Aturan dan Kebijakan terkait Pengelolaan Wilayah Perbatasan 1

pengembangan dunia usaha, pengembangan sosial dan budaya serta kesekretariatan. Untuk menyelenggarakan tugas pokok tersebut, Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan, Pedalaman dan Daerah Tertinggal mempunyai fungsi : 1 perumusan kebijakan teknis dibidang Pengelolaan Kawasan Perbatasan, Pedalaman dan Daerah Tertinggal sesuai dengan rencana strategis yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah; 2 pemberian dukungan atas perencanaan, pembinaan dan pengendalian kebijakan teknis di bidang Pengelolaan Kawasan Perbatasan, Pedalaman dan Daerah Tertinggal; 3 perumusan, perencanaan, pembinaan, koordinasi dan pengendalian teknis di bidang pengkajian wilayah perbatasan dan sumber daya alam; 4 perumusan, perencanaan, pembinaan, koordinasi dan pengendalian teknis di bidang peningkatan pembangunan infrastruktur; 5 perumusan, perencanaan, pembinaan, koordinasi dan pengendalian teknis di bidang peningkatan ekonomi dan pengembangan dunia usaha; 6 perumusan, perencanaan, pembinaan, koordinasi dan pengendalian teknis di bidang pengembangan sosial dan budaya; 7 penyelenggaraan urusan kesekretariatan; 8 pembinaan Kelompok Jabatan Fungsional; 9 pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh atasan sesuai dengan bidang tugas dan fungsinya. Disamping itu, terdapat instansi lain di Propinsi Kalimantan Timur yang menangani urusan perbatasan yaitu Biro Perbatasan, Penataan Wilayah dan Kerjasama mempunyai tugas pokok merumuskan kebijakan, koordinasi, pembinaan dan bimbingan serta pengendalian bidang perbatasan, penataan wilayah serta kerjasama dalam dan luar negeri. Biro Perbatasan, Penataan Wilayah dan Kerjasama mempunyai fungsi : 1. perumusan kebijakan bidang perbatasan, penataan wilayah dan kerjasama sesuai dengan rencana strategis yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah; 2. perumusan, perencanaan, pembinaan, koordinasi dan pengendalian bidang perbatasan; 3. perumusan, perencanaan, pembinaan, koordinasi dan pengendalian bidang penataan wilayah; 4. perumusan, perencanaan, pembinaan, koordinasi dan pengendalian bidang kerjasama luar dan dalam negeri; 5. penyelenggaraan tata usaha biro; 6. pembinaan kelompok jabatan fungsional;pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh atasan sesuai dengan bidang tugas dan fungsinya. Sedangkan untuk tingkat Kabupaten Nunukan, Badan Pengelola Kawasan Perbatasan ini belum terbentuk. Koordinasi pelaksanaan pembangunan kawasan perbatasan masih dilakukan oleh Bappeda Kabupaten Nunukan. Adanya Badan Pengelola Perbatasan ini merupakan langkah maju dalam penanganan wilayah perbatasan. Namun demikian masih terdapat kendala dalam operasionalnya diantaranya adalah bahwa i lembaga ini hanya terbatas pada fungsi koordinasi sehingga implementasi program lebih banyak mengandalkan instansi teknis ii dapat terjadi tumpang tindih kewenangan antar instansi yang terkait yaitu dengan Biro Perbatasan, Penataan Wilayah dan Kerjasama Kalimantan Timur dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Bappeda Kalimantan Timur iii hubungan tata kerja antara Badan Nasional Pengelola Perbatasan BNPP dengan Badan Pengelola Perbatasan Daerah yang hanya bersifat koordinatif kurang memberikan efektifitas dalam pelaksanaan program pengelolaan wilayah perbatasan. Berdasarkan UU no 32 tahun 2004 bahwa politik luar negeri, pertahanan dan keamanan termasuk hal-hal yang langsung ditangani oleh Pemerintah Pusat. Penanganan wilayah perbatasan merupakan salah satu bagian dari politik luar negeri, pertahanan dan keamanan. Oleh karena itu penanganannya hendaknya dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan mempunyai instansi teknis sampai ke wilayah kabupaten. Dengan demikian penaganan wilayah perbatasan ini dapat dilakukan dengan cepat tanpa birokrasi yang relatif panjang.

8.6 Kerjasama Bilateral di Perbatasan Indonesia-Malaysia

Dalam konteks kerjasama Indonesia-Malaysia di wilayah perbatasan telah dimulai sejak tahun 1967 di bidang keamanan. Persetujuan mengenai Pengaturan Dalam Bidang Keamanan Daerah-Daerah Perbatasan, ini direvisi untuk pertama kali pada 1972, dan revisi kedua 1984. Dalam revisi kedua ini kerjasama perbatasan RI-Malaysia diperluas hingga mencakupmerangkumi berbagai jenis bidang yaitu ideologi, politik, sosial, budaya dan ekonomi. Menindaklanjuti kesepakatan tersebut, sejak tahun 1985 telah terbentuklah forum kerjasama sosial ekonomi daerah Sosekda Kalimantan Barat-Serawak, dan Sosekda Kalimantan Timur dimulai sejak tahun 1995. Sampai dengan tahun 2010, GBC membawahi 3tiga bidang kerjasama, meliputi keamanan Hight Level Committee, masalah batas antar Negara Border Management Working Group Level Committee dan kerjasama SOSEK. Dalam kerjasama Sosek Malindo ini telah terbentuk 4 empat daerah kerjasama Sosek Tingkat Provinsi. Ketua Kerjasama KK Sosek Tingkat Pusat Indonesia membawahi KK Sosek Tingkat Provinsi Kalbar, Kaltim, Riau dan Kepulauan Riau, meliputi perbatasan Negeri Sarawak, Sabah, Johor dan Malaka. Sebagai implementasi dari kerjasama tingkat pusat, dibangun kerjasama Sosek Malindo antara pemerintah Sabah dan pemerintah Propinsi Kalimantan Timur dengan agenda berupa 7 kertas yaitu pos lintas batas laut dan darat, sosial pemuda, perdagangan, penyelundupan dan kesehatan. Dalam konteks pengelolaan perikanan tangkap di wilayah perbatasan belum ada lembaga khusus yang menangani permasalahan secara terintegrasi. Penanganan diserahkan kepada instansi teknis masing-masing sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.

8.7 Pembahasan

Sistem perikanan merupakan bagian dari sistem wilayah atau dengan kata lain wilayah merupakan supersistem dimana sistem perikanan tersebut berada. Menjelaskan komponen wilayah ini sangat penting mengingat i ada saling mempengaruhi antara sistem perikanan tangkap dengan sub sistem lain dalam wilayah ii pengelolaan perikanan tangkap ini diarahkan juga untuk mencapai tujuan pembangunan wilayah secara keseluruhan. Tujuan pembangunan wilayah itu sendiri tetap bertumpu pada konsep pembangunan yang berkelanjutan dengan tiga dimensinya ekonomi, sosial, dan ekosistem. Dalam konteks ini maka pembahasan mengenai lingkungan strategis menjadi sangat penting. Lingkungan strategis sendiri merujuk pada aspek-aspek di luar sistem yang sangat berpengaruh terhadap berjalannya sistem pengelolaan perikanan tangkap di wilayah Nunukan. Kondisi ekonomi wilayah merupakan lingkungan strategis bagi pengembangan perikanan tangkap di suatu wilayah. Ekonomi wilayah yang relatif berkembang dipandang akan menstimulasi atau mendinamisasi perkembangan ekonomi perikanan; demikian pula sebaliknya. Hal ini disebabkan karena perkembangan ekonomi akan berdampak adanya permintaan dan penawaran dari berbagai barang dan jasa. Secara makro, ekonomi makro Kabupaten Nunukan relatif baik. Hal ini diindikasikan dengan pertumbuhan Pendapatan Domestik Regional Bruto PDRB Kabupaten Nunukan dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 3,18 per tahun selama tahun 2005-2009. Sektor pertanian sangat penting mendapatkan perhatian mengingat kontribusi sektor ini cukup besar terhadap nilai PDRB yaitu 27 dari total PDRB, peringkat kedua setelah sektor pertambangan dan galian yang mencapai 38 . Hasil analisis shifshare komponen Pertumbuhan regional memperlihatkan bahwa sektor pertambangan dan pertanian mempunyai tingkat pertumbuhan yang paling tinggi. Artinya bahwa kedua sektor tersebut mempunyai potensi pengembangan yang baik. Namun sektor pertanian mempunyai kelebihan lain yaitu bahwa hasil analisis komponen Pertumbuhan Proporsional menunjukkan sektor pertanian merupakan sektor maju dengan indikasi nilai pertumbuhan proporsional yang tinggi. Sedangkan sektor pertambangan sendiri mempunyai nilai pertumbuhan proporsional yang negatif. Demikian pula dengan nilai komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah mengindikasikan bahwa sector pertanian mempunyai nilai positif yang berarti mempunyai daya saing dengan sector pertanian dari daerah lain. Hal ini juga terlihat dari arus barang dari Nunukan yang lebih besar dibandingkan dengan arus barang yang masuk ke Nunukan ; dan barang-barang yang keluar tersebut merupakan produk-produk pertanian. Perkembangan perekonomian Nunukan tidak terlepas dari adanya interaksi dengan wilayah Tawau Malaysia dalam bentuk transaksi perdagangan barang. Secara resmi transaksi barang yang diperbolehkan senilai maksimal 600 ringgit atau sekitar 1,8 juta rupiahorang. Namun dalam kenyataannya transaksi tersebut bisa jauh lebih besar dari jumlah tersebut. Barang-barang yang masuk dari Tawau sebagian besar adalah barang-barang kebutuhan sehari-hari masyarakat seperti gula, tepung, makanan ringan, susu, barang-barang elektronik. Sedangkan yang masuk ke Tawau dari Nunukan diantaranya beras, kakao, ikan, pisang dan produk pertanian lainnya. Masyarakat Malaysia di perbatasan pada dasarnya lebih menginginkan perdagangan tersebut bersifat illegal. Hal ini disebabkan karena i mereka tidak dibebani dengan berbagai cukai masuk barang dan ii yang lebih penting mereka bisa mengendalikan harga. Sebagian besar barang yang masuk Tawau adalah barang-barang perisible sehingga para penjual dari Nunukan tidak berdaya apabila barang mereka ditawar dengan harga yang lebih rendah daripada dibawa pulang kembali dengan biaya tambahan dan transportasi serta nilai yang cenderung menurun. Hal yang paling mendasar adalah bahwa Tawau merupakan pasar bagi setiap komoditas dari Nunukan. Hal ini disebabkan karena Nunukan sendiri tidak mampu menyerap barang yang diproduksinya, sedangkan apabila dikirim ke wilayah lain seperti Tarakan, Balikpapan terlalu jauh sehingga relatif mahal. Secara nasional, impor barang dari luar negeri salah satunya diatur oleh Peraturan Mendag no 44 tahun 2008 tentang penetapan 5 pelabuhan umum yang diperbolehkan menjadi pintu masuk barang-barang impor. Pelabuhan tersebut adalah Tanjung Priok, Belawan, Surabaya, Ujung Pandang dan Kendari. Diluar pelabuhan tersebut, tidak diperbolehkan melakukan kegiatan impor. Hal ini menjadi kendala tersendiri bagi perdagangan di wilayah perbatasan seperti Nunukan, dimana selama ini telah terjadi transaksi antar kedua daerah perbatasan ini baik secara legal maupun illegal. Adanya peraturan tersebut yang tidak diimbangi dengan perangkat pendukung lainnya, akan menyebabkan perdagangan illegal kedua negara akan semakin meningkat. Hal itu berarti keuntungan bagi Malaysia. Pengaturan tersebut hanya dilakukan untuk barang-barang impor dengan alasan untuk perlindungan produk dalam negeri. Hal yang tidak kalah pentingnya –minimal pada kasus perbatasan Nunukan dengan Tawau- adalah pengaturan ―ekspor‖ barang-barang dari wilayah Nunukan. Pengaturan tersebut tentu tidak dalam bentuk pengenaan biaya ekspor. Karena kalau ini dilakukan justru akan menjadi kontra produktif yang disebabkan masyarakat Nunukan sendiri tidak mampu menyerap semua produk yang dihasilkannya. Pengaturan atau kebijakan justru dengan memberikan stimulan bagi berkembangnya industr-industri pengolahan pasca panen di internal Kabupaten Nunukan. Hal ini akan memberikan dampak pada berputarnya aktifitas perekonomian di Nunukan dan memberikan nilai tambah pada setiap produk yang dihasilkan. Selama ini industri pengolahan justru banyak terdapat di Tawau dan produk jadinya kemudian dijual kembali kepada masyarakat Nunukan. Dalam konteks interaksi wilayah, adanya perdagangan antara Nunukan dan Tawau merupakan suatu hal yang alamiah. Berdasarkan Heckser Ohlin yang telah dibahas sebelumnya, untuk meningkatkan pendapatan riil perlu ada aliran barang dari satu wilayah ke wilayah yang lain. Pada kasus hubungan Nunukan dan Tawau, kelebihan pasokan pangan yang terjadi di Nunukan akibat terbatasnya pasar lokal akan berimplikasi pada terjadinya aliran barang tersebut ke Tawau. Sementara pihak Tawau sendiri kelebihan pasokan barang terutama non pangan sehingga barang tersebut bergerak ke Nunukan. Hanya persoalannya pergerakan barang dari Nunukan yang sebagian besar pangan mempunyai nilai tambah yang relatif kecil karena masih berupa bahan-bahan mentah ; sedangkan barang dari Tawau sudah melalui proses pertambahan nilai terlebih dahulu di wilayahnya yang terkadang bahan mentahnya dari Nunukan sendiri. Oleh karena itu, interaksi wilayah ini belum memberikan dampak terhadap pertambahan pendapatan Nunukan tetapi justru memberikan pendapatan yang siginifikan terhadap perekonomian Tawau. Oleh karena itu perlu ada proses pengolahan bahan mentah menjadi barang setengah jadi atau barang jadi di Nunukan sebelum dipasarkan ke Tawau. Hal ini untuk memberikan nilai tambah bagi produk- produk yang dihasilkan Nunukan. Pesona Tawau dengan berbagai kemudahan yang dimilikinya menyebabkan terjadinya migrasimobilitas penduduk. Migrasi merupakan proses berpindahnya penduduk dari suatu tempat ke tempat lain yang melewati batas wilayah tertentu. Migrasi yang banyak dibicarakan para ahli lebih banyak menekankan pada migrasi penduduk internal dalam suatu negara seperti yang dibahas Todaro 1999 yang menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya migrasi terutama dari desa ke kota yaitu i faktor sosial termasuk keinginan para migran itu sendiri untuk melepaskan diri dari kendala-kendala tradisional yang terkandung dalam organisasi sosial yang sebelumnya mengungkung mereka ii faktor-faktor fisik, termasuk pengaruh iklim dan bencana meteorologis seperti banjir dan kekeringan, iii faktor demografi termasuk penurunan tingkat kematian yang kemudian mempercepat laju pertumbuhan penduduk pedesaan iv faktor kultural seperti pembinaan hubungan ‖keluarga besar‖ sesampainya di perkotaan dan daya tarik ‖lampu kota yang terang benderang‖ dan v faktor komunikasi termasuk segenap sarana transportasi, sistem pendidikan, sarana hiburan dan lain-lain. Migrasi penduduk dari Nunukan ke Tawau Malaysia merupakan suatu fenomena yang khas karena terkait dengan hubungan antar negara. Faktor utama yang mempengaruhi sebagian besar masyarakat Nunukan melakukan mobilitas ke Tawau adalah alasan ekonomi dimana Tawau menjanjikan berbagai peluang kerja dan daerah pasar bagi setiap produk yang dihasilkan masyarakat Nunukan. Disamping itu terdapat juga alasan-alasan kultural seperti yang dijelaskan Todaro diatas dimana terdapat hubungan kekerabatan antara masyarakat Nunukan dan masyarakat Tawau yang sama-sama berasal dari suku Bugis di Sulawesi. Adanya faktor-faktor inilah yang semakin mengintensifkan interaksi antara kedua wilayah ini. Tabel 37 menunjukkan bahwa mobilitas penduduk antara Malaysia dan Indonesia dalam konteks pelintas batas lebih dominan warga Indonesia yang melakukan mobilitas ke Tawau Malaysia. Mobilitas penduduk dari Nunukan ke Tawau pada dasarnya memberikan dampak yang positif bagi perkembangan perekonomian kedua wilayah. Ada hubungan simbiosis mutualisma antara kedua wilayah tersebut. Pada satu sisi kondisi Nunukan yang masih mempunyai keterbatasan dalam penyediaan lapangan kerja membutuhkan wilayah yang mampu memberikan lapangan kerja tersebut. Di sisi lain, Tawau Malaysia dengan berbagai kemajuan ekonominya membutuhkan tenaga kerja untuk menggerakkan perekonomian yang ada. Adanya orang-orang Nunukan yang bekerja di sana memberikan solusi terhadap kebutuhan tersebut. Namun demikian, dalam konteks pembangunan ekonomi wilayah Nunukan untuk jangka panjang, adanya migrasi atau mobilitas penduduk ke Tawau akan memberikan dampak terjadi perlambatan pembangunan di Kab Nunukan. Tingkat perkembangan pembangunan kabupaten ini tidak akan mampu mengimbangi perkembangan Tawau atau apalagi melebihinya. Tenaga kerja di Kabupaten Nunukan yang seharusnya diarahkan untuk mendukung pembangunan wilayahnya justru tidak ada dan lebih mendukung pembangunan ekonomi Tawau. Meski mereka mendapatkan upah dari kegiatan di Tawau dan itu menjadi devisa bagi wilayah Nunukan, tapi tidak terlalu signifikan bila dibandingkan dengan dampak pengganda ekonomi yang dapat dihasilkannya apabila mereka beraktifitas dan mendukung pembangunan Kabupaten Nunukan. Hanya persoalannya adalah bahwa saat ini di wilayah Nunukan sendiri tidak cukup lapangan kerja yang mampu menampung tenaga kerja tersebut akibat terbatasnya aktifitas ekonomi yang mampu menyediakan lapangan kerja yang memadai. Disamping itu, tingkat insentif yang diberikan masih relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan bekerja di Tawau. Hal ini sejalan dengan pemikiran dasar dari Todaro 1999 mengenai model migrasi yang diantaranya menjelaskan bahwa migrasi tersebut akan terus berlangsung apabila masih terdapat kesenjangan tingkat pendapatan antara desa dan kota tersebut. Besar kecilnya selisih tingkat pendapatan itu sendiri ditentukan oleh dua variabel pokok yaitu selisih besaran upah aktual di kota dan desa atau besar kecilnya kemungkinan mendapatkan pekerjaan di kota yang menawarkan tingkat pendapatan sesuai dengan yang diharapkan. Mengatasi persoalan tersebut tentu perlu upaya-upaya yang dapat mengurangi ketertarikan untuk beraktifitas dan bekerja di Tawau dan lebih memilih untuk membangun wilayahnya sendiri. Upaya-upaya tersebut diantaranya adalah mengembangkan industri berbasis potensi lokal yang mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang menjanjikan. Tawau dengan berbagai