1
BAB 1 PENDAHULUAN
Dalam bab ini peneliti akan memaparkan beberapa hal, yaitu latar belakang masalah, identifikasi masalah, tujuan dan manfaat penelitian, pembatasan
masalah, dan sistematika penulisan.
1.1. Latar Belakang Masalah
Pertumbuhan perekonomi di Indonesia tahun 2010 mengalami kenaikan sekitar 5,5 persen Darmawan, 2010. Badan Pusat Statistik Nasional mencatat bahwa
perekonomian Indonesia pada Triwulan II tumbuh sebesar 6,5 persen BPS, 2011. Hal tersebut berdampak baik bagi iklim perekonomian di Indonesia.
Pemerintah berharap hal tersebut dapat membantu dalam mengurangi jumlah pengangguran, seperti dikatakan Menteri Perindustrian, M. S. Hidayat 2011
bahwa tingkat pengangguran terus akan mengalami penurunan. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka di Indonesia
pada Februari 2011 mencapai 6,80 persen atau sebanyak 8,12 juta orang. Angka tersebut mengalami penurunan dibandingkan dengan posisi Februari 2010 sebesar
7,41 persen. Namun Ekonom International Center for Applied Finance and Economic Inter Cafe Imam Sugema mengatakan, tingkat pengangguran dan
kemiskinan memang cenderung menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Namun, penurunan tersebut masih menunjukkan tren yang sangat lambat Satriani
dan Wahyu, 2009. Dengan demikian, jika hanya mengandalkan pertumbuhan ekonomi saja belumlah menjadi suatu jalan keluar yang tepat dan efektif bagi
2
perbaikan perekonomian
khususnya dalam
permasalahan pengurangan
pengangguran di Indonesia. Seperti yang telah diketahui bahwa perekonomian di dunia tidaklah selamanya stabil dan akan selalu terjadi fluktuasi setiap saatnya.
Permasalahan pengangguran perlu dengan segera dicarikan solusi yang tepat tanpa harus bergantung dengan pertumbuhan perekonomian saja, karena jika hal
tersebut dibiarkan terus menerus maka dikhawatirkan akan menimbulkan dampak negatif dalam sosial masyarakat, seperti ketentraman keluarga terganggu,
peningkatan tindakan kriminal dan masalah tekanan jiwa dan keyakinan diri pada masyarakat Yanuar, 2010. Tindakan bunuh diri yang diakibatkan depresi karena
sudah lama menganggur merupakan salah satu contohnya, seperti yang diungkapkan oleh Kapolsek Kebayoran Baru AKBP Irsan, Selasa 2010.
Tindakan bunuh diri dilakukan oleh seorang pria dengan inisial A.S 45 tahun yang diduga karena tekanan ekonomi dan sudah lama tidak bekerja. Ia melompat
dari lantai VI, di salah satu Mall di Jakarta Selatan. Penyebab lain lambatnya penurunan jumlah pengangguran dikarenakan
rendahnya daya serap industri serta semakin sempitnya lapangan pekerjaan, ditambah lagi tingginya jumlah siswa yang lulus setiap tahunnya. Data dari
Departemen Pendidikan Nasional menunjukkan bahwa setiap tahunnya tidak kurang dari 1.450.498 siswa SMASMK yang lulus Djumena, 2009, belum lagi
ditambah jumlah mahasiswa yang lulus dari perguruan tinggi. Hal tersebut mengakibatkan ketidakseimbangan antara jumlah lulusan dengan daya serap
tenaga kerja.
3
Berdasarkan data yang didapatkan, saat ini sebagian besar pengangguran terbuka didominasi oleh lulusan Sekolah Menengah Atas SMA sebesar 12,17,
kemudian lulusan Diploma dengan 11,59, selanjutnya sebanyak 10 oleh lulusan Sekolah Menengah Kejuruan SMK, diikuti Perguruan Tinggi sebanyak
9,95, Sekolah Menengah Pertama 7,83, dan Sekolah Dasar SD 3,37 BPS, 2011. Sangat disayangkan jika para pelajar yang telah mendapatkan pendidikan
yang cukup memadai namun pada akhirnya hanya menjadi pengangguran, terutama siswa lulusan SMK yang saat ini menjadi penyumbang terbesar ketiga
pengangguran yang saat ini telah mencapai 8,12 juta orang pada Februari 2011 BPS, 2011. Padahal SMK merupakan sekolah yang memiliki kurikulum serta
program pendidikan yang terfokus pada pembekalan keterampilan guna mempersiapkan siswanya untuk siap turun dan bersaing di dunia kerja setelah
lulus sekolah nantinya, karena pada dasarnya setiap siswa telah dibekali dengan berbagai macam keahlian, seperti SMKN 22 Jakarta yang memiliki 4 program
keahlian atau jurusan, yaitu Akuntansi, Administrasi Perkantoran, Penjualan, dan Teknik Komputer dan Jaringan. Terlebih sejak tahun 1994 pemerintah melalui
Departemen Pendidikan Nasional mulai menerapkan standarisasi kurikulum pada seluruh SMK, yaitu kewajiban mengajarkan mata pelajaran kewirausahaan pada
siswanya Depdiknas, 2011. Sekolah Menengah Kejuruan SMK Negeri 22 yang terletak di Condet, Jakarta Timur juga menerapkan kebijakan tersebut dengan
memberikan pengajaran mengenai kewirausahaan dari sejak kelas 1 sampai kelas 3 yang berjumlah sekitar 714 orang, dimana siswa tersebut berasal dari keadaan
ekonomi yang cukup beragam. Dari pegawai negeri sipil, pegawai swasta,
4
wirausaha, hingga buruh. Dimana program ini diharapkan dapat menjadi tambahan skill bagi siswa setelah lulus nantinya. Di sekolah ini, siswa juga tidak
hanya diajarkan secara teoritis saja, namun praktek langsung mengenai berwirausaha, seperti menjaga koperasi sekolah, toko foto copy, dan bahkan mini
bank. Semua kegiatan tersebut diajarkan kepada mereka agar mereka dapat langsung merasakan bagaimana menjadi seorang wirausahwan. Hal tersebut
sesuai dengan visi sekolah, yaitu menjadikan SMK Negeri 22 Jakarta berstandar Nasional untuk menghasilkan tamatan yang profesional, unggul dan mandiri
smkn22.ac.id. Dengan modal keterampilan dan pengetahuan yang didapatkan dari
sekolah serta ditambah dengan pengetahuan kewirausahaan melalui pelajaran kewirausahaan yang telah masuk kedalam kurikulum sekolah seharusnya siswa
SMK tidak hanya menjadi seorang pencari kerja, namun dapat menjadi seorang pembuka lapangan kerja atau seorang pengusaha. Dengan berwirausaha ia dapat
mandiri dan bahkan membantu dalam membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain. Namun demikian keinginan atau intensi untuk berwirausaha yang muncul
sejak dini merupakan tujuan utama dalam proses pembentukan wirausahawan- wirausahawan baru. Oleh karena itu
perlunya menumbuhkan semangat berwirausaha di antara para siswa agar mereka sejak dini menjadi paham dan
memiliki semangat untuk berwirausaha. Semangat berwirausaha menurut usahawan Ciputra, dalam kuliah umum
pelatihan kewirausahaan Ciputra Foundation di Program Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta tanggal 29 Oktober 2007, merupakan salah
5
satu instrumen efektif untuk menghapus kemiskinan dan ketertinggalan bangsa dalam Setyorini, 2000. Hal ini telah terbukti pada negara maju, yaitu Amerika
Serikat. Drucker 1996 menyatakan bahwa wirausaha merupakan penyumbang terbesar perekonomian di Amerika dan bukan perusahaan-perusahaan besar
berteknologi tinggi, melainkan dunia wirausaha yang menciptakan ribuan lapangan kerja.
McClelland dalam Wijaya, 2008 juga menyatakan bahwa suatu negara akan maju jika terdapat enterpreneur sedikitnya sebanyak 2 dari jumlah
penduduk. Data dari Global Enterpreneurship Monitor GEM pada tahun 2004 dan 2005 menunjukkan bahwa Singapura memiliki 7,2 entrepreneur dari jumlah
penduduknya, China dan Jepang memiliki 10, India 7 dan Amerika lebih dari itu, yaitu sebesar 11,5 Smescoukm, 2010, bahkan Indonesia masih jauh
tertinggal dengan Malaysia yang memiliki 3 pengusaha karena Indonesia hanya memiliki 0,18 pengusaha dari seluruh jumlah penduduknya. Dengan demikian
dari penjelasan diatas, semakin menjelaskan pentingnya dalam meningkatkan jumlah pelaku wirausaha sebagai salah satu sarana yang efektif dan tepat dalam
mengatasi permasalahan pengangguran. Bomer Pasaribu CLDS, 2002, juga menyatakan bahwa salah satu solusi
untuk mengurangi pengangguran terdidik adalah menjadi seorang pengusaha. Mengingat jumlah pengangguran pendidikan yang ditamatkan yang jumlahnya
tidak begitu sedikit, yaitu sekitar 6,80 lebih BPS, 2011, maka sangat disayangkan jika potensi sumber daya manusia yang begitu besar tersebut tidak
termaksimalkan dengan baik dan bijaksana.
6
Salah satu cara mengatasi pengangguran adalah dengan memperbanyak lapangan pekerjaan yang berarti perlu adanya peningkatkan jumlah pelaku
wirausaha. Beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa keinginan berwirausaha para pelajar merupakan sumber bagi lahirnya wirausaha-wirausaha masa depan
Gorman et al., 1997; Kourilsky dan Walstad, 1998. Menciptakan dan menjadikan seseorang wirausahawan bukanlah hal yang
mudah, terlebih pada siswa SMK yang tergolong masih dalam usia remaja pertengahan middle adolesence dengan rentang usia 13 sampai 17 atau 18 tahun
Hurlock, 1980. Dimana pada usia ini remaja pertengahan memiliki tugas perkembangan yang salah satunya adalah dapat memilih jenis pekerjaan yang
sesuai dengan bakat dan minatnya, serta mempersiapkan diri untuk bekerja karena menjelang berakhirnya masa sekolah para remaja mulai mengkhawatirkan masa
depan mereka Hurlock, 1980. Pada masa ini juga remaja pertengahan berada dalam kondisi kebingungan dalam menentukan pilihan Havigrust dan Garrison,
1991, Steinberg, 2002; Hurlock, 1980, karena pada masa ini merupakan tahap pencarian identitas bagi remaja Erikson, 1968; dalam Papalia et. al,. 2008.
Dengan kebingungannya dalam menentukan karier, seharusnya siswa SMK diuntungkan dengan mendapatkannya pengetahuan mengenai kewirausahaan yang
diharapkan dapat menjadi salah satu solusi dalam menentukan karier yang akan mereka pilih, terlebih didukung dengan iklim yang kondusif di negara ini untuk
mendirikan usaha Indarti dan Rostiani, 2008, diharapakan dapat menjadi peluang besar bagi siswa SMK untuk menjadi wirausahawan.
7
Dalam melakukan kegiatan berwirausaha terlebih dahulu harus ada keinginan dalam diri seseorang, karena dalam setiap perilaku atau perbuatan
terlebih dahulu diawali oleh adanya keinginan. Keinginan ini oleh Fishbein dan Ajzen 1975 disebut dengan intensi, yaitu komponen dalam diri individu yang
mangacu pada keinginan untuk melakukan tingkah laku tertentu. Intensi diasumsikan dapat menangkap faktor-faktor yang memotivasi dan yang
berdampak kuat pada tingkah laku. Sehingga intensi dapat dijadikan sebagai pendekatan yang masuk akal untuk memahami siapa-siapa yang akan menjadi
wirausaha Choo dan Wong, 2006; dalam Indarti Rostiani, 2008. Intensi kewirausahaan juga dapat diartikan sebagai proses pencarian
informasi yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pembentukkan suatu usaha Katz dan Gartner, 1988. Berdasarkan hasil penelitian lain oleh Krueger
dan Carsrud 1993 bahwa intensi telah terbukti menjadi prediktor yang terbaik bagi perilaku kewirausahaan. Oleh karena itulah pentingnya mengetahui intensi
dalam penelitian ini guna memprediksi perilaku yang akan muncul, seperti yang dijelaskan kembali oleh Fishbein dan Ajzen 1975 bahwa kemauan yang kuat
untuk melakukan suatu tingkah laku dapat dijelaskan melalui konsep intensi. Dari penjelasan di atas maka dapat diasumsikan bahwa hal-hal yang
mempengaruhi seseorang berwirausaha kemungkinan besar akan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang ada dalam diri individu. Begitu besar peran intensi
berwirausaha khususnya dalam memprediksi suatu perilaku wirausaha. Tentu saja hal tersebut tidak terlepas juga dari faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya
intensi berwirausaha. Baik itu faktor ekternal maupun faktor internal dari diri
8
setiap individu itu sendiri. Dalam penelitian ini faktor-faktor internal atau psikologis dalam individualah yang lebih difokuskan dalam mempengaruhi
seseorang memiliki intensi kewirausahaan. Penelitian mengenai faktor-faktor psikologis yang berhubungan dengan
intensi berwirausaha telah banyak dilakukan oleh para peneliti. Salah satunya hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Indarti dan Kristiansen 2003, bahwa
proses pembentukan Intensi berwirausaha melalui beberapa tahapan, yaitu need for achievement, self efficacy dan locus of control.
Faktor psikologis seperti self efficacy Wijaya, 2008; Ramayah Harun, 2005; Zhao et al., 2005; Fitzsimmons Douglas, 2006; Shook Bratianu, 2008;
Hmieleski Corbett, 2006; Linan, 2008; Marco et al., 2006 juga diterangkan memiliki hubungan dengan Intensi berwirausaha. Setiap individu memiliki tingkat
self efficacy atau penilaian terhadap kemampuannya sendiri dalam melakukan suatu hal yang berbeda-beda. Bandura 1986 dan Lent et al., 1994 dalam
Boissin et al., 2009 mengungkapkan adanya hubungan antara self efficacy dan intensi berwirausaha dengan demikian persepsi diri dan kemampuan diri berperan
dalam membangun intensi. Sehingga jika seseorang memiliki self efficacy yang tinggi maka orang tersebut memiliki tingkat intensi dalam melakukan sesuatu
lebih tinggi dibandingkan lainnya dalam hal ini intensi berwirausahanya. Selanjutnya, hasil penelitian dari Indarti dan Kristiansen 2003 mengenai
locus of control Shaver dan Linda R Scott, 1991; Nikolaus Franke dan Christian Luthje, 2004 juga memiliki hubungan yang siginifikan dengan Intensi
berwirausaha. Locus of control sebagai keinginan yang tinggi untuk berhasil
9
dalam mencapai sesuatu membentuk kepercayaan diri dan pengendalian diri yang tinggi pada individu, maka dengan demikian apakah individu memiliki eksternal
ataupun internal locus of control akan membuat individu berani mengambil keputusan serta resiko yang ada.
Dalam setiap keputusan yang diambil oleh siapapun, pasti akan mengandung resiko yang berbeda-beda. Resiko menurut British Medical
Association dalam Yates, 1994 diinterpretasikan sebagai kemungkinan
terjadinya suatu kejadian yang tidak diharapkan atau yang tidak menyenangkan. Dalam penelitian fear of success dan risk taking pada wirausaha wanita
Bali oleh Riyanti 2007, Yates 1994 menyatakan bahwa segala perilaku yang muncul ketika seseorang dihadapkan pada situasi resiko dapat dijelaskan dengan
konsep perilaku pengambilan resiko atau risk taking behavior. Dalam literatur lainnya juga dijelaskan bahwa intensi berwirausaha dipengaruhi oleh risk taking
Stewart and Roth, 2001; Weber, Blais, Betz, 2002; dalam Fini, unyears Sehingga sikap individu yang mampu mentoleransi resiko Zhao et al., 2005;
Seagel et al., 2005 dan berani menghadapi rintangan dalam dunia usaha memiliki intensi untuk berwirausaha.
Masih ada lagi faktor-faktor psikologis lainnya yang berhubungan dengan Intensi berwirausaha selain faktor yang telah dijelaskan sebelumnya. Goleman
2000 menyatakan untuk menjadi seorang wirausaha yang sukses tidak semata memerlukan intelegensi IQ saja, namun dibutuhkan pula emotional quotient atau
kecerdasan emosi.
10
Goleman 2000 menyatakan bahwa IQ saja tidak mampu menerangkan 75 keberhasilan-keberhasilan dalam pekerjaan, atau bahkan sampai 96. Faktor
yang paling menentukan keberhasilan seseorang dalam bekerja adalah faktor emotional quotient Cooper dan Sawaf, 2000.
Inti dari kewirausahaan menurut Drucker 1959, dalam Suryana, 2000 adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda melalui
pemikiran kreatif dan tindakan inovatif demi terciptanya peluang. Zimmerer 1996:51 juga mengungkapkan bahwa kewirausahaan merupakan proses
penerapan kreatifitas dan inovasi untuk memecahkan masalah dan mencari peluang yang dihadapi setiap orang dalam setiap hari.
Chandra 2001, dalam Ifham, 2002 menyebutkan bahwa emosi dapat memicu kreatifitas dan inovasi. Tindakan inovatif memerlukan unsur baik kognitif
maupun emosi. Bisa mempunyai wawasan kreatif merupakan unsur kognitif – tetapi untuk menyadari nilai-nilainya, menumbuhkannya, dan menerapkannya
memerlukan kecakapan emosi seperti rasa percaya diri, inisiatif, ketekunan, dan kemampuan membujuk Goleman, 1999. Sehingga seseorang yang benar-benar
mengoptimalkan emotional quotient, akan lebih jeli dalam melihat peluang terlebih bagi seorang wirausaha.
Selain emotional quotient, berdasarkan hasil penelitian dalam jurnal manajemen dan kewirausahaan dengan judul penelitian hubungan adversity
quotient dengan intensi berwirausaha, bahwa adversity quotient juga memiliki peranan dan juga hubungan yang penting dengan intensi berwirausaha Wijaya,
2007.
11
Stoltz 2000 menyatakan bahwa seorang individu yang memiliki kecerdasan menghadapi rintangan diduga akan lebih mudah menjalani profesi
sebagai seorang wirausahawan karena memiliki kemampuan untuk mengubah hambatan menjadi peluang. Hal tersebut juga didukung dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Wijaya 2007, yaitu ada hubungan positif yang signifikan antara adversity quotient dengan intensi berwirausaha.
Selain faktor-faktor psikologis di atas, masih terdapat banyak faktor lain yang juga begitu penting dalam mempengaruhi intensi berwirausaha. Dalam hal
ini hasil penelitian dari Kristiansen 2003 menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi intensi berwirausaha. Faktor tersebut berupa faktor
demografi diantara lain, yaitu latar belakang pendidikan, usia, jenis kelamin, jenis pekerjaan orang tua siswa, dan pengalaman kerja serta faktor eksternal lainnya.
Salah satu faktor lainnya adalah pendidikan kewirausahaan, Hisrich dan Peters 1998 menyatakan bahwa pendidikan penting bagi wirausaha, tidak hanya
gelar yang didapatkannya saja, namun pendidikan juga mempunyai peranan yang besar dalam membantu mengatasi masalah-masalah dalam bisnis seperti
keputusan investasi dan sebagainya. Hasil penelitian menyebutkan bahwa 78,8 siswa SMK yang pada dasarnya telah mendapatkan pendidikan kewirausahaan
memiliki intensi berwirausaha yang cukup tinggi dibandingkan dengan siswa SMA Riyanti, 2007.
Didukung dengan hasil penelitian oleh Kourilsky dan Walstad 1998, dalam Indarti dan Rostiani, 2008 bahwa pengaruh pendidikan kewirausahaan
selama ini telah dipertimbangkan sebagai salah satu faktor penting untuk
12
menumbuhkan dan mengembangkan hasrat, jiwa dan perilaku berwirausaha di kalangan generasi muda. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa siswa yang
mendapat pendidikan kewirausahaan memiliki kemungkinan intensi berwirausaha yang lebih tinggi.
Berdasarkan penjelasan dan hasil penelitian-penelitian yang telah
disebutkan di atas, maka peneliti merasa penting untuk meneliti “Intensi Berwirausaha Siswa Sekolah Menengah Kejuruan SMK Negeri 22 Jakarta:
Peran Self Efficacy, Locus of Control, Risk Taking Behavior, Emotional
Quotient, dan Adversity Quotient” sebagai judul penelitian. Namun pada
penelitian ini, peneliti hanya memfokuskan pada taraf intensi berwirausaha bukan pada perilaku wirausahanya.
1.2. Rumusan dan Batasan Masalah 1.2.1. Rumusan Masalah