Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. USU Repository © 2009
14
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Negara yang besar adalah Negara yang menghargai jati diri bangsanya dan jati diri sebuah bangsa hanya dapat dibuktikan melalui observasi perjalanan empunya yaitu
sejarahnya. Oleh karena itu, dimanapun kita berpijak pada salah satu sudut dunia ini, tidak membutuhkan banyak waktu untuk menemukan jejak-jejak peninggalan berharga berupa
perbuatan manusia di masa lalu. Dan sebuah peristiwa temporal yang menghebohkan umat manusia tidak akan mudah terlupakan begitu saja karena manusia memiliki hasrat untuk
membuktikan kemampuannya, melalui peristiwa tersebut agar terus menerus diingat dan dikenang dari masa ke masa. Karena kebesaran masa lalu adalah sumber inspirasi bagi
sebuah bangsa, dimanifestasi secara fenomental dalam pembangunan sebuah kota. Begitu pula sejarah perkotaan, sejarah perkotaan belum banyak mendapat perhatian dari kalangan
sejarawan akademis.
1
Seperti yang terjadi pada Negara-negara berkembang maka penduduk di daerah perkotaan di Indonesia sejak decade 1950 cenderung meningkat. Antara tahun 1950-1960
laju pertumbuhan penduduk di Indonesia 3 per tahun kemudian pada tahun 1961-1970 meningkat menjadi 3,6 per tahun dan pada dasawarsa 1971-1981 mencapai angka sekitar
1
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1994
Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. USU Repository © 2009
15 5 .
2
Namun, yang kemudian selalu menjadi persoalan adalah pengendalian pertumbuhan dan perkembangan kota itu yang harus diseimbangkan dengan daya dukung
lingkungannya.
3
Perkembangan dan kemajuan kota diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk dan sebagai konsekuensinya perkembangan kegiatan usaha ekonomi maupun social dari
peningkatan penduduk. Beberapa hal yang menjadi daya pikat kota antara lain pertumbuhan ekonomi, perluasan tenaga kerja serta fasilitas infrastruktur kota itu sendiri atau wilayah
sekitarnya. Ketika daya dukung kota terlampuai maka timbul berbagai macam permasalahan seperti meningkatnya kebutuhan akan fasilitas infrastruktur. Akibatnya
perubahan tata guna lahan berdampak negative kepada kota itu sendiri terutama menurunnya tingkat kenyamanan akibat terbatasnya areal tanah yang ada. Secara lebih
khusus perubahan tersebut berdampak pada banjir dan genangan yang cenderung meningkat dari waktu ke waktu.
4
Kota-kota besar di Indonesia mengalami peningkatan populasi mausia karena daya pikat yang merangsang manusia berpindah dari desa ke kota. Lahan-lahan yang sebelumnya
untuk daerah suaka alam sehingga menjaga keseimbangan, diambil alih untuk pemukiman, industri dan lainnya. Namun, dampaknya dapat kita rasakan sangat besar, seperti banyak
2
Kodoatie, Robert J dan Sugiayanto, Banjijr, Beberapa Penyebab dan Metode Pengendaliannya Dalam Perspektif Lingkungan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002., hlm. 1
3
ibid, hlm. 3
4
Ibid
Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. USU Repository © 2009
16 kekacauan medis dan sebab-sebab kematian lainnya dan ketidakmampuan, berkaitan
dengan urbanisasi.
5
5
McNaughton., Wolf, Larry C, Ekologi Umum terj Sunaryo Pringsoseputro da Srigandono, Yogyakarta : UGM Press, 1990, hlm. 1000
Meskipun begitu, letak geografis juga sangat mempengaruhi keadaan lingkungan suatu daerah. Factor ini menyebabkan keuntungan dan kerugian bagi penduduk yang
bertempat tinggal pada daerah tersebut. Salah satunya yang banyak merugikan manusia saat ini adalah bencana banjir yang secara matematis tidak dapat terelakkan.
Masalah banjir di kota Medan agaknya tidak terlepas dari kondisi geografis kota ini yang memang dilalui sejumlah sungai besar dan sungai kecil beserta beberapa anak sungai
lainnya. Sungai besar yang membelah kota Medan, adalah sungai Belawan, sungai Deli, sungai Percut dan sungai Kera serta sungai Babura.
Sebagaimana kita ketahui, kota Medan adalah sebuah kota yang kecepatan laju perekonomian dan aspek sosailnya lainnya tergolong sangat pesat. Dimulai dari
didirikannya sebuah kampung kecil oleh seorang petinggi bangsawan Karo, hingga kota ini berubah menjadi sebuah kota praja, pusat pemerintahan, perekonomian, pendidikan dan
lain sebagainya. Dengan adanya perkembangan tersebut, menyebabkan minat sangat besar dari penduduk sekitar kota Medan untuk hijrah dan melakukan urbanisasi yang sangat besar
jumlahnya sehingga menjadi perhatian utama pemerintah kota Medan. Oleh karena itu, pemerintah kota Medan berupaya untuk mengentaskan masalah ini melalui pemekaran
wilayah kota Medan yang disetujui oleh Gubernur Propinsi Sumatera Utara.
Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. USU Repository © 2009
17 Sejarahnya, sejak tahun 1918 Medan telah berupa kotapraja kecuali kota Maksum
dan daerah sungai Kera yang berada di bawah kekuasaan Kesultanan Deli. Ketika itu penduduknya berjumlah 43.826 orang yang terbagi ke dalam bangsa Eropa sebanyak 409
orang, bangsa Pribumi sebanyak 25.000 orang bangsa Cina sebanyak 8.269 orang dan bangsa lainnya sebanyak 130 orang. Kemudian melalui Keputusan Gubernur Propinsi
Sumatera Utara no. 66IIIPSU menyatakan bahwa mulai tangga 21 September 1951 kota Medan diperluas hingga tiga kali lipat. Disusul Maklumat Walikota no.21 tanggal 29
Sepetember 1951, luas teritorialnya menjadi 5.130 ha dengan 4 kecamatan yaitu Kecamatan Medan, Kecamatan Medan Timur, Kecamatan Medan Barat, dan Kecamatan Baru. Melalui
UU Darurat no.7 dan 8 tahun 1956 Propinsi Daerah Tingkat II dibagi menjadi Kabupaten Deli Serdang dan Kotamadya Medan. Melalui Peraturan Pemerintah no. 22 tahun 1973,
pemerintah memasukkan sebagian wilayah Kabupaten Deli Serdang ke kotamadya Medan sehingga daerah ini memiliki luas 26.540 ha yang terdiri dari 11 kecamatan dan 116
kelurahan. Kemudian, melalui Surat Persetujuan Menteri Dalam Negeri no.1402271PUOD pada tanggal 5 Mei 1986, jumlah kelurahan ditambah menjadi 144 dari
11 kecamatan. Selanjutnya melalui Peraturan Pemerintah RI no. 59 tahun 1991 tentang pembentukan kecamatan termasuk dan kecamatan pemekaran di kotamadya Daerah
Tingkat II Medan sehingga dari 11 kecamatan diubah menjadi 19 kecamatan dan melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no. 49 tahun 1991 tentang pembentukan bberapa
Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. USU Repository © 2009
18 kecamatan di Sumatera Utara termasuk dua kecamatan pemekaran di kotamadya Daerah
Tingkat II Medan, sehingga dari 19 kecamatan menjadi 21 kecamatan yaitu : 1.
Kecamatan Medan Kota : 26 kelurahan
2. Kecamatan Medan Timur
: 18 kelurahan 3.
Kecamatan Medan Barat : 13 kelurahan
4. Kecamatan Medan Baru
: 18 kelurahan 5.
Kecamatan Medan Deli : 6 kelurahan
6. Kecamatan Medan Labuhan
: 7 kelurahan 7.
Kecamatan Medan Johor : 11 kelurahan
8. Kecamatan Medan Sunggal
: 14 kelurahan 9.
Kecamatan Medan Tuntungan : 11 kelurahan 10.
Kecamatan Medan Denai : 14 kelurahan
11. Kecamatan Medan Belawan
: 6 kelurahan 12.
Kecamatan Medan Amplas : 8 kelurahan
13. Kecamatan Medan Tembung
: 7 kelurahan 14.
Kecamatan Medan Area : 12 kelurahan
15. Kecamatan Medan Polonia
: 5 kelurahan 16.
Kecamatan Medan Maimun : 6 kelurahan
17. Kecamatan Medan Selayang
: 6 kelurahan 18.
Kecamatan Medan Helvetia : 7 kelurahan
Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. USU Repository © 2009
19 19.
Kecamatan Medan Petisah : 7 kelurahan
20. Kecamatan Medan Marelan
: 4 kelurahan 21.
Kecamatan Medan Perjuangan : 9 kelurahan
6
Akibat adanya pemekaran wilayah yang dilakukan beberapa kali oleh pemerintah kotamadya Medan, hasil statistic jumlah penduduk kota Medan menunjukkan pertumbuhan
yang sangat pesat yaitu : interval jumlah penduduk pada tahun 1971-1980 sebesar 635.562 – 1.378.955
7
, serta persentase pertumbuhan penduduk pada tahun 1961-1971 yang berada pada level 2,90 pada tahun 1971-1980 naik hingga 3,58 dan angka ini semakin
bertambah.
8
Masalah pengrusakan lingkungan dengan salah satu dampaknya adalah banjir di kota Medan, yang telah berlangsung dari tahun ke tahun dan hasilnya kesengsaraan bagi
Maka dari itu, apabila kita berbicara mengenai masalah urbanisasi yang dikaitkan dengan dampak lingkungan hidup fisik, dan social kota, maka kita tidak dapat mrlepaskan
diri dari pengaruh perkembangan kota, kemajuna industri, teknologi dan pembangunan. Akibat dari perkembangan dan pembangunan dapat menimbulkan berbagai jenis dampak
lingkungan hidup baik yang positif maupun yang negative. Dampak ini bagi lingkungan kota yang bersifat negative dapat timbul di berbagai kota di dunia dan terutama di Negara
berkembnag, termasuk kota-kota di Indoneia.
6
Badan Pusat Statistik Medan Dalam Angka Thaun 1999., hlm xiii-xvi
7
Kantor Statistik Propinsi Sumatera Utara dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Tingkat II ropinsi Sumatera Utara, Sumut Dalam Angka 1988, hlm. 42
8
op cit, hlm. 44
Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. USU Repository © 2009
20 masyarakat dan pemandangan yang tidak lagi indah dari suatu kota dan tentu saja hal ini
menyebabkan kota cenderung terkesan kumuh. Menurut Badan Pusat Statistik kotamadya Medan, banjir pada tahun 1987 terjadi sebanyak 11 kali begitu pula pada tahun 1988,
sedangkan pada tahun 1989-1990 masing-masing pernah mengalami banjir sebanyak 1-2 kali. Kerugian akibat bencana alam ini terhitung hingga ratusan juta rupiah yaitu sekitar Rp.
428.000.000 pada tahun 1986-1990. Jumlah yang tidak sedikit pada kurun waktu tersebut.
9
9
Kantor Badan Pusat Statistik kotamadya Medan, Kotamadya Medan Dalam Angka Tahun 1991, hlm. 112-113
Persoalan banjir di kota Medan ternyata kini sudah menjadi penyakit kronis dan jadi tradisi tahunan. Sebenarnya berbagai upaya telah dilakukan, dan tidak terhitung berapa
dana yang telah tercurahkan di berbagai proyek penanganan banjir kota ini. Selama sepuluh tahun terakhir saja upaya penanangan banjir sudah menghabiskan sedikitnya Rp. 300
miliar. Namun, kenyataaannya dana tersebut seperti air di padang pasir, seluruh uang rakyat itu habis entah ke mana, sementara banjir terus menjadi kegelisahan bagi masyarakat kota
Medan. Namun, sampai sekarang banjir masih saja menghantui 2,1 juta jiwa masyarakat
kota Medan. Ini karena banjir kini tidak bergantung jika hujan turun di hulu sungai Deli saja, hujan di kota Medan pun bisa menyebabkan orang Medan bermasalah dengan
genangan-genangan air di mana-mana. Begitu pula sejumlah kawasan permukiman padat penduduk yang menjadi langganan rendaman banjir, terutama kalau hujan deras mengguyur
di bagian hulu sungai-sungai yang melintasi kota Medan.
Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. USU Repository © 2009
21 Untuk menuntaskan banjir, pihak pemerintah kota Medan pernah memakai jasa tim
konsultas dari Belanda untuk menemukan jalan keluar untuk air yang selama ini membanjiri kota Medan. Dari penelitian tersebut, antara lain diidentifikasi masalah
sedimentasi atas drainase serta kecenderungan warga masyarakat yang selalu terbiasa membuang sampah ke sungai dan parit, hingga menyebabkan banjir selalu terjadi di
Medan. Saat ini langkah darurat pemerintah kota Medan dalam menangani banjir, yaitu
dengan menggiatkan program pembersihan drainase di lokasi rawan banjir. Selanjutnya, Dinas Pekerjaan Umum Medan juga terus melancarkan pemetaan lokasi genagan air setiap
musim hujan untuk persiapan darurat jika hujan lebat melanda kota Medan. Tidak menampik bahwa beralihfungsinya daerah resapan menjadi permukiman juga turut
menambah kuantitas banjir di kota Medan. Selain itu, pertumbuhan penduduk di sepanjang bantaran sungai yang juga berpotensi menimbulkan penyempitan sungai. Sebagai
perbandingan, masyarakat kota Mdna harus mengambil pelajaran dari bencana banjir yang terjadi di ibukota Jakarta dan juga di daerahnya sendiri yang disebabkan hilangnya daerah
resapan air karena terlalu banyak digunakan untukmembangun perumahan atau pertokoan. Belajar dari peristiwa di Jakarta, maka warga kota Medan harus dapat mewaspadai
wilayah selatannya antara lain kawasan Sembahe, Pancur Batu, Namu Rambe, dan Deli Tua sebagai wilayah perbukitan yang merupakan kawasan resapan air. Jangan sampai
kondisinya semakin parah akibat eksploitasi. Fungsi resapan air daerah itu dinilai mulai
Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. USU Repository © 2009
22 dialihkan menjadi komplek perumahan serta pembangunan villa dan bungalow. Hal ini
sangat berbahaya karena dapat mengancam daerah di bawahnya dari serangan banjir sewaktu-waktu. Dari uraian-uraian ini jelaslah bahwa perubahan unsure-unsur lingkungan
dapat menjadi salah satu factor penyhebab terjadinyha bencana banjir.
1.2 Rumusan Masalah