Sustainable land productivity improvement for small scale cocoa plantations in the Border Area of East Kalimantan- Malaysia: case study on Sebatik Island, Nunukan Regency, East Kalimantan Province

(1)

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS LAHAN BERKELANJUTAN

UNTUK PERKEBUNAN KAKAO RAKYAT DI KAWASAN

PERBATASAN KALIMANTAN TIMUR - MALAYSIA

(Studi Kasus di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan,

Provinsi Kalimantan Timur)

MUHAMAD HIDAYANTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(2)

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS LAHAN BERKELANJUTAN

UNTUK PERKEBUNAN KAKAO RAKYAT DI KAWASAN

PERBATASAN KALIMANTAN TIMUR - MALAYSIA

(Studi Kasus di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan,

Provinsi Kalimantan Timur)

MUHAMAD HIDAYANTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Peningkatan Produktivitas Lahan Berkelanjutan untuk Perkebunan Kakao Rakyat di Kawasan Perbatasan Kalimantan Timur-Malaysia: Studi Kasus di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, 17 Agustus 2010

Muhamad Hidayanto


(4)

MUHAMAD HIDAYANTO. 2010. Sustainable Land Productivity Improvement for Small Scale Cocoa Plantations in the Border Area of East Kalimantan-Malaysia: Case Study on Sebatik Island, Nunukan Regency, East Kalimantan

Province. Under direction of SUPIANDI SABIHAM, SUDIRMAN YAHYA, and LE ISTIQLAL AMIEN.

Sebatik Island is a major producer of cocoa in the Nunukan Regency. Productivity of cocoa from study area is less than of potential production. Improving land productivity is very important to increase productivity and quality of cocoa. This study was conducted on Sebatik Island, Nunukan Regency, East Kalimantan Province. The objectives of this study were: (1) to analyze land suitability of cocoa, (2) to examine the gap of land productivity of cocoa, (3) to examine sustainability index of land productivity of cocoa, (4) to identify need analysis, and (5) to formulate policy recommendations of sustainable land productivity improvement for small scale cocoa plantations. Methodology of this study was desk study, field survey and in-depth interview. Primary and secondary data obtained from field surveys (biophysical and socio-economic), and reinforced by the opinions of experts or specialists in their field. Soil sample was analysis to determine the physical soil properties, chemical and biological soil properties. Multi Dimensional Scaling (MDS) it’s called RAP-COCOA SEBATIK (Rapid Appraisal for Cocoa on Sebatik Island) was used to evaluate sustainability of land productivity of cocoa. The result of this study indicated that: (1) land suitability of cocoa on Sebatik Island was suitable i.e. moderately suitable (S2) 7.616 ha (31,14%), marginally suitable (S3) 12.965 ha (53,01%) and not suitable (N) 3.628 ha (14,83%); (2) land productivity in existing conditions less than the optimum conditions and factors gap between current conditions and expected conditions include are the use of agricultural inputs (fertilizers, pesticide), plant maintenance (pest and disease eradication, pruning, rejuvenation), fermentation, integration crops and livestock; (3) analysis of farming system in the existing condition, B/C >1 [farming system of small scale cacao plantations on Sebatik Island is profitable]. However, in order to meet the needs of decent living required minimum land area (Lm) approximately 3,54 to 4,35 ha/household; (4) sustainability analysis for six dimensions (ecology, economic, social-cultural, infrastructure and technology, law and institutional, security and defender) on the existing conditions of moderately suitable (S2) i.e. ecological dimension less sustainable (40,75%), economic less sustainable (48,58%), socio-culture sustainable (75,20%), infrastructure and technology less sustainable (40,49%), law and institutional less sustainable (36,39%), defense and security less sustainable (36,39%). On marginally suitable (S3) i.e. ecological dimension less sustainable (36,78%), economic less sustainable (44,87%), socio-culture sustainable (75,20%), infrastructure and technology less sustainable (32,96%), law and institutional less sustainable (36,39%), defense and security less sustainable (36,39%). Therefore, more effort are required to increase land productivity and the index sustainability of small scale cocoa plantations on Sebatik Island.


(5)

Kawasan perbatasan Pulau Sebatik letaknya sangat strategis bagi Indonesia dan Provinsi Kalimantan Timur, baik ditinjau dari aspek geoekonomi, geopolitik, geografi, maupun geokultural. Permintaan komoditas kakao dari Pulau Sebatik untuk tujuan ekspor semakin tinggi tetapi tidak diimbangi dengan kualitas hasil (mutu rendah), sehingga harganya relatif rendah di pasar Malaysia. Produktivitas kakao dari daerah ini semakin menurun disebabkan antara lain oleh umur tanaman sudah tua, serangan hama penyakit dan rendahnya produktivitas lahan. Perkebunan kakao rakyat di daerah tersebut pada umumnya belum dikelola dengan baik, sehingga produktivitas hasil tanaman relatif rendah.

Permasalahan pembangunan pertanian khususnya perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik cukup komplek dan memerlukan penanganan yang lebih komprehensif dan berkelanjutan. Hasil-hasil penelitian selama ini menunjukkan bahwa penanganan berbagai masalah di sektor pertanian telah banyak dilakukan, namun masih parsial dan belum mampu mengatasi masalah yang kompleks. Oleh karena itu untuk menyelesaikan berbagai permasalahan perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan ini perlu dilakukan secara holistik, yang memadukan aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan infrastruktur, hukum dan kelembagaan, serta pertahanan dan keamanan.

Penelitian dilaksanakan di kawasan perbatasan Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Propinsi Kalimantan Timur dari bulan Maret hingga November 2009. Tujuan penelitian adalah: (a) mempelajari kesesuaian lahan untuk tanaman kakao, (b) mempelajari kesenjangan dan kendala produktivitas lahan perkebunan kakao rakyat, (c) mempelajari status keberlanjutan produktivitas lahan perkebunan kakao rakyat, (d) mengidentifikasi kebutuhan stakeholders, dan (e) menformulasikan arahan kebijakan peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik. Metode yang digunakan adalah studi literatur, survei lapangan dan wawancara. Data primer dan sekunder diperoleh dari survei lapangan (biofisik dan sosial ekonomi), serta diperkuat oleh pendapat para pakar atau ahli di bidangnya. Sampel tanah hasil survei lapangan dilakukan analisis laboratorium untuk mengetahui sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Analisis data meliputi: (1) analisis kesesuaian lahan, (2) analisis kesenjangan dan kendala produktivitas lahan, (3) analisis ekonomi, (4) analisis keberlanjutan, (5) analisis kebutuhan stakeholders, dan (6) analisis prospektif.

Analisis keberlanjutan menggunakan Multi Dimensional Scaling (MDS)

yang disebut RAP-COCOA SEBATIK (Rapid Appraisal for Cocoa on Sebatik Island), hasilnya dinyatakan dalam bentuk indeks dan status keberlanjutan. Analisis

Leverage dan Monte Carlo digunakan untuk mengetahui atribut-atribut sensitif atau pengungkit yang berpengaruh terhadap indeks dan status keberlanjutan. Untuk menyusun formulasi rekomendasi kebijakan dilakukan analisis prospektif berdasarkan hasil analisis keberlanjutan dan analisis kebutuhan stakeholders.

Berdasarkan kelas kesesuaian lahan untuk tanaman kakao diperoleh kelas lahan cukup sesuai (S2) seluas 7.616 ha (31,14%), kelas sesuai marginal (S3) seluas 12.965 ha (53,01%), dan kelas lahan yang tidak sesuai (N) seluas 3.628 ha (14,83%). Pada masing-masing kelas kesesuian lahan (S2, S3, N) memiliki faktor


(6)

ketersediaan air (wa), ketersediaan oksigen (oa), bahaya erosi (eh), ketersediaan hara (nr) dan media perakaran (rc). Pada kelas kesesuaian lahan N faktor pembatasnya adalah adanya bahaya sulfidik (xh) dan terbatasnya media perakaran

(rc).

Hasil analisis kesenjangan menunjukkan bahwa: (1) produktivitas lahan perkebunan kakao rakyat di Pulau Sebatik pada kondisi saat ini (eksisting) di bawah dari kondisi yang diharapkan (optimal). Produktivitas hasil kakao kondisi eksisting dibandingkan kondisi optimal pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) yaitu sebesar 45,19 % dan sesuai marginal (S3) sebesar 44,00%. Faktor-faktor kesenjangan (gap) antara kondisi saat ini dan kondisi yang diharapkan antara lain adalah penggunaan sarana produksi pertanian (pupuk, obat-obatan), pemeliharaan tanaman (pemberantasan hama dan penyakit, penggunaan tanaman penaung, pemangkasan, peremajaan), fermentasi, integrasi tanaman dan ternak; (2) analisis usahatani pada kondisi eksisting diperoleh B/C > 1, artinya usahatani perkebunan kakao rakyat di Pulau Sebatik menguntungkan. Namun demikian untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL), diperlukan luas lahan minimal (Lm)

sekitar 3,54-4,35 ha KK-1.

Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas lahan dan meningkatkan pendapatan petani adalah melalui perbaikan terhadap beberapa faktor atau parameter sesuai dengan syarat pertumbuhan tanaman kakao dan untuk mencapai produktivitas hasil optimal. Berdasarkan jumlah kehilangan unsur hara akibat panen (faktor tanaman) dan hasil analisis tanah (faktor tanah), maka kebutuhan pupuk, kapur dan bahan organik adalah sebagai berikut: (1) di wilayah Tanjung Aru (Sebatik) pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2): (a) Urea 375 kg ha-1th-1, (b) SP-36 sebanyak 354 kg ha-1th-1, (c) KCl sebanyak 394 kg ha-1th-1, (d) kapur pertanian 31 kwt ha-1, (e) kieserit 70 kg ha-1 dan (f) bahan organik 69 kwt ha-1. Pada kelas lahan sesuai marginal (S3): (a) Urea 408 kg ha-1th-1, (b) SP-36 sebanyak 361 kg ha-1th-1, (c) KCl sebanyak 451 kg ha-1 th-1, (d) kapur pertanian 38 kwt ha-1, (e) kieserit 70 kg ha-1 dan (f) bahanorganik 81 kwt ha-1; (2) di wilayah Aji Kuning (Sebatik Barat) pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2): (a) Urea 360 kg ha-1 th-1, (b) SP-36 sebanyak 324 kg ha-1 th-1, (c) KCl 419 kg ha-1 th-1, (d) kapur pertanian 39 kwt ha-1, (e) kieserit 70 kg ha-1 dan (f) bahan organik 74 kwt ha-1. Pada kelas lahan sesuai marginal (S3): (a) Urea sebanyak 410 kg ha-1th-1, (b) SP-36 sebanyak 350 kg ha-1th-1, (c) KCl sebanyak 441 kg ha-1 th-1, (d) kapur pertanian 39 kwt ha-1, (e) kieserit 75 kg ha-1 dan (f) bahanorganik 79 kwt ha-1.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kendala untuk meningkatkan produktivitas lahan adalah: (a) terbatasnya infrastruktur, (b) masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia [terutama jika dilihat dari segi pendidikan petani kakao yang mayoritas hanya berpendidikan SD], (c) produktivitas lahan rendah,

(d) produktivitas hasil pertanian rendah, (e) mutu hasil pertanian rendah, (f) terbatasnya sarana usahatani, (g) perhatian pemerintah rendah atau kurang, (h) penyuluhan kurang, dan (i) lemahnya kerjasama antar sektor.

Analisis keberlanjutan menunjukkan bahwa pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2): dimensi ekologi statusnya kurang berkelanjutan (40,75%), dimensi ekonomi kurang berkelanjutan (48,58%), dimensi sosial budaya


(7)

kesesuaian lahan sesuai marginal (S3): dimensi ekologi statusnya kurang berkelanjutan (36,78%), dimensi ekonomi kurang berkelanjutan (44,87%), dimensi sosial budaya berkelanjutan (75,20%), dimensi infrastruktur dan teknologi kurang berkelanjutan (32,98%), dimensi hukum dan kelembagaan kurang berkelanjutan (36,39%), serta dimensi pertahanan dan keamanan kurang berkelanjutan (36,39%). Atribut-atribut sensitif atau pengungkit terhadap indeks dan status keberlanjutan dari masing-masing dimensi perlu dilakukan upaya-upaya intervensi atau perbaikan untuk meningkatkan indeks dan status keberlanjutan.

Perkebunan kakao rakyat di Pulau Sebatik mempunyai peluang besar untuk dikembangkan. Pengembangan perkebunan kakao rakyat di kawasan ini akan mampu meningkatkan tarap hidup masyarakat, dan meningkatkan daya saing kawasan perbatasan. Untuk meningkatkan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik, dilakukan berdasarkan analisis kesenjangan, dan dengan meningkatkan nilai skoring faktor dominan atau atribut kunci dari masing-masing dimensi keberlanjutan. Faktor dominan tersebut adalah: sarana dan prasarana pertahanan dan keamanan, sikronisasi kebijakan pemerintah pusat dan daerah, penguasaan dan penerapan teknologi budidaya dan pasca panen, sarana produksi pertanian, lembaga keuangan mikro [LKM]), tindakan pemupukan, umur tanaman kakao, serangan hama dan penyakit, daya saing kakao, serta industri pengolahan. Upaya yang dapat dilakukan adalah melalui tiga skenario rekomendasi kebijakan. Pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) indeks keberlanjutan gabungan kondisi eksisting 45,81%; skenario I menjadi 51,38%; skenario II menjadi 62,38%; serta skenario menjadi III 69,48%. Pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal (S3) indeks keberlanjutan gabungan kondisi eksisting 42,83%; skenario I menjadi 47,32%; skenario II menjadi 58,44%; serta skenario III menjadi 65,44%.

Arahan kebijakan berdasarkan skala prioritas, sesuai dengan faktor dominan dan kondisi spesifik kawasan berturut-turut: (a) penambahan sarana dan prasarana pertahanan keamanan (hankam) untuk memberikan ketenangan dan suasana kondusif dalam berusahatani, (b) kebijakan pemerintah pusat dan daerah disesuaikan dengan kebutuhan wilayah, terintegrasi dan holistik dari berbagai aspek, (c) diseminasi inovasi teknologi budidaya ramah lingkungan dan pascapanen melalui pelatihan, dan sekolah lapang, (d) sarana produksi pertanian khususnya pupuk sasarannya agar tersedia tepat jumlah, waktu, tempat, jenis, harga dan tepat mutu, (e) lembaga keuangan mikro [LKM] didukung oleh pemerintah untuk membantu permodalan petani, (f) tindakan pemupukan dilakukan sesuai dengan kebutuhan tanaman, kesuburan tanah, dan diupayakan mengurangi penggunaan pupuk anorganik dengan memanfaatkan limbah kakao sebagai pupuk organik, (g) peremajaan dan penggantian tanaman kakao tua dan rusak [ > 20 tahun], (h) pengendalian dan pemberantasan hama penyakit ramah lingkungan [PHT], (i) perlakuan pascapanen kakao yang memadai, dan pemberian insentif bagi biji kakao yang difermentasi untuk meningkatkan daya saing kakao, (j) penyediaan industri pengolahan kakao untuk meningkatkan nilai tambah.


(8)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(9)

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS LAHAN BERKELANJUTAN

UNTUK PERKEBUNAN KAKAO RAKYAT DI KAWASAN

PERBATASAN KALIMANTAN TIMUR - MALAYSIA

(Studi Kasus di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan,

Provinsi Kalimantan Timur)

MUHAMAD HIDAYANTO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(10)

Penguji Luar Komisi

Pada Ujian Tertutup (28 Juni 2010):

1. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS.

(Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan - PSL IPB)

2. Dr. Ir. AdeWachjar, MS.

(Staf Pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura - AGH IPB) Pada Ujian Terbuka (02 Agustus 2010):

1. Prof. Dr. Ir. Irsal Las, MS.

(Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian [BBPSDLP])

2. Dr. Ir. Mastur, MSi.


(11)

Kalimantan Timur - Malaysia (Studi Kasus di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur)

Nama : Muhamad Hidayanto

NIM : P062070181

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr. Ketua

Prof. Dr. Ir. Sudirman Yahya, M.Sc. Dr. Le Istiqlal Amien, MSc, APU. Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof.Dr.Ir. Surjono H.Sutjahjo, M.S. Prof.Dr.Ir. Khairil A.Notodiputro, M.S.


(12)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian dalam rangka penyusunan disertasi ini berjudul “PeningkatanProduktivitas Lahan Berkelanjutan untuk Perkebunan Kakao Rakyat di Kawasan Perbatasan Kalimantan Timur - Malaysia (Studi Kasus di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur)”, dilaksanakan sejak bulan Maret hingga November 2009.

Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak atas bimbingan, masukan, saran, bantuan dan dukungannya terutama kepada: Bapak Prof.Dr.Ir. Supiandi Sabiham, MAgr, Bapak Prof.Dr.Ir. Sudirman Yahya, MSc, dan Bapak Dr. Le Istiqlal Amien, MSc (sebagai komisi pembimbing); Bapak Prof.Dr.Ir. Suryono H. Sutjahjo, MS., Bapak Dr.Ir. Ade Wachjar, MS., Bapak Prof.Dr.Ir. Irsal Las, MS dan Bapak Dr.Ir. Mastur, MSi (sebagai penguji luar komisi); Komisi Pembinaan Tenaga Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang telah memberi kesempatan dan biaya untuk tugas belajar; Program Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) Badan Litbang Pertanian tahun 2009 yang telah membiayai penelitian dalam rangka penyusunan disertasi ini; Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Timur yang telah memberi ijin tugas belajar; Kepala Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan Pedalaman dan Daerah Tertinggal Provinsi Kalimantan Timur, Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur, Kepala Bappeda Nunukan, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Nunukan, serta Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Nunukan yang telah memberi ijin melakukan penelitian. Di samping itu penulis juga menyampaikan terima kasih kepada rekan-rekan mahasiswa S3 PSL-IPB angkatan tahun 2007 atas kerjasamanya yang baik; Bapak Ropik (BBPPSDLP Bogor) yang telah membantu melaksanakan survei lapangan dan analisis data; koordinator PPL (penyuluh pertanian lapangan), PPL, petugas lapangan di Kecamatan Sebatik dan Sebatik Barat, serta ketua KTNA Sebatik yang telah banyak membantu penelitian di lapangan. Secara khusus terima kasih penulis sampaikan kepada kedua orang tua (Bapak H. Pardi, BA dan Ibu Hj. Partini), kedua mertua (Bapak D. Surjadi dan Ibu B. Supiati), Istri tercinta (Yossita Fiana), anak-anak tersayang (Irfan Yasyfi Hidayat dan Hanna Rosyida Rachmayanti) atas pengertian, doa, dan kasih sayangnya; dan keluarga atas segala perhatian, dukungan, dan doa restunya; serta kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Mudah-mudahan semua amal baik yang telah diberikan kepada penulis mendapat imbalan pahala berlipat ganda dari Allah SWT.

Semoga disertasi ini bermanfaat.

Bogor, 17 Agutus 2010


(13)

Penulis dilahirkan di Sragen pada tanggal 17 Agustus 1965, anak ke-2 dari lima bersaudara pasangan Bapak H. Pardi BA, dan Ibu Hj. Partini. Pendidikan S1 di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, dan S2 di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada Fakultas Pertanian Program Studi Ilmu Tanah. Pada tahun 2007 mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan S3 Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), dengan beasiswa dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hingga saat ini bekerja sebagai peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Timur. Beberapa kegiatan penelitian telah dilakukan, baik bersifat intern institusi, kegiatan penelitian kerjasama dengan swasta, maupun dengan dinas dan instansi terkait lainnya. Kegiatan kerjasama penelitian dan pengkajian tersebut antara lain: (1) analisis tanah untuk menyusun rekomendasi pemupukan padi sawah spesifik lokasi di 10 Kabupaten sentra pengembangan padi di Kalimantan Timur, (2) pengelolaan lahan dan tanaman terpadu [PLTT] lahan pasang surut, (3) uji efektivitas pupuk organik cair untuk tanaman sayuran, (4) pewilayahan komoditas pertanian spesifik lokasi di Kalimantan Timur, (5) pengembangan kelapa sawit di kawasan perbatasan Kabupaten Nunukan - Kalimantan Timur, dan (6) identifikasi kendala peningkatan produktivitas lahan sawah.

Karya ilmiah bagian dari hasil penelitian atau disertasi ini telah terbit pada jurnal terakreditasi, yaitu (1) Arahan Penggunaan Lahan Berkelanjutan untuk Tanaman Kakao di Kawasan Perbatasan Kaltim - Malaysia (Recommendation of Sustainable Landuse for Cocoa in the Border Area East Kalimantan - Malaysia)

pada Jurnal Sumberdaya Lahan (JSDL) Vol 2 No 2 Tahun 2008, terakreditasi No: 139/Akred-LIPI/P2MBI/03/2009 [Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian]; (2) Analisis Keberlanjutan Perkebunan Kakao Rakyat di Kawasan Perbatasan Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur (Sustainability Analysis of Cocoa in the Border Area on Sebatik Island, Nunukan District, East Kalimantan Province) pada Jurnal Agroekonomi (JAE) Vol 27 No 2 Tahun 2009, terakreditasi No: 198/AU1/P2MBI/08/2009 [Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian].


(14)

xii

DAFTAR ISI ……….. xii

DAFTAR TABEL ……… xv

DAFTAR GAMBAR ……….. xviii

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xx

I. PENDAHULUAN ………. 1

1.1. Latar Belakang ……….. 1

1.2. Tujuan Penelitian ………... 4

1.3. Kerangka Pemikiran ………... 4

1.4. Perumusan Masalah ……… 6

1.5. Manfaat Penelitian ……… 7

1.6. Kebaruan (Novelty) ………. 7

1.7. Definisi Beberapa Istilah dalam Penelitian ……… 9

II. TINJAUAN PUSTAKA ………. 13

2.1. Produktivitas Lahan dan Usahatani Kakao ………... 13

2.2. Kesuaian Lahan ..….………... 13

2.3. Kawasan Perbatasan .….……….... 15

2.4. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan ……….. 17

2.5. Pendekatan Sistem ……… 18

2.6. Analisis Kelayakan Ekonomi ………. 20

2.7. Analisis Keberlanjutan ………. 22

2.8. Analisis Leverage ……… 22

2.9. Analisis Monte Carlo ……… 22

2.10. Analisis Prospektif ……… 23

III. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ……… 25

3.1. Letak Geografis dan Wilayah Administrasi ... 25

3.2. Topografi dan Fisiografi ... 26

3.3. Geologi dan Jenis Batuan ... 27

3.4. Geomorfologi dan Sistem Lahan ... 29

3.5. Jenis Tanah dan Iklim ... 29

3.6. Kebijakan Pembangunan Pertanian di Pulau Sebatik ... 31

3.7. Kondisi Sosial dan Ekonomi ... 31

3.8. Kondisi Infrastruktur dan Sarana Lainnya ... 33


(15)

xiii

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ……… 35

4.2. Bahan dan Alat ……… 35

4.3. Rancangan Penelitian ……… 36

4.4. Lingkup dan Rencana Kegiatan ……… 36

4.5. Jenis, Sumber dan Teknik Pengumpulan Data ………. 37

4.6. Formulasi Rekomendasi Kebijakan ……… 41

4.7. Analisis Data... 41

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 53

5.1. Keragaan Pertanian ... 53

5.1.1. Usaha Tani Kakao Rakyat ... 53

5.1.2. Kelembagaan Pertanian ... 56

5.1.3. Kendala Umum Pengembangan Kakao Rakyat ... 57

5.2. Sifat dan Kualitas Tanah ... 58

5.3. Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Kakao ... 63

5.4. Analisis Kesenjanan (Gap Analysis) ... 66

5.5. Analisis Kendala, Perubahan yang Diinginkan dan Kelembagaan Pendukung ... 74

5.5.1. Elemen Kendala ... 75

5.5.2. Elemen Perubahan yang Diinginkan ... 80

5.5.3. Kelembagaan Pendukung ... 82

5.6. Analisis Sosial Ekonomi ... 85

5.7. Indeks dan Status Keberlanjutan ... 87

5.7.1. Analisis Keberlanjutan ... 87

5.7.2. Keberlanjutan Dimensi Ekologi ... 89

5.7.3. Keberlanjutan Dimensi Ekonomi ... 91

5.7.4. Keberlanjutan Dimensi Sosial Budaya ... 93

5.7.5. Keberlanjutan Dimensi Infrastruktur dan Teknologi ... 95

5.7.6. Keberlanjutan Dimensi Hukum dan Kelembagaan ... 97

5.7.7. Keberlanjutan Dimensi Pertahanan dan Keamanan ... 100


(16)

xiv

5.8.1. Indeks Keberlanjutan ... 104

5.8.2. Kebutuhan Stakeholders ... 105

5.9. Faktor Kunci Keberlanjutan ... 107

5.10. Skenario Peningkatan Produktivitas Lahan Berkelanjutan Perkebunan Kakao Rakyat ... 115

5.11. Skenario Rekomendasi Kebijakan ... 134

VI. REKOMENDASI KEBIJAKAN ... 137

VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 143

7.1 Kesimpulan ... 143

7.2 Saran ... 145

DAFTAR PUSTAKA ... 147


(17)

xv

2. Luas wilayah pada masing-masing kecamatan di Pulau Sebatik ... 26

3. Jenis-jenis tanah di Pulau Sebatik ... 29

4. Neraca air di Kabupaten Nunukan ... 30

5. Sumber dan teknik pengumpulan data ... 38

6. Parameter dan metode analisis tanah ... 40

7. Keterkaitan antara tujuan penelitian, kegiatan, data yang diperlukan, analisis data, dan keluaran yang diharapkan ... 43

8. Kategori indeks status keberlanjutan perkebunan kakao rakyat ... 45

9. Pedoman penilaian analisis prospektif ... 49

10. Pengaruh antar faktor peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan untuk perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik ... 49

11. Ilustrasi keadaan yang mungkin terjadi di masa depan pada peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan untuk perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik ... 50

12. Hasil analisis skenario peningkatan produktivitas lahan untuk pengembangan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik .. 51

13. Karakteristik dan penerapan teknologi usahatani kakao di Pulau Sebatik ... 54

14. Sifat fisik tanah perkebunan kakao rakyat di Pulau Sebatik ... 58

15. Hasil analisis sifat kimia tanah di Pulau Sebatik ... 60

16. Hasil analisis Cmic, C-organik, nisbah Cmic / C-organik tanah di Pulau Sebatik ... 62

17. Kelas kesesuaian lahan aktual dan faktor pembatas pada setiap satuan lahan untuk tanaman kakao di Pulau Sebatik ... 64

18. Produksi optimal tanaman kakao berdasarkan kelas kesesuaian lahan 66

19. Kesenjangan produktivitas hasil dan teknologi usahatani perkebunan kakao rakyat di Pulau Sebatik ... 67

20. Kebutuhan pupuk untuk tanaman kakao di Tanjung Aru, Kecamatan Sebatik ... 68

21. Dosis kapur dan bahan organik di Tanjung Aru, Kecamatan Sebatik 69 22. Kebutuhan pupuk untuk tanaman kakao di Aji Kuning, Kecamatan Sebatik Barat ... 70

23. Dosis kapur dan bahan organik di Aji Kuning, Kecamatan Sebatik Barat ……… 71


(18)

xvi

Sebatik ... 71 25. Analisis usahatani perkebunan kakao rakyat di Tanjung Aru,

Kecamatan Sebatik pada kondisi eksisting dan kondisi yang

diharapkan (rekomendasi) ... 72 26. Analisis usahatani perkebunan kakao rakyat di Aji Kuning,

Kecamatan Sebatik Barat pada kondisi eksisting dan kondisi yang

diharapkan (rekomendasi) ……….. 73

27. Kebutuhan hidup layak (KHL) di Pulau Sebatik ... 86 28. Perbedaan indeks keberlanjutan antara RAP-COCOA SEBATIK

(MDS) dengan Monte Carlo ... 102 29. Nilai stress dan R2 dimensi keberlanjutan perkebunan kakao rakyat

di kawasan perbatasan Pulau Sebatik ... 103 30. Gabungan faktor-faktor kunci yang mempunyai pengaruh besar .... 107 31. Uraian masing-masing skenario peningkatan produktivitas lahan

berkelanjutan perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan

Pulau Sebatik ... 116 32. Perubahan kondisi faktor-faktor dominan peningkatan produktivitas

lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat ... 117 33. Skenario strategi peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan ... 117 34. Perubahan skoring atribut pada skenario I ... 119 35. Perubahan nilai indeks keberlanjutan peningkatan produktivitas

lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan

Pulau Sebatik skenario I ... 120 36. Perubahan skoring atribut pada skenario II ... 123 37. Perubahan nilai indeks keberlanjutan peningkatan produktivitas

lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik skenario II ... 124 38. Perubahan skoring atribut pada skenario III ... 127 39. Perubahan nilai indeks keberlanjutan peningkatan produktivitas

lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik skenario III ... 128 40. Indeks keberlanjutan kondisi eksisting, dan kondisi masing-masing

skenario ... 128 41. Jarak euclidian antara kondisi eksisting dan kondisi Skenario I, II

dan III pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) ... 131 42. Jarak euclidian antara kondisi eksisting dan kondisi Skenario I, II


(19)

xvii

1. Kerangka pemikiran ... 6

2. Persentase luas wilayah per kecamatan di Kabupaten Nunukan .... 25

3. Distribusi penduduk Kabupaten Nunukan menurut kecamatan tahun 2007 ... 32

4. Lokasi penelitian ... 35

5. Tahapan penelitian ... 37

6. Bagan proses aplikasi RAP-COCOA SEBATIK ……….... 45

7. Ilustrasi penentuan indeks keberlanjutan produktivitas lahan di kawasan perbatasan dalam skala ordinasi pada dua titik ekstrim buruk (0%) dan baik (100%) ... 48

8. Ilustrasi diagram layang-layang indeks keberlanjutan ... 48

9. Penentuan elemen kunci peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan untuk perkebunan kakao rakyat ... 51

10. Kesesuaian lahan untuk tanaman kakao di Pulau Sebatik ... 65

11. Struktur hirarki antar sub elemen kendala peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) ... 75

12. Diagram klasifikasi sub elemen kendala peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) ... 77

13. Struktur hirarki antar sub elemen kendala peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal (S3) ... 78

14. Diagram klasifikasi sub elemen kendala peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal (S3) ... 79

15. Struktur hirarki antar sub elemen perubahan yang diinginkan untuk peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3) ... 81

16. Diagram klasifikasi sub elemen perubahan yang diinginkan untuk peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3) ... 82

17. Struktur hirarki antar sub elemen kelembagan yang terlibat pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3).. 83

18. Diagram klasifikasi sub elemen kelembagaan yang terlibat dalam pemanfaatan lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3).. 84


(20)

xviii

sesuai (S2) ... 88 20. Diagram indeks keberlanjutan pada kelas kesesuaian lahan sesuai

marginal (S3) ... 88 21. Indeks keberlanjutan dan peran atribut yang sensitif

mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekologi pada kelas

kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) ... 89 22. Indeks keberlanjutan dan peran atribut yang sensitif

mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekologi pada kelas

kesesuaian lahan sesuai marginal (S3) ... 90 23. Indeks keberlanjutan dan atribut yang sensitif mempengaruhi

keberlanjutan dimensi ekonomi pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) ... 92 24. Indeks keberlanjutan dan atribut yang sensitif mempengaruhi

keberlanjutan dimensi ekonomi pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal (S3) ... 93 25. Indeks keberlanjutan dan atribut yang sensitif mempengaruhi

keberlanjutan dimensi sosial budaya pada kelas kesesuaian lahan

cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3) ... 94 26. Indeks keberlanjutan dan atribut yang sensitif mempengaruhi

keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi pada kelas

kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) ... 96 27. Indeks keberlanjutan dan atribut yang sensitif mempengaruhi

keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi pada kelas

kesesuaian lahan sesuai marginal (S3) ... 97 28. Indeks keberlanjutan dan atribut yang sensitif mempengaruhi

keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan ... 98 29. Indeks keberlanjutan dan atribut yang sensitif mempengaruhi

keberlanjutan dimensi pertahanan dan keamanan ... 101 30. Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit berdasarkan

analisis keberlanjutan pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai

(S2) dan sesuai marginal (S3) ... 105 31. Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit berdasarkan

analisis kebutuhan stakeholders pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3) ... 106 32. Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit, gabungan


(21)

xix

34. Bagan peningkatan indeks keberlanjutan berdasarkan skenario I

pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) ... 121 35. Bagan peningkatan indeks keberlanjutan berdasarkan skenario I

pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal (S3) ... 122 36. Bagan peningkatan indeks keberlanjutan berdasarkan skenario II

pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) ... 125 37. Bagan peningkatan indeks keberlanjutan berdasarkan skenario II

pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal (S3) ... 126 38. Bagan peningkatan indeks keberlanjutan berdasarkan skenario III

pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) ... 129 39. Bagan peningkatan indeks keberlanjutan berdasarkan skenario III

pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal (S3) ... 130 40. Indeks keberlanjutan enam dimensi keberlanjutan kondisi eksisting,

skenario I, II dan III pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) 132 41. Indeks keberlanjutan enam dimensi keberlanjutan kondisi eksisting,

skenario I, II dan III pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal (S3) ... 132 42. Model peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan


(22)

xx

Halaman 1. Dimensi dan atribut skor keberlanjutan peningkatan produktivitas

lahan berkelanjutan untuk perkebunan kakao rakyat di kawasan

perbatasan Kalimantan Timur-Malaysia ... 157 2. Kelas kesesuaian lahan tanaman kakao (Theobroma cacao L.) ....... 163 3. Produksi optimal tanaman kakao (Theobroma cacao L.)

berdasarkan kelas kesesuaian lahan ... 164 4. Kriteria penilaian sifat kimia tanah ... 165 5. Produktivitas hasil kakao (kg ha-1 tahun-1) berdasarkan umur

tanaman dan kelas kesesuaian lahan ... 166 6. Deskripsi profil tanah di Pulau Sebatik ... 167


(23)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kawasan perbatasan di Kalimantan Timur yang berbatasan langsung dengan negara tetangga (Malaysia) memiliki panjang sekitar 1,02 ribu km, membentang dari Kabupaten Nunukan, Malinau dan Kutai Barat. Potensi sumberdaya alam yang dimiliki di kawasan perbatasan Kalimantan Timur cukup melimpah, namun hingga saat ini relatif belum dimanfaatkan secara optimal. Salah satu kawasan perbatasan yang terletak di Kabupaten Nunukan adalah Pulau Sebatik. Pulau ini mempunyai luas sekitar 24,6 ribu ha. Kawasan perbatasan negara di Kalimantan Timur ini sangat strategis, terutama jika dilihat dari aspek geoekonomi, geopolitik, geografi, dan geokultural, karena berbatasan langsung dengan wilayah negara tetangga (Sabah) Malaysia yang memiliki tingkat perekonomian relatif lebih baik.

Sektor pertanian merupakan salah satu peluang untuk meningkatkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat di Pulau Sebatik. Pengembangan berbagai komoditas pertanian unggulan di kawasan ini sangat memungkinkan, karena didukung oleh kondisi biofisik sumberdaya lahan kering yang memadai (Puslittanak, 2000; BPTP Kaltim, 2007). Komoditas unggulan tanaman perkebunan di kawasan ini adalah kakao (Theobroma cacao L.), yang dikelola oleh perkebunan rakyat. Permintaan kakao untuk pasar ekspor dari kawasan ini cukup tinggi, tetapi tidak diimbangi dengan kualitas kakao yang dihasilkan (kualitas rendah) sehingga sampai saat ini hanya sebagai pencampur kakao Malaysia. Luas perkebunan kakao rakyat di kawasan ini mencapai 5,2 ribu ha dengan produktivitas berkisar antara 600-800 kg ha-1 th-1 kakao kering (Abubakar, 2004; Samudra, 2005). Hasil penelitian di Ghana (Dormon et al., 2004) menunjukkan bahwa rendahnya produktivitas kakao antara lain disebabkan oleh faktor biologi (hama penyakit) dan kondisi sosial ekonomi (keterbatasan modal, upah tenaga kerja mahal dan terbatasnya infrastruktur).

Pengembangan pertanian tanaman perkebunan khususnya kakao di Pulau Sebatik mempunyai beberapa kendala teknis. Faktor pembatas kualitas lahan dan ketersediaan air perlu mendapat sentuhan inovasi teknologi guna meningkatkan


(24)

produktivitas hasil tanaman, antara lain melalui evaluasi kualitas dan kesesuaian lahan, pengelolaan hara, konservasi air, pemanfaatan bahan organik dan integrasi tanaman-ternak (Benjamin et al., 2003; Bindraban et al., 2000; Dariah et al., 2005; Evah et al., 2000; Garrity dan Agus, 1999; Ouédraogo et al., 2001; Subagyono et al., 2004; Watung et al., 2003; Zhang et al., 2004).

Berkaitan dengan kendala lahan untuk pengembangan pertanian, keragaman sifat lahan akan sangat menentukan jenis komoditas yang dapat diusahakan, karena setiap jenis komoditas pertanian memerlukan persyaratan sifat lahan yang spesifik untuk dapat tumbuh dan berproduksi dengan optimal (Amien, 1996; Djaenudin et al., 2000). Tanah di Pulau Sebatik umumnya berkembang dari bahan sedimen dan sebagian kecil endapan sungai (marine) serta volkan. Wilayah ini mempunyai rejim kelembaban tanah daerah dataran tinggi tergolong udik dengan curah hujan tahunan > 2000 mm. Kelas kedalaman solum tanah bervariasi dari dangkal (< 50 cm) hingga sangat dalam (> 150 cm), namun secara umum didominasi oleh solum dalam (100 - 150 cm). Solum dangkal dijumpai pada tanah yang terbentuk dari bahan kuarsa dengan lereng datar-berombak, dan tanah yang terbentuk dari bahan batu pasir dengan lereng terjal. Pada beberapa lokasi dijumpai batuan yang muncul ke permukaan tanah. Berdasarkan sifat-sifat morfologi dan hasil analisis tanah, tanah-tanah di daerah penelitian dikelompokkan menjadi 3 Ordo yaitu Entisols, Inceptisols, dan Ultisols (BPTP Kaltim, 2007). Jenis tanah tersebut umumnya memiliki kemampuan menahan air rendah (Uexkull, 1984; Spain, 1986), sehingga curah hujan yang melimpah tidak bermanfaat bagi tanaman apabila kapasitas menahan air tanah rendah.

Keadaan biofisik lahan kering di Pulau Sebatik diasosiasikan sebagai lahan-lahan kritis yang rentan terhadap fenomena kerusakan lahan akibat erosi, kesuburan atau produktivitas tanah relatif rendah, dan keterbatasan air tahunan yang membatasi pola pertanaman. Lahan kering ini dikategorikan sebagai lahan marjinal, karena memiliki satu atau lebih permasalahan sebagai berikut: (i) kondisi biofisik yang mencakup produktivitas/kesuburan tanah relatif rendah, topografi berbukit (peka erosi), sumberdaya air terbatas; dan (ii) ketersediaan infrastruktur terbatas (Puslittanak, 2000). Degradasi lahan yang disebabkan oleh adanya erosi pada lahan perbukitan dan atau lahan miring di wilayah ini akan


(25)

menyebabkan makin menurunnya kualitas kesuburan tanah (lapisan tanah menipis, agregat tanah tidak stabil), sehingga akan mempengaruhi produktivitas hasil komoditas yang diusahakan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Saliba (1985), bahwa produktivitas lahan akan mempengaruhi produktivitas hasil dari komoditas yang diusahakan pada suatu wilayah. Lebih lanjut Zhang et al. (2004) menyatakan bahwa evaluasi sistem peningkatan produktivitas lahan dapat memberikan informasi secara detail, yang akan membantu pengambil keputusan mengidentifikasi pengelolaan pertanian optimal untuk meningkatkan produktivitas lahan berkelanjutan. Oleh karena itu peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan dalam rangka pembangunan pertanian perlu dilaksanakan di kawasan Pulau Sebatik, sesuai dengan potensi sumberdaya dan kearifan lokal setempat.

World Conservation Strategy mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa mengorbankan kesanggupan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka (Anonim, 1990). Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) merupakan implementasi dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) pada sektor pertanian. Menurut Sutanto (2002), pertanian berkelanjutan merupakan keberhasilan dalam mengelola sumberdaya untuk kepentingan pertanian dalam memenuhi kebutuhan manusia, sekaligus mempertahankan dan meningkatkan kualitas lingkungan serta konservasi sumberdaya alam.

Dalam kaitannya dengan pembangunan pertanian secara berkelanjutan, selama ini penanganan berbagai masalah pertanian sudah banyak dilakukan, namun masih secara parsial dan ternyata belum mampu mengatasi masalah yang kompleks. Pendekatan parsial untuk mengatasi suatu masalah adalah ciri suatu penelitian yang berbasis komoditas. Consultative Group on International Agriculture Research (CGIAR) mengubah strategi penelitian melalui pendekatan holistik dengan fokus sumberdaya (CGIAR,1978).Dalam skala makro strateginya disebut ecoregional initiative, dan dalam skala mikro dijabarkan dalam integrated crop management. Oleh karena itu dengan berbagai permasalahan agroekosistem di kawasan perbatasan, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui


(26)

kegiatan peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan untuk pengembangan komoditas pertanian unggulan secara holistik yang memadukan aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya, infrastruktur dan teknologi, hukum dan kelembagaan serta pertahanan dan keamanan.

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian untuk meningkatkan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Kalimantan Timur-Malaysia, dengan studi kasus di Pulau Sebatik. Tujuan spesifiknya adalah:

a) Mempelajari kesesuaian lahan untuk tanaman kakao.

b) Mempelajari kesenjangan produktivitas lahan dan kendala yang dihadapi. c) Mempelajari status keberlanjutan produktivitas lahan perkebunan kakao

rakyat.

d) Mengidentifikasi kebutuhan stakeholders untuk peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat.

e) Memformulasikan arahan kebijakan peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat.

1.3. Kerangka Pemikiran

Sektor pertanian merupakan salah satu peluang untuk meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan sebagai salah satu kawasan perbatasan negara di Kalimantan Timur. Pengembangan berbagai komoditas pertanian di kawasan ini sangat memungkinkan, namun demikian faktor pembatas kualitas lahan perlu mendapatkan sentuhan inovasi teknologi untuk meningkatkan produktivitas hasil tanaman.

Keadaan biofisik lahan untuk pengembangan pertanian di Pulau Sebatik diasosiasikan sebagai lahan-lahan kritis yang rentan terhadap kerusakan lahan akibat erosi, dan produktivitas tanah relatif rendah. Berbagai masalah yang dihadapi untuk pengembangan komoditas unggulan di kawasan ini antara lain adalah: (a) keterbatasan air tahunan, (b) terjadinya degradasi lahan akibat erosi pada lahan perbukitan dan lahan miring, yang mengakibatkan makin menurunnya


(27)

(c) pengelolaan sistem pertanaman (cropping system), pengelolaan tanah dan air di tingkat petani belum memadai. Permasalahan tersebut terkait dengan tingkat penguasaan petani terhadap teknologi budidaya komoditas unggulan, dan konservasi tanah serta air yang relatif kurang memadai.

Komoditas unggulan tanaman perkebunan di kawasan Pulau Sebatik diusahakan untuk keperluan pasar ekspor ke Sabah (Malaysia). Akses pasar yang sangat baik merupakan faktor pendorong bagi masyarakat untuk mengusahakan tanaman perkebunan di kawasan tersebut.Permintaan komoditas kakao dari Pulau Sebatik untuk tujuan ekspor semakin tinggi, tetapi tidak diimbangi dengan kualitas hasil (mutu rendah), sehingga harganya relatif rendah di pasar Malaysia. Produktivitas hasil kakao dari kawasan ini semakin menurun yang disebabkan antara lain oleh umur tanaman sudah tua, serangan hama penyakit, dan produktivitas lahan yang semakin menurun.

Lahan pertanian untuk perkebunan kakao rakyat di Pulau Sebatik pada umumnya belum dikelola dengan baik (Abubakar, 2004; Samudra, 2005; BPTP Kaltim, 2007). Masalah lain adalah teknologi yang tersedia bagi pengembangan lahan kering marginal ini umumnya memerlukan input tinggi, masih kurangnya informasi potensi sumberdaya lahan, terbatasnya sumberdaya manusia, terbatasnya modal, belum didukung oleh kelembagaan usahatani yang memadai dan terbatasanya infrastruktur.

Oleh karena itu dengan berbagai permasalahan perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan tersebut yang melandasi pentingnya penelitian peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan untuk perkebunan kakao rakyat yang memadukan berbagai aspek keberlanjutan. Penelitian ini sebagai salah satu upaya meningkatkan produktivitas komoditas unggulan dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya alam setempat sehingga akan tetap dapat mendukung keberlanjutan usaha pertanian pada suatu kawasan. Dengan demikian akan mendorong agribisnis komoditas unggulan pada suatu kawasan dan diharapkan akan mendukung ketersediaan pangan, peningkatan pendapatan masyarakat, dan membuka lapangan kerja baru serta meningkatkan pendapatan asli daerah. Kerangka pemikiran penelitian tersebut secara ringkas disajikan pada Gambar 1.


(28)

Gambar 1. Kerangka pemikiran 1.4. Perumusan Masalah

Tanaman kakao merupakan komoditas pertanian unggulan dari Pulau Sebatik. Pengembangan perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik ini menghadapi berbagai masalah yang kompleks dan multidimensi, terutama berkaitan dengan produktivitas dan mutu hasil kakao yang semakin

Ketersediaan pangan

Pendapatan masyarakat

Lapangan kerja

PAD

Perkebunan Kakao Rakyat

Produksi dan Mutu Rendah

Rekomendasi Peningkatan Produktivitas Lahan Berkelanjutan untuk Perkebunan Kakao Rakyat

di Kawasan Perbatasan Pulau Sebatik Ekonomi (kelayakan finansial)

Kesesuaian Lahan Kesenjangan dan kendala,

produktivitas lahan

Kebutuhan stakeholders

Keberlanjutan

Prospektif

Analisis

Identifikasi Faktor Berpengaruh

Data primer, sekunder dan pendapat pakar

Skenario

Berkelanjutan

Ya

Tidak Kawasan Perbatasan Negara Sebagai


(29)

menurun. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk menjawab beberapa pertanyaan penelitian yaitu (1) apakah lahan usahatani kakao rakyat sesuai dengan agroekologi kawasan setempat ? (2) bagaimana kesenjangan (gap) produktivitas lahan perkebunan kakao rakyat ? (3) apakah kendala, perubahan yang diinginkan dan kelembagaan pendukung yang terlibat dalam perkebunan kakao rakyat ? (4) seberapa besar tingkat keberlanjutan produktivitas lahan perkebunan kakao rakyat ? (5) apa saja kebutuhan stakeholders untuk peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat ? dan (6) bagaimana formulasi rekomendasi kebijakan peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan untuk perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik ?

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan untuk perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik ini diharapkan:

a. Menjadi arahan atau rekomendasi bagi penentu kebijakan dan masyarakat setempat untuk pengembangan komoditas kakao di kawasan perbatasan, khususnya di Pulau Sebatik berdasarkan potensi sumberdaya alam, potensi ekonomi dan kelembagaan setempat.

b. Mempertahankan keberlanjutan produktivitas lahan untuk pengembangan komoditas kakao di kawasan perbatasan.

1.6. Kebaruan (Novelty)

Penelitian ini adalah pengembangan dari penelitian sebelumnya yang terkait dengan pembangunan pertanian di kawasan perbatasan negara, beranjak dari pendekatan parsial menuju pendekatan holistik. Penelitian-penelitian sebelumnya antara lain:

a) Susilo (2003) dengan judul penelitian “Keberlanjutan Pembangunan Pulau-Pulau Kecil (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari Kepulauan Seribu DKI Jakarta” dengan menggunakan konsep keberlanjutan. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa pengelolaan sumberdaya di Pulau Pangang dan Pulau Pari termasuk dalam kategori cukup berkelanjutan.


(30)

b) Abubakar (2004) dengan judul “Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Perbatasan (Kasus Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur”. Penelitian tersebut menggunakan metode Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats (SWOT), Analitycal Hierarchy Process (AHP) dan Linear Goal Programming. Hasil penelitian menunjukkan bahwa permasalahan di kawasan perbatasan cukup komplek dan memerlukan penanganan yang lebih komprehensif dan berkelanjutan.

c) Samudra (2005) dengan judul “Kajian Pengelolaan Sumberdaya Pulau Sebatik Sebagai Pulau Kecil Perbatasan di Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur Secara Terpadu, Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat”. Metode yang digunakan adalah skoring sederhana dan SWOT. Hasil analisis menunjukkan bahwa sumberdaya hayati unggulan Pulau Sebatik adalah (i) perikanan tangkap, (ii) perkebunan kakao, dan (iii) peternakan [kerbau, sapi, kambing].

d) Marhayudi (2006) dengan judul “Model Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Kalimantan Barat”. Penelitian tersebut menggunakan metode Rap-INSUSFORMA dan disimpulkan bahwa pengelolaan hutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat termasuk dalam kategori kurang berkelanjutan dengan nilai indeks

keberlanjutan 36,85%.

e) Thamrin (2008) dengan judul “Model Pengembangan Kawasan Agropolitan Secara Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Kalimantan Barat-Malaysia”. Penelitian tersebut menggunakan Rap-BENGKAWAN dan disimpulkan bahwa status keberlanjutan multidimensi pengembangan kawasan agropolitan secara berkelanjutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat-Malaysia cukup berkelanjutan dengan nilai indeks keberlanjutan 52,43%.

Hasil-hasil penelitian selama ini menunjukkan bahwa penanganan berbagai masalah pertanian di kawasan perbatasan telah banyak dilakukan, namun masih bersifat parsial dan ternyata belum mampu mengatasi masalah yang kompleks. Kebaruan (novelty) penelitian ini adalah:


(31)

1. Penggunaan analisis kesenjangan (gap analysis) untuk mengetahui produktivitas lahan perkebunan kakao rakyat pada kondisi saat ini (existing)

dan kondisi yang diharapkan (optimum), sehingga akan diketahui upaya-upaya perbaikan.

2. Penggunaan alat analisis keberlanjutan Multi Dimensional Scaling (MDS) yang disebut RAP-COCOA SEBATIK (Rapid Appraisal for Cocoa on Sebatik Island) untuk peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik. Alat analisis ini merupakan modifikasi dari RAPFISH (Rapid Appraisal Technique for Fisheries), yang semula hanya menyertakan 5 dimensi keberlanjutan (ecological, technology economic, social, and ethical), pada RAP-COCOA SEBATIK ini ditambahkan dimensi pertahanan keamanan, sehingga menjadi 6 dimensi keberlanjutan (ekologi, ekonomi, sosial budaya, infrastruktur dan teknologi, hukum dan kelembagaan, serta pertahanan dan keamanan).

3. Alternatif skenario arahan kebijakan berdasarkan analisis kesenjangan produktivitas lahan (antara kondisi eksisting dengan kondisi yang diharapkan), dan analisis keberlanjutan dari berbagai dimensi atau aspek keberlanjutan di kawasan perbatasan Pulau Sebatik.

1.7. Definisi Beberapa Istilah dalam Penelitian

a. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya (UU No. 26 Tahun 2007 Pasal 1 ayat 20).

b. Kawasan atau wilayah perbatasan merupakan wilayah yang secara geografis berbatasan langsung dengan negara tetangga dan yang langsung berhadapan dengan negara lain. Wilayah yang dimaksud adalah bagian wilayah propinsi, kabupaten atau kota yang langsung bersinggungan dengan garis batas negara (atau wilayah negara tetangga). Sedangkan menurut UU No. 43 Tahun 2008 Pasal 1 ayat 6, Kawasan Perbatasan adalah bagian dari Wilayah Negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal Batas Wilayah Negara di darat, Kawasan Perbatasan berada di kecamatan.


(32)

c. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan (UU No. 26 Tahun 2007 Pasal 1 ayat 21). d. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama

untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan (UU No. 26 Tahun 2007 Pasal 1 ayat 22).

e. Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia (UU No. 26 Tahun 2007 Pasal 1 ayat 28). f. Badan Pengelola adalah badan yang diberi kewenangan di bidang

pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan (UU No. 43 Tahun 2008 Pasal 1 ayat 11).

g. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia (UU No. 43 Tahun 2008 Pasal 1 ayat 12).

h. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah (UU No. 43 Tahun 2008 Pasal 1 ayat 13).

i. Komoditas andalan adalah komoditas dengan ciri-ciri: merupakan komoditas yang dominan diusahakan oleh masyarakat, merupakan komoditas spesifik lokasi, dan dapat dibudidayakan berdasarkan kondisi agroekologi setempat (Thamrin, 2008).

j. Komoditas unggulan adalah komoditas yang mempunyai ciri-ciri: merupakan salah satu komoditas andalan, besaran ekonominya menguntungkan, memiliki prospek pasar, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga, potensi sumberdaya lahan yang besar, digemari oleh masyarakat, dan diusahakan sepanjang tahun (Thamrin, 2008).


(33)

k. Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa mengorbankan kesanggupan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka (Anonim, 1990).

l. Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) adalah keberhasilan dalam mengelola sumberdaya untuk kepentingan pertanian dalam memenuhi kebutuhan manusia, sekaligus mempertahankan dan meningkatkan kualitas lingkungan serta konservasi sumberdaya alam (Anonim, 1990; Sutanto, 2002). Pertanian berkelanjutan merupakan implementasi dari konsep pembangunan berkelanjutan pada sektor pertanian.

m. Kesesuaian lahan merupakan penggambaran tingkat kecocokan sebidang lahan untuk suatu tipe penggunaan lahan (jenis tanaman dan tingkat pengelolaan) tertentu (FAO, 1976).

n. Lahan atau land adalah suatu wilayah di permukaan bumi, mencakup semua komponen biosfer yang dapat dianggap tetap atau bersifat siklis yang berada di atas dan di bawah wilayah tersebut, termasuk atmosfer, tanah, batuan induk, relief, hidrologi, tumbuhan dan hewan, serta segala akibat yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia di masa lalu dan sekarang yang kesemuanya itu berpengaruh terhadap penggunaan lahan oleh manusia pada saat sekarang dan di masa mendatang (FAO, 1976).

o. Produktivitas lahan adalah kemampuan lahan untuk menghasilkan produk dari suatu sistem pengelolaan tertentu (Saliba, 1985). Produktivitas dapat diartikan sebagai suatu keluaran dari setiap produk persatuan (baik satuan total maupun tambahan) terhadap setiap masukan atau faktor produksi tertentu. Produktivitas adalah suatu hubungan antara masukan (input) dan keluaran (output).


(34)

(35)

Produktivitas lahan adalah kemampuan lahan untuk menghasilkan produk dari suatu sistem pengelolaan tertentu (Saliba, 1985). Untuk meningkatkan produktivitas lahan perkebunan kakao perlu diketahui sifat tanah (fisik, kimia dan biologi) dan dilakukan pemupukan sesuai dengan kandungan hara tanah serta kebutuhan tanaman. Menurut Jadin dan Snoeck (1985) pemupukan tanaman kakao akan lebih efektif jika ditekankan pada tercapainya perbandingan hara optimal, yaitu untuk K:Ca:Mg adalah 8:68:24.

Tanaman kakao diperkirakan berasal dari lembah hulu sungai Amazone, Amerika Selatan yang dibawa ke Indonesia oleh bangsa Spanyol sekitar tahun 1560 (Wahyudi dan Rahardjo, 2008). Di Indonesia tanaman ini sebagian besar dikelola oleh perkebunan rakyat (89,59%), perkebunan besar negara (5,04%) dan perkebunan besar swasta (5,37). Produktivitas hasil kakao rata-rata nasional 945 kg ha-1, dimana produktivitas perkebunan rakyat 952,2 kg ha-1, perkebunan besar negara 861 kg ha-1 dan perkebunan besar swasta 889 kg ha-1 (Deptan, 2007)

Secara umum syarat tumbuh tanaman kakao (PPKK, 1977; BBP2TP, 2008) sebagai berikut: (a) daerahnya terletak pada 10o LS-10o LU, (b) ketinggian tempat 0 - 600 m dpl, (c) curah hujan 1500 - 2500 mm th-1 dengan bulan kering kurang dari 3 bulan [< 60 mm bl-1], (d) suhu maksimum 30 - 32oC dan minimum 18 - 21oC, (e) kemiringan tanah < 45% dengan kedalaman olah < 150 cm, (f) tekstur tanah terdiri atas 50% pasir, 10 - 20% debu, dan 30 - 40% lempung atau lempung berpasir, (g) sifat kimia tanah pada lapis olah (0 – 30 cm): kadar bahan organik > 3,5%; C/N ratio 10 - 12; KTK > 15 me 100g-1; kejenuhan basa > 35%; pH (H2O): 4,0 - 8,5 [optimum pH 6,0 - 7,0]; kadar unsur hara

minimum tanah yang dibutuhkan: N = 0,38%; P (Bray 1) = 32 ppm; K tertukar = 0,50 me 100g-1; Ca tertukar = 5,3 me 100g-1; dan Mg tertukar = 1 me 100g-1. 2.2. Kesesuaian Lahan

Kesesuaian lahan menggambarkan tingkat kecocokan sebidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu (FAO, 1976). Evaluasi lahan pada tingkat semi detail akan menghasilkan informasi kesesuaian lahan yang dapat diterapkan untuk


(36)

kebutuhan operasional di lapangan, sedangkan evaluasi lahan pada tingkat tinjau ditujukan untuk arahan, atau informasi awal di tingkat regional (Djaenudin et al., 2000). Penilaian kesesuaian lahan dilakukan dengan menggunakan hukum minimum yaitu membandingkan (maching) antara kualitas dan karakteristik lahan sebagai parameter dengan kriteria kesesuaian lahan yang disusun berdasarkan persyaratan tumbuh tanaman.

Kelas kesesuaian lahan suatu areal atau kawasan dapat berbeda dan bergantung pada tipe penggunaan lahan. Evaluasi kesesuaian lahan berhubungan dengan evaluasi suatu penggunaan tertentu untuk komoditas yang dikembangkan. Penilaian kesesuaian lahan dibedakan menurut tingkatannya (Djaenudin et al., 2000) yaitu sebagai berikut:

(1). Ordo

Pada tingkat ordo, kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergolong sesuai (S) dan tidak sesuai (N). Lahan termasuk ordo S adalah lahan yang dapat digunakan untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari, tanpa atau dengan sedikit resiko kerusakan terhadap sumberdaya lahan. Ordo N adalah lahan yang mempunyai pembatas sedemikian rupa sehingga tidak dapat digunakan secara lestari.

(2). Kelas

Pada tingkat kelas, lahan yang tergolong sesuai (S) dibedakan antara lahan sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3).

Kelas S1(sangat sesuai)

Lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti untuk penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor pembatas tidak berarti dan tidak akan menurunkan produktivitas secara nyata.

Kelas S2(cukup sesuai)

Lahan mempunyai faktor pembatas agak berat untuk penggunaan berkelanjutan. Faktor pembatas tersebut akan mengurangi produktivitas lahan, sehingga diperlukan tambahan input, dan biasanya dapat diatasi oleh petani sendiri.


(37)

Kelas S3(sesuai marginal)

Lahan mempunyai faktor pembatas yang berat. Faktor pembatas tersebut berpengaruh terhadap produktivitas, sehingga memerlukan tambahan input yang lebih banyak daripada lahan kelas S2. Tanpa bantuan pemerintah atau pihak swasta, petani tidak akan mampu mengatasinya.

Kelas N (tidak sesuai)

Lahan mempunyai faktor pembatas yang berat dan sulit diatasi, sehingga tidak mungkin untuk digunakan.

(3). Sub kelas

Sub kelas kesesuian lahan mencerminkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang diperlukan dalam suatu kelas. Tiap kelas, kecuali S1 dapat dibagi menjadi satu atau lebih sub kelas bergantung pada jenis pembatas yang ada. Jenis pembatas ini ditujukkan dengan simbol huruf kecil yang diletakkan setelah simbol kelas. Biasanya hanya satu simbol pembatas di dalam setiap sub kelas, akan tetapi dapat juga dua atau tiga simbol pembatas, dengan catatan jenis pembatas yang paling dominan di tempat pertama.

(4). Satuan kesesuaian lahan

Tingkat satuan merupakan pembagian lebih lanjut dari sub kelas. Satuan-satuan berbeda antara satu dengan lainnya dalam sifat-sifat atau aspek tambahan dari pengelolaan yang diperlukan, dan merupakan pembedaan detail dari pembatas-pembatasnya. Dengan diketahuinya pembatas secara detail akan memudahkan penafsiran perencanaan pada tingkat usahatani. Simbol kesesuaian lahan pada tingkat satuan dibedakan dengan angka arab yang ditempatkan setelah simbol sub kelas.

2.3. Kawasan Perbatasan

Kawasan atau wilayah perbatasan merupakan wilayah yang secara geografis berbatasan langsung dengan negara tetangga dan langsung berhadapan dengan negara lain (UU No 26 Tahun 2007). Wilayah dimaksud adalah bagian wilayah propinsi, kabupaten atau kota yang langsung bersinggungan dengan garis batas negara (wilayah negara tetangga). Menurut UU No 43 Tahun 2008 tentang


(38)

Wilayah Negara, pada pasal 1 ayat 6, kawasan perbatasan adalah bagian dari wilayah negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal batas wilayah negara di darat, Kawasan Perbatasan berada di kecamatan. Indonesia memiliki wilayah perbatasan darat (kontinen) dengan beberapa negara seperti Malaysia, Papua New Guinea (PNG) dan Timor Leste, serta yang berbatasan laut (Maritim) di sepuluh negara seperti India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste dan Papua New Guinea (Bappenas, 2004).

Pembangunan di kawasan perbatasan selama ini belum mendapatkan perhatian yang cukup dari pemerintah (pusat dan daerah) jika dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain yang aksesnya lebih mudah, dan juga padat penduduknya. Kondisi tersebut membawa implikasi terhadap kawasan perbatasan yang semakin terisolir dan tertinggal bila dibandingkan dengan wilayah lainnya, baik dari aspek ekonomi maupun sosial. Kawasan perbatasan negara di Kalimantan Timur memiliki arti sangat penting, terutama terhadap aspek ekonomi, dan pertahanan keamanan, karena berbatasan langsung dengan wilayah negara tetangga (Sabah) Malaysia yang memiliki tingkat perekonomian relatif lebih baik. Potensi sumberdaya alam yang dimiliki di kawasan perbatasan Kalimantan Timur ini cukup melimpah, namun hingga saat ini relatif belum dimanfaatkan secara optimal.

Di samping masalah rendahnya dana pembangunan, penyebab utama ketertinggalan kawasan perbatasan Indonesia dengan negara tetangga adalah akibat dari arah kebijakan pembangunan kewilayahan yang selama ini cenderung berorientasi ’inward looking’ sehingga seolah-olah kawasan perbatasan hanya menjadi halaman belakang negara. Sejalan dengan proses globalisasi saat ini, dan sejalan dengan agenda prioritas dari Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) kebijakan tersebut memerlukan koreksi agar menjadi ’outward looking’, sehingga kawasan perbatasan negara harus dimanfaatkan sebagai ’pintu gerbang’ untuk aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga.

Beberapa isu dan permasalahan pengelolaan kawasan perbatasan negara (Bappenas, 2004; Bappeda Kaltim, 2006) antara lain:


(39)

1) Kebijakan di masa lalu yang belum berpihak kepada kawasan tertinggal dan terisolir.

2) Belum adanya kebijakan dan strategi nasional pengembangan wilayah perbatasan.

3) Adanya paradigma wilayah perbatasan sebagai halaman belakang. 4) Terjadinya kesenjangan pembangunan dengan negara tetangga. 5) Sarana dan prasarana umum masih minim (terbatas).

6) Tingginya angka kemiskinan dan jumlah keluarga pra-sejahtera.

7) Terisolirnya wilayah perbatasan akibat rendahnya aksesibilitas menuju wilayah perbatasan.

8) Rendahnya kualitas sumberdaya manusia.

Wilayah perbatasan di Propinsi Kalimantan Timur-Malaysia terbentang memanjang dari wilayah timur hingga ke barat. Panjang garis perbatasan langsung dengan negara bagian Sarawak dan Sabah Malaysia Timur sepanjang + 1.038 km, yang secara administrasi meliputi tiga kabupaten (Nunukan, Malinau dan Kutai Barat) dan mencakup 11 wilayah kecamatan. Pulau Sebatik merupakan salah satu kawasan perbatasan antara Kabupaten Nunukan dengan Malaysia.

2.4. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Menurut World Conservation Strategy pembangunan berkelanjutan

(sustainable development) didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa mengorbankan kesanggupan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka (Anonim, 1990). Konsep pembanguan berkelanjutan dapat dipandang dari tiga aspek utama yaitu ekologi, ekonomi dan sosial budaya.

Aspek sosial budaya dalam pembangunan berkelanjutan dapat dilihat dari pembangunan sumberdaya manusia, dimana tujuan dasar pembangunan adalah memperbesar spektrum pilihan manusia. Menurut Firdausy (1998) esensi pembangunan manusia memberikan akses yang sama terhadap kesempatan-kesempatan pembangunan dan pengembangan, baik pada masa sekarang maupun yang akan datang. Keterbatasan sumberdaya lahan untuk menyediakan kebutuhan


(40)

hidup manusia dapat dioptimalkan dengan pembangunan pertanian yang sesuai dengan kondisi biofisik dan daya dukung wilayah setempat.

Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) merupakan implementasi dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) pada sektor pertanian. Menurut Gips (1986) sistem pertanian berkelanjutan harus dievaluasi berdasarkan pertimbangan beberapa kriteria: aman menurut wawasan lingkungan, menguntungkan secara ekonomi, adil menurut pertimbangan sosial, manusiawi terhadap semua bentuk kehidupan, dan mudah diadaptasikan. Selanjutnya menurut Sutanto (2002), pertanian berkelanjutan merupakan keberhasilan dalam mengelola sumberdaya untuk kepentingan pertanian dalam memenuhi kebutuhan manusia, sekaligus mempertahankan dan meningkatkan kualitas lingkungan serta konservasi sumberdaya alam.

2.5. Pendekatan Sistem

Sistem adalah suatu perangkat elemen-elemen yang saling berhubungan atau berkaitan yang diorganisir untuk mencapai tujuan atau seperangkat tujuan (Manetsch and Park, 1977). Menurut Djojomartono (1993), sistem adalah suatu gugus atau kumpulan dari elemen-elemen yang berinteraksi dan terorganisir untuk mencapai suatu tujuan. Analisis sistem adalah serangkaian teknik yang mencoba untuk: (a) mengidentifikasi sifat-sifat makro dari suatu sistem, yang merupakan perwujudan karena adanya interaksi di dalam dan di antara subsistem; (b) menjelaskan interaksi atau proses-proses yang berpengaruh terhadap sistem secara keseluruhan sebagai akibat adanya masukan; (c) menduga apa yang mungkin terjadi pada sistem bila beberapa faktor yang ada dalam sistem berubah.

Elemen dari sistem adalah unsur (entity) yang mempunyai tujuan dan realitas fisik. Pola hubungan antara dua atau lebih elemen menentukan struktur sistem. Oleh karena itu pendekatan kesisteman selalu mengutamakan kajian tentang struktur sistem, baik yang bersifat penjelasan maupun sebagai dukungan kebijakan.

Menurut Soerianegara (1978), jika dibandingkan dengan penelitian eksperimental, maka penelitian dengan menggunakan sistem atau simulasi mempunyai banyak kelebihan, antara lain: (a) dapat melakukan ekperimentasi


(41)

terhadap suatu sistem atau ekosistem tanpa harus mengganggu atau mengadakan perlakuan terhadap sistem yang diteliti, (b) dapat digunakan untuk menciptakan suatu sistem yang diduga akan lebih baik dari keadaan sistem sesungguhnya yang diteliti, (c) dapat digunakan pada keadaan dimana ekperimen tak dapat dilakukan, (d) dapat melakukan penelitian yang bersifat multidisiplin dan teritegrasi yang seringkali tidak mungkin dilakukan dalam keadaan sebenarnya, serta (e) dari segi efisiensi dan kelayakan, analisis sistem dapat dilakukan dalam waktu singkat, biaya murah dan dengan hasil meyakinkan.

Menurut Eriyatno (1999), metodologi sistem pada prinsipnya melalui enam tahap analisis sebelum tahap sintesa (rekayasa) yaitu (a) analisis kebutuhan, (b) identifikasi sistem, (c) formulasi masalah, (d) pembentukan alternatif sistem, (e) determinasi dari realisasi fisik, sosial dan politik, serta (f) penentuan kelayakan ekonomi dan keuangan.

Pemodelan dengan interpretasi struktur (Interpretive Structural Modelling-ISM) merupakan salah satu teknik pemodelan yang dikembangkan untuk perencanaan kebijakan strategis. ISM adalah proses pengkajian kelompok (group learning proces), dimana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang komplek dari suatu sistem melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis serta kalimat (Eriyatno, 1998 dalam

Marimin, 2004). ISM menganalisis sebuah elemen dari beberapa elemen dan menyajikan dalam bentuk grafikal dari setiap hubungan langsung dan tingkatannya.

Saxena (1992) dalam Marimin (2004) menyebutkan bahwa sembilan elemen yang dapat dianalisis dengan menggunakan ISM yaitu (1) sektor masyarakat yang terpengaruh, (2) kebutuhan dari program, (3) kendala utama program, (4) perubahan yang diinginkan, (5) tujuan dari program, (6) tolok ukur untuk menilai setiap tujuan, (7) aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan, (8) ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai setiap aktivitas, dan (9) lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program. Suatu kajian menggunkan ISM, analisis dapat dilakukan terhadap semua elemen, atau hanya sebagian elemen saja, bergantung pada tujuan yang ingin dicapai dalam kajian yang dilakukan.


(42)

2.6. Analisis Kelayakan Ekonomi

Alat ukur atau kriteria diperlukan untuk menentukan apakah suatu usaha tersebut menguntungkan atau layak untuk diusahakan. Analisis kelayakan usahatani kakao dilakukan untuk membandingkan besarnya investasi yang dikeluarkan dengan manfaat yang diterima. Alat ukur atau kriteria yang biasa digunakan adalah menggunakan Internal Rate of Return (IRR), Benefit Cost Ratio

(B/C) dan Net Present Value (NPV) (Soekartawi, 1988).

NPV diartikan sebagai nilai bersih sekarang, menunjukkan keuntungan yang akan diperoleh selama umur investasi (proyek). Nilai B/C menunjukkan berapa kali lipat keuntungan yang akan diperoleh dari besarnya investasi yang dikeluarkan, sedangkan IRR menunjukkan persentase keuntungan yang akan diperoleh dari usaha tersebut tiap tahun. Nilai IRR menunjukkan kemampuan dari usaha tersebut dalam mengembalikan atau membayar bunga pinjaman. Pengertian yang sederhana tentang kriteria tersebut saling mendukung atau saling melengkapi dalam menunjukkan kelayakan dari suatu usaha.

2.6.1. Benefit Cost Ratio

Analisis Benefit-Cost Ratio (B/C) merupakan salah satu alat yang digunakan untuk menentukan kriteria layak atau tidaknya suatu usaha dijalankan. Bila B/C > 1, menunjukkan bahwa pendapatan yang dihasilkan dari usahatani suatu komoditas lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan (usaha tersebut menguntungkan), sedangkan bila B/C < 1, maka usaha tersebut tidak layak dilaksanakan. B/C dihitung dengan formulasi sebagai berikut:

= +

n

t

t t

i B

0(1 )

B/C = ...………..…………... (1)

= +

n

t

t t

i C

0(1 )

Keterangan:

Bt = manfaat pada tahun t Ct = biaya pada tahun ke-t i = discount rate (%) t = tahun (umur)


(1)

140

penyediaan sarana produksi pertanian terutama distribusi pupuk perlu diperbaiki supaya sasarannya bisa tepat (jumlah, waktu, jenis, harga dan mutu), sehingga petani tidak tergantung pada sarana produksi pertanian dari Tawau (Malaysia) yang harganya relatif lebih mahal.

(e) Lembaga Keuangan Mikro (LKM)

Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang dapat membantu petani dalam usahatani kakao di kawasan ini belum berkembang, padahal keberadaan lembaga ini sangat dibutuhkan oleh petani untuk mendapatkan modal dan diharapkan akan bisa membantu menyalurkan kredit untuk keperluan usahatani kakao. Agar perkebunan kakao tetap berkembang dan berkelanjutan, maka lembaga keuangan mikro perlu dirintis dan dikembangkan di kawasan ini. Keterlibatan pemerintah daerah dan lembaga perbankan sangat diharapkan untuk merintis dan mendukung pengembangan LKM, supaya dapat membantu permodalan petani dalam mengembangkan perkebunan kakao di kawasan perbatasan Pulau Sebatik.

(f) Tindakan pemupukan

Berdasarkan hasil analisis sifat-sifat tanah dari Pulau Sebatik, secara umum dapat diketahui bahwa tingkat kesuburan tanah (kandungan hara) relatif rendah dan belum mampu mendukung pertumbuhan tanaman kakao yang optimal. Dengan demikian tambahan hara melalui pemupukan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas lahan perkebunan kakao rakyat. Pemupukan jarang dilakukan oleh petani (saat dilakukan penelitian) karena harga pupuk relatif mahal, pupuk sulit diperoleh, dan stok pupuk di distributor Pulau Sebatik terbatas serta belum sesuai dengan kebutuhan perkebunan kakao di kawasan tersebut. Pada masa yang akan datang yang perlu diperhatikan adalah: (i) distribusi pupuk ke kawasan Pulau Sebatik khususnya untuk tanaman kakao perlu diperbaiki, sehingga kebutuhan pupuk dapat tercukupi, (ii) perlu kebijakan khusus untuk memberikan subsidi agar harga pupuk di kawasan perbatasan ini terjangkau oleh masyarakat setempat, (iii) pemupukan dilakukan sesuai dengan tingkat kesuburan tanah, kebutuhan tanaman serta ramah lingkungan, dan (iv) pemantaatan limbah kakao sebagai pupuk organik untuk mengurangi pupuk anorganik.


(2)

(g) Umur tanaman kakao

Umur rata-rata tanaman kakao di Pulau Sebatik lebih dari 20 tahun, sehingga produktivitasnya mulai menurun dan perlu pemeliharaan yang optimal. Oleh karena itu agar produktivitas hasil kakao di Pulau Sebatik tetap tinggi perlu dilakukan peremajaan tanaman dan penggantian tanaman kakao unggul baru bagi tanaman yang rusak.

(h) Serangan hama dan penyakit

Hama dan penyakit yang sering menyerang tanaman kakao di kawasan ini adalah Penggerek Buah Kakao (PBK, Conoppomorpha cramerella) dan penghisap buah (Helopeltis spp.) yang dapat menurunkan produksi antara 60 - 80 persen bila tidak dilakukan pengendalian. Hama lain yang sering menyerang tanaman kakao adakah belalang (Valanga nigricornis), ulat jengkal (Hypsidra talaka Walker), kutu putih (Planoccos lilaci), dan penggerek batang (Zeuzera sp). Penyakit yang sering ditemukan yaitu jamur upas dan jamur akar yang disebabkan oleh jamur Oncobasidium thebromae dan penyakit busuk buah yang disebabkan oleh Phytoptera palmivora. Oleh karena itu agar produktivitas hasil kakao optimal, perlu dilakukan pemberantasan dan pencegahan terhadap hama penyakit tersebut melalui cara-cara yang telah direkomendasikan dan ramah lingkungan, serta dilakukan penggantian varietas unggul baru secara bertahap yang tahan terhadap hama dan penyakit.

(i) Daya saing kakao

Hingga saat ini daya saing kakao Indonesia asal Pulau Sebatik di pasar luar negeri (Malaysia) relatif rendah. Rendahnya daya saing kakao dari kawasan ini antara lain karena belum didukung oleh mutu atau kualitas hasil biji kakao akibat kurang optimalnya perlakuan pascapanen. Mutu biji kakao yang dihasilkan petani sampai saat ini relatif rendah karena tidak ada insentif bagi petani untuk menghasilkan biji kakao berkualitas melalui proses fermentasi. Oleh karena itu pada masa yang akan datang daya saing kakao dari kawasan ini perlu ditingkatkan melalui perlakuan pascapanen yang memadai, dan perlu adanya perbedaan harga atau pemberian insentif bagi biji kakao yang difermentasi.


(3)

142

(j) Industri pengolahan

Hingga saat ini industri pengolahan kakao skala kecil dan menengah di Pulau Sebatik belum berkembang. Keadaan tersebut mengakibatkan ekspor biji kakao dari kawasan ini masih dilakukan dalam bentuk produk primer, sehingga petani belum memperoleh nilai tambah. Oleh karena itu pada masa yang akan datang peningkatan nilai tambah kakao rakyat di Pulau Sebatik perlu dilakukan agar ekspor biji kakao tidak lagi berupa bahan mentah (biji), tetapi sudah dalam bentuk hasil olahan (diversifikasi produk: kakao bubuk, pasta dll), antara lain melalui penyediaan industri pengolahan, baik dengan teknologi sederhana, sedang maupun teknologi tinggi.


(4)

1. Kelas kesesuaian lahan untuk tanaman kakao meliputi kelas cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3), sedangkan lahan sangat sesuai (S1) tidak ada karena kriteria lereng tanah yang sesuai dengan kelas S1 tidak ditemukan pada kawasan tersebut. Lahan kelas S2 produktivitas hasil kakao 45,19% dan kelas S3 sebesar 44% dari produktivitas hasil optimal.

2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kendala untuk meningkatkan produktivitas lahan: (a) perhatian pemerintah relatif rendah atau kurang, (b) lemahnya kerjasama antar sektor, (c) penyuluhan kurang, (d) terbatasnya infrastruktur, (e) terbatasnya sarana usahatani (f) masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia [pendidikan petani kakao mayoritas hanya SD], (g) produktivitas lahan rendah, (h) produktivitas hasil kakao rendah, (i) mutu hasil kakao rendah.

3. Faktor kunci kebutuhan stakeholders yang perlu diperhatikan pada masa yang akan datang: (a) umur petani kakao [mayoritas >50 thn], (b) sarana produksi pertanian, (c) tanaman kakao tua [umur >20 th], (d) tingkat ketergantungan terhadap pasar kakao Malaysia, (e) industri pengolahan kakao, (f) sinkronisasi kebijakan pemerintah pusat dan daerah, dan (g) status lahan usahatani kakao. 4. Analisis keberlanjutan menunjukkan bahwa pada kelas kesesuaian lahan

cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3) umumnya kurang berkelanjutan terutama dimensi ekologi, ekonomi, infrastruktur dan teknologi, hukum dan kelembagaan serta pertahanan dan keamanan. Atribut sensitif atau pengungkit yang perlu diintervensi pada masing-masing dimensi tersebut adalah:

a. Ekologi: (i) rata-rata umur tanaman, (ii) serangan hama dan penyakit, (iii) pemanfaatan limbah kakao untuk pupuk organik, dan (iv) tindakan konservasi lahan.

b. Ekonomi: (i) daya saing kakao dari Pulau Sebatik, (ii) tempat menjual atau memasarkan kakao, (iii) tingkat ketergantungan terhadap pasar kakao Malaysia, dan (iv) akses pasar.


(5)

144

c. Infrastruktur dan teknologi: (i) tindakan pemupukan, (ii) tingkat penguasaan dan penerapan teknologi budidaya serta pascapanen, (iii) dukungan sarana dan prasarana jalan.

d. Hukum dan kelembagaan: (i) sarana produksi pertanian, (ii) sinkronisasi antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah, (iii) keberadaan kelompok tani, dan (iv) keberadaan lembaga keuangan mikro [LKM].

e. Pertahanan dan keamanan: (i) sarana dan prasarana pertahanan keamanan, (ii) sarana dan prasarana lintas batas.

5. Arahan kebijakan berdasarkan skala prioritas, sesuai dengan faktor dominan dan kondisi spesifik kawasan perbatasan berturut-turut: (a) penambahan sarana dan prasarana pertahanan keamanan (hankam) untuk memberikan ketenangan dan suasana kondusif dalam berusahatani; (b) kebijakan pemerintah pusat dan daerah disesuaikan dengan kebutuhan wilayah, terintegrasi dan holistik dari berbagai aspek; (c) peningkatan penguasaan dan penerapan teknologi budidaya ramah lingkungan [terutama konservasi lahan dengan membuat drainase menurut kontur, terasering, membuat rorak, pemanfaatan serasah sebagai penutup tanah] dan teknologi pascapanen melalui pelatihan dan sekolah lapangan; (d) sarana produksi pertanian khususnya pupuk sasarannya agar tersedia tepat jumlah, waktu, tempat, jenis, harga dan tepat mutu; (e) lembaga keuangan mikro [LKM] didukung oleh pemerintah untuk membantu permodalan petani; (f) tindakan pemupukan disesuaikan dengan kebutuhan tanaman, kesuburan tanah, dan diupayakan mengurangi penggunaan pupuk anorganik dengan cara memanfaatkan limbah kakao sebagai pupuk organik; (g) peremajaan dan penggantian tanaman kakao tua dan rusak [ > 20 tahun]; (h) pengendalian dan pemberantasan hama penyakit ramah lingkungan, antara lain dengan cara pengendalian hama terpadu [PHT]; (i) perlakuan pascapanen yang memadai dan pemberian insentif bagi biji kakao yang difermentasi untuk meningkatkan daya saing kakao; (j) penyediaan industri pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah kakao rakyat dari Pulau Sebatik.


(6)

7.2. Saran

1. Perlu adanya implementasi arahan kebijakan peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan untuk perkebunan kakao rakyat di kawasan Pulau Sebatik sesuai dengan skala prioritas yang telah dihasilkan.

2. Kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman kakao perlu disempurnakan dengan memperhatikan aspek ekonomi dan lingkungan, serta melakukan penelitian khusus di berbagai daerah (spesifik lokasi) khususnya mengenai bahan induk tanah dan preferensi petani terhadap komoditas yang dibudidayakan. Dengan demikian kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi kesesuaian lahan tidak hanya berdasarkan syarat tumbuh tanaman kakao secara umum.

3. Perlu dilakukan upaya-upaya perbaikan untuk meningkatkan produktivitas lahan dan meningkatkan pendapatan petani terutama melalui penyediaan sarana produksi pertanian, peremajaan tanaman, pemupukan sesuai kebutuhan tanaman dan kesuburan tanah serta pemanfaatan limbah kakao sebagai pupuk organik, pemberantasan hama dan penyakit ramah lingkungan, pemangkasan, serta integrasi tanaman dan ternak.

4. Produktivitas hasil kakao ditentukan oleh interaksi antara faktor genetis bahan tanam dan lingkungan, karena itu diperlukan klon baru yang lebih baik untuk penggantian tanaman pada masa peremajaan.

5. Perbaikan faktor atau atribut keberlanjutan seharusnya tidak hanya pada atribut sensitif atau pengungkit (sarana dan prasarana pertahanan keamanan, sikronisasi antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah, penguasaan dan penerapan teknologi usahatani, sarana produksi pertanian, lembaga keuangan mikro [LKM], tindakan pemupukan, umur tanaman kakao, serangan hama dan penyakit, daya saing kakao dan industri pengolahan), tetapi juga pada atribut lain agar status keberlanjutan dapat ditingkatkan lebih maksimal.