Perbandingan Kegiatan Pembenihan dengan Pembesaran Ikan Nila

6.7 Perbandingan Kegiatan Pembenihan dengan Pembesaran Ikan Nila

Pembahasan mengenai analisis optimalisasi pembesaran ikan telah banyak diteliti, salah satunya mengenai ikan nila yang diteliti oleh Widiastuti 2005. Analisis optimalisasi yang dilakukan pada kegiatan pembesaran ikan nila tentu berbeda dengan kegiatan pembenihan yaitu dari segi proses budidaya, waktu budidaya dan jenis faktor produksi yang digunakan. Petani ikan di Kecamatan Cisaat lebih menyukai kegiatan pembenihan dibandingkan pembesaran sehingga mulai tahun 1992 terjadi peralihan kegiatan budidaya ke usaha pembenihan. Kegiatan pembenihan ini memerlukan waktu yang relatif singkat yaitu sekitar 15 hari dibandingkan waktu usaha pembesaran cukup lama yaitu sekitar tiga bulan. Hal ini tentu menjadi pertimbangan bagi petani karena dengan waktu 3 bulan hanya 1 kali panen, sedangkan usaha pembenihan berarti 6 kali panen ikan. Sehingga petani lebih menyukai usaha yang perputaran uangnya lebih cepat. Berdasarkan input optimal yang telah diperoleh pada analisis optimalisasi pembenihan maka dapat kita bandingkan dengan optimalisasi kegiatan pembesaran. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kegiatan mana yang bisa memberikan keuntungan yang lebih tinggi bagi petani, yaitu pembenihan atau pembesaran. Perbandingan pada kedua kegiatan tersebut akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan biaya Lampiran 10. Berdasarkan biaya sewa kolam pembenihan sebesar Rp 1.775.000, maka dengan jumlah biaya tersebut diperoleh sewa jaring apung JA sebanyak 8 unit. Biaya yang dikeluarkan untuk satu unit JA sebesar Rp 221.185. Biaya-biaya lain yang dikeluarkan untuk kegiatan pembesaran ikan nila adalah benih sebesar Rp 394.352 40,24 kg8 JA, pakan sebesar Rp 510.887 169,44 kg8 JA, dan tenaga kerja sebesar Rp 1.956.244 132,4 HOK8 JA. Sehingga total biaya yang dikeluarkan untuk 8 unit JA sebesar Rp 4.635.973,-. Produksi yang dihasilkan dalam kegiatan pembesaran dinyatakan dalam satuan kilogram, karena berupa ikan konsumsi. Produksi yang dihasilkan untuk satu unit JA adalah 351,57 kg, sedangkan total produksi untuk 8 unit JA sebesar 2.812,56 kg. Sehingga penerimaan yang diperoleh dari 2.812,56 kg ikan nila konsumsi sebesar Rp. 14.361.100,-. Perhitungan kegiatan pembenihan diperoleh dari kondisi optimal yang telah dihasilkan berdasarkan pendugaan fungsi produksi, seperti yang tertera pada Tabel 18. Namun pada akhir kegiatan pembenihan atau satu tahun produksi, induk dapat dijual sebagai penerimaan bagi petani. Induk merupakan asset bernilai yang masih bisa dijual pada akhir kegiatan, dengan asumsi harga yang berlaku sesuai dengan harga ikan konsumsi. Penjualan induk sebanyak 351,81 kg menghasilkan penerimaan sebesar Rp 1.796.363,-. Perhitungan mengenai perbandingan keuntungan antara kegiatan pembenihan dan pembesaran ikan nila disajikan dalam Tabel 21. Tabel 21.Perbandingan Keuntungan antara Kegiatan Pembenihan dan Pembesaran Ikan Nila Berdasarkan Pendekatan Biaya Uraian Kegiatan Pembenihan Rp Kegiatan Pembesaran Rp 1. Penerimaan 14.850.000 14.361.100 2. Biaya Total 6.738.444 4.635.973 a. Sewa Kolam JA 1.775.000 1.775.000 b. IndukBenih 2.110.860 394.352 c. Pakan 1.844.082 510.887 d. Kapur 57.992 - e. Tenaga Kerja 951.020 1.956.244 3.Penjualan Induk 1.796.363 - 4. Keuntungan 1+3-2 9.907.929 9.725.137 Berdasarkan Tabel 21 dapat diketahui bahwa keuntungan kegiatan pembenihan Rp 9.907.929 lebih besar dari kegiatan pembesaran Rp 9.725.137, dengan selisih keuntungan sebesar Rp 182.792,-. Selisih keuntungan antara kedua kegiatan tersebut memang tidak besar. Selisih yang tidak begitu besar itulah yang membuat petani lebih memilih untuk melakukan kegiatan pembenihan dibanding pembesaran. Hal ini dikarenakan usaha pembenihan mempunyai siklus budidaya yang singkat sehingga petani cepat memperoleh keuntungan yaitu setiap 15 hari dengan rata-rata keuntungan sebesar Rp 450.000. Berbeda dengan usaha pembesaran yang siklus budidayanya mencapai 3 bulan, sehingga petani dapat menikmati keuntungan yaitu setiap tiga bulan. Faktor resiko merupakan pertimbangan lain bagi petani selain melihat keuntungan yang diperoleh pada kedua kegiatan tersebut. Pada kegiatan pembenihan, resiko yang kemungkinan terjadi adalah kematian pada induk. Banyaknya induk yang mati maka produksi benih menurun dan petani harus membeli induk yang baru. Pada kegiatan pembesaran, resiko yang dihadapi adalah kematian pada ikan konsumsi yang dihasilkan sehingga produksi berkurang. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa resiko yang dihadapi pada kedua kegiatan relatif sama. Oleh karena itu, faktor resiko tidak menjadi pertimbangan bagi petani untuk memilih kegiatan pembenihan atau kegiatan pembesaran.

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN