Maraganti., Peran Serta Masyarakat dan Kelembagaan Terpadu dalam Pengelolaan banjir di Kota Medan Studi Kasus Banjir Kota Medan, Medan, 2005, hlm. 29-30
Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. USU Repository © 2009
64 menuju parit besar yang melintang dan membelah sebagian besar kota Medan, dari jalan
Antara menyusur Jalan Batu, Jalan Emas, Jalan Sampali, jalan Mabar dan menembus Jalan Serdang. Parit-parit ini menampung seluruh aliran parit-parit yang ada di kawasan
Sukaramai, Kota Maksum, Sei Rengas, Pandahulu. Parit-parit yang ada di kawasan kota Medan lainnya bermuara ke Sungai Deli dan Babura. Dan di tebing-tebing parit itu
semuanya ditumbuhi rumput yang juga dibabat hamper setiap harinya.
31
Kemudian pada tanggal 3 Juli 1974, di bawah kepemimpinann A.M. saleh arifin pembangunan kota Medan lebih banyak ditujukan kepada penataan sarana fisik sesuai
dengan perkembangan kependudukaan yang ada pada waktu itu yang ada pada tahun 1974 telah mencapai 1.015.520 jiwa. Hal itu memang tak dapat ditunda lagi karena Kotam
Medan selain sebagai ibukota Provinsi Sumatera utara juga merupakan Wilayah pembangunan Utama A.
32
Berbeda pada awal 1970-an, setidaknya jawatan Pekerjaan Umum telah mengabaikan kebersihan parit-parit tadi dan sumbatan-sumbatan yang menyebabkan banjir
banyak terdapat di areal-areal rawan banjir tersebut. Kesan yang ditimbulkan adalah peemerintah hanya bertujuan membangun kota Medan dengan berbagai bangunan megah
dan modern tanpa mempedulikan lingkungan yang mendukung dimana bangunan tersebbut
31
Tim Penguumpulan, Penelitian dan Penulisan Sejarah Perkembangan pemerintahan Kotamadya Daerah Tingkat II medan , Op Cit, hlm. 209
32
Tim Penguumpulan, Penelitian dan Penulisan Sejarah Perkembangan pemerintahan Kotamadya Daerah Tingkat II medan, Ibid, hlm. 244
Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. USU Repository © 2009
65 berada. Sehingga tata kota dan lahan yang dimanfatkan tidak optimal berdasarkan konsep
lingkungan. Perubahan tata guna lahan, urbanisasi, penebangan hutan, atau penghutanan kembali
mempengaruhi aliran sungai dan menyebabkan perubahan aliran nyata. Laju urbanisasi membawa pengaruh langsung pada masalah kepadatan penduduk dan kerapatan bangunan.
Kerapatan bangunan meningkat, maka luasan daerah yang kedap air menjadi besar sehingga volume aliran permukaan menjadi naik dan laju, infiltrasi menjadi menurun secara
proporsional. Dampak yang diakibatkan dengan meningginya volume limpasan langsung adalah debit puncak peak discharge menjadi besar yang selanjutnya menimbulkan
masalah banjir pada masa penghujan. Berdasarkan data penggunaan DAS Deli, tampak bahwa dari segi tata ruang sudah
menyalahi aturan yang berlaku dimana seharusnya luas hutan adalah sebesar 30 dari luas DAS. Selanjutnya dijelaskan dalam tabel berikut :
Kelas Luas Ha
Luas Hutan
3.655 7,59
Belukar 2.068
4,29 Kebun Rakyat
285 0,59
Kebun CokelatKelapa SawitKelapa 2.284
4,74 Sawah
8.143 16,91
Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. USU Repository © 2009
66 Tanaman Campuran
16.154 33,54
Tegalan 1.836
3,81 Perkebunan Tembakau
5.628 11,69
Alang-alang 479
0,99 Rawa
69 0,14
Pemukiman 5.374
11,16 Lain-lain
2.187 4,54
Jumlah DAS Deli 48.162
100 Tabel 2. Data Penggunaan Lahan pada DAS Deli
33
Kita semua tersentak dan kaget bahwa ternyata alam telah memberikan reaksi yang demikian hebat. Walaupun factor alam curah hujan yang tinggi memberikan kontribusi
penyebabnya namun tindakan yang besar terhadap terjadinya bencana ini antara lain dengan penggundulan hutan. Lebih luas lagi dapat dikatakan telah terjadi perubahan tata
guna lahan yang signifikan sehingga berpengaruh besar terhadap banjir dan longsor. Menurut Philip Kivell dalam bukunya “ Land and The City” lahan sebagai
kekuatana dan lahan sebagai basis dari system perencanaan land as the basis of the planning system dan lahan sebagai lingkungan land as environtment yang kalau kita lihat
jika hal ini kita terapkan dalam pelaksanaan Land Use Planning maka susunan table di atas dapat sesuai dengan UU tenntang kehutanan tersebut
33
Hasibuan, Gindo Maraganti., Peran Serta Masyarakat dan Kelembagaan Terpadu dalam Pengelolaan banjir di Kota Medan Studi Kasus Banjir Kota Medan, Medan, 2005, hlm. 32
Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. USU Repository © 2009
67 Musibah yang terjadi sebenarnya merupakan isyarat-isyarat alam yang seolah-olah
ingin mengatakan bahwa manusia perlu menjaga kelestariannya, jangan mengubah tat guna lahan tanpa memperhatikan keseimbangannya. Alam bilamana dirusak akan secara kontinu
melakukan keseimbangan baru yang dampaknya berupa malapetaka untuk kelangsungan hidup manusia.
Perubahan tata guna lahan memberi andil besar terhadap kenaikan tajam debit sungai. Misal suatu Daerah Pengaliran Sungai DPS yang semula berupa hutan
mempunyai debit 10 m³detik apabila diubah menjadi sawah, maka debit sungainya akan menjadi antara 25 sampai 90 m³detik atau ada kenaikan debit sebesar 2,5 sampai 9 kali
dari debit semula. Bila hutan diubah menjadi kawasan perdagangan atau perindustrian maka debitnya yang semula 10 m³detik akan meningkat tajam menjadi antara 60 sampai
250 m³detik atau meningkat menjadi 6 sampai 25 kali debit semula. Perubahan yang paling besar adalah apabila kawasan hutan itu dijadikan daerah
betonberaspal maka hujan yang turun semuanya akan mengalir di permukaan dan tidak yang meresap ke dalam tanah. Kita dapat melihat bahwa perubahan debit 10 m³detik
berubah menjadi 6,3 sampai 35 kali. Bilamana daerah pengaliran sungai berupa persawahan kemudian dijadikan
kawasan perindustrian maka debit sungainya akan naik menjadi 2 sampai 3 kali. Dapat disimpulkan bahwa normalisasi yaitu dengan melebarkan atau mengeruk
sungai tidak akan ada artinya selama perubahan lahan di atas hulu sungai tidak
Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. USU Repository © 2009
68 diperhatikan. Banjir akan terus terjadi dan bahkan cenderung meningkat walaupun sungai
sudah dinormalisasi. Normalisasi tetap bisa lahan sudah direncanakan dengan baik. Perencanaan Pengamanan Terhadap Sungai disebut juga Perencanaan
Pengendalian Banjir flood control secara umum dapat dibagi menjadi : 1.
Pembangunan sistem pengamanan dan pengendalian banjir pekerjaan sipil. 2.
Pekerjaan non sipil UU, peraturan, Garis Sempadan, Flood warning, Education and Relocation.
34
Yang kemudian membuat suatu rencana mitigasi banjir pada DPS Hulu, DPS Tengah, dan DPS Hilir yang pada prinsipnya membuat sarana fisik atau teknis yang
meliputi : -
Pada DPS Hulu dilaksanakan : Pembuatan wasuk-waduk serbaguna, checkdam, terasing, konservasi tanah untuk menahan tingkat aliran permukaan, mencegah erosi
dan megurangi sediment di sungai. -
Pada DPS Tengah : Menanggul sungai utama dan anak-anak sungaigai untuk melewatkan debit banjir dari DPS hulu ke laut, pembuatan Floodway sudetan,
River training, river improvement, normalisasi dan retarding basin parkir air sungai.
- Pada DPS Hilir : Menanggul sungai utama dan anak-anak sungai, river training, dan
improvement, river and bank protection, rivertment dan retarding dan pembuatan pintu-pintu klep.
35
34
Ibid, Hasibuan, Gindo Maraganti, hlm.66
Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. USU Repository © 2009
69 Dari uraian di atas, tujuan dari usaha pengelolaan satuan wilayah sungai adalah
dalam rangka pencegahan bahaya banjir pada lembah-lembah yang sudah berkembang kota Medan dan peningkatan kemampuan penyediaan air sungai untuk kehidupan
masyarakat dengan kegiatan perbaikan dan pengaturan sungai, pengaturan waduk-waduk sudetan dan lain-lain.
Walaupun demikian, perencanaan pengembangan wilayah sungai dengan rencana waduk-waduk yang bersifat serba guna, kadang-kadang menghadapi konflik berbagai
pemanfaatan, yaitu pengendalian banjir, pembangkit tenaga listrik, irigasi dan berbagai pemanfaatan-pemanfaatan air lainnya. Perencanaan yang kurang matang atau eksploitasi
dan pemeliharaan yang kurang memadai, akan dapat menimbulkan bencana. Karenanya perlu dilakukan suatu perencanaan yang holistic, intergrated and Komprehensif serta
melibatkan masyarakat dan semua stakeholder mulai dari daerah aliran sungai hulu, tengah dn hilir sehingga dapat dilakukan perencanaan wilayah dan pengelolaan terpadu pada DAS
tersebut. Serta yang paling utama adanya control terhadap pengendalian tata ruang dan daya dukung dari wilayah sungai itu sendiri.
Untuk penanganan pengendalian banjir sebagai salah satu bagian penting dari pengelolaan Sumber Daya Air maka metode non-struktur missal konservasi lahan harus
lebih diutamakan baru kemudian dilakukan metode struktur misal normalisasi. Salah satu hal yang juga menyebabkan sulitnya sasaran pengendalian banjir tercapai
adalah disebabkan oleh Daerah Aliran Sungai dikelola oleh berbagai instansi pemerintah.
35
Ibid, hlm. 70
Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. USU Repository © 2009
70 Karena ego kepentingan dari masing-masing maka perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan menjadi ego sektoral. Walaupun sudah sering dikemukakan pengelolan harus terpadu dan menyeluruh, namun kenyataannya hingga saat ini hal tersebut masih berupa
jargon atau lip service. Tidak hanya itu, permasalahan yang juga melibatkan banyak pihak ini juga harus memperhitungkan teritorialnya dari strategi Mebidang yang juga membawa
dampak akan bertambahnya indikasi akan adanya ketidakharmonisan berbagai intansi pemerintah masing-masing yang berwajib. Isu dan permasalahan tersebut yaitu di antaranya
:
No. Aspek
Permasalahan Isu Utama
Permasalahan
1. Prasarana
a. Jalan Kota Kualitas
Layanan Kemacet, Tingginya angka
kecelakaan. Kerusakan fisik jalan, yang menghubungkan
Kota Medan dengan pusat pertumbuhan dan antar pusat
pertumbuhan, seperti Medan- Patumbak di sekitar Simpang
Amplas.
Kuantitas Layanan
Tingkat aksessibilitas antar pusat pertumbuhan belum
terintegrasi b. Listrik
Kuantitas layanan
Kekurangan suplai listrik terhadap aktivitas skala
metropolitan.
c. Telekomunikasi
Kuantitas layanan
Wilayah layanan PT Telkom sangat ditentukan oleh
Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. USU Repository © 2009
71 pertumbuhan kegiatan
hanya melayani kebutuhan d. Drainase
Kualitas Layanan
Jaringan drainase tidak bekerja efektif dalam
mengendalikan banjir. e. Air Bersih
Kualitas Layanan
Tingkat kebocoran tinggi. Kualitas air minum harus
ditingkatkan. Kuantitas
layanan Jaringan perpipaan masih
belum mampu menjangkau beberapa wilayah di kota ini
terutama di wilayah tepi. f. Air Kotor
Kualitas Layanan
Pengolahan belum memenuhi standar
Kuantitas Layanan
Jaringan masih terbatas dalam melayani pembuangan
air limbah. g. Persampahan Kualitas
Layanan Penumpukan sampah pada
pusat – pusat perdaganan tradisional.
Kuantitas Layanan
Fasilitas pengelolaan pengolahan sampah di
TPATPS masih terbatas. 2.
Kemiskinan Kota
Permukiman Kumuh
Permukiman kumuh masih tersebar di kota inti dengan
tingkat pelayanan prasarana dan sanitasi lingkungan yang
Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. USU Repository © 2009
72 rendah.
3. Kelembagaan
Koordinasi antar
pemerintah Kota
Kabupaten Kurangnya respon dan
sinergi pembangunan masing – masing pemerintah kota
kabupaten dalam hal pengembangan sarana dan
prasarana perkotaan. 4.
Lingkungan Kota
Kawasan pusat kota
Inner city Terdapat kawasan yang
terkesan kumuh di pusat kota akibat kurangnya
pemeliharaan bangunan, kemacetan lalu lintas dan
tidak berfungsinya saluran drainase.
5. Ekonomi Kota
Kontribusi ekonomi
local terhadap
ekonomi kota Medan masih
rendah. Belum berkembangnya
sentra industri yang berorientasi ekonomi local.
Jaringan pemasaran produk local khususnya kepada pasar
global masih terbatas.
6. Pembiayaan
Kota Peningkatan
Sumber PAD Realisasi angaran PAD masih
terbatas dalam membiayai pengembangan sarana dan
prasarana perkotaan.
Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. USU Repository © 2009
73 7.
Pertanahan Wilayah
Mebidang merupakan
pilihan utama investasi di
Kawasan Indonesia
Barat, Khususnya di
Sumatera Kebutuhan lahan untuk
investasi PMA dan PMDN semakin besar.
8. Perumahan
Ketimpangan antara
sediaan dan permintaan
rumah yang layak di
Mebidang pada
umumnya dan Kota
Medan Pada khususnya.
Pembangunan perumahan masih terbatas, dan sebagian
besar hanya dijangkau oleh kelompok masyarakat
berpenghasilan menengah ke atas.
Tabel 3. Isu Dan Permasalahan Di Metropolitan Mebidang
36
36
Sumber : Waspada, Kamis 11 Desember 2003
Sumber : Waspada, Kamis 11 Desember 2003
Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. USU Repository © 2009
74
3.3 Manajemen Tata Air Kota Medan