Pemanis 1. Teori kemanisan TINJAUAN PUSTAKA

26 Hingga saat ini sangat sedikit pengetahuan tentang dasar mekanisme rasa manis. Banyak usaha telah dilakukan untuk mengembangkan teori tentang kemanisan. Banyak peneliti menyatakan bahwa dasar stereo kimia dari kemanisan dapat dibuktikan dengan memakai bantuan model gula sederhana dan turunan deoxy Birch 1990, diacu dalam Salminen dan Hallikainen 2002. Hipotesis awal oleh Schallenberger 1960, dan Shallenberger dan Acree 1967 menyatakan bahwa ikatan hidrogen kemungkinan memberikan rasa manis pada gula. Teori ini menjelaskan bahwa stereo kimia yang berpengaruh memberikan kualitas rasa manis Schallenger 1973, diacu dalam Salminen dan Hallikainen 2002. Namun, hingga sekarang penelitian yang kompleks pada berbagai aspek kemanisan masih belum dapat menjawab pertanyaan mengenai penerimaan kemanisan seluruhnya, tetapi diduga ada pengaruh genetik Davenport 2001, diacu dalam Salminen dan Hallikainen 2002. Menurut Cahyadi 2006 konsep adanya empat rasa pokok manis, asin, pahit, dan asam sebenarnya hanya penyederhanaan supaya praktis. Rangsangan diterima oleh otak karena rangsangan elektrik yang diteruskan dari sel perasa sebetulnya sangat kompleks. Rasa asin terutama disebabkan oleh rangsangan ion- ion positif kation bahan kimia, sedangkan rasa asam oleh ion-ion negatif anion bahan kimia pada reseptor rasa. Tetapi tidak ada kelompok bahan kimia tertentu yang menyebabkan rasa manis meskipun telah diketahui bahwa struktur molekul sederhana kelompok senyawa-senyawa gula yang terbentuk tertutup sangat merangsang rasa manis. Sakarin yang struktur kimianya sangat berlainan dengan gula ternyata tidak dapat dibedakan rasa manisnya. Sampai saat ini mekanisme respon rasa manis belum diketahui dengan baik. Perubahan struktur molekul sedikit saja dapat menghasilkan senyawa baru dengan rasa yang berbeda Cahyadi 2006. Menurut Cahyadi 2006, faktor-faktor yang perlu diperhatikan untuk mengetahui hubungan struktur kimia bahan pemanis dengan rasa manis adalah: a. Mutu rasa manis Faktor ini sangat bergantung pada sifat kimia bahan pemanis dan kemurniannya. Dari uji sensoris menunjukkan tingkat mutu rasa manis yang berbeda antara bahan pemanis satu dengan yang lainnya. Bahan alami yang 27 mendekati rasa manis, kelompok gula yang banyak dipakai sebagai dasar pembuatan bahan pemanis sintetis adalah asam-asam amino. Salah satu dipeptida seperti aspartam memiliki rasa manis dengan mutu serupa dengan kelompok gula dan tidak memiliki rasa ikutan. Sedangkan pada sakarin dan siklamat menimbulkan rasa ikutan pahit yang semakin terasa dengan bertambahnya bahan pemanis. b. Intensitas rasa manis Intensitas rasa manis menunjukkan kekuatan atau tingkat kadar kemanisan suatu bahan pemanis. Intensitas rasa manis berkaitan dengan nilai relatif rasa manis yang sama maupun yang berbeda antara masing-masing bahan pemanis. Masing-masing pemanis berbeda kemampuannya untuk merangsang indera perasa. Kekuatan rasa manis yang ditimbulkan oleh bahan pemanis dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya adalah suhu dan mediumnya cair atau padat. Nilai intensitas rasa manis biasanya diukur dengan membandingkannya dengan kemanisan sukrosa 10. Sebagai contoh pemanis aspartam mempunyai kemanisan relatif sebesar 250 kali dibandingkan dengan kemanisan relatif sukrosa sebesar satu. Penentuan intensitas kemanisan mengalami kesulitan karena kenaikan tidak selalu proporsional dengan kenaikan rasa manis yang ditimbulkan oleh bahan pemanis dan lain-lain. Sebagai contoh pada sukrosa jika dinaikkan dua kali, kemanisannya meningkat lebih dari dua kalinya. Sedangkan sakarin, kenaikan dua kalinya ternyata kenaikan rasa manisnya tidak sampai dua kali dibandingkan pada awalnya. c. Kenikmatan rasa manis Bahan pemanis ditambahkan dengan tujuan untuk memperbaiki rasa dan aroma bahan pangan sehingga rasa manis yang timbul dapat meningkatkan kelezatan, tetapi pemanis yang berlebihan akan terasa tidak enak. Setiap jenis pemanis memiliki nilai toleransi yang berbeda antara kelompok masyarakat bahkan antar individu. 28 Salminen dan Hallikainen 2002 menyatakan bahwa peningkatan rasa manis dapat diperoleh dengan mencampurkan pemanis alami dan pemanis sintetik menarik dari segi ekonomi dan nutrisi. Purna rasa aftertaste yang tidak enak pada banyak pemanis buatan atau pemanis nonnutritif juga telah distimulasi dalam pengembangan campuran pemanis buatan untuk mengurangi purna rasa ini. Sinergi antar pemanis dan faktor yang mempengaruhinya telah direview oleh Hyvonen 1980. 2. Pengganti Gula Dalam Pangan Gula bagi nutrisionis dan banyak konsumen merupakan pangan yang tidak memuaskan. Hal ini dibandingkan dengan banyak pangan lain dari nilai nutrisinya. Umumnya dipandang merugikan dan memberikan efek buruk terhadap karies gigi kita dan dihubungkan pada berbagai penyakit. Nutrisionis kuatir adanya penurunan nilai gizi dengan mengkonsumsi pangan yang mengandung gula refinasi tinggi Salminen dan Hallikainen 2002. Dengan alasan nutrisi dan kesehatan maka berkembang keinginan konsumen terutama di negara barat untuk memakai pemanis lain sebagai pengganti sukrosa. Konsumer menginginkan pengontrolan energi yang masuk untuk menghindari obesitas dengan cara mengurangi konsumsi lemak dan gula. Menurut Hyvonen 1980 alasan utama perubahan pemakaian pemanis sekarang ini terutama karena orang-orang menginginkan pengurangan energi yang masuk selain itu juga untuk mengatasi masalah metabolisme karbohidrat dan karies gigi Salminen dan Hallikainen 2002. Pemanis buatan adalah bahan tambahan pangan yang dapat menyebabkan terutama rasa manis pada prroduk pangan yang tidak atau sedikit mempunyai nilai gizi atau energi BSN 2004. Ditinjau dari sumbernya, bahan pemanis dapat dibedakan atas pemanis alami dan pemanis sintetik. Ditinjau dari sumbangan energinya, pemanis dapat dibedakan atas pemanis berenergi nutritive sweeteners, dan pemanis tanpa energi non-nutritive sweeteners. Selain itu, juga berbeda jumlah pemanis yang dibutuhkan Salminen dan Hallikainen 2002. Pemakaian pemanis buatan memberikan berbagai masalah pada pengolahan pangan karena adanya perbedaan antara pemanis buatan dan pemanis karbohidrat. 29 Pemanis tanpa energi biasanya bukan berasal dari karbohidrat dan mempunyai sifat kimia dan fisik yang berbeda. Seringkali pemanis tanpa energi memberikan aroma tertentu yang berbeda dengan pemanis buatan dan jauh lebih manis dibandingkan dengan pemanis yang berasal dari karbohidrat. Sifat ini akan mempengaruhi biaya produksi pangan karena diharapkan produk pangan yang dihasilkan dapat diterima seperti pada pemakaian pemanis dari karbohidrat Salminen dan Hallikainen 2002. Keraguan akan keamanan pemanis tanpa energi menyebabkan perkembangan pengganti sukrosa yang berkalori sebagai pemanis pada pangan, Pemanis nonnutritif meliputi cakupan dari produk alami dan bahan kimia sisntetik, sedangkan pemanis berkalori atau pengganti sukrosa umumnya karbohidrat atau turunan dari karbohidrat Salminen dan Hallikainen 2002. Yang termasuk ke dalam pemanis berenergi tinggi adalah: sukrosa, fruktosa, glukosa, dekstrosa, gula jagung, madu, laktosa, maltosa, berbagai jenis sirop, dan gula inert. Contoh pemanis yang termasuk ke dalam pemanis dengan energi rendah adalah poliol, seperti: sorbitol, mannitol, silitol, isomalt, laktitol, dan maltitol. Yang termasuk pemanis tanpa energi adalah sakarin, aspartam, asesulfam-K, dan sukralosa Astawan 2006.

D. Sukralosa

1. Deskripsi Sukralosa

Sukralosa merupakan senyawa berbentuk kristal, berwarna putih, tidak higroskopis, tidak berbau, mudah larut dalam air, metanol, dan alkohol, sedikit larut dalam etil asetat, tidak mempengaruhi pH larutan, serta berasa manis dengan kemanisan relatif sebesar 600 kali tingkat kemanisan gula tanpa nilai kalori, dan tidak memberikan purna rasa yang tidak diinginkan Goldsmith dan Merkel 2001; BPOM 2004. Sukralosa ditemukan pada tahun 1976 oleh Hough dan temannya pada waktu melakukan penelitian di Queen Elizabeth College pada University of London yang didukung oleh Tate Lyle yang merupakan pelopor industri gula Goldsmith dan Merkel 2001. 30 Sukralosa adalah triklorodisakarida yaitu 1,6-Dichloro-1,6-dideoxy-