dan tidak terdapat keadaan-keadaan khusus yang perlu dipertimbangkan, maka batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut adalah garis
tengah atau garis sama jarak antara garis-garis pangkal laut wilayah Indonesia atau titik-titik terluar Indonesia dan garis-garis pangkal laut wilayah atau titik-titik
terluar negara tersebut, kecuali jika dengan negara tersebut telah tercapai persetujuan tentang pengaturan sementara yang berkaitan dengan batas Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia.
Tabel 1 Batas laut, status hukum dan pemanfaatan sumberdaya alam
Bagian laut Status hukum
Pemanfaatan Sumberdaya Alam Hak
Kewajiban Perairan pedalaman
Kedaulatan Pemanfaatan Penuh
Konservasi Perairan kepulauan
Kedaulatan Pemanfaatan Penuh
Konservasi Mengakui Hak Perikanan
Tradisional Negara Tetangga
Laut teritorial Kedaulatan
Pemanfaatan Penuh Konservasi
Zona tambahan Yurisdiksi terbatas Pengawasan
sepanjang berkaitan ZEE
Hak-hak berdaulat Yurisdiksi
Pemanfaatan ekslusif Konservasi
Memberi kesempatan negara lain terhadap surplus
perikanan
Laut lepas Kebebasan
Kebebasan Konservasi
Menghormati Hak Negara Lain
Laut kontinen Hak-hak berdaulat
Pemanfaatan ekslusif Memberi sumbangan dari
hasil produksi di luar 200 mil laut
Kawasan dasar laut internasional
Warisan bersama umat manusia
Pemanfaatan bersama Sumber : Agoes, 2003
Namun demikian, saat ini setelah lebih dari 20 tahun sejak peraturan itu diundangkan, masih terdapat 70 batas-batas yuridiksi perairan ZEEI tersebut
belum disepakati oleh negara-negara tetangga. Perbatasan yang belum disepakati tersebut mencakup perbatasan dengan negara Timor Leste, Filipina, Vietnam,
Thailand, dan India Kompas, 3 Maret 2007. Masih banyaknya wilayah perbatasan yang belum disepakati dengan negara berpotensi menimbulkan konflik
dengan negara yang bersangkutan yang pada akhirnya akan merugikan kepentingan nasional.
2.1.3 Konflik pengelolaan sumberdaya perikanan dan penyelesaiannya
Fisher et al. 2000, Rubin et al. 1994, Sarwono 2001 dalam Shaliza 2004 mendefinisikan konflik sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih
individu atau kelompok yang memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Dengan perkataan lain terdapat pertentangan antar dua pihak
atau lebih. Bahkan Sarwono menegaskan bahwa pertentangan tersebut tidak hanya pada tataran individu tetapi juga dapat terjadi antar kelompok masyarakat bahkan
antar bangsa dan negara. Soekanto 1982 dalam Hasyim 2007 menyatakan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan munculnya konflik di dalam suatu
masyarakat karena adanya perbedaan individu, perbedaan budaya, perbedaan kepentingan dan terjadinya perubahan sosial di dalam masyarakat. Perbedaan
individubudaya terjadi karena perbedaan lingkungan yang membentuk kedua belah pihak yang melahirkan prinsip-prinsip nilai kebiasaan atau tatacara yang
berbeda. Konflik dapat terjadi jika masing-masing pihak tidak dapat menerima atau menghormati prinsip atau sistem nilai yang dimiliki pihak lain.
Lebih lanjut Fisher et al 2000 mengatakan bahwa pada dasarnya konflik dapat terjadi karena dipicu oleh beberapa hal, yaitu
1 Polarisasi, ketidakpercayaan dan permusuhan diantara kelompok yang
berbeda dalam suatu masyarakat teori hubungan masyarakat 2
Terdapat posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konlik teori negosiasi prinsip
3 Adanya usaha untuk menghalang-halangi pemenuhan kebutuhan dasar
manusia, baik kebutuhan fisik, mental dan sosial teori kebutuhan manusia 4
Terancamnya identitas yang sering berakar pada hilangnya sesuatu hal atau karena penderitaan di masa yang lalu yang tidak terselesaikan teori
identitas 5
Ketidakcocokkan dalam cara-cara berkomunikasi diantara berbagai budaya yang berbeda teori kesalahfahaman antar budaya
6 Masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai
masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi teori transformasi konflik Dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam berpotensi
menimbulkan konflik terutama karena adanya kompetisi dalam pemanfaatan
sumberdaya tersebut. Bennet dan Neiland 2000 dalam Budiono 2005 berpendapat bahwa interaksi antara sumberdaya yang menjadi konflik dengan
ekosistem juga harus mendapat perhatian, karena perubahan salah satu sistem dari ekosistem akan mempengaruhi ekosistem lain secara keseluruhan. Pemanfaatan
sumberdaya alam dapat menimbulkan eksternalitas yang terkadang tidak diperhitungkan ke dalam pemanfaatan sumberdaya. Terdapat tiga jenis
eksternalitas yang menjadi dilema dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan yaitu Schlager et al, 1992 dalam Budiono, 2005 :
1 Appropriation externalities. Dalam perhitungan ekonomi, ketika seorang nelayan menangkap ikan dari stok yang tersedia di laut, proses tersebut
meningkatkan biaya marjinal dari setiap tambahan ikan yang ditangkapnya sekaligus menurunkan manfaat marjinal dari setiap tambahan upaya
penangkapannya. Dengan demikian, peningkatan biaya penangkapan ikan karena mengecilnya stok ikan di laut tidak hanya berpengaruh pada nelayan
yang menangkap ikan, tetapi juga nelayan lainnya yang ikut memanfaatkan stok ikan tersebut.
2 Technological externalities. Eksternalitas ini muncul ketika nelayan secara fisik saling melakukan intervensi di lokasi penangkapan ikan yang pada
akhirnya dapat memicu timbulnya konflik. Ekternalitas ini dapat didefinisikan sebagai terjadinya pelanggaran alat tangkap terhadap alat tangkap lainnya atau
bentuk-bentuk ketersinggungan fisik lainnya yang muncul akibat nelayan melakukan penangkapan ikan sangat berdekatan satu sama lainnya.
3 Assignment problem. Assignment problem muncul ketika nelayan menangkap ikan secara tidak terkoordinasi sehingga tidak mampu mengalokasikan diri
mereka secara efisien pada daerah penangkapan tersebut. Permasalahan muncul mengenai siapakah yang memiliki akses ke daerah produktif tersebut
dan bagaimana akses tersebut harus ditetapkandibagikan. Kegagalan dalam memecahkan assignment problems ini dapat memicu konflik dan
meningkatkan biaya produksi. Pada pengelolaan perikanan tangkap, terdapat tujuh penyebab konflik
Anonimous, 2002 dalam Budiono, 2005 yaitu i persepsi politis yang keliru dalam memahami batas-batas perairan wilayah setelah diberlakukan otonomi