secara kualitas, SDM nelayan pun masih relatif rendah. Sebagian besar nelayan yang di Nunukan mempunyai pendidikan formal hanya tamatan SD. Hasil survey
menunjukkan bahwa 70 responden nelayan berpendidikan SD dan sisanya berpendidikan SMP. Rendahnya tingkat pendidikan ini dapat berimplikasi
terhadap relatif sulitnya melakukan introduksi teknologi penangkapan ikan dan kemampuan mengelola dan mengembangkan usaha penangkapan ikan.
Tabel 28 Perkembangan jumlah nelayan dan produktivitas
penangkapannya
Tahun Kab. Nunukan
Produksi kg Produktivitastahun
kgorangtahun Produktivitas per hari
kgoranghari 2005
2664 4.150.230
1.557,89 4,33
2006 1137
3.944.850 3.469,53
9,64 2007
2402 4.439.260
1.848,15 5,13
2008 1874
4.606.378 2.458,05
6,83 2009
3189 3.348.000
1.049,86 2,92
2010 2757
3.938.000 1.428,36
3,97 Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Kalimantan Timur, 2011
6.7 Pembahasan
Pengembangan perikanan tangkap pada dasarnya diawali dengan kajian mengenai ketersediaan sumberdaya perikanan di wilayah tersebut. Berdasarkan
kajian sebelumnya diperoleh informasi bahwa sebenarnya perairan Nunukan mempunyai potensi sumberdaya ikan yang relatif melimpah terutama apabila
dihubungkan dengan potensi di WPP 716. Jenis-jenis ikan yang dominan adalah jenis ikan pelagis kecil, pelagis besar dan ikan demersal. Berdasarkan hasil
analisis skoring diperoleh jenis-jenis ikan yang dapat menjadi komoditas unggulan Kabupaten Nunukan yaitu udang putih Penaeus merguiensis, bawal
hitam Formio niger, teri Stolephorus spp, tenggiri Scomberomorus commerson, bawal putih Pampus argenteus, udang bintik, kerapu lumpur
Epinephelus tauvina, arut gerot-gerot Pomadasys maculatus, kuweputih Caranx spp, pari kembangpari macan Dasyatis spp dan Kurau
Eleutheronema tetradactylum. Berdasarkan jenis ikan yang ditangkap tersebut dan dihubungkan dengan
alat tangkap yang digunakan, maka alat tangkap yang cocok digunakan adalah alat
tangkap yang dioperasikan untuk menangkap ikan pelagis seperti jaring insang, rawai tetap dan pancing tonda dan ikan demersal seperti dogol.
Namun demikian masih terdapat kendala dalam pengembangan perikanan tangkap di Nunukan. Kendala tersebut adalah masih rendahnya produktivitas
penangkapan yang dilakukan para nelayan. Saat ini hasil tangkapan per unit penangkapan masih berada pada besaran 90 kgtrip penangkapan. Alat tangkap
dengan produktivitas penangkapan tinggi adalah pancing tonda dan pancing ulur masing masing 167 kg dan 246 kg per trip penangkapannya. Sedangkan alat
tangkap lainnya masih di bawah 100 kgtrip penangkapannya. Demikian pula halnya dengan produktivitas nelayan yang masih relatif rendah. Data
menunjukkan bahwa produktivitas nelayan untuk menangkap ikan berada pada besaran di bawah 10 kgoranghari ; bahkan terdapat kecenderungan menurun bila
dilihat data produksi dari tahun 2005 sampai 2010 Tabel 28. Produktivitas nelayan pada tahun 2006 adalah 9,64 kgoranghari dan menjadi 3,97
kgoranghari pada tahun 2010. Angka ini masih dibawah produktivitas nelayan secara nasional dimana pada tahun 2010 adalah 6,47 kgoranghari data produksi
nasional 5.039.446 ton dan jumlah nelayan 2.162.442 orang, jumlah hari diasumsikan 360 hari dalam setahun.
Faktor penyebab masih rendahnya produktivitas nelayan diduga adalah kemampuan unit penangkapan dalam menangkap ikan dan ketersediaan
sumberdaya ikan yang relatif menurun terutama di wilayah perairan pesisir. Berdasarkan komposisi armada penangkapan di Kabupaten Nunukan, 79
armada penangkapan merupakan motor tempel 1.329 unit, 16 kapal motor 269 unit dan 4 perahu tanpa motor 81 unit. Komposisi armada penangkapan
seperti itu berimplikasi pada kemampuan jelajah armada hanya terbatas pada perairan di sekitar pantai yaitu dibawah 4 mil laut. Hal ini juga berimplikasi pada
tingkat persaingan antar nelayan dalam mendapatkan hasil tangkapan relatif tinggi sehingga produktivitas mereka menjadi rendah. Disamping itu, banyaknya
penangkapan ikan di sekitar pantai menyebabkan terjadinya tekanan juga terhadap ketersediaan sumberdaya ikan di perairan tersebut.
Permasalahan lain yang memberikan tekanan ketersediaan sumberdaya ikan adalah adanya praktek IUU Fishing yang dilakukan oleh nelayan Indonesia
maupun nelayan asing. Pencegahan terhadap IUU Fishing diyakini dapat memulihkan ketersediaan sumberdaya ikan di perairan Nunukan.
Penanganan pengawasan praktek IUU Fishing pada dasarnya dilakukan oleh beberapa instansi terkait. Konteks pengawasan itu sendiri terdiri dari aspek
monitoring, controlling, surveillance, investigasi, penuntutan dan penetapan sanksivonis hukum. Berdasarkan aspek-aspek tersebut, yang ditunjukkan Tabel
30, aspek monitoring dan controlling merupakan kewenangan satu instansi saja yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan. Artinya bahwa tidak terjadi tumpang
tindih kewenangan dengan instansi lain. Monitoring sendiri merupakan kegiatan pengumpulan dan analisis data untuk menilai tingkat pemanfaatan dan kelimpahan
sumber daya ikan, mencakup antara lain kapal penangkapan ikan, operasi, hasil tangkapan, upaya penangkapan, pengangkutan, pengolahan dan pengepakan hasil
FAO, 1995. Sedangkan controlling menurut FAO 1995 merupakan mekanisme pengaturan yang antara lain meneakup penyusunanpemberlakuan
peraturan perundang-undangan, perijinan, pembatasan alat tangkap, zonasi penangkapan. Adanya pengendalian akan dapat diidentifikasi, antara lain
ketaatan pelaku kegiatan usaha penangkapan pada peraturan perundangan - undangan dan ketentuan-ketentuan perizinan yang berlaku dan legalitas
kegiatan penangkapan. Kegiatan yang taat dan legal akan dilindungi:, sedang yang tidak taat dan atau ilegal akan ditindak sesusai peraturan perundang -
undangan yang berlaku Martono 1997; Purwaka 1995; Purwaka 1984 dalam Sarana, 2007.
Monitoring dan controlling ini sangat penting terutama terkait dengan arah pengelolaan sumberdaya perikanan yang ada. Kuota penangkapan, daerah
penangkapan dan teknik penangkapan yang memberikan keberlanjutan penangkapan ikan akan dapat ditentukan apabila monitoring dan controlling ini
dapat berjalan dengan baik. Hanya saja akan terjadi bias ketika ada praktek- praktek IUU Fishing. Dalam konteks perikanan di Nunukan, permasalahannya
lebih kompleks lagi karena berbatasan dengan negara lain. IUU Fishing yang terjadi, tidak hanya dilakukan oleh nelayan-nelayan asing tetapi juga oleh
nelayan-nelayan lokal yang berkolaborasi dengan pemodal dari Malaysia.
Tabel 29 Aspek pengawasan praktek IUU Fishing
Instansi Terkait Fungsi Pengawasan
Moni to
ri ng
C ont
ro l
Surve il
ance Inves
ti gat
ion
Penunt ut
an Penet
apa n
da n
voni s
huku m
Kementerian Kelautan dan PerikananDinas Perikanan dan Kelautan
√ √
√ √
POLRI
√ √
Lanal
√ √
Kapal Republik Indonesia
√ √
Imigrasi
√ √
Beacukai
√ √
Kejaksaan
√ √
Pengadilan
√
Dalam aspek surveillance dan investigasi terjadi cukup banyak tumpang tindih kewenangan antar instansi yang dapat berimplikasi terhadap kontra
produktifnya penanganan IUU Fishing. Tumpang tindih tersebut adalah antara Kementerian Kelautan dan Perikanan, TNI, POLRI, imigrasi dan beacukai.
Namun demikian, tumpang tindih yang relatif besar terjadi pada tiga institusi pertama Kementerian Kelautan dan Perikanan, TNI dan POLRI, sedangkan
imigrasi dan beacukai relatif berbeda fokus penanganannya. Sedangkan dalam penuntutan dan penetapan vonis hukum relatif tidak terjadi tumpang tindih
dimana untuk kedua aspek tersebut masing-masing ditangani oleh Kejaksaan Negeri dan Pengadilan Negeri.
Aspek lain yang perlu diperhatikan dalam pengembangan perikanan tangkap adalah pengembangan industri pengolahan. Selama ini, nelayan
memasarkan hasil tangkapannya masih dalam bentuk segar. Kalaupun ada, pengolahan
yang dilakukan
masih bersifat
tradisional berupa
pengeringanpengasinan. Hal ini terlihat dari komposisi pemilik usaha pengolahan yang ada di Kab. Nunukan yaitu 442 pengusaha pengeringan, 1 orang
pengusaha ekstrasi, 14 orang pengolah ikan segar dan 3 orang pengusaha surimi. Lemahnya pengembangan industri pengolahan ikan selama ini salah satunya
disebabkan karena sebagian besar hasil tangkapan nelayan Nunukan dipasarkan dalam bentuk segar. Semua jenis ikan dapat diserap pasar Tawau. Ikan segar
tersebut, disamping langsung dipasarkan kepada pengguna akhir di pasar Tawau juga menjadi bahan baku pabrik-pabrik pengolahan di sana. Akibatnya nilai
tambah dan dampak ekonomi turunannya hanya dirasakan oleh masyarakat Tawau.
Rachman dan Sumedi 2002 dalam Supriyati dan Suryani 2006 mengatakan bahwa permasalahan umum yang dihadapi agroindustri
–termasuk perikanan- adalah i sifat produk pertanian yang mudah rusak dan bulky sehingga
memerlukan teknologi pengemasan yang memadai dan sarana transportasi yang mampu mengatasi hal tersebut ii sebagian besar produk pertanian bersifat
musiman dan sangat dipengaruhi kondisi iklim sehingga aspek kontinuitas produk tidak terjamin iii kualitas produk pertanian dan industri yang dihasilkan masih
rendah sehingga kesulitan dalam persaingan pasar baik dalam negeri maupun internasional dan iv sebagian besar termasuk industri skala kecil dengan tingkat
teknologi yang rendah. Sementara kendala pengembangan industri yang diidentifikasi Depperindag Supriyati dan Suryani 2006 lebih jauh lagi meliputi
i bahan baku yang berupa komoditas belum mampu memenuhi industri pengolahan secara berkesinambungan ii kemampuan sumberdaya manusia yang
terbatas dalam penguasaan manajemen dan teknologi menyebabkan rendahnya efisiensi dan daya saing produk agroindustri iii investasi di bidang agroindustri
kurang berkembang iv lembaga keuangan menerapkan sistem suku bunga yang sama antara produk pertanian dan lainnya v informasi peluang usaha dan
pemasaran belum memadai vi homogenitas kebijakan pembangunan baik regional maupun regional tanpa memperhatikan karakteristik wilayah masing-
masing vii belum terciptanya sinergi kebijakan yang mendukung iklim usaha viii kurangnya sarana dan prasarana transportasi ix kemitraan usaha dan
keterkaitan produk hulu dan hilir belum berjalan lancer x masih kurangnya penelitian mengenai teknologi proses dan xi ketergantungan pada lisensi produk
dan teknologi dari luar negeri. Oleh karena itu pengembangan industri pengolahan hasil tangkapan di
Kabupaten Nunukan hendaknya memperhatikan pertimbangan i ketersediaan bahan baku ikan baik dalam jumlah maupun kesinambungannya. Berdasarkan
analisis komoditas unggulan maka terdapat beberapa jenis ikan yang potensial
menjadi bahan baku industri pengolahan yaitu ikan tenggiri, arut, udang putih, bawal hitam dan bawal putih ii industri yang dikembangkan bertahap dari
industri kecil dan menengah. Hal ini untuk mengantisipasi ketiadaannya bahan baku dalam jumlah yang relatif banyak. iii adanya keterkaitan industri
pengolahan dengan kegiatan penangkapan ikan dan pemasarannya iv peningkatan kualitas SDM dan v adanya keberpihakan pemerintah dalam
mendorong berkembangnya industri kecil dan menengah diantaranya penyediaan infrastruktur dasar, kebijakan pembinaan dan mediasi permodalan dan pemasaran.
Dalam rangka pengembangan perikanan tangkap tersebut baik dalam upaya peningkatan produksi penangkapan maupun peningkatan nilai tambah produk
dengan adanya industri pengolahan diperlukan infrastruktur pelabuhan perikanan sebagai wadah dan fasilitasi aktifitas bisnis perikanan. Kabupaten Nunukan
bahkan Propinsi Kalimantan Timur belum mempunyai pelabuhan perikanan yang relatif memadai dalam rangka pengembangan industri perikanan dan aktifitas
pemasaran. Pelabuhan perikanan yang ada di Kabupaten Nunukan adalah PPI Sebatik dengan kodisi kurang beroperasi. Padahal apabila melihat UU no 31
tahun 2004 tentang Perikanan, banyak fungsi yang diemban oleh suatu pelabuhan perikanan. Fungsi-fungsi tersebut mencakup keseluruhan aktifitas bisnis
perikanan tangkap mulai dari pra produksi penangkapan penyediaan bahan perbekalan melaut, sarana melaut, perbaikan dll, produksi penangkapan
penyediaan sarana dan informasi penangkapan dan pasca produksi pendaratan, pelelangan, pengolahan dan pemasaran.
7 PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PENGELOLA PERIKANAN TANGKAP DI PERBATASAN
7.1 Kajian Peraturan dan Kebijakan Pengelolaan
Pengaturan dan pengelolaan perikanan tangkap di wilayah perbatasan belum secara spesifik diatur dalam perundang-undangan yang ada. Peraturan
yang ada mengatur pengelolaan wilayah perbatasan secara umum atau pengelolaan perikanan dan belum mengatur pengelolaan perikanan secara spesifik
di wilayah perbatasan. Perundang-undangan yang mengatur tersebut diantaranya adalah :
1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen
Indonesia
Undang-undang ini menjelaskan mengenai pengertian landas kontinen, eksploitasi dan pengelolaannya. Dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan landas
kontinen adalah dasar laut dan tanah dibawahnya diluar perairan wilayah Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Prp.
Tahun 1960 sampai kedalaman 200 meter atau lebih, dimana masih mungkin diselenggarakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam. Lebih jauh dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan kekayaan alam adalah mineral dan sumber yang tak bernyawa lainnya didasar laut danatau di dalam lapisan tanah dibawahnya
bersama dengan organisme hidup yang termasuk dalam jenis sedinter yaitu organisme yang pada masa perkembangannya tidak bergerak baik diatas maupun
dibawah dasar laut atau tak dapat bergerak kecuali dengan cara selalu menempel pada dasar laut atau lapisan tanah dibawahnya pasal 1. Dalam melaksanakan
eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam di landas kontinen harus diindahkan dan dilindungi kepentingan kepentingan pertahanan dan keamanan nasional,
perhubungan, telekomunikasi dan transmisi listrik dibawah laut, perikanan, penyelidikan oceanografi dan penyelidikan ilmiah lainnya dan cagar alam.
2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang