1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kemiskinan merupakan salah satu dampak dari belum konsisten dan belum terkordinasinya penangan masalah-malasah sosial ekonomi yang ada. Di samping
itu orientasi penanganan belum berdasarkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat setempat serta pemanfaatan potensi lokal yang belum maksimal. Penyebab
kemiskinan berasal dari intern keterbatasan pendidikan, pengetahuan, askes kesehatan, kurang memiliki keterampilan memberdayakan potensi dan ekstern
kebijakan pemerintah, bencana sosial dan alam yang terjadi.
1
Masalah kemiskinan
mendapatkan prioritas
utama dalam
agenda Pembangunan setelah terjadi krisis ekonomi dan politik pada pertengahan tahun
1997. Hal ini tercermin dalam Program Pembangunan Nasional Propenas 2001- 2004 yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan
menggunakan konsep pemberdayaan masyarakat.
2
Secara subtansial kemiskinan merupakan salah satu akar dari masalah kesejahteraan sosial disamping berbagai masalah sosial lainnya. Menurut Badan
Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 1998 mencapai 79,4 juta jiwa atau 33,9 ,dan pada tahun 2010 mencapai 31,02 juta 13,33
persen dari jumlah penduduk Indonesia BPS, 1998, dan BPS, 2010.
3
1
Departemen Sosial R.I, Standard Pelayanan Minimal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Gelandangan dan Pengemis. 2007, Hal 1-2.
2
Departemen Sosial RI. Masalah Sosial Di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Sosial Pusat Penelitian Permasalahan Kesejahteraan Sosial. Jakarta 2005, Hal 1-2.
3
Ibid, h.2
Dari data di atas roda pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan menggunakan konsep
pemberdayaan masyarakat sedikit mencapai tujuan, dari data kemiskinan tahun 1998 sampai 2010 jumlah angka kemiskinan sedikit berkurang. Namun hal ini
tidak bisa dikatakan maksimal karena masih besar angka kemiskinan tersebut. Upaya pembangunan kesejahteraan rakyat saat ini menunjukan hasil yang
cukup baik namun demikian disadari bahwa tujuan untuk mewujudkan keadilan sosial yang merata bagi keseluruhan rakyat Indonesia belum sepenuhnya tercapai
mengingat cakupan permasalahan sosial begitu luas dan sangat kompleks seperti masalah kemiskinan, keterbelakangan, pengangguran, masalah kependudukan,
kerawanan sosial, dan lain lain. Untuk itulah salah satu agenda dan prioritas utama RPJMN
2004-2009: “Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat melalui
Penanggulangan Kemiskinan”. Berdasarkan data BPS 2008, Jumlah penduduk miskin penduduk yang
berada dibawah garis kemiskinan di Indonesia pada bulan Juli 2008 sebesar 34,96 juta orang atau 15, 42. Dibandingkan dengan penduduk miskin pada
bulan Maret 2007 yang berjumlah 37,17 juta orang 16,58, berarti jumlah penduduk miskin tahun 2008 mengalami penurunan sebesar 2,21 juta orang.
Jumlah pengangguran pada Februari 2008 sebesar 9,43 juta orang. Jumlah pengangguran pada tahun 2008 ini mengalami penurunan sebesar 1,12 juta orang
dibandingkan dengan keadaan Februari 2007 yaitu 10,55 juta orang. Jumlah angka kerja di Indodnesia pada Februari 2008 mencapai 111,48 juta orang.
Hal tersebut mengakibatkan banyak terjadi yang disebut gepeng gelandangan dan pengemis yang diakibatkan oleh kemiskinan intern dan ekstern tersebut.
Istilah gepeng merupakan singkatan dari kata gelandangan dan pengemis. Gelandangan adalah seseorang hidup dalam keadaan tidak mempunyai tempat
tinggal dan pekerjaan tetap serta mengembara di tempat umum sehingga hidup tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat. Pengemis
adalah orang-orang yang mendapat penghasilan dari meminta-minta di muka umum dengan berbagai alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.
4
Masalah gelandangan dan pengemis gepeng merupakan fenomena sosial yang tidak bisa dihindari keberadaanya dalam kehidupan masyarakat, terutama yang
berada didaerah perkotaan kota-kota besar. Salah satu faktor yang dominan mempengaruhi perkembangan masalah ini adalah kemiskinan. Masalah
kemiskinan di Indonesia berdampak negatif terhadap meningkatnya arus urbanisasi dari daerah pedesaan ke kota-kota besar, sehingga terjadi kepadatan
penduduk dan daerah-daerah kumuh yang menjadi pemukiman para urban tersebut. Sulit dan terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia, serta terbatasnya
pengetahuan dan keterampilan menyebabkan mereka banyak yang mencari nafkah untuk mempertahankan hidup dengan terpaksa menjadi gelandangan dan
pengemis.
5
Jadi dorongan kemiskinan di desa dan daya tarik pendapatan di kota mengakibatkan gejala urbanisasi berlebih, yang sejumlah orang menyerbu ke kota,
namun hanya sedikit dari mereka yang memiliki keterampilan dan pengetahuan yang menyebabkan mereka mencari nafkah dengan menggelandang dan
mengemis, hal itu sehingga kota terlalu besar dan tumbuh pesat penduduk.
4
Depertemen Sosial R.I 1992 dalam Studi Kasus Saptono Iqbali, Gelandangan- Pengemis di Kecamatan Kubu Kabupaten Karang Asem, Hal 1.
5
Departemen Sosial R.I, Standard Pelayanan Minimal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Gelandangan dan Pengemis. 2007, Hal 1-2.
Dampak positif dan negatif tampaknya semakin sulit dihindari dalam pembangunan, sehingga selalu diperlukan usaha untuk lebih mengembangkan
dampak positif pembangunan serta mengurangi dan mengantisipasi dampak negatifnya. Gelandangan dan pengemis gepeng merupakan salah satu dampak
negatif pembangunan, khususnya pembangunan perkotaan. Keberhasilan percepatan pembangunan di wilayah perkotaan dan sebaliknya keterlambatan
pembangunan di wilayah pedesaan mengundang arus migrasi desa-kota yang antara lain memunculkan gepeng karena sulitnya pemukiman dan pekerjaan di
wilayah perkotaan dan pedesaan.
6
Dampak dari meningkatnya gelandangan dan pengemis munculnya ketidakteraturan sosial social disorders yang ditandai dengan kesemrawutan,
ketidaknyamanan, ketidaktertiban, serta mengganggu keindahan kota. Padahal disisi lain mereka adalah warga negara yang memiliki hak dan kewajiban yang
sama, sehingga mereka perlu diberikan perhatian yang sama untuk mendapatkan penghidupan dan kehidupan yang layak.
Selama ini, berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat melalui pelayanan dan rehabilitasi sosial, baik dengan sistem panti
maupun non panti, namun belum menunjukan hasil seperti yang diharapkan. Hal ini disebabkan antara lain karena besaran permasalahan yang tidak seimbang
dengan jangkauan pelayanan, keterbatasan SDM, dana, sarana, dan prasarana serta kualitas pelayanan yang masih bervariasi. Disamping itu, dampak dari
pemberlakuan otonomi daerah yakni menimbulkan keberagaman persepsi dan upaya pelayanan dan rehabilitasi sosial di berbagai daerah.
6
Saptono Iqbali. Study kasus Gelandangan dan Pengemis Gepeng di Kecamatan Kubu Kabupaten Karang Asem. Oktober 2006, Hal 1.
Untuk memperluas jangkauan pelayanan, Departemen sosial RI juga berupaya melibatkan masyarakat dalam setiap pelayanan dan rehabilitasi sosial
gelandangan dan pengemis namun hasilnya belum optimal. Sejak tahun 2002, peningkatan gepeng terhitung sangat tajam. Hal ini terlihat dari jumlah gepeng
yang dipulangkan. Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Bali, yaitu 300 orang tahun 2002, 300 orang tahun 2003, 400 orang tahun 2004, dan 1.595 tahun 2005.
7
Perhatian pemerintah dan masyarakat secara umum terhadap perlunya standar kehidupan yang lebih baik, telah mendorong terbentuknya berbagai usaha
kesejahteraan sosial. Usaha kesejahteraan sosial itu sendiri, pada dasarnya merupakan suatu program ataupun kegiatan yang didesain secara kongkrit untuk
menjawab masalah, kebutuhan masyarakat ataupun meningkatkan taraf hidup masyarakat. Usaha kesejahteran sosial itu sendiri dapat ditujukan pada individu,
keluarga, kelompok-kelompok dalam komunitas, ataupun komunitas secara keseluruhan baik komunitas lokal, regional, maupun nasional.
8
Dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial, diperlukan peran masyarakat yang seluas-luasnya, baik perseorangan, keluarga, organisasi keagamaan,
organisasi sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, badan usaha, lembaga kesejahteraan sosial, maupun lembaga
kesejahteraan sosial asing demi terselenggaranya kesejahteraan sosial yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan.
9
Dari hal di atas, dapat dilihat bahwa kesejahteraan sosial sebagai suatu kondisi kehidupan yang diharapkan masyarakat tidak dapat terwujud bila tidak
7
Ibid, h. 2
8
Ibid, h. 2
9
Isbandi Rukminto Adi Ilmu Kesejahteraan Sosial Dan Pekerjaan Sosial FISIP UI, 2003 h. 189
dikembangkan usaha kesejahteraan sosial. Karena itu berjalan atau tidaknya suatu usaha kesejahteraan sosial sangat dipengaruhi oleh organisasi atau lembaga yang
menyediakan usaha kesejahteraan sosial yang memperhatikan masalah-masalah sosial dan masalah kesejahteraan sosial dalam arti sempit seperti masalah yang
terkait dengan prostitusi, anak jalanan, dll.
10
Dampak dari kemiskinan ternyata tidak hanya berdampak pada keteraturan sosial yang dimana penyebab dari faktor ekstern, agar seseorang dapat
memaksimakan potensi dalam dirinya perlu di butuhkan pikiran dan jiwa yang sehat. Disini faktor psikologis sangat berpengaruh dalam berkembangannya
seseorang, sehingga ia tidak eksis dalam masalah-masalah sosial dan aktifitas hidup mencari materi dengan segala keindahan dan daya tariknya.
Faktor kemiskinan dapat mempengaruhi penyimpangan-penyimpangan perilaku seseorang dari tuntunan dan bimbingan, merupakan suatu indikasi yang
sangat prinsip adanya gangguan psikologis dan tidak sehatnya mental. Akibat mental dan jiwa yang sakit itu akan memiliki dampak yang sangat membahayakan
bagi setiap individu, lingkungan masyarakat, bangsa, Negara dan Agama. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau satu riwayat, Rasulullah pernah bersabda:
“Hampir-hampir kemiskinan itu menjadikan seseorang itu kufur”. HR. Abu Na’aim
Kartini Kartono mengemukakan bahwa orang yang memiliki mental yang sehat adalah yang memiliki sifat-sifat yang khas antara lain: mempunyai
10
Ibid, h. 189
kemampuan untuk bertindak secara efesien, memiliki tujuan hidup yang jelas, memiliki konsep diri yang sehat, memiliki koordinasi antara segenap potensi
dengan usaha-usahanya, memiliki regulasi diri dan integrasi kepribadian dan memiliki batin yang tenang. Disamping itu, beliau juga mengatakan bahwa
kesehatan mental tidak hanya terhindarnya diri dari gangguan batin saja, tetapi juga posisi pribadinya seimbang dan baik, selaras dengan dunia luar, dengan
dirinya sendiri dan dengan lingkungannya.
11
Oleh karena itu hal tersebut di atas menjadi perhatian dalam penyelanggaraan rehabilitasi terhadap gelandangan dan pengemis Panti Sosial Bina Karya PSBK
Bekasi Timur memberikan pelayanan Rehabilitasi sosial terhadap gelandangan dan pengemis beserta keluarganya.
Salah satu dari pelayanan rehabilitasi yang dilaksanakan yaitu adalah pembinaan mental. Berdasarkan latar belakang diatas, maka skripsi ini
melakukan penelitian di Panti Sosial Bina Karya PSBK Pangudi Luhur Bekasi Timur Jawa Barat. Adapun judul penelitian ini adalah :
“Model Pembinaan Mental Terhadap Gelandangan dan Pengemis di Panti Sosial Bina Karya Pangudi Luhur Bekasi.
”
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui model pembinaan mental dan dalam upaya menanggulangi gelandangan dan pengemis dan mengarahkan untuk
pulihnya kembali harga diri, kepercayaan diri, disiplin, kemampuan integrasi, kesadaran dan tanggung jawab sosial.
11
Kartini Kartono, Patologi Sosial Cet. VI; Jakarta: CV. Rajawali, 1999, h. 230
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah