21
Theory Planned of Behavior TPB yaitu keyakinan atau sikap berperilaku, norma subjektif dan kontrol perilaku. Teori ini menyebutkan bahwa intensi adalah fungsi
dari tiga determinan dasar, yaitu:
a. Sikap, merupakan dasar bagi pembentukan intensi. Di dalam sikap terhadap
perilaku terdapat dua aspek pokok, yaitu: keyakinan individu bahwa menampilkan atau tidak menampilkan perilaku tertentu akan menghasilkan
akibat-akibat atau hasil-hasil tertentu, dan merupakan aspek pengetahuan individu tentang obyek sikap dapat pula berupa opini individu hal yang belum
tentu sesuai dengan kenyataan. Semakin positif keyakinan individu akan akibat dari suatu obyek sikap, maka akan semakin positif pula sikap individu terhadap
obyek sikap tersebut, demikian pula sebaliknya Fishbein Ajzen, 1988.
b. Norma subjektif, yaitu keyakinan individu akan norma, orang sekitarnya dan
motivasi individu untuk mengikuti norma tersebut. Di dalam norma subjektif terdapat dua aspek pokok, yaitu: keyakinan akan harapan, harapan norma
referensi, merupakan pandangan pihak lain yang dianggap penting oleh individu yang menyarankan individu untuk menampilkan atau tidak
menampilkan perilaku tertentu serta motivasi kesediaan individu untuk melaksanakan pendapat atau pikiran pihak lain yang dianggap penting bahwa
individu harus atau tidak harus berperilaku.
c. Kontrol perilaku, yang merupakan dasar bagi pembentukkan kontrol perilaku
yang dipersepsikan. Kontrol perilaku yang dipersepsi merupakan persepsi terhadap kekuatan faktor-faktor yang mempermudah atau mempersulit suatu
22
perilaku. Dalam beberapa penelitian kewirausahaan, kontrol perilaku dioperasionalkan dalam bentuk efikasi diri.
2.1.5. Definisi Kewirausahaan
Kewirausahaan mulai dikenal secara populer pada awal abad ke-18. Pada tahun 1755, seorang Irlandia bernama Richard Cantillon yang berdiam di Perancis
merupakan orang yang pertama yang menggunakan istilah “wirausaha” didalam bukunya Essai Sur la Nature du Commerce en Generale terjemahan. Di dalam
bukunya tersebut, ia menjelaskan bahwa wirausaha adalah seorang yang menanggung resiko. Pada awalnya, istilah wirausaha merupakan sebutan bagi
para pedagang yang membeli barang kemudian menjualnya dengan harga yang tidak pasti. Namun istilah tersebut berkembang seiring perkembangan ilmu
pengetahuan. Menurut Schumpeter 1912 wirausaha tidak selalu berarti pedagang atau
manajer, tetapi juga seorang unik yang memiliki keberanian dalam mengambil resiko dan memperkenalkan produk-produk inovatif serta teknologi baru ke dalam
perekonomian. Sejalan dengan konsep kewirausahaan, Drucker 1994 mendefinisikan
kewirausahaan sebagai kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda melalui pemikiran kreatif dan tindakan inovatif demi terciptanya
peluang. Secara luas definisi tersebut dikemukakan oleh Peter Hisrich 1995: 10 dalam Suryana, 2007, yang mengatakan bahwa kewirausahaan adalah proses
penciptaan sesuatu yang berbeda untuk menghasilkan nilai dengan mencurahkan
23
waktu dan usaha, diikuti penggunaan uang, fisik, resiko, dan kemudian menghasilkan balas jasa berupa uang serta kepuasan dan kebebasan pribadi.
Banyak sekali definisi kewirausahaan karena wirausaha dapat dipandang dari berbagai sudut dan konteks, seperti dari sudut pandang ahli ekonomi,
manajemen, pelaku bisnis, psikologi, dan pemodal Suryana, 2007. Namun dalam hal ini, peneliti akan lebih mengacu pada pengertian atau definisi kewirausahaan
dalam sudut pandang pelaku bisnis, karena dianggap lebih relevan dengan maksud dan tujuan penelitian ini.
Menurut Scarborough dan Zimmerer 1993: 5, mengenai definisi wirausaha: “an entrepreneur is one who creates a new business in the face of risk
and uncertainty for the purpose of achieving profit and growth by identifying opportunities and assembling the necessary resources to capitalize on those
opportunities”. Dalam definisi ini wirausaha adalah orang yang menciptakan suatu bisnis
baru dalam menghadapi resiko dan ketidakpastian dengan maksud untuk memperoleh keuntungan dan pertumbuhan dengan cara mengenali peluang dan
mengkombinasikan sumber-sumber daya yang diperlukan untuk memanfaatkan peluang tersebut.
Dun Steinhoff dan John F. Burgess 1993: 35, pengusaha adalah orang yang mengorganisasikan, mengelola, dan berani menanggung risiko sebuah usaha
atau perusahaan a person who organizes, manages, and assumes the risk of a business or enterprise is an entrepriner.
24
Menurut Sri Edi Swasono 1978: 38, wirausaha adalah pengusaha, tetapi tidak semua pengusaha adalah wirausaha. Kewirausahaan juga didefinisikan
sebagai nilai yang diperlukan untuk mengembangkan usaha Soeharto Prawiro, dalam Suryana, 1997.
Enterpreneurship atau kewirausahaan menurut Suryana 2007 adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat, dan sumber daya
untuk mencari peluang menuju sukses. Dengan demikian, peneliti memilih teori yang dikemukakan oleh
Scarborough dan Zimmerer 1993: 5 bahwa wirausaha adalah orang yang menciptakan suatu bisnis baru dalam menghadapi resiko dan ketidakpastian
dengan maksud untuk memperoleh keuntungan dan pertumbuhan dengan cara mengenali peluang dan mengkombinasikan sumber-sumber daya yang diperlukan
untuk memanfaatkan peluang tersebut. Definisi ini peneliti anggap lebih sesuai dengan penelitian yang akan dilakukan mengenai wirausaha.
2.1.6. Karakteristik Kewirausahaan
Dengan menggunakan gabungan pandangan dari Thomas dan McClelland 1961, Thomas F. Zimmerer 1996: 6-8
dalam Suryana, 2001 memperluas karakteristik sikap dan perilaku wirausaha yang berhasil sebagai berikut:
1. Commitment and Determination, yaitu memiliki komitmen dan tekad yang
bulat untuk mencurahkan semua perhatian terhadap usaha. Sikap yang setengah hati mengakibatkan besarnya kemungkinan untuk gagal dalam
berwirausaha.
25
2. Desire for responsibility, yaitu memiliki rasa tanggung jawab dalam
mengendalikan sumber daya yang digunakan dan keberhasilan berwirausaha, oleh karena itu wirausaha akan mawas diri secara internal.
3. Opportunity obsession, yaitu berambisi untuk selalu mencari peluang.
Keberhasilan wirausaha selalu diukur dengan keberhasilan untuk mencapai tujuan. Pencapaian tujuan terjadi apabila terdapat peluang.
4. Tolerance for risk, ambiguity, and uncertainty, yaitu tahan terhadap resiko
dan ketidakpastian. Wirausaha harus belajar mengelola risiko dengan cara mentransfernya kepihak lain. Wirausaha yang berhasil biasanya memiliki
toleransi terhadap pandangan yang berbeda dan ketidakpastian. 5.
Self confidence, yaitu percaya diri. Wirausaha cenderung optimis dan memiliki keyakinan yang kuat terhadap kemampuan yang dimilikinya
untuk berhasil. 6.
Creativity and flexibility, yaitu berdaya cipta dan luwes. Salah satu kunci penting adalah kemampuan untuk menghadapi perubahan permintaan.
7. Desire for immidiate feedback, yaitu selalu memerlukan umpan balik
dengan segera. Wirausaha selalu ingin mengetahui hasil dari apa yang dikerjakannya. Oleh karena itu, dalam memperbaiki kinerjanya, wirausaha
selalu memiliki kemampuan untuk menggunakan ilmu pengetahuan yang telah dimilikinya dan belajar dari kegagalan.
8. High level of energy, yaitu memiliki tingkat energi yang tinggi. Wirausaha
yang berhasil biasanya memiliki daya juang yang lebih tinggi dibanding
26
kebanyakan orang, sehingga ia lebih suka kerja keras walaupun dalam waktu yang relatif lama.
9. Motivation to excel, yaitu memiliki dorongan untuk selalu unggul.
Wirausaha selalu ingin lebih unggul dan berhasil dalam mengerjakan apa yang dilakukannya dengan melebihi standar yang ada. Motivasi ini muncul
dari dalam diri internal dan jarang dari faktor eksternal. 10. Orientation to the future, yaitu berorientasi pada masa depan. Untuk
tumbuh dan berkembang, wirausaha selalu berpandangan jauh ke masa depan yang lebih baik.
11. Willingness to learn from failure, yaitu selalu belajar dari kegagalan. Wirausaha yang berhasil tidak pernah takut akan kegagalan. Ia selalu
memfokuskan kemampuannya pada keberhasilan. 12. Leadership ability, yaitu kemampuan dalam kepemimpinan. Wirausaha
yang berhasl memiliki kemampuan untuk menggunakan pengaruh tanpa kekuatan serta harus memiliki taktik mediator dan negosiator daripada
diktator.
2.1.7. Definisi Intensi Berwirausaha
Intensi kewirausahaan menurut Katz dan Gartner 1988 dapat diartikan sebagai proses pencarian informasi yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan
pembentukan suatu usaha. Dalam hasil penelitian oleh Wijaya 2007 bahwa salah satu faktor wirausaha adalah adanya keinginan dan keinginan ini oleh Fishbein
dan Ajzen 1975 disebut sebagai intensi yaitu komponen dalam diri individu yang mengacu pada keinginan untuk melakukan tingkah laku tertentu.
27
Berdasarkan hal diatas, maka peneliti mengambil kesimpulkan bahwa intensi berwirausaha adalah seberapa kuat keinginan atau niat seseorang dalam
mencoba dan berusaha merencanakan untuk mencapai tujuan dalam pembentukan suatu usaha atau melakukan kegiatan wirausaha.
2.1.8. Indikasi dari Intensi Berwirausaha
Indikasi intensi berwirausaha diambil dari Jean-Pierre Boissin et. al. 2009 dari Feisbein dan Ajzen 1988 adalah:
a. Seberapa keras seseorang mencoba berwirausaha.
b. Seberapa banyak seseorang merencanakan untuk berwirausaha.
2.1.9. Alat Ukur Intensi Berwirausaha
Model intensi berwirausaha merupakan hal yang cukup perlu untuk menganalisa intensi seseorang menjadi wirausahawan, oleh karena itu dibutuhkan alat ukur
yang baik untuk mengukur intensi. Di dalam jurnal penelitian yang berjudul Student and entrepreneurship; a comparative study of France and USA, alat ukur
yang digunakan untuk mengukur intensi berwirausaha menggunakan adalah Entrepreneurial Intention Quesionnaire EIQ yang telah dikembangkan
berdasarkan teori dan studi empirik. EIQ juga telah diuji ulang oleh peneliti lainnya, seperti Kolveired 1996, Kolvereid dan Isaksen in press, Chen et al.
1998, Kickul dan Zaper 2000, Krueger et al. 2000 atau Veciana et al. 2005 yang secara hati-hati merevisi guna mengatasi diskrepansi yang mungkin muncul
antara instrumen yang berbeda. Alat ukur ini memiliki tingkat reliabilitas yang tinggi dengan nilai alpha cronbach 0.947.
28
Di dalam jurnal penelitian Gender effects on entrepreneurial intentions: a TPB multigroup analysis at factor and indicator level alat ukur untuk intensi
berwirausaha menggunakan alat ukur yang dikembangkan sendiri berdasarkan teori perilaku berencana perceived behavior control milik Ajzen 1991 Leroy
et al., 2009. Alat ukur tersebut terdiri dari lima item dengan model skala Likert dengan rentang poin 1 ”sangat tidak setuju” sampai poin 5 “sangat setuju”.
Sedangkan dalam jurnal penelitian conceptualizing academic-entrepreneurial intentions: An emperical test oleh Prodan dan Drnovsek 2010 alat ukur yang
digunakan berbeda dengan penelitian yang telah disebutkan sebelumnya. Dalam penelitian ini menggunakan alat ukur yang setiap itemnya diambil serta
dikombinasikan dari beberapa hasil peneliti lain. Penelitian ini terdiri dari enam buah item serta menggunakan skala Likert dengan rentang lima poin, dimana
untuk setiap item memiliki pilihan jawaban pernyataan yang berbeda-beda. Item yang pertama diambil dari Chen et al., 1998 dengan skala “tidak tertarik sama
sekali” sampai “sangat tertarik”. Item yang kedua juga diadaptasi dari item miliki Chen et al., 1998 dimana memilki pernyataan skala “tidak menentukan sama
sekali” sampai “sangat menentukan”, untuk item yang ketiga memiliki pernyataan skala “sangat tidak setuju” sampai dengan “sangat setuju” yang diadaptasi dari
Kassicieh et al., 1997, sedangkan item keempat dan kelima menggunakan rentangan skala yang menggunakan nilai, yaitu nilai 0 sampai 100 Krueger et
al., 2000, dan item yang keenam responden diminta untuk menuliskan aktifitas yang berhubungan dengan untuk memulai suatu bisnis sebanyak 14 aktifitas
dimana item ini diadaptasi dari Gatewood et al., 1995.
29
Dalam penelitian sebelumnya, kuesioner dengan item tunggal juga telah digunakan pada penelitian terdahulu. Krueger et al. 2000, Peterman dan
Kennedy 2003, Veciana et al. 2005 atau Kolvereid dan Isaksen in press pernah menggunakan alat ukur intensi berwirausaha dengan item tunggal. Namun,
Nunnally 1978; dalam Linan dan Chen, 2006 menyebutkan bahwa alat ukur dengan banyak item lebih baik dibanding dengan item tunggal.
Dari berbagai jenis alat ukur dan pendapat yang dikemukakan oleh beberpa
ahli, maka
peneliti menentukan
untuk menggunakan
item Entrepreneurial Intention Quesionnaire EIQ dengan jumlah item enam buah
dan model pengisiannya menggunakan model skala likert dengan rentangan 7, dengan skala 1 menunjukkan “sangat tidak setuju” sampai dengan skala 7 yang
menunjukkan “sangat setuju”. Peneliti menggunakan alat ukur ini karena peneliti menganggap alat ukur ini sudah cukup banyak digunakan oleh para peneliti
sebelumnya serta mudah untuk diaplikasikan dilapangan, memiliki nilai alpha cronbach lebih tinggi dibanding alat ukur yang telah peneliti jelaskan sebelumnya
serta lebih sesuai dengan kebutuhan dalam penelitian yang akan peneliti lakukan. Namun demikian, karena alat ukur tersebut berasal dari tempat dengan budaya
yang berbeda serta karakteristik sampel yang berbeda pula, maka perlu dilakukan adaptasi agar sesuai dengan kondisi dan karakteristik sampel yang akan peneliti
gunakan.
30
2.2 . Self Efficacy
2.2.1 Definisi Self Efficacy
Self efficacy didefinisikan menurut Bandura 1977 adalah “as a person’s belief about their ability to organize and execute course of action necessary to achieve a
goal” yang memiliki arti bahwa efikasi diri sebagai keyakinan seseorang mengenai kemampuan mereka untuk mengatur dan menjalankan berbagai
kegiatan yang sesuai guna mencapai sebuah tujuan. Dalam buku psikologi sosial diketahui bahwa efikasi diri, yakni ekspektasi
tentang kemampuan kita untuk melakukan tugas tertentu Bandura, 1986. Durkin menyatakan bahwa efikasi diri mengacu pada keyakinan individu
dimana seseorang bisa melatih kontrol selama kejadian yang mempengaruhi kehidupannya Bandura, 1986.
Sedangkan Bandura 1977 dalam Baron and Byrne 1991 mendefinisikan efikasi diri sebagai evaluasi seseorang mengenai kemampuan atau kompetensi
dirinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai tujuan, dan mengatasi hambatan. Menurut Bandura 1997, efikasi diri adalah penilaian tentang kemampuan
seseorang untuk melaksanakan sebuah tugas dalam hal yang spesifik. Efikasi diri yakni sebuah rasa optimis mengenai kompetensi dan efektifitas
dalam dirinya Bandura et. al., 1999; Maddux and Gosselin, 2003. Self efficacy juga diartikan sebagai “Belief refer to the spesific
expectations that we hold about our abilities to accomplish spesific task” Bandura, 2006. Efikasi diri diartikan sebagai keyakinan terhadap harapan
31
spesifik yang kami pegang mengenai kemampuan kita untuk menyelesaikan tugas yang jelas.
Bandura dan Wood dalam Ghufron dan Rini, 2010 menjelaskan bahwa efikasi diri mengacu pada keyakinan akan kemampuan individu untuk
menggerakan motivasi, kemampuan kognitif, dan tindakan yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan situasi.
Bandura 1997 juga mengatakan bahwa efikasi diri pada dasarnya adalah hasil dari proses kognitif berupa keputusan, keyakinan, atau pengharapan tentang
sejauh mana individu memperkirakan kemampuan dirinya dalam melaksanakan tugas atau tindakan tertentu yang diperlukan untuk mencapai hasil yang
diinginkan. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa efikasi diri adalah
keyakinan didalam diri individu mengenai kemampuan dirinya untuk melakukan dan menyelesaikan suatu tugas sehingga tercapai hasil yang diinginkan. Orang
yang memiliki keyakinan tinggi terhadap kemampuannya akan memandang tugas sulit sebagai suatu tantangan yang harus dikuasai, bukan sebagai ancaman yang
harus dihindari. Kesimpulan ini lebih mengarah ke teori dari Bandura dikarenakan teori tersebutlah yang lebih sesuai dan banyak digunakan oleh peneliti mengenai
self efficacy.
2.2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Self Efficacy
Bandura 2000: 212-213 menyatakan bahwa ada empat cara untuk mengembangkan suatu pemahaman yang kuat mengenai efikasi diri :
32
1. Mastery experiences, hal ini menjelaskan bahwa kesuksesan dapat membangun kepercayaan terhadap kemanjuran seseorang, sedangkan kegagalan akan
meruntuhkan kepercayaan terhadap kemanjurannya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa jika seseorang meraih kesuksesan dengan cara yang mudah maka dia
akan mudah terpukul karena kegagalan. Mengembangkan rasa tabah terhadap kemampuan diri memerlukan pengalaman dalam mengatasi berbagai hambatan
melalui usaha yang tekun. 2. Social modeling atau vicarious learning, seseorang melihat orang lain seperti
dirinya bisa meraih kesuksesan melalui usaha yang berkesinambungan, maka dia akan mempercayai bahwa dirinya juga memiliki kapasitas untuk meraih
kesuksesan seperti orang tersebut. Sebaliknya, bila yang diamati adalah kegagalan orang lain, hal ini dapat menanamkan keraguan terhadap
kemampuannya untuk menguasai aktivitas yang sama. Model yang kompeten dapat pula membangun efikasi dengan menyampaikan pengetahuan dan
keahlian untuk mengatur tuntutan lingkungan. 3. Bujukan sosial atau persuasi, seseorang dibujuk bahwa ia memiliki semua
potensi dan kemampuan untuk meraih kesuksesan maka ia akan mengerahkan usaha yang lebih banyak ketika menghadapi suatu masalah. Para ahli persuasi
sosial yang efektif melakukan lebih banyak hal ketimbang sekadar menyuntikkan keyakinan kepada seseorang tentang kemampuannya.
4. Psychological dan physical states, dimana seseorang membaca tekanan, kecemasan, dan depresi diri mereka sebagai tanda ketidakmampuan personal di
dalam kegiatan-kegiatan yang memerlukan kekuatan dan stamina. Mereka
33
menafsirkan kejenuhan dan penderitaan sebagai indikator kemanjuran fisik yang lemah.
2.2.3. Dimensi-dimensi Self Efficacy
Menurut Bandura 1997, efikasi diri pada diri tiap individu akan berbeda antara satu individu dengan yang lainnya berdasarkan tiga dimensi. Berikut ini adalah
tiga dimensi tersebut. 1. Dimensi tingkat level
Derajat kesulitan tugas ketika individu merasa mampu untuk melakukannya. Apabila individu dihadapkan pada tugas-tugas yang mudah, sedang, atau
bahkan meliputi tugas-tugas yang paling sulit, sesuai dengan batas kemampuan yang dirasakan untuk memenuhi tuntutan perilaku yang
dibutuhkan pada masing-masing tingkat. 2. Dimensi kekuatan strength
Tingkat kekuatan dari keyakinan atau pengharapan individu mengenai kemampuannya. Pengharapan yang lemah mudah digoyahkan oleh
pengalaman-pengalaman yang tidak mendukung. Sebaliknya, pengharapan yang mantap mendorong individu tetap bertahan dalam usahanya.
3. Dimensi Generalisasi generality Luas bidang tingkah laku yang mana individu merasa yakin akan
kemampuannya. Individu dapat merasa yakin terhadap kemampuan dirinya. Apakah terbatas pada suatu aktivitas dan situasi tertentu atau pada
serangkaian aktivitas dan situasi yang bervariasi.
34
Berdasarkan dari teori-teori di atas, maka penulis memilih salah satu teori yang sesuai dengan penelitian yang akan dilakukan, yaitu teori dari Bandura
1997: 55, menggambarkan self efficacy sebagai kepercayaan atau keyakinan terhadap kemampuan yang dimilikinya untuk mengorganisasikan dan menentukan
tindakan untuk menghasilkan sesuatu dari apa yang ingin dicapai.
2.2.4. Alat Ukur Self Efficacy
Alat ukur yang akan digunakan untuk mengukur self efficacy dalam penelitian ini menggunakan alat ukur milik Kolvereid 1996 dengan item berjumlah enam. Alat
ukur ini telah sering digunakan oleh peneliti sebelumnya, seperti Chen et al., 1998; DeNoble et al., 1999; Zhao et al., 2005. Dalam jurnal Testing The
Entrepreneurial Intention Model On a Two-Country Sample Linan dan Chen, 2006 diketahui bahwa alat ukur self efficacy yang dikembangkan oleh kolvereid
1996 yang berjumlah enam item memiliki hasil yang lebih baik jika dibandingkan dengan alat ukur Klovereid dan Issaksen in press yang
menggunakan 18 item dimana item-item tersebut dibagi menjadi empat faktor. Hal tersebut dapat dilihat dengan nilai alpha cronbach sebesar 0.898 yang berarti
alat ukur ini memiliki tingkat reliabilitas yang tinggi dalam mengukur self efficacy seseorang. Dengan alasan tersebut, waktu, tenaga, dan dana yang terbatas, maka
peneliti memutuskan untuk menggunakan alat ukur tersebut. Namun demikian, karena alat ukur berasal dari tempat dengan budaya yang berbeda serta
karakteristik sampel yang berbeda pula, maka perlu dilakukan adaptasi agar sesuai dengan kondisi dan karakteristik sampel yang akan peneliti gunakan.
35
2.3. Locus of Control
2.3.1. Definisi Locus of control
Locus of control Jung, 1978 adalah gambaran keyakinan seseorang mengenai sumber penentu perilakunya.
Locus of control juga diartikan oleh Julian B. Rotter 1966 sebagai peristiwa yang dialami seseorang sebagai suatu reward atau reinforcement, dapat
dipersepsikan secara berbeda dan juga menimbulkan reaksi yang berbeda pada setiap individu.
locus of control Rotter, 1966 juga didefinisikan sebagai sesuatu ukuran harapan umum seseorang mengenai pengendalian control terhadap penguat
reinforcement. Locus of control merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan
perilaku individu dan juga locus of control didefinisikan sebagai gambaran pada keyakinan seseorang mengenai sumber penentu perilakunya Rotter, 1996; dalam
Ghufron dan Rini, 2010. Lindzey dan Aroson 1975 menyebutkan tiga istilah utama yang
digunakan Rotter dalam teori belajar sosial, yaitu perilaku potensial, harapan, dan nilai penguat. Diketahui bahwa locus of control menurut Petri 1980 adalah
konsep yang secara khusus berhubungan dengan harapan individu mengenai kemampuannya untuk mengendalikan penguat tersebut.
2.3.2. Aspek-aspek Locus of Control
Locus of control memiliki empat konsep dasar menurut Rotter 1966. Konsep dasar atau aspek-aspek tersebut, yaitu:
36
1. Potensi perilaku, yaitu setiap kemungkinan yang secara relatif muncul pada situasi tertentu. Hal ini berkaitan dengan hasil yang diinginkan dalam
kehidupan seseorang. 2. Harapan merupakan suatu kemungkinan dari berbagai kejadian yang akan
muncul dan dialami oleh seseorang. 3. Nilai unsur penguat adalah pilihan terhadap berbagai kemungkinan penguatan
atas hasil dari beberapa penguat hasil-hasil lainnya yang dapat muncul pada situasi serupa.
4. Suasana psikologis adalah bentuk rangsangan baik secara internal maupun eksternal yang diterima seseorang pada suatu saat tertentu, yang
meningkatkan atau menurunkan harapan terhadap munculnya hasil yang sangat diharapkan.
2.3.3. Dimensi Locus of Control
Rotters 1966 menyatakan bahwa seseorang menyakini bahwa penguat yang mereka dapatkan dikontrol oleh perilaku dirimereka sendiri, orang lain, atau
tekanan dari luar seperti keberuntungan atau nasib. Sehingga locus of control dapat didiklasifikasikan menjadi dua dimensi, yaitu:
1. Internal control, merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan keyakinan akan kendali individu mengenai perilaku dan tindakan mereka
yang menjadi konsekuensi terhadap apa yang terjadi pada diri mereka Rotter, 1966. Orang-orang yang memiliki internal locus of control, faktor
kemampuan dan usahanya lebih terlihat. Menurut Rotter 1966, orang yang mempunyai pusat kendali internal memandang hubungan antara perbuatannya
37
dengan penguat atau “reinforcement” yang didapatkannya sebagai hubungan sebab akibat. Dimana mereka akan menyalahkan diri sendiri bila gagal dan
akan merasa bangga jika berhasil karena atas upaya sendiri dalam Ghufron Rini, 2010.
2. External control, menunjukkan ekspektansi bahwa kontrol berada di luar kendali mereka atau di luar diri seseorang Rotter, 1966. Orang yang
memiliki locus of control eksternal melihat keberhasilan dan kegagalan dari faktor keberuntungan dan nasib. Oleh karena itu, apabila mengalami
kegagalan cenderung menyalahkan lingkungan sekitar yang menjadi penyebabnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa orang dengan
locus of control eksternal memiliki anggapan bahwa peristiwa atau hal-hal yang terjadi dalam dirinya, baik maupun buruk lebih disebabkan oleh faktor-
faktor eksternal, seperti keberuntungan, nasib, lingkungan sekitar, dan orang- orang sekitarnya.
2.3.4. Karakteristik Locus of Control
Perbedaan karakteristik antara internal dan external locus of control menurut Crider 1983 dijelaskan sebagai berikut.
1. Internal control mempunyai ciri-ciri: a. Suka berkerja keras
b. Memiliki inisiatif yang tinggi c. Selalu berusaha menemukan pemecahan masalah
d. Selalu mencoba untuk berpikir seefektif mungkin
38
e. Selalu mempunyai persepsi bahwa usaha harus dilakukan jika ingin berhasil
2. External control mempunyai ciri-ciri: a. Kurang memiliki inisiatif
b. Mempunyai harapan bahwa ada sedikit korelasi antara usaha dan kesuksesan
c. Kurang suka berusaha karena mereka percaya bahwa faktor luarlah yang mengontrol
d. Kurang mencari informasi untuk memecahkan masalah Namun demikian pada setiap individu memiliki kedua-duanya; baik internal
dan external locus of control, seperti yang dikatakan oleh Munandar dan Suhirman 1977 bahwa setiap orang memiliki faktor internal dan eksternal
sekaligus. Hanya saja akan ada kecenderungan pada salah satunya.
2.3.5. Faktor-faktor yang mempengaruhi Locus of Control
Locus of control seseorang dipengaruhi oleh pengalaman serta hubungan antara perilaku dan akibat yang dialaminya pada masa kecil Coop White, 1974.
Monks et. al. menyatakan bahwa perkembangan locus of control individu dipengaruhi oleh berbagai aspek, yaitu lingkungan fisik dan sosial. Hal tersebut
juga dijelasakan oleh Baron 1991 bahwa pengalaman individu serta perlakuan lingkungan terhadap dirinya di masa lalu dipengaruhi perkembangan locus of
control yang dimilikinya.
39
Faktor-faktor yang mempengaruhi locus of control adalah: 1. Orang tua
Solomon Coop White, 1974, Locus of control ke arah internal didukung oleh sikap orang tua yang konsisten, fleksibel dan mendorong anak untuk
mandiri. Orang tua yang bersifat menghukum, memusuhi, mendominasi serta menolak terhadap anak akan mendorong ke arah eksternal.
2. Pemberian respon Monk menjelaskan bahwa pemberian respon yang tepat terhadap perilaku
anak akan menimbulkan motif yang dipelajari yang disebut locus of control, selain itu perilaku orang tua yang hangat dan bertanggung jawab terhadap
anak akan membantu anak mengembangkan locus of control kearah internal.
3. Lingkungan Rotter dan Battle menjelaskan, jika individu banyak menghadapi hambatan
dalam lingkungannya serta kurang mendapat kesempatan maka ia akan beranggapan semua hasil yang telah dicapai berasal dari sesuatu diluar
dirinya.
2.3.6 Alat ukur Locus of Control
Alat ukur locus of control yang akan peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah alat ukur yang telah dikembangkan oleh Levenson 1981. Alat ukur ini terdiri
dari 24 item yang terdiri dari tiga jenis locus of control, yaitu internal, ekternal dan powerful others. Alat ukur ini sebelumnya masih dalam berbahasa Inggris
yang kemudian peneliti adaptasi kedalam bahasa Indonesia yang kemudian
40
peneliti menentukan hanya menggunakan item internal dan external locus of control saja. Sehingga item yang peneliti gunakan hanya 16 item. Ada banyak
jenis alat ukur locus of control yang sejauh ini peneliti ketahui, seperti alat ukur locus of control milik Rotter 1996, yaitu Generalized expectancies for internal
versus external control of reinforcement yang berjumlah 13 item yang saling berpasangan. Cara pengerjaan alat ukur milik Rotter memungkinkan kita untuk
memilih salah satu dari setiap pasang item. namun peneliti tidak menggunakan alat ukur locus of control milik Rotter dikarenakan peneliti belum mengetahui
cara penilaiannya dan tidak adanya keterangan mengenai jenis setiap item tersebut. Dengan demikian peneliti memutuskan untuk menggunakan alat ukur
yang dikembangkan oleh Levenson 1981 dengan alasan mudahnya
mengidentifikasi jenis item yang digunakan, model penilaian yang juga menggunakan skala likert, serta kemudahan peneliti dalam mendapatkannya.
2.4. Adversity Quotient
2.4.1. Definisi Adversity Quotient
Menurut Stoltz 2000, teori kecerdasan menghadapi rintangan adalah suatu kemampuan untuk mengubah hambatan menjadi suatu peluang keberhasilan
mencapai tujuan. Surekha 2001; dalam Wijaya, 2008 menyatakan bahwa adversity adalah
kemampuan berpikir, mengelola dan mengarahkan tindakan yang membentuk suatu pola-pola tanggapan kognitif dan perilaku atas stimulus peristiwa-peristiwa
dalam kehidupan merupakan tantangan dan kesulitan.
41
Adversity merupakan hasil riset penting dari tiga cabang ilmu
pengetahuan, yaitu: psikologi kognitif, psikoneuroimunologi, dan neurofisiologi. Kecerdasan dalam menghadapi rintangan meliputi dua komponen penting dari
setiap konsep praktis, yaitu teori ilmiah dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Stoltz 2000 mengungkapkan bahwa kecerdasan dalam menghadapi rintangan dapat menentukkan siapa yang akan berhasil melampaui harapan-
harapan atas kinerja dan potensi-potensi yang ada.
2.4.2. Bentuk-bentuk Adversity Quotient
Stolz 2000 menyebutkan bahwa terdapat tiga bentuk kecerdasan, yaitu: 1. Kecerdasan dalam menghadapi rintangan adalah suatu kerangka baru dalam
memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. 2. Kecerdasan dalam menghadapi rintangan mempunyai pengukur untuk
mengetahui respon individu terhadap kesulitan. 3. Kecerdasan dalam menghadapi rintangan merupakan serangkaian peralatan
yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon individu terhadap kesulitan yang akan mengakibatkan perbaikan efektivitas pribadi dan
profesional individu secara keseluruhan.
2.4.3. Dimensi Adversity Quotient
Menurut Stoltz 2000, kecerdasan dalam menghadapi rintangan individu memiliki empat dimensi, yaitu CO
2
RE control, origin dan ownrship, reach, endurance.
42
a. Control C Dimensi ini ditunjukan untuk mengetahui seberapa banyak kendali yang dapat
kita rasakan terhadap suatu peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Hal yang terpenting dari dimensi ini adalah sejauh mana individu dapat merasakan
bahwa kendali tersebut berperan dalam peristiwa yang menimbulkan kesulitan seperti mampu mengendalikan situasi tertentu dan sebagainya.
b. Origin dan Ownership O2 Dimensi ini mempertanyakan siapa atau apa yang menimbulkan kesulitan dan
sejauh mana seseorang menganggap dirinya mempengaruhi dirinya sebagai penyebab dan asal usul kesulitan seperti penyesalan, pengalaman dan
sebagainya. c. Reach R
Dimensi ini mengajukan pertanyaan sejauh mana kesulitan yang dihadapi akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan individu seperti hambatan
akibat panik, hambatan akibat malas dan sebagainya. d. Endurance E
Dimensi ketahanan yaitu mempertanyakan dua hal yang berkaitan dengan berapa lama penyebab kesulitan itu akan terus berlangsung dan tanggapan
individu terhadap waktu dalam menyelesaikan masalah seperti waktu bukan masalah, kemampuan menyelesaikan pekerjaan dengan cepat dan sebagainya.
2.4.4. Jenis-jenis Karakteristik Manusia
Karakterisitk manusia menurut Stoltz 2000 yang akan memiliki respon yang berbeda terhadap kesulitan, yaitu:
43
1. Quitters: mereka yang berhenti yaitu individu yang memilih keluar menghindari kewajiban, mundur, dan berhenti. Mereka menninggalkan
dorongan untuk mendaki, dan kehilangan banyak hal yang ditawarkan oleh kehidupan. Quitters dalam bekerja memperlihatkan sedikit ambisi. Motivasi
rendah dan mutu dibawah standar. Mereka mengambil resiko sedikit mungkin dan biasanya tidak kreatif, kecuali pada saat harus menghindari tantangan yang
besar. 2. Campers: mereka yang berkemah, yaitu orang-orang yang karena bosan
menghindari pendakiannya sebelum sampai puncak dan mencari tempat yang datar dan rata serta nyaman sebagai tempat sembunyi dari situasi yang tidak
bersahabat. Mereka puas dengan apa yang mereka raih dan merasa dirinya sebagai individu yang berhasil. Campers masih menunjukkan sejumlah
inisiatif, sedikit motivasi dan beberapa usaha yang lama kelamaan campers akan kehilangan keunggulannya, menjadi lamban dan lemah, serta kenirjanya
terus merosot. 3. Climbers: para pendaki, yaitu pemikir yang selalu memikirkan kemungkinan-
kemungkinan dan tidak pernah membiarkan usia, jenis kelamin, ras, cacat fisik dan mental atau hambatan lainnya menghambat pendakiannya. Tanpa
menghiraukan ke belakang, rugi atau untung climbers akan terus mendaki. Climbers menyambut baik tantangan-tantangan dan mereka bisa memotivasi
dirinya sendiri, serta selalu mencari cara-cara baru untuk berkembang dan berkontribusi.
44
2.4.5. Alat Ukur Adversity Quotient
Dalam penelitian ini untuk mengukur adversity quotient seseorang, peneliti menggunakan alat ukur yang sudah baku milik Stoltz 1997. Alat ukur ini terdiri
dari 60 item yang terbagi menjadi empat dimensi, dimana setiap dimensinya terdiri dari 15 item. Dari 15 item tersebut terdapat 5 item positif yang nantinya
tidak akan diskoring saat dilakukan penghitungan. Alat ukur ini telah diterjemahkan oleh Hermaya 2000 dan diedit oleh Hardiwati 2000. Peneliti
menggunakan alat ukur ini karena kemudahan dalam mendapatkannya serta yang paling penting adalah karena Stoltz 1997 adalah tokoh yang mengembangkan
adveristy quotient.
2.5. Emotional Quotient
2.5.1. Definisi Emotional Quotient
Emosi menurut Goleman 1997 adalah perasaan dan pikiran yang khas, keadaan biologis dan psikologis dan kecenderungan untuk bertindak. Dalam oxford english
dicionary emosi didefinisikan sebagai “...any agination or disturbance of mind, feeling, passion; any vehement or excited mental state” dalam Hartati, 2006.
Kecerdasan emosi atau emotional quotient EQ adalah suatu kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk mengatur kehidupan emosinya dengan
intelegensi to manage our emotional life with intelligence; menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya the appropriateness of emotion and is expression
melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial Goleman, 1997.
45
Dalam kamus American Psychology Asociation APA menjelaskan bahwa EQ adalah Emotional intelligence a type of intelligence that involves the
ability to process emotional information and use it in reasoning and other cognitive activities, proposed by U.S. psychologist Salovey 1958 and Mayer
1953. Bahwa kecerdasan emosi adalah sebuah tipe kecerdasan yang meliputi kemampuan memproses informasi emosi dan menggunakannya dalam penalaran
dan aktifitas kognitif lainnya. Masih dalam kamus American Psychology Asociation APA: “According
to Mayer and Salovey’ 1997 model, it comprises four abilities; to perceive and appraised emotions accurately; to access and evoke emotions when they facilitate
cognition; to comprehend emotional language and make use of emotional information; and to regulate one’s own and others’ emotions to promote growth
and well-being”. Salovey dan Mayer 1990 mengemukakan bahwa kecerdasan emosi
adalah kemampuan memantau perasaan emosi sendiri dan orang lain, memilih antara emosi-emosi yang muncul dan menggunakan informasi tersebut untuk
membimbing pikiran dan tindakan seseorang. Kamus APA juga menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan mengenai arti
dari emotional quotient dengan emotional intelligence dikarenakan kedua-duanya memiliki arti yang sama.
Epstein yang dikutip oleh Achir 1988 menyatakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang untuk menguasai situasi yang penuh
tantangan yang biasanya dapat menimbulkan ketegangan dan kecemasan.
46
Kecerdasan emosi atau emotional quotient merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi
diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain Goleman, 1999.
Patton 1998 memberi definisi mengenai kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk menggunakan emosi secara efektif untuk mencapai tujuan,
membangun hubungan yang produktif, dan meraih keberhasilan. Dari pengertian-pengertian mengenai teori kecerdasan emosi di atas, maka
peneliti mengambil kesimpulan mengenai kecerdasan emosi menurut teori Goleman 1999 yang menyatakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan
mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan
dalam hubungan dengan orang lain. Teori ini lebih populer dan mudah didapatkan sumbernya sehingga peneliti menggunakannya.
2.5.2. Indikator Emotional Quotient
Goleman 1997 mengemukakan bahwa ada lima indikator untuk meningkatkan kecerdasan emosi yaitu kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi sosial, empati
dan keterampilan. 1. Kesadaran diri adalah kemampuan seseorang untuk menyadari emosi yang
sedang dialaminya; dapat mengenal emosi itu, memahami kualitas, intensitas dan durasi emosi yang sedang berlangsung serta tahu penyebab terjadinya.
Orang yang mampu mengatur emosinya secara cermat adalah orang yang dapat mengendalikan hidupnya karena ia sadar akan perasaan dirinya dan juga sadar
47
akan pikiran serta hal-hal yang dilakukannya. Atwater 1983 menyatakan bahwa jika individu sadar bahwa emosi hanyalah merupakan momentary
experience dapat menjadikannya lebih bijaksana dalam mengambil keputusan dan selaras dalam mengungkapkan emosi karena ia sadar bahwa emosinya
tidak akan terpaku pada satu keadaan melainkan akan berubah-ubah. Kesadaran diri merupakan prinsip utama dalam penyesuaian diri yang efektif.
2. Pengendalian diri adalah kemampuan mengendalikan emosi diri, mengolah emosi agar dapat terungkap dengan tepat. Orang yang mampu mengendalikan
emosi tidak akan terus menerus bergumul dengan perasaan negatif sebab ia mampu keluar dari perasaan dan kegagalan itu. Pengendalian diri bertujuan
untuk memperoleh keseimbangan dan keselarasandalam mengungkapkan emosi bukan suppresion atau lepas kontrol. Setiap emosi adalah baik,
mempunyai nilai dan makna. Jika tidak dikendalikan atau berkelanjutan akan menjadi patologis, dan jika terlalu ditekan akan menimbulkan perilaku yang
explosive dan akan memperparah masalah yang ada Atawter, 1983. Ekspresi verbal yang asertif atau sehat menurut Atwater penting dalam pengendalian
emosi. 3. Motivasi diri yaitu kemampuan untuk bertahan dan terus berusaha menemukan
berbagai cara untuk mencapai tujuan. Ciri orang yang memiliki kemampuan memotivasi diri adalah ia memiliki kepercayaan diri yang positif, optimis
dalam menghadapi keadaan sulit, terampil dan fleksibel dalam menemukan alternatif pemecahan masalah. Goleman 1997 menyatakan bahwa orang yang
48
memiliki keterampilan memotivasi diri cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam segala hal yang dikerjakannya.
4. Empati adalah kemampuan membaca emosi orang lain, kemampuan merasakan perasaan orang lain. Orang yang memiliki empati lebih mampu
mengungkapkan sinyal-sinyal sosial tersembunyi. Emosi lebih sering diungkapkan dengan pesan non-verbal daripada verbal. Suatu komunikasi yang
baik tidak hanya terletak pada apa yang dikatakan namun juga ditentukan oleh bagaimana orang itu mengatakannya.
5. Keterampilan sosial yaitu kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain, membaca reaksi perasaan orang lain, memimpin, mengorganisasi dan
menangani perselishan yang muncul dalam setiap kegiatan manusia Goleman, 1997. Ada empat komponen keterampilan sosial yang dikutip Goleman dari
Hatch dan Gardner 1990; a. Mengorgansasi kelompok yaitu keterampilan memprakarsai dan mengkoordinasi dalam upaya mempengaruhi orang lain.; b.
Merunding solusi yaitu keterampilan mencegah dan menyelesaikan konflik- konflik yang muncul.; c. Menjalin hubungan pribadi yaitu keterampilan
bergaul dengan semua orang, pandai membaca dan merespon dengan tepat perasaan orang lain.; d. Menganalisis sosial yaitu keterampilan mendeteksi
perasaan, motif dan keprihatinan orang lain. Selanjutnya
Bar-On 1997
menambahkan indikator-indikator
untuk meningkatkan kecerdasan emosi yang telah dikemukakan oleh Goleman, yaitu:
1. Perilaku asertif yaitu kemampuan individu untuk mengungkapkan perasaan, keyakinan dan pikiran untuk mempertahankan hak dengan cara yang tidak
49
melanggar hak orang lain. Perilaku ini mencakup tiga komponen dasar: a. Kemampuan mengungkapkan perasaan menerima dan mengungkapkan marah,
kehangatan dan perasaan kasih sayang secara tepat; b. Kemampuan mengungkapkan keyakinan dan pikiran secara terbuka mampu memberikan
pandangan, ketidaksetujuan, mempunyai pendirian walaupun secara emosional sulit dilakukan dan bahkan harus mengorbankan sesuatu; c. Kemampuan
mempertahankan hak pribadi tidak mengijinkan orang lain mengganggu dan merugikan kita. Mampu mengeluarkan perasaan secara langsung tanpa harus
menjadi agresif atau kasar. 2. Toleransi terhadap stress yaitu kemampuan untuk bertahan dalam situasi sulit
dan penuh masalah. Kemampuan ini didasari oleh: a. Kemampuan memilih tindakan dalam mengatasi stress;
b. Optimis terhadap pengalaman baru dan perubahan; c. Perasaan bahwa dapat mengendalikan atau mempengaruhi; dan
d. Kemampuan untuk rileks, sabar dan tenang dalam menghadapi kesulitan. 3. Pengendalian impuls yaitu kemampuan menahan atau menunda impuls,
dorongan atau godaan untuk bertindak. 4. Optimisme yaitu kemampuan untuk melihat sisi terang dalam kehidupan dan
mempertahankan sikap positif walaupun harus menghadapi kesulitan. Optimisme merupakan suatu ukuran pengharapan dalam kehidupan individu.
2.5.3 Alat Ukur Emotional Quotient
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur emotional quotient yang telah dikembangkan oleh Jeanne Segal 1997. Alat ukur ini terdiri dari 11 item,
50
dimana cara pengisiannya menggunakan skala likert dengan rentangan skala lima, yaitu dari skala 1 “tidak pernah” sampai skala 5 yang berarti “selalu”. Alat ukur
ini telah diterjemahkan oleh Nilandari 2000. Dikarenakan keterbatasan kemampuan peneliti baik dari segi dana, waktu dan tenaga yang peneliti miliki
untuk mencari alat ukur emotional quotient, maka peneliti menentukkan untuk menggunakan alat ukur yang telah dikembangkan oleh Segal 1997 ini.
2.6. Risk Taking Behavior
2.6.1. Definisi Risk Taking Behavior
British Medical Association dalam Yates, 1994 menginterpretasikan resiko sebagai kemungkinan terjadinya suatu kejadian yang tidak diharapkan atau yang
tidak menyenangkan. Riyanti 2007 menambahkan bahwa segala perilaku muncul ketika seseorang dihadapkan pada situasi resiko dapat dijelaskan dengan
konsep perilaku pengambilan resiko atau risk taking behavior. Yates 1994 menjelaskan risk taking behavior adalah bagaimana
seseorang berperilaku dalam situasi beresiko, dimana situasi ini mengandung tingkat ketidakpastian tinggi dan kemungkinan kerugian.
Masih dalam jurnal penelitian yang sama, Fischhoff dalam Yates, 1994 menjelaskan bahwa dalam mempelajari risk taking behavior seharusnya
mempertimbangkan bahwa pengambilan resiko mungkin sebagai hasil proses pengambilan keputusan
yang meliputi beberapa aktifitas seperti adanya identifikasi kemungkinan perilaku dan konsekuensi yang akan terjadi, penilaian
akan menarik atau tidaknya konsekuensi yang akan terjadi, penilaian akan
51
menarik atau tidaknya konsekuensi tersebut serta kombinasi dari segala penilaian dan pilihan atas kombinasi itu.
Pembelajaran dan istilah risk-taking behavior mencakup dua hal, yaitu bahwa risk taking behavior muncul setelah adanya pertimbangan masak
deliberative risk-taking dan anggapan bahwa risk taking behavior muncul setelah adanya pertimbangan yang matang atau dengan kata lain sebagai aksi
secara sadar yang muncul setelah adanya identifikasi dan karakterisasi atas kemungkinan yang tidak diinginkan atau potensi kerugian yang ada dalam situasi
beresiko Yates, 1994; dalam Riyanti, 2007. Berdasarkan berbagai penjelasan mengenai perilaku pengambilan resiko di
atas, maka dapat peneliti mengambil kesimpulan mengenai risk taking behavior menurut Yates 1994 adalah bagaimana seseorang berperilaku dalam situasi
beresiko, dimana situasi ini mengandung tingkat ketidakpastian tinggi dan kemungkinan kerugian.
2.6.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Risk Taking Behavior
Menurut Yates 1994; dalam Riyanti, 2007 ada empat faktor yang mempengaruhi risk taking behavior, yaitu:
a. Tingkat potensi kerugian b. Konsekuensi yang tidak dikenal atau asing
c. Tingkat resiko yang tidak dapat diramalkan
52
d. Adanya sifat dasar individu yang muncul tanpa sengaja ketika individu tersebut berhadapan dengan resiko serta persepsi individu atas situasi
beresiko.
2.6.3. Karakteristik situasi yang mempengaruhi Risk Taking Behavior
Risk taking behavior juga dipengaruhi oleh karakteristik situasi Yates, 1994; dalam Riyanti, 2007. Ada empat kategori atas situasi yang mengandung resiko.
Kategori-kategori tersebut, yaitu: 1. Melibatkan kegiatan fisik,
2. Permainan dan lotere 3. Pilihan kehidupan sehari-hari
4. Situasi bisnis Masing-masing situasi berbeda kandungan risk taking behavior dan penilain
terhadap resikonya.
2.6.4. Dimensi Risk Taking Behavior
Dimensi risk taking behavior menurut Yates 1994; dalam Riyanti, 2007 antara lain:
a. Proses pengambilan keputusan atau decision making, yaitu keberanian bertindak dalam situasi beresiko. Dalam proses pengambilan keputusan,
resiko merupakan pilihan umum atau biasa dari perilaku beresiko. b. Mampu menanggung kemungkinan kerugian yang akan diambil dalam situasi
beresiko. Keberanian bertindak dalam situasi beresiko ini dijelaskan sebagai
53
kesediaan untuk mengambil tindakan dengan cepat dan baik tanpa melanggar peraturan.
2.6.5 Alat ukur Risk Taking Behavior
Alat ukur terakhir yang peneliti gunakan adalah alat ukur risk taking behavior. Alat ukur ini bernama DOSPERT Domain-Spesific Risk Taking yang
dikembangkan oleh Weber 2003 yang kemudian diperbaharui oleh Weber, Blais, dan Bets 2002 didalam Journal of Behavior Decision Making. Alat ukur
ini terdiri dari 40 item, dimana cara pengisiannya menggunakan skala likert dengan rentangan skala 7, yaitu dari skala 1 yang berarti “sangat tidak mungkin”
sampai skala 7 “sangat mungkin”. Alat ukur ini aslinya masih dalam bahasa asing, yaitu Inggris. Kemudian peneliti adaptasi dengan menerjemahkan kedalam bahasa
Indonesia disertai dengan penyesuaian kalimat sesuai dengan kaidah dan kekahasan bahasa Indonesia.
Peneliti memilih tidak menggunakan alat ukur lainnya dikarenakan peneliti telah mencari keberbagai sumber dan tempat, namun peneliti belum juga
dapat menemukannya. Hal tersebut juga dikarenakan adanya kendala dan terbatasnya kemampuan peneliti dalam hal waktu, tenaga, serta dana hingga
peneliti memutuskan untuk menggunakan alat ukur ini dikarenakan pula alat ukur ini mudah didapatkan dari internet. Namun demikian, karena alat ukur berasal dari
tempat dengan budaya yang berbeda serta karakteristik sampel yang berbeda pula, maka perlu dilakukan adaptasi agar sesuai dengan kondisi dan karakteristik
sampel yang akan peneliti gunakan.
54
2.7. Kerangka Berpikir Penelitian
Perilaku berwirausaha sebelumnya diawali oleh adanya keinginan atau disebut intensi. Hal ini sangat sesuai dengan karakteristik sampel dalam penelitian
ini, yaitu siswa SMKN 22 Jakarta. Dimana siswa SMK pada masa ini masih tergolong dalam usia remaja pertengahan middle adolesence dengan rentang usia
13 sampai 17 atau 18 tahun Hurlock, 1980. Dimana pada usia ini remaja pertengahan memiliki tugas perkembangan yang salah satunya adalah dapat
memilih jenis pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan minatnya, serta mempersiapkan diri untuk bekerja karena menjelang berakhirnya masa sekolah
para remaja mulai mengkhawatirkan masa depan mereka Hurlock, 1980. Pada masa ini juga remaja pertengahan berada dalam kondisi kebingungan
dalam menentukan pilihan Havigrust dan Garrison, 1991, Steinberg, 2002; Hurlock, 1980, karena pada masa ini merupakan tahap pencarian identitas bagi
remaja Erikson, 1968; dalam Papalia et. al,. 2008. Dengan kebingungannya dalam menentukan karier, siswa SMK diuntungkan dengan mendapatkannya
pengetahuan mengenai kewirausahaan yang diharapkan dapat menjadi salah satu solusi dalam menentukan karier yang akan mereka pilih, terlebih mereka diajarkan
mengenai kewirausahaan dari sejak kelas 1 sampai kelas 3. Dukungan iklim yang kondusif di negara ini untuk mendirikan usaha Indarti dan Rostiani, 2008,
merupakan peluang besar bagi siswa SMK untuk menjadi wirausahawan. Namun demikian, perilaku seseorang untuk berwirausaha tidak muncul dengan
sendirinya. Peneliti menganggap bahwa banyak sekali faktor-faktor yang mempengaruhi intensi berwirausaha. Terlebih juga sudah banyak penelitian yang
55
menggambarkan serta menjelaskan bahwa intensi berwirausaha sebenarnya dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor internal maupun eksternal. Namum,
dalam penelitian ini faktor internal atau lebih tepatnya faktor psikologis yang lebih dimunculkan.
Dengan demikian berdasarkan teori yang ada diketahui bahwa faktor- faktor seperti self efficacy, internal dan external locus of control, risk taking
behavior, emotional quotient, dan adversity quotient menjadi beberapa faktor dari banyaknya faktor yang ada dalam memprediksi intensi dan perilaku wirausaha.
Self efficacy, yaitu keyakinan individu akan kemampuannya dalam melakukan sesuatu. Jadi, ketika siswa yang memiliki self efficacy yang tinggi
maka intensinya dalam berwirausaha kemungkinan akan tinggi pula, karena ia akan merasa mampu menjalankannya. Namun apabila self efficacy yang dimiliki
rendah, secara otomatis menandakan bahwa ada ketidakyakinan apakah mampu berwirausaha atau tidak dan membuat intensi berwirausahanya menjadi rendah.
Selanjutnya dijelaskan mengenai locus of control, yaitu keyakinan seseorang mengenai sumber penentu perilakunya. Konsep locus of control ada
dua, yaitu internal dan ekternal. siswa yang mempunyai internal locus of control mempunyai keyakinan bahwa apa yang terjadi pada dirinya, kegagalan-kegagalan,
keberhasilan-keberhasilannya karena pengaruh dirinya sendiri. Sedangkan siswa yang mempunyai pusat kendali eksternal mempunyai anggapan bahwa faktor-
faktor yang ada di luar dirinya akan mempengaruhi tingkah lakunya seperti kesempatan, nasib, dan keberuntungan. Sehingga apabila siswa memiliki internal
locus of control lebih tinggi maka dapat diketahui bahwa siswa terseebut akan
56
memiliki intensi untuk berwirausaha yang tinggi pula, namun sebaliknya jika external locus of control yag lebih dominan maka dapat diketahui bahwa intensi
berwirausahanya akan rendah. Faktor psikologis lainnya yang peneliti gunakan adalah faktor risk taking
behavior. Berwirausaha merupakan salah jenis pekerjaan yang membutuhkan kepekaan dalam menghitung atau mengkalkulasikan resiko yang akan ditanggung.
Dalam hal ini siswa SMKN 22 Jakarta harus belajar bagaimana menghadapi dan berperilaku dalam situasi beresiko, dimana situasi ini mengandung tingkat
ketidakpastian tinggi dan kemungkinan kerugian. Hal tersebut merupakan kunci awal dalam dunia usaha, karena hasil yang akan dicapai akan proporsional
terhadap resiko yang akan diambil. Hal tersebut secara langsung juga akan mempengaruhi intensi siswa dalam berwirausaha. Jika memiliki risk taking
behavior yang tinggi maka kemungkinan besar siswa tersebut akan memiliki intensi yang tinggi pula untuk berwirausaha, begitupun sebaliknya intensi dan
perilakunya akan dipengaruhi oleh tinggi rendahnya risk taking behavior yang dimilikinya.
Dalam penelitian ini faktor kecerdasan juga digunakan. Faktor kecerdasan tersebut adalah faktor emotional quotient dan adversity quotient. Emotional
quotient yang didefinisikan sebagai kemampuan untuk menggunakan emosi secara efektif untuk mencapai tujuan, membangun hubungan produktif, dan
meraih keberhasilan. Terlebih jika diimbangi dengan kemampuan adversity quotient. Kemampuan untuk mengubah hambatan menjadi suatu peluang
keberhasilan mencapai tujuan sangat penting dipahami oleh siswa karena dengan
57
kemampuan tersebut diharapkan siswa menjadi seseorang yang tetap bersemangat dan pantang menyerah dalam menghadapi berbagai kesulitan terlebih jika ia
menjadi seorang wirausaha. Dengan demikian, dari semua variable yang telah digambarkan melalui
kombinasi antara beberapa faktor internal atau psikologis dari beberapa kumpulan teori dan penelitian serta faktor eksternal lainnya, peneliti menyimpulkan
kerangka berpikir seperti di bawah ini:
Skema 2.7.1. Kerangka Berpikir Penelitian
Semua variabel diatas diasumsikan dapat mempengaruhi psikologis seseorang mulai dari self efficacy, locus of control internal, locus of control
eksternal, risk taking behavior, emotional quotient, dan adversity quotient terhadap intensi berwirausaha.
2.8. Hipotesis Penelitian