Pengaruh Reformulasi Terhadap Komposisi Zat Gizi Makro Dan Harga Susu Bubuk Beraroma Vanila

(1)

PENGARUH REFORMULASI TERHADAP

KOMPOSISI ZAT GIZI MAKRO DAN HARGA

SUSU BUBUK BERAROMA VANILA

CHRISTINE KRISTIANI PURNAMA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Pengaruh Reformulasi terhadap Komposisi Zat Gizi Makro dan Harga Susu Bubuk Beraroma Vanila adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Tugas akhir ini dibuat di bawah bimbingan Prof.Dr.Ir.Deddy Muchtadi,MS dan Prof.Dr.Ir.Made Astawan,MS. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Jakarta, Agustus 2007

Christine K.Purnama


(3)

ABSTRACT

CHRISTINE KRISTIANI PURNAMA. Pengaruh Reformulasi terhadap Komposisi Zat Gizi Makro dan Harga Susu Bubuk Beraroma Vanila. Dibimbing oleh DEDDY MUCHTADI dan MADE ASTAWAN

Penelitian ini bertujuan untuk reformulasi susu bubuk beraroma vanila untuk konsumen usia 19-50 tahun. Reformulasi dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama bertujuan untuk menetapkan jumlah sukralosa optimum yang akan ditambahkan pada susu bubuk beraroma vanila terhadap mutu sensori yaitu kemanisan yang paling disukai oleh konsumen berusia 19-50 tahun. Penelitian dilanjutkan ke tahap dua yaitu reformulasi dengan menetapkan penambahan konsentrat protein whey dan maltodekstrin agar diperoleh formula susu bubuk beraroma vanila dengan tingkat kemanisan yang lebih disukai oleh konsumen berusia 19-50 tahun dengan harga yang lebih kompetitif.

Berdasarkan respon dari panelis dan pertimbangan ekonomi, maka ditetapkan penambahan dosis sukralosa 0.027% yang akan dipakai pada tahap dua. Pada tahap dua, ternyata hasil reformulasi dengan komposisi 82% susu bubuk beraroma vanila terpilih dari tahap satu, penambahan 6.5% konsentrat protein whey dan 11.5% maltodekstrin (glucidex 19) yang disebut sebagai reformula satu lebih disukai dibandingkan formula awal. Tidak ada perbedaan nyata kadar protein antara formula awal dan reformula satu. Zat gizi makro yang lain yaitu lemak dan karbohidrat meskipun menunjukkan beda nyata, tetapi masih masuk dalam kisaran standar internal perusahaan. Berdasarkan perhitungan pada saat dilakukan penelitian, dengan memakai reformula satu akan diperoleh penghematan harga produk per ton sebesar 3.74% dibandingkan dengan pemakaian formula susu bubuk beraroma vanila awal.


(4)

PENGARUH REFORMULASI TERHADAP

KOMPOSISI ZAT GIZI MAKRO DAN HARGA

SUSU BUBUK BERAROMA VANILA

CHRISTINE KRISTIANI PURNAMA

Tugas Akhir

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi Teknologi Pangan pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(5)

(6)

Kupersembahkan karya tulis ini untuk

mengenang ayahanda tercinta :

TJOA TJHENG HAY

Untuk keluargaku tercinta

Ibunda

HANNY,

Pendamping hidup

RUDI &

Anak

FENISSA

dan

RICHARD


(7)

PRAKATA

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Pengasih atas segala berkat dan kasih-Nya pada penulis sehingga tugas akhir ini berhasil diselesaikan.

Pada kesempatan in penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1 Prof.Dr.Ir.Deddy Muchtadi,MS dan Prof.Dr.Ir.Made Astawan,MS yang telah berkenan meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan saran dan perhatian kepada penulis hingga tugas akhir dapat terselesaikan.

2. Trevor Clark selaku pimpinan penulis yang selalu memberikan dukungan dan PT Fonterra Brands Indonesia yang menyediakan bahan baku penelitian ini. 3 Ir.Budi Nurtama,M.Agr yang telah membantu dalam metode analisis data. 4 Ruci dan Rina yang telah membantu dalam analisis sampel, juga Haryadi dan

Kunto yang telah mendukung dalam penyusunan tugas akhir ini.

5 Mama, suami, adik-adik dan anak-anak tersayang atas segala doa, dorongan semangat dan kasih sayangnya.

6 Rekan-rekan dan pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebut satu per satu yang telah membantu dalam penyusunan tugas akhir ini.

Penulis menerima segala saran dan kritik membangun. Semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat.

Jakarta, 20 Agustus 2007


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Semarang pada tanggal 12 Desember 1960 dari ayah Tjoa Tjheng Hay (alm) dan ibu Hanny Purnawati Purnama. Pendidikan sarjana ditempuh pada Program Studi Biologi, Bidang Studi Mikrobiologi, Fakultas Biologi, Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga dan lulus pada tanggal 9 Nopember 1984.

Penulis meniti karier sebagai Asisten Dosen Fisiologi Tumbuhan pada tahun 1982-1983 dan Asisten Dosen Mikologi pada tahun 1983-1984 di Universitas Kristen Satya Wacana. Mulai meniti karier di industri pada tahun 1991 sebagai Supervisor Mikrobiologi dan dipromosikan pada tahun 1998 sebagai Operational Officer dan bekerja hingga tahun 1999 di PT Nutricia Indonesia Sejahtera. Pada tahun 2000 mulai bekerja di PT Pacific Indo Dairy sejak mulai dari konstruksi bangunan hingga berhasil mendapatkan Sertifikat ISO 9001:2000 dan Sertifkat

Food Safety Management System pada tahun 2004, sebagai Management Representative dan HACCP Leader. Pada tanggal 1 April 2005 hingga sekarang bekerja di PT Fonterra Brands Indonesia sebagai QA Manager dan Regional Team Audit.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ………...… vi

DAFTAR GAMBAR ………... vii

DAFTAR LAMPIRAN ………. viii

PENDAHULUAN Latar Belakang ………... 1

Tujuan, Sasaran dan Manfaat ... 5

Tujuan ... 5

Sasaran ... 5

Manfaat ... 5

TINJAUAN PUSTAKA Susu Bubuk ... 6

Vanila ... 18

Gula ... 24

Pemanis ... 25

Teori Kemanisan ... 25

Pengganti Gula dalam Pangan ... 28

Sukralosa ... 29

Deskripsi Sukralosa ... 29

. Karakteristik Sifat Sensori Sukralosa ... 31

Intensitas kemanisan ... 31

Kualitas yang bersifat sementara (temporal qualities) ... 32

Profil rasa ... 33

Penyerapan, Peredaran, Metabolisme, dan Pengeluaran Sukralosa. 33 Kajian Keamanan dan Regulasi Sukralosa ... 34

Stabilitas Masa Simpan Sukralosa ... 34

Konsentrat Protein Whey ... 35

Maltodekstrin dan Sirup Glukosa ... 38

METODOLOGI Bahan dan Alat ... 41

Tempat Penelitian ... 41

Tahapan Penelitian ... 41

Tahap Pertama ... 41

Tahap Kedua ... 43

Metode Analisis ... 44

Analisis Harga Produk ... 45

HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Kemanisan dan Uji Hedonik Kesukaan pada Tahap Satu ... 46

Reformulasi dan Uji Hedonik Kesukaan pada Tahap Dua……… 48

Perbandingan Nilai Gizi Makro Susu Bubuk Beraroma Vanila ... 50


(10)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan ... 54

Saran ... 54

DAFTAR PUSTAKA ……….……… 55


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Komposisi kuantitatif susu ………... 7

2 Komposisi kimia susu bubuk ... 16

3 Perbandingan karakteristik kemanisan sementara ... 33

4 Perbedaan glucidex 19 dan glucidex 21 ... 39

5 Penambahan sukralosa pada formulasi susu bubuk beraroma vanila ber- dasarkan tingkat kemanisan ... 42

6 Reformulasi susu bubuk dengan konsentrat protein whey, maltodekstrin dan sirup glukosa ... 44

7 Perbandingan komposisi zat gizi makro pada formulasi awal dan reformu- lasi dihitung berdasarkan komposisi bahan ... 44

8 Pengaruh penambahan sukralosa terhadap uji sensoris rasa manis ... 47

9 Pengaruh penambahan sukralosa terhadap skor kesukaan terhadap rasa manis ... 48

10 Hubungan interaksi perlakuan terhadap penerimaan mutu sensori kesukaan ... 49

11 Perbandingan hasil analisis proksimat ... 50

12 Hasil analisis sifat fisiko-kimia... 52

13 Hasil analisis mikrobiologi ... 53

14 Perbandingan harga produk ... 53

15 Contoh hasil rekonstitusi produk sampel ... 79

16 Indeks MPN ... 79


(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Struktur kimia sukrosa dan sukralosa ... 30

2 Perbandingan intensitas kemanisan ... 31

3 Profil perbandingan sensori sukralosa dan gula ... 33

4 Stabilitas masa simpan sukralosa ... 35

5 Produksi protein whey ... 36

6 Produksi konsentrat protein whey ... 37

7 Perhitungan Coliform dengan tehnik MPN ... 80


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Spesifikasi Sukralosa ... ... 59

2 Spesifikasi Glucidex 19 ……… 60

3 Spesifikasi Glucidex 29 ... 62

4 Formulir uji rating tahap satu ... 64

5 Formulir uji hedonik tahap satu ... 65

6 Formulir uji hedonik tahap dua ... 66

7 Uji Bulk Density ... 67

8 Pengukuran pH ... 68

9 Pengukuran kadar air ... 69

10 Pengukuran kadar abu ... 70

11 Penentuan kadar protein ... 71

12 Penentuan kadar lemak ... 73

13 Penentuan kadar karbohidrat ... 75

14 Analisa Total Plate Count ... 76

15 Analisa Coliform ... 77

16 Analisa khamir dan kapang ... 81

17 Rekapitulasi data hasil uji kemanisan pada tahap satu ... 82

18 Rekapitulasi data hasil uji kesukaan pada tahap satu ... 83

19 Rekapitulasi data hasil uji kesukaan terhadap rasa pada tahap dua ... 84

20 Rekapitulasi data hasil uji kesukaan terhadap aroma pada tahap dua ... 85

21 Rekapitulasi data hasil uji kesukaan terhadap warna pada tahap dua ... 86

22 Hasil analisis ANOVA dan uji Tukey untuk kemanisan pada tahap satu .... 87


(14)

23 Hasil analisis ANOVA dan uji Tukey untuk kesukaan pada tahap satu ... 90 24 Hasil analisis ANOVA dan ujiTukey pada uji hedonik kesukaan terhadap rasa pada tahap dua ... ... 93 25 Hasil analisis ANOVA dan uji Tukey pada uji hedonik kesukaan terhadap aroma pada tahap dua ... 96 26 Hasil analisis ANOVA dan uji Tukey pada uji hedonik kesukaan terhadap warna pada tahap dua ... 99 27 Hasil analisis proksimat pada tahap dua ... 102 28 Hasil analisis sifat fisiko-kimia pada tahap dua ... 103 29 Hasil analisis mikrobiologi pada tahap dua ... 104 30 Hasil analisis uji t untuk proksimat pada tahap dua ... 105 31 Hasil analisis uji t untuk uji fisiko-kimia pada tahap dua ... 108

ix


(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berdasarkan data Susenas tahun 1989, prevalensi obesitas di Indonesia untuk kota dan desa masing-masing adalah 1.1 dan 0.7%. Angka tersebut meningkat hampir lima kali menjadi 5.3 dan 4.3% pada tahun 1999. Hasil pantauan masalah gizi pada orang dewasa yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan tahun 1997 menunjukkan prevalensi obesitas pada orang dewasa adalah 2.5% (pria) dan 5.9% (wanita). Prevalensi obesitas tertinggi terjadi pada kelompok wanita berumur 41-55 tahun (9.2%). Hampir 10 dari 100 orang penduduk Jakarta menderita obesitas (Rimbawan dan Siagian 2004).

Masalah kelebihan berat badan dan obesitas tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi di seluruh dunia. WHO menyatakan lebih dari 1 milyar orang dewasa kelebihan berat badan dan paling sedikit 300 juta di antaranya obesitas. Tingkat obesitas bervariasi mulai dari di bawah 5% di Cina, Jepang dan sebagian Afrika hingga 75% di Samoa (IFIC 2006). Kelebihan berat badan dan obesitas meningkat tajam, baik pada orang dewasa maupun anak-anak. CDC (Centre for Disease Control and Prevention) melaporkan bahwa peningkatan obesitas pada orang dewasa yang berumur 20-74 tahun juga terjadi di Amerika yaitu dari 15% pada tahun 1976-1980 menjadi 32.9% pada tahun 2003-2004 [CDC 2007].

Kelebihan berat badan dan obesitas dapat menyebabkan meningkatnya resiko terkena penyakit seperti tekanan darah tinggi, diabetes melitus tipe 2, penyakit jantung, kanker kolon, osteoartritis, stroke, dan sebagainya (CDC 2007 dan IFIC 2006). Masalah kelebihan berat badan dan obesitas mendorong peningkatan kesadaran untuk melakukan perubahan gaya hidup yang lebih sehat, aktif melakukan kegiatan fisik, dan mengkonsumsi pangan yang rendah lemak dan rendah energi (IFIC 2006). Selain itu, kebutuhan produk untuk penderita diabetes juga meningkat. Hal ini mendorong perkembangan produk baru yang rendah lemak , rendah energi, dan bebas gula.

IDF (International Diabetes Federation) menyatakan bahwa obesitas dan diabetes tipe 2 merupakan ancaman terbesar bagi penduduk dunia. Menurut data dari IOTF (International Obesity Task Force), 1.7 triliun penduduk dunia


(16)

menderita penyakit diabetes tipe 2 dan penyakit jantung akibat dari kelebihan berat badan. Obesitas dapat menyebabkan hidup manusia berkurang 8 tahun yang diakibatkan oleh penyakit diabetes tipe 2 ini. Diperkirakan setengah dari kasus diabetes tipe 2 dapat berkurang bila kenaikan berat badan dapat dicegah (IDF 2004).

WHO (World Health Organization) menyatakan bahwa 180 juta penduduk di dunia menderita diabetes (WHO 2006). Jumlah ini diperkirakan akan naik menjadi 330 juta pada tahun 2025 karena pertumbuhan populasi, usia manusia lebih panjang, urbanisasi dan perubahan gaya hidup (IDF 2004).

IDF menyatakan bahwa diabetes merupakan penyakit epidemik di dunia. Sebanyak 246 juta penduduk dunia menderita diabetes dan 46% di antaranya menyerang penduduk usia 40-59 tahun. Penderita diabetes terbanyak yaitu 67 juta berasal dari bagian barat Pasifik diikuti oleh Eropa sebanyak 53 juta. Penderita diabetes di India 40.9 juta, diikuti oleh Cina 39.8 juta dan negara-negara lain seperti Amerika, Rusia, Jerman, Jepang, Pakistan, Brazil, Meksiko dan Mesir. Negara berkembang termasuk dalam urutan ke 7 dari 10 besar dunia. Pada negara-negara miskin dan berkembang, kemajuan ekonomi menyebabkan perubahan gaya hidup, pola makan dan aktifitas fisik yang dapat mempengaruhi hingga generasi berikutnya (IDF 2006). Berdasarkan penelitian diabetes di Surabaya dan analisis data dari Poliklinik Diabetes di seluruh Indonesia, diperkirakan jumlah penderita diabetes di Indonesia pada tahun 1994 adalah 2.5 juta jiwa. Pada tahun 2000 terjadi peningkatan penderita diabetes menjadi 4 juta jiwa (Rimbawan dan Siagian 2004).

Peledakan jumlah penderita diabetes tipe 2 disebabkan oleh pengaruh dari genetik, sosial dan lingkungan. Diabetes dapat menyebabkan kematian melalui serangan jantung, stroke, kebutaan dan kelainan ginjal. Perbaikan perubahan gaya hidup dengan mengatur diet yang benar dan melakukan aktifitas fisik dapat mengurangi resiko menderita penyakit diabetes sebanyak 60% (IDF 2004)

Menurut ADA (American Diabetes Association), pemanis buatan dapat

membantu konsumen untuk tetap menikmati rasa manis, menurunkan kadar energi, dan berat badan. Selain itu, juga membantu mengatur keadaan diabetes dan mencegah kerusakan gigi (ADA 2007).


(17)

Kesukaan akan rasa manis merupakan sifat manusia sejak dilahirkan karena secara alami air susu ibu mengandung gula yang tinggi dengan kandungan laktosa kurang lebih 7% (CCC 2006a dan Subagio 2007). Peninggalan sejarah juga menunjukkan bahwa ukiran pada dinding gua yang telah berumur 20 000 tahun melukiskan manusia neolitik mencari sarang lebah madu liar untuk mengambil madu. Hal ini berarti bahwa manusia selalu mempunyai kesukaan terhadap rasa manis seperti dinyatakan oleh Calorie Control Council (CCC 2006a). Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan terhadap rasa manis dari makanan bersifat utama dan universal. Sensasi tersebut muncul bila makanan yang mengandung rasa manis berinteraksi dengan indra pengecap yang terdapat pada mulut dan kerongkongan (Astawan 2006). Sukrosa dipakai sebagai standar kemanisan sejak 600 tahun yang lalu (CCC 2006a).

Hasil penelitian NMI (The Natural Marketing Institute) tahun 2005

menyatakan produksi pangan baru tanpa gula atau rendah gula meningkat dua kali di Amerika dan tiga kali lipat di seluruh dunia karena meningkatnya permintaan konsumen akan pangan yang sehat. Pada periode tahun 1996-2000 permintaan pangan tanpa atau rendah gula di seluruh dunia hanya 1438 produk, meningkat menjadi 4261 produk pada tahun 2001-2005 (French 2006). Perkembangan dan persetujuan berbagai pemanis yang aman, rendah energi, dan ingridien lain yang rendah energi membantu memenuhi kebutuhan konsumen. Lebih dari setengah penduduk Amerika dewasa (58%) menggunakan pemanis buatan dimana terjadi kenaikan 25% secara tetap sejak tahun 2002 (French 2006).

Hasil survei pasar yang dilakukan oleh perusahaan menunjukkan bahwa produk susu bubuk beraroma vanila kurang kemanisannya dibandingkan produk pesaing sejenis yang beredar di pasar. Oleh karena itu, diperlukan penambahan tingkat kemanisan. Penambahan kemanisan dilakukan dengan pemanis buatan yang tidak berkalori.

Alasan pemakaian pemanis buatan bervariasi, tetapi pendorong utama adalah diet dan pengaturan berat badan. Konsumen memilih memakai pemanis buatan dengan alasan sebagai berikut: untuk mengurangi gula dalam makanan (72%), mengurangi energi dalam makanan (69%), diet (57%), mengurangi karbohidrat dalam makanan (48%), dan diet diabetes (27%) (French 2006).


(18)

Pemanis yang ideal harus memberikan rasa manis paling tidak seperti sukrosa, tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak bersifat karsinogenik. Selain itu, juga harus jernih, rasanya enak, dan tidak meninggalkan purna rasa. Pemanis buatan juga harus larut dalam air, stabil pada kondisi asam maupun basa, dan juga pada temperatur yang bervariasi. Pemanis juga harus tidak toksik, dapat dimetabolisme dengan normal, atau dikeluarkan oleh tubuh seutuhnya, dan terjamin keamanannya (Nabors 2001).

Salah satu pemanis yang memenuhi persyaratan ini adalah sukralosa karena rasanya manis seperti sukrosa dan stabil sehingga sesuai untuk berbagai macam produk. Sukralosa adalah pemanis buatan yang tidak mengandung energi meskipun dibuat dari sukrosa dan kemanisannya 600 kali dibandingkan sukrosa (Nabors 2001).

Kebutuhan masyarakat akan produk susu makin meningkat. Disisi lain ketersediaan susu di dunia terbatas, selain itu harganya juga meningkat terus. Kenaikan harga susu skim di Eropa meningkatkan kebutuhan akan protein whey sebagai penggantinya. Kondisi ini berbeda dengan di Amerika dimana protein whey dipakai untuk meningkatkan kadar protein untuk konsumsi manusia. Produk whey dipakai sebagai bahan pengisi (filler) untuk meningkatkan nilai gizi (Varman dan Sutherland 1996).

Salah satu cara untuk mencukupi kebutuhan masyarakat dan juga agar tetap

dapat bersaing di pasar adalah dengan melakukan reformulasi. Reformulasi

dilakukan dengan cara mengganti sebagian susu bubuk dengan ingridien lain dengan tetap mempertahankan kadar zat gizi makro.

Untuk mempertahankan kadar zat gizi makro terutama kadar protein di dalam susu tetap tinggi maka sebagian dari susu bubuk diganti dengan konsentrat protein whey. Sedangkan maltodekstrin dipakai untuk memenuhi volume produk dalam kemasan dan juga agar harganya dapat menjadi lebih kompetitif. Dengan melakukan reformulasi diharapkan akan diperoleh harga produk yang lebih kompetitif agar dapat bersaing di pasar.


(19)

B. Tujuan, Sasaran dan Manfaat

1. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menetapkan jumlah sukralosa optimum yang akan ditambahkan pada susu bubuk beraroma vanila terhadap mutu sensori yang paling disukai oleh konsumen berusia 19-50 tahun. Selain itu, juga untuk menetapkan formula susu bubuk dengan penambahan konsentrat protein whey dan maltodekstrin agar diperoleh produk dengan harga yang lebih kompetitif dibandingkan dengan harga saat ini.

2. Sasaran

Sasaran dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan formula susu bubuk beraroma vanila dengan tingkat kemanisan yang disukai oleh konsumen berusia 19-50 tahun dengan harga yang lebih kompetitif.

3. Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah diperoleh formula susu bubuk beraroma vanila dengan tingkat kemanisan yang disukai oleh konsumen berusia 19-50 tahun dengan harga yang lebih kompetitif


(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Susu Bubuk

Susu merupakan sumber gizi terbaik bagi mamalia yang baru dilahirkan. Susu disebut makanan yang hampir sempurna karena kandungan gizinya yang lengkap. Oleh karena kandungan gizinya, maka susu dalam bentuk alami sangat mudah rusak.

Produksi dan komposisi susu dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain jenis hewan dan keturunannya, pertumbuhan, umur hewan dan panjangnya masa laktasi, kesehatan hewan, jenis dan macam pakan, pengaruh musim serta manajemen pemerahan (Hadiwiyoto 1994). Hasil susu yang diperoleh setiap kali pemerahan susu sapi akan selalu berbeda baik dalam hal jumlahnya, sifatnya maupun komposisinya. Keturunan sapi yang berbeda akan memberikan hasil dan komposisi yang berbeda. Sebagai contoh sapi perah Holdstein dapat memberikan produksi susu lebih banyak daripada sapi perah lainnya, tetapi susu sapi perah Guernsey dan Jersey mempunyai kandungan lemak lebih tinggi . Warna susu dari sapi Guernsey juga lebih tua dibandingkan susu sapi perah lainnya. (Hadiwiyoto 1994).

Komposisi susu antara setiap spesies juga berbeda. Perbedaannya antara lain adalah kandungan protein, lemak, dan gula susu, vitamin, mineral, dan ukuran globula lemak. Air susu manusia rata-rata mengandung 1.1% protein, 4.2% lemak, 7.0% laktosa sebagai gula dan memberikan 72 kkal energi per 100 g. Sedangkan susu sapi rata-rata mengandung 3.4% protein, 3.6% lemak, 4.6% laktosa dan memberikan 66 kkal energi per 100g (Wikipedia 2007).

Setiap individu sapi akan menghasilkan susu dalam jumlah dan komposisi yang sedikit berbeda. Faktor individual ini disebabkan banyak hal, antara lain berasal dari warisan induknya yang merupakan faktor genetik dan perilakunya. Induk sapi yang sehat dan tegar akan menghasilkan susu dalam jumlah banyak. Sedangkan faktor perilaku berkaitan dengan kebiasaan hewan menghadapi faktor lingkungannya. Hewan yang tenang akan menghasilkan produksi susu yang lebih banyak daripada hewan yang mudah terkejut (Hadiwiyoto 1994).


(21)

Jumlah dari penyusun utama komposisi susu bervariasi tergantung jenis keturunan dan juga perbedaan antar individu sapi meskipun berasal dari jenis keturunan yang sama. Selain itu, produksi susu juga dipengaruhi oleh pakan yang diberikan. Pemberian pakan dalam jumlah banyak dapat meningkatkan produksi, tetapi jenis pakan akan dapat mempengaruhi komposisi susunya (Hadiwiyoto 1994). Sapi yang kekurangan gizi akan mengakibatkan komposisi susu menjadi abnormal. Contoh yang paling sering dijumpai adalah sapi yang kurang makan atau diberi pakan dengan kandungan nitrogen rendah akan menghasilkan susu dengan kandungan protein dan padatan bukan lemak yang rendah (Town 2005)

Komposisi susu juga dipengaruhi kesehatan sapi. Bila sapi dalam keadaan tidak sehat maka komposisi susu yang dihasilkan menjadi abnormal. Sapi yang menderita mastitis (radang pada kelenjar susu) akan mempengaruhi keseimbangan garam yang ada di dalam susu sehingga stabilitas panas susu yang dihasilkan buruk dan dapat mempengaruhi kelarutan (solubility) dan aroma susu (Town 2005).

Komposisi penyusun utama susu berupa kisaran seperti diperlihatkan pada Tabel 1 (Bylund G et al. 2003).

Tabel 1 Komposisi kuantitatif susu

Penyusun utama (%) Batas variasi Nilai rata-rata

Air 88.5 – 89.5 87.5

Total padatan 10.5 – 14.5 13.0

Lemak 2.5 – 6.0 3.9

Protein 2.9 – 5.0 3.4

Laktosa 3.6 – 5.5 4.8

Mineral 0.6 – 0.9 0.8

Sumber : Bylund G et al (2003)

Di samping total padatan (total solids), dipakai istilah padatan bukan lemak (solids-non-fat) yang sering disingkat sebagai SNF. SNF adalah semua total padatan tanpa lemak, jadi terdiri atas protein, karbohidrat, vitamin dan mineral.


(22)

Standar umum total padatan bukan lemak adalah 9.1%. Nilai pH susu umumnya berkisar antara 6.5 hingga 6.7 pada pengukuran suhu 25°C (Bylund G et al. 2003).

Protein susu terdiri atas kasein, laktalbumin dan laktoglobulin. Kasein merupakan protein terbanyak jumlahnya dibandingkan dengan laktalbumin dan laktoglobulin. Selain itu, juga terdapat jenis protein lainnya sebagai ensim dan imonoglobulin. Lemak susu juga merupakan komponen susu yang penting selain protein. Di dalam susu, lemak terdapat sebagai globula atau emulsi, yaitu bulatan-bulatan lemak yang berukuran kecil di dalam serum susu (Hadiwiyoto 1994). Lemak susu terdiri atas trigliserida yang merupakan komponen utama, di- dan mono- gliserida, asam lemak, sterol dan karetenoid yang memberikan warna kuning dari lemak, vitamin A, D, E dan K (Byund G et al. 2003). Karbohidrat yang paling banyak terdapat dalam bentuk disakarida adalah laktosa. Kemanisan dari laktosa seperenam kemanisan sukrosa. Pada pemanasan yang tinggi di atas 100ºC, laktosa akan menghasilkan karamel yang warnanya coklat. Laktosa mudah larut dalam air (Hadiwiyoto 1994). Susu juga mengandung berbagai garam mineral dengan jumlah kurang dari satu persen. Mineral yang terpenting adalah kalsium, kalium, potasium dan magnesium. Susu juga merupakan sumber vitamin yang jumlahnya bervariasi. Vitamin yang terbaik yang terkandung di dalam susu adalah vitamin A, kelompok vitamin B, vitamin C dan D (Byund G et al. 2003). Komponen terbanyak dari susu adalah air. Air merupakan tempat terdispersinya komponen-komponen susu yang lain. Komponen-komponen yang larut adalah laktosa, garam-garam mineral dan beberapa vitamin (Hadiwiyoto 1994).

Salah satu metode pengawetan susu adalah pengeringan yaitu dengan mengubahnya menjadi susu bubuk. Susu bubuk telah dihasilkan mulai 100 tahun yang lalu dan bekembang pesat dalam waktu 50 tahun terakhir. Pembuatan susu bubuk merupakan salah satu cara yang paling sukses dan penting untuk pengawetan susu (Town 2005).

Perubahan dari susu cair menjadi susu bubuk memerlukan penghilangan air beberapa tahap hingga menjadi produk akhir. Selama proses pengurangan air ini terjadi perubahan terhadap sifat, struktur kimia dan penampakan (appearance) susu. Susu merupakan produk yang sensitif dan kualitasnya sangat mudah dipengaruhi terutama oleh panas dan aktivitas bakteri (Pisecky 1997)


(23)

Prinsip pengawetan pada susu bubuk adalah melindungi susu bubuk terkontaminasi secara mikrobiologi yaitu dengan membuat kadar air atau water acitivity rendah. Water activity dari susu bubuk dibuat menjadi di bawah minimum dari yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroorganisme (Town 2005). Kadar air dari susu bubuk yang diperoleh berkisar antara 1.5% hingga 5%. (Bylund G et al. 2003).

Keunggulan dari susu bubuk adalah masa simpannya yang paling baik dibandingkan dengan cara pengawetan susu yang lain, tidak membutuhkan pendinginan selama penyimpanan dan transportasi. Kadar air lebih sedikit yaitu hanya seperdelapan berat dan seperempat volume dari susu cair sehingga menghemat transportasi, dan dapat diaplikasikan pada semua produk akhir (Town 2005).

Proses produksi susu bubuk dimulai dari pengurangan air pada suhu rendah agar sifat alami susu yang diinginkan yaitu warna, aroma, kelarutan dan nilai gizi dapat dipertahankan. Kandungan air pada komposisi susu sapi bervariasi antara 85.5 hingga 89.5% (Bylund G et al. 2003). Selama proses pembuatan susu bubuk sebagian besar air dihilangkan dengan cara evaporasi dengan mendidihkan susu pada tekanan yang telah dikurangi pada suhu yang rendah. Hasil susu yang kental kemudian diatomisasi pada penyemprot halus ke dalam udara panas untuk mengurangi kadar air sehingga diperoleh susu bubuk (NZMP 2006).

Secara garis besar, proses produksi susu bubuk dimulai dari standarisasi, pra-pemanasan, evaporasi, pengeringan, pengemasan serta penyimpanan. Proses produksi dimulai dari standarisasi atau separasi dengan cara memisahkan susu cair menjadi bentuk susu skim dan krim. Jika susu bubuk full krim yang diinginkan maka sebagian krim akan dikembalikan sehingga menghasilkan susu dengan kandungan lemak yang telah distandarkan yaitu tipikal 26 hingga 30% dalam susu bubuk. Kelebihan krim akan dipakai untuk membuat mentega atau anhydrous milkfat (AMF). Laktosa (gula susu) atau susu hasil dari permeasi ultrafiltrasi (merupakan produk samping dari pabrik konsentrat protein susu yang mengandung laktosa, garam mineral dan air) akan ditambahkan pada susu untuk menstandarkan kandungan protein hingga tingkat minimum yang ditetapkan oleh perjanjian internasional (NZMP 2006).


(24)

Proses pra-pemanasan dilakukan dengan cara memanaskan susu yang telah distandarisasi hingga suhu 75 dan 120°C dan ditahan selama waktu tertentu yang telah ditetapkan yaitu dari beberapa detik hingga beberapa menit. Proses pra-pemanasan dapat mengontrol denaturasi protein whey, membunuh bakteri, menginaktifkan enzim, menimbulkan antioksidan alami dan memberikan pengaruh sifat fungsional. Lamanya pemanasan (holding regime) tergantung pada jenis produk, tujuan penggunaan dan desain sistim pra-pemanasan. Susu bubuk full krim yang menerima pra-pemanasan pada suhu tinggi akan mempunyai kualitas penyimpanan yang lebih baik tetapi sifat kelarutannya berkurang. Pra-pemanasan dapat dilakukan secara tidak langsung dengan heat exhangers, atau secara langsung dengan injeksi uap air atau infusi ke produk, atau gabungan dari keduanya (NZMP 2006). .

Proses penguapan dilakukan pada susu dari proses pra-pemanasan dengan tujuan mengentalkan agar total padatan (total solid) dari susu skim 9.0% dan pada susu full krim 13% naik hingga mencapai total padatan 45 hingga 52%. Hal ini dicapai dengan cara mendidihkan susu dalam keadaan vakum pada suhu di bawah 72°C menjadi lapisan tipis di dalam tabung vertikal dan menghilangkan air menjadi uap air. Uap ini digunakan untuk memanaskan susu pada mesin penguap berikutnya sehingga proses berjalan pada tekanan dan suhu yang lebih rendah dibandingkan dengan proses sebelumnya (NZMP 2006). .

Proses pengeringan dengan spray dryer menyangkut atomisasi dari susu yang telah kental (konsentrat) dari mesin penguap (evaporator) menjadi bentuk droplet yang halus. Pengeringan dilakukan pada tempat (chamber) pengeringan yang besar dengan aliran udara panas dengan suhu hingga 200°C dapat dengan memakai piringan atomiser yang berputar atau dalam bentuk barisan dari pipa semprot bertekanan tinggi. Droplet susu didinginkan pada penguapan meskipun suhu tidak akan mencapai suhu udara. Susu pekat ini dapat dipanaskan dulu sebelum atomisasi untuk mengurangi viskositas sehingga pengeringan dilakukan pada konsentrat dengan total padatan yang lebih tinggi. Air yang tersisa banyak diuapkan di dalam chamber pengering dan membentuk susu bubuk yang sangat halus dengan kadar air 6% dan besarnya diameter partikel susu rata-rata kurang dari 0.12 mm. Pengeringan kedua atau yang terakhir dilakukan pada fluid bed atau


(25)

pada serangkaian bed dengan cara udara panas ditiupkan melalui lapisan dari susu tersebut untuk menghilangkan air sehingga diperoleh produk dengan kadar air 2 hingga 4%. Fluid bed merupakan peralatan yang dipakai untuk mengeringkan atau mendinginkan susu bubuk. Udara ditiupkan melalui susu bubuk dari bawah sehingga partikel susu akan terpisah dan terlihat seperti cairan (fluid) (NZMP 2006).

Meskipun susu bubuk lebih stabil dibandingkan dengan susu segar, tapi perlindungan terhadap kelembaban, oksigen, cahaya dan panas tetap diperlukan untuk mempertahankan kualitas dan masa simpan. Susu bubuk menyerap uap air dari udara sehingga menyebabkan kerusakan yang cepat pada kualitas dan menyebabkan penggumpalan. Lemak di dalam susu bubuk full krim bereaksi dengan oksigen yang berada di udara sehingga menyebabkan off-flavor, terutama bila disimpan pada suhu penyimpanan dengan suhu lebih dari 30°C. Pengemasan susu bubuk dilakukan dengan memakai kantung (bag) multi lapisan dari kertas. Lapisan paling dalam merupakan kantung plastik dengan tujuan mengontrol masuknya uap air dan kemudian lapisan kertas yang berlapis-lapis untuk memberikan kekuatan dan melindungi terhadap cahaya. Susu bubuk full krim dikemas dengan gas nitrogen untuk mencegah oksidasi, mempertahankan aroma dan memperpanjang masa simpan. Lapisan plastik kemasan yang paling dalam juga memberikan permeabilitas yang rendah, baik terhadap oksigen maupun uap air (NZMP 2006).

Umumnya metode pengeringan yang banyak dipakai untuk industri dairy

adalah spray drying. Air dikurangi dengan cara evaporasi susu mendidih pada tekanan dan suhu rendah. Kemudian konsentrat susu ini diatomisasi dengan cara disemprotkan ke dalam udara panas untuk menghilangkan kadar air dan menjadi bubuk. Selain spray drying, ada juga metode roller drying untuk beberapa produk tertentu (Town 2005).

Tujuan spray drying untuk mendapatkan partikel yang kecil agar

pengeringan berlangsung cepat. Pengeringan yang cepat sangat baik untuk mempertahankan aroma dan kelarutannya. Tetapi proses ini juga menghasilkan partikel susu yang bervariasi dari sangat kecil hingga kecil. Partikel susu yang sangat kecil mengakibatkan susu bubuk menjadi sangat berdebu (dusty). Selain itu,


(26)

partikel yang sangat kecil ini juga menyebabkan sangat sulit untuk rekonstitusi di dalam air. Untuk memperbaiki sifat rekonstitusi maka dilakukan aglomerasi susu bubuk (Town 2005).

Tujuan aglomerasi susu bubuk adalah menciptakan keadaan dimana partikel susu saling menempel sehingga terbentuk kumpulan partikel kecil yang disebut aglomerasi. Aglomerasi umumnya dipakai untuk membuat susu bubuk skim menjadi instan. Pada susu bubuk full krim ada lapisan tipis dari lemak yang menyebabkan susu bubuk sulit untuk menjadi basah dan larut terutama pada air dingin. Untuk membuat susu bubuk full krim instan maka ditambahkan agen permukaan aktif yaitu lesitin. Lesitin disemprotkan ke partikel susu selama pengeringan (Town 2005). Dengan cara demikian, akan diperoleh susu bubuk instant yang mempunyai wettability dan kelarutan yang baik (Early 1998).

Ada berbagai jenis susu bubuk dengan berbagai spesifikasi, sehingga penggunaannya tergantung dari industri dan pelanggan. Parameter yang penting pada spesifikasi susu bubuk adalah : komposisi kimia, kualitas mikrobiologi, sifat fisik, sifat fungsional, kualitas organoleptik , kemasan dan masa simpan (shelf-life)

(Early 1998).

Komposisi kimia dari susu bubuk sangat dipengaruhi oleh ingridien dan keadaan waktu proses. Kadar protein, lemak dan karbohidrat tergantung pada sifat kimia yang ada pada bahan bakunya. Sedangkan proses produksi seperti perlakuan pra-pemanasan akan mempengaruhi pencoklatan Maillard dan denaturasi whey protein (Early 1998).

Sifat kimia dari susu bubuk terutama berkaitan dengan : kadar air, total lemak, non-fat solid, total protein, laktosa, kadar abu (dan seringkali mineral spesifik), whey protein nitrogen index (WPNI). Spesifikasi produk susu bubuk berasal dari hasil analisa unsur tersebut. Kadar air dan kadar air bebas akan mempengaruhi masa simpan dan sifat fisik susu bubuk. Kadar air dikontrol oleh atomisasi dan kondisi pengeringan (Early 1998).

Kadar air untuk susu bubuk harus memenuhi persyaratan yaitu kadar air untuk susu bubuk skim umumnya 4% dan untuk susu bubuk full krim 2.5%. Umumnya kadar air bervariasi antara negara satu dengan negara lainnya. Kadar air sangat mempengaruhi kualitas dari susu bubuk. Makin tinggi kadar air maka


(27)

kualitas akan menurun karena protein akan terdenaturasi dan laktosa yang ada pada tingkat amorf akan mengkristal sehingga menyebabkan kandungan lemak bebas meningkat di dalam susu bubuk full krim. Reaksi Maillard merupakan reaksi antara grup NH2 yang ada pada asam amino lisin dengan laktosa yang

mengakibatkan susu bubuk full krim berubah menjadi kecoklatan. Reaksi Maillard berbanding lurus dengan waktu penyimpanan, suhu dan kadar air. Oleh karena itu bahan pengemas untuk susu harus mempertimbangkan agar hanya dalam jumlah kecil sekali uap air dapat penetrasi ke dalam kemasan. Karena difusi uap air selalu terjadi dimana arah difusi ditentukan oleh tekanan uap air, maka penyimpanan susu dianjurkan pada tempat yang kering dan sejuk sehingga tekanan uap air kecil (Westergaard 1994).

Kualitas mikrobiologi susu bubuk tergantung pada kualitas mikrobiologi dari bahan mentah, kebersihan pabrik dan peralatan yang digunakan untuk produksi dan pengepakan susu bubuk, kebersihan lingkungan produksi dan praktek higiene pada proses produksi susu bubuk. Pemakaian bahan baku dengan kualitas mikrobiologi yang bagus sangat penting karena kandungan mikrobiologi yang tinggi akan memberikan kesempatan mikroba dapat bertahan hidup pada proses pemanasan sehingga akan muncul pada hasil akhir produk (Early 1998).

Pasteurisasi akan membunuh mikroba patogen yang tidak membentuk spora (non-sporeforming pathogen) dan akan mengurangi kandungan mikroba dari persediaan bahan baku cair sebelum ke evaporator dan spray dryer. Perlakuan pra pemanasan (pre-heat) dengan suhu lebih tinggi akan memberikan efek yang lebih baik, meskipun masih ada kemungkinan bakteri thermodurik bertahan hidup. Keberadaan bakteri pembentuk spora dan spora bakteri di dalam bahan baku susu harus diperhatikan. Kemampuan spora bakteri bertahan hidup setelah perlakuan panas dan tetap dorman pada waktu yang lama merupakan faktor penting penentuan kesesuaian penggunaan susu bubuk (Early 1998).

Setelah susu bubuk dikeringkan maka tidak ada perlakuan panas lagi, sehingga kontaminasi mikroba yang terjadi setelah pasteurisasi merupakan

masalah yang serius. Problem kontaminasi Salmonella pada susu bubuk

merupakan masalah hygiene dan keamanan pangan yang berhubungan dengan


(28)

sebagai indikator higiene yang buruk. Keberadaan mikroba ini menunjukkan manajemen higiene yang buruk yang dapat menyebabkan kontaminasi mikroba patogen yang lebih buruk (Early 1998).

Pembatasan sifat fisik dan fungsional dari susu bubuk sulit dilakukan karena saling tumpang tindih dan demikian juga dengan sifat kimia berkaitan dengan sifat fisik dan fungsional. Sifat fisik susu bubuk mempengaruhi penanganan, penyimpanan dan penggunaan produk. Sifat fisik yang sangat penting dalam susu bubuk antara lain: densitas kamba (bulk density), solubility dan scorchedparticles

(Early 1998).

Densitas kamba (bulk density) adalah pengukuran perbandingan massa dengan volume dari susu bubuk yang diekspresikan sebagai g/cm3, g/100 cm3 dan g/l. Densitas kamba merupakan parameter yang praktis dan sangat penting secara komersil bagi pabrik maupun pemakai susu bubuk. Susu bubuk dengan densitas kamba yang rendah akan memenuhi kemasan sehingga menyebabkan kesulitan pada waktu pengepakan , misalnya pada keefektifan seal panas pada kemasan. Problem ini dihadapi pada pabrik pengemasan sachet. Seringkali densitas kamba yang tinggi justru disukai karena menyebabkan penghematan pada bahan pengemas, biaya penyimpanan dan biaya transportasi (Early 1998).

Densitas kamba (bulk density) adalah cara pengukuran pengepakan susu bubuk. Diukur dengan menentukan volume (dalam hal ini dipakai gelas ukur) pada sejumlah tertentu susu bubuk. Densitas kamba sangat tergantung pada vibrasi dari susu bubuk yang diperiksa. Umumnya densitas kamba dihitung dari 100 kali ketukan pada mesin tapping yang standar. Densitas kamba ini akan mempengaruhi jumlah bubuk susu yang diisi ke dalam kemasan. Densitas kamba dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti densitas dari komponen yang menyusun produk, densitas partikel, bentuk partikel, sifat permukaan dan distribusi partikel (Baldwin 2006).

Bila suatu susu bubuk ditransfer maka terjadi pemecahan partikel sehingga mengakibatkan densitas waktu pengepakan menjadi yang lebih besar. Hal ini umumnya terjadi pada susu bubuk yang berbentuk aglomerasi. Oleh karena itu umumnya densitas kamba dipakai untuk menunjukkan jumlah partikel yang pecah dengan adanya pengocokan atau waktu transfer (Baldwin 2006).


(29)

Solubility merupakan salah satu sifat yang penting pada susu bubuk. Susu bubuk dengan solubility yang jelek akan menyebabkan sedimen. Salah satu test utama untuk solubility adalah tes ADMI (American Dry Milk Institute). Pada kondisi penyimpanan dengan suhu tinggi dan kelembaban yang tinggi akan menyebabkan kelarutan dari protein kasein menurun sehingga menyebabkan partikel aglomerasi menjadi lambat larutnya. Pada kondisi yang ekstrim, susu bubuk rekonstitusi dapat memisah menjadi dua lapisan yaitu bagian atas dan bagian bawah (Baldwin 2006).

Sifat fungsional dari susu bubuk tergantung pada komposisi susu bubuk (komponen dan sifat kimia dari susu bubuk), pengaruh dari kondisi proses sebelum spray drying, misal : pengaruh perlakuan panas terhadap sifat fungsional protein susu, pengaruh pengeringan spray terhadap sifat dari susu bubuk itu sendiri. Salah satu sifat fungsional susu bubuk yang penting adalah: wettability,

dan dispersability (Early 1998). .

Wettability didefinisikan sebagai kemampuan susu bubuk untuk menjadi basah dan menyerap air. Pada kondisi basah, maka udara yang ada diantara partikel akan diganti dengan air sehingga mendorong kelarutan dari bahan yang padat (solid material). Wettability dari susu bubuk dipengaruhi oleh komposisi, ukuran partikel dan bentuk partikel, dan adanya faktor penghambatan seperti permukaan lemak bebas. Selain itu juga ditentukan oleh suhu dari air dan

wettability harus spesifik pada suhu tertentu. Susu bubuk yang menjadi basah dengan mudah dan cepat, sering disebut sebagai susu bubuk instan. Demikian juga dengan susu bubuk full krim yang cepat menjadi basah karena lesitinasi, disebut juga sebagai susu bubuk full krim instan (Early 1998).

Sifat organoleptik susu bubuk berhubungan erat dengan komposisi dan kualitas dari bahan baku dan proses pengolahannya. Sebagai contoh: kadar lemak yang ada di dalam susu bubuk akan mempengaruhi secara dramatis bau (aroma), tergantung asal lemak yaitu lemak susu atau lemak nabati. Demikian juga adanya asam lemak bebas dalam lemak akan mempengaruhi bau (aroma) dan perlakuan panas akan menyebabkan perubahan warna dan aroma pangan yang masak (cooked flavour). Muir (1996) menyatakan bahwa masa simpan susu bubuk merupakan fungsi dari kualitas bahan baku, proses spray drying dan kondisi


(30)

dimana susu bubuk disimpan. Kerusakan selama penyimpanan akan mengakibatkan perubahan organoleptik yang nyata (Early 1998)

Menurut Bylund (2003), ada beberapa jenis produk susu bubuk yaitu susu bubuk skim (skim milk powder) dan susu bubuk full krim (whole milk powder). Komposisi kimia dari susu bubuk diperlihatkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Komposisi kimia susu bubuk

Komposisi Susu full krim Susu skim

Lemak (%,bk) 26-29 Maksimum 1.25

Protein (%,bk) 25-27 34-38

Laktosa (%,bk) 35-38 48-56

pH 6.6-6.7 6.6-6.7

Nilai Keasaman (%) <0.16 <0.16

Sumber : Bylund (2003)

Susu bubuk full krim sering juga disebut sebagai whole milk powder, atau

full cream milk powder. Susu bubuk full krim dibuat dari susu yang telah distandarisasi sehingga memberikan kadar lemak sekitar 25-28%. Susu bubuk full krim dapat dihasilkan sebagai produk yang instan maupun yang tidak instan tergantung pada tipe dari sistim spray drying yang dipakai. Sifat dari susu bubuk full krim yang instan juga tergantung pada ada tidaknya penambahan lesitin sebagai agen permukaan yang aktif. Susu bubuk aglomerasi hanya bersifat instan di dalam air pada suhu > 40ºC karena permukaan lemak bebas menghalangi

wetting. Dengan menyemprotkan lesitin soya sebagai karier minyak ke permukaan partikel susu maka susu bubuk dapat larut pada air dingin. Meskipun minyak mentega (butteroil) sering dipakai sebagai karier minyak, tapi seringkali dipilih minyak sayur karena harganya lebih murah (Early 1998)

Susu bubuk full krim instan sering dipakai untuk bermacam-macam produk seperti sup, saus, dimana sifat kelarutannya penting. Susu full krim standar atau yang tidak instan juga dipakai untuk berbagai produk yang tidak memerlukan sifat instan seperti pada produksi susu coklat (Early 1998)


(31)

Susu bubuk skim berasal dari penghilangan krim pada susu bubuk full krim sehingga hanya tertinggal susu skim. Akibat dari pemisahan sentrifugal pada susu full krim akan menghasilkan susu skim dengan kandungan lemak <0.1%. Tujuan utamanya adalah menghasilkan produk yang bebas lemak. Dengan berbagai perlakuan panas, fungsionalitas dari protein susu dibuat khusus untuk tujuan aplikasi tertentu, dan dengan menggunakan sistim spray drying dan tehnik yang berbeda dapat mengubah sifat fisik dari susu bubuk.

Susu bubuk skim dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok berdasarkan perlakuan panas yang diterimanya yaitu susu skim yang rendah panas (low-heat skimmed milk powder), susu skim dengan panas menengah (medium-heat skimmed milk powder) dan susu skim dengan panas yang tinggi (high-heat skimmed milk powder). Kadang ada yang mengelompokkan menjadi kelompok yang keempat yaitu susu skim yang sangat stabil pada panas yang tinggi (high-heat (high-heat-stable skimmed milk powder) (Early 1998).

Pembuatan susu skim lebih banyak dibandingkan dengan susu bubuk yang lain di seluruh dunia, karena kekhususannya dengan memberikan berbagai sifat fungsional yang menguntungkan pada berbagai macam produk. Banyak pangan yang diformulasi tergantung pada keberadaan susu bubuk skim (Early 1998). Susu skim low heat umumnya dipakai pada waktu standarisasi pembuatan keju dan juga pembuatan starter keju. Susu bubuk skim medium-heat yang paling banyak diproduksi dan dihasilkan dengan perlakuan pra-pemanasan yang lebih besar dibandingkan pada susu skim low heat. Susu skim medium-heat dipakai sebagai ingridien pada pembuatan permen coklat, produk permen lainnya, es krim, sup, bermacam-macam minuman. Susu bubuk skim merupakan produk yang multi fungsional karena dapat memberikan emulsifikasi, pengikatan air (water binding), viskositas, warna dan aroma. Jenis susu bubuk skim yang lain adalah susu skim

high-heat yang umumnya dipakai untuk produksi susu evaporasi rekombinasi. (Early 1998).

Susu bubuk, baik dari susu full krim, maupun skim dapat dipakai untuk aplikasi bermacam-macam produk antara lain: rekombinasi susu, industri roti dan kue, industri coklat, makanan bayi, dan pembuatan es krim.


(32)

B. Vanila

Vanila merupakan aroma yang paling populer di dunia(IFF 2007).. Senyawa aroma berasal dari buah vanila yang disebut sebagai biji vanila yang dikeringkan. Tanaman vanila berasal dari tanaman epifit dan termasuk golongan anggrek atau dari famili Orchidaceae (Rismunadar dan Sukma 2007). Biji vanila dapat dipakai sebagai biji yang utuh maupun yang telah dihaluskan. Umumnya dipakai untuk menghasilkan ekstrak, aroma, oleoresin dan bubuk (Brandt 1996).

Lebih dari 110 species yang telah berhasil diidentifikasi, tetapi hanya jenis V. planifolia dan V. tahitensis yang diijinkan penggunannya untuk pangan. V. planifolia secara komersial lebih sering dipakai dibandingkan V. tahitensis karena sifat aromanya (IFF 2007). Madagaskar dan Indonesia merupakan penghasil terbesar vanila dari V planifolia, sedangkan V. tahitensis umumnya tumbuh di Tahiti (IFF 2007).

Species yang paling banyak dibudidayakan di Indonesia adalah Vanilla planifolia Andrews (Rismunadar dan Sukma 2007). Sistimatika vanila menurut klasifikasi botanis sbb:

Divisi : Spermatophyta

Klas : Angiospermae

Subklas : Monocotyledonae

Ordo : Orchidales

Famili : Orchidaceae

Genus : Vanilla

Species : Vanilla planifolia Andrew

Sari buah vanili (ekstrak) dapat dimanfaatkan untuk pewangi minuman, minyak wangi dan sirup. Vanili juga digunakan sebagai penyedap masakan, seperti pada es krim, kue-kue, kembang gula, agar-agar, puding dan sebagainya. Luasnya pemanfaatan vanili ini menyebabkan permintaan dan harga vanili menjadi tinggi. Hal ini menarik para ahli biokimia untuk membuat vanili tiruan yang diproses dari minyak cengkeh dan mengandung minyak eugenol. Harga dari vanili buatan ini lebih murah daripada vanili asli (Rismunadar dan Sukma 2007).

Di pasar internasional , vanili Indonesia sudah cukup lama dikenal dengan sebutan “java vanilla beans”. Hal ini disebabkan vanili Indonesia sangat digemari


(33)

para konsumen luar negeri karena terkenal memiliki kadar bahan vanillin yang cukup tinggi. Hanya sayangnya mutu vanili Indonesia masih rendah yang disebabkan umur panen yang terlalu muda yaitu umumnya berumur 4-6 bulan. Padahal buah vanili sebaiknya dipetik pada umur 8-9 bulan agar mutunya menjadi tinggi. Selain itu, untuk meningkatkan produksi vanili juga dituntut ketekunan , ketelitian dalam penanganannya serta disiplin tinggi terutama pada saat penyerbukan bunga. Hal ini disebabkan , penyerbukan bunga vanili hingga saat ini masih dilakukan oleh manusia (Suwandi dan Sudibyanto 2005).

Mutu vanili dipengaruhi oleh pascapanen. Sekitar 8-9 bulan setelah bunga, buah vanili tergolong masak. Warna buah berubah dari hijau tua mengkilat menjadi hijau muda suram. Kulit jangatnya sudah berbentuk garis-garis kecil berwarna kuning yang lambat laun menjadi besar. Saat buah sudah menunjukkan tanda-tanda tesebut merupakan waktu yang paling tepat untuk dipanen (Suwandi dan Sudibyanto 2005).

Semakin tua umur vanili maka akan semakin meningkat aktivitas enzim yang berperanan mengubah senyawa gluko-vanillin menjadi senyawa vanillin. Umur yang semakin tua akan diikuti dengan penurunan kadar abu. Hal ini disebabkan makin tua buah maka kegiatan pertumbuhan vegetatif akan makin menurun sehingga mineral-mineral penyusun abu sudah sedikit diperlukan oleh buah. Semakin muda umur petik vanili maka semakin rendah rendemennya. Bila dikaitkan dengan kadar air yang tidak berbeda nyata maka semakin muda polong vanili yang dipetik akan semakin rendah kandungan bahan padatnya. Menurut standar dari Departemen Perdagangan RI, kadar vanillin untuk kualitas satu lebih dari 2.25% dan kadar abu 8.00% (Suwandi dan Sudibyanto 2005).

Selain itu, mutu vanili juga dipengaruhi oleh proses pelayuan. Proses pelayuan yang terlalu lama akan mengakibatkan buah vanili terlalu masak direbus sehingga dapat mematikan sel-sel kulit buah bagian luar. Akibatnya kadar vanillin akan berkurang dan dapat mempengaruhi proses selanjutnya. Sebaliknya proses pelayuan yang terlalu cepat akan menyebabkan sel-sel kulit bagian luar belum mati sehingga sama halnya dengan tidak dilakukan proses pelayuan. Akibatnya proses pengeringan akan berlangsung lama dan mutu vanili akan rendah (Suwandi dan Sudibyanto 2005).


(34)

Proses pengeringan yang dilakukan bergantian dengan proses fermentasi akan meningkatkan mutu yaitu proses pengeringan pada siang hari dan proses fermentasi pada malam hari. Selain itu, mutu hasil vanili akan meningkat bila dalam rangkaian proses pengolahan buah juga dilakukan proses pengeringan lambat dan conditioning (penyimpanan) (Suwandi dan Sudibyanto 2005).

Dalam proses pengolahan buah vanili ada dua macam produk olahan yang diminati pasar yaitu vanili kering, serta oleoresin dan ekstrak vanili. Proses pengolahan buah untuk menghasilkan kedua macam produk sangat berbeda (Suwandi dan Sudibyanto 2005).

Vanili kering merupakan produk buah vanili yang paling banyak permintaannya di pasar. Cara pengeringan buah vanili berbeda-beda di masing-masing negara produsen vanili. Pengolahan buah vanili di berbagai tempat berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Menurut Suwandi dan Sudibyanto (2005), pada dasarnya semua proses pengolahan buah vanili basah menjadi vanili kering memiliki landasan yang sama, yaitu: pelayuan, pengeringan, fermentasi, pengeringan lambat, penyimpanan, sortasi dan pengemasan.

Pelayuan (wilting treatment) bertujuan untuk mematikan sel-sel hidup atau menghentikan pertumbuhan vegetatif dan merupakan tahap awal untuk aktivitas enzim. Cara pelayuan yang umum dilakukan di Indonesia adalah dengan mencelupkan buah ke dalam air panas. Biasanya suhu air panas yang digunakan dan lama pencelupan tidak sama untuk ukuran buah tertentu. Untuk vanili berukuran sedang (panjang 15-18 cm), pelayuan dapat dilakukan dalam air bersuhu 65°C selama 2 menit dan yang besar (panjang 18-22 cm) selama 2.5 menit. Dalam pelayuan juga dapat digunakan pemanas oven bersuhu 45°-50°C atau pemanasan dengan air hampir mendidih (95°C) selama 20 detik. Buah yang dianggap sudah layu biasanya tidak akan pecah atau putus bila dibengkokkan (Suwandi dan Sudibyanto 2005).

Fermentasi yang sering disebut pemeraman bertujuan untuk memberikan kesempatan terjadinya proses enzimatis pada buah vanili untuk mendapatkan komponen aroma yang diinginkan. Pada proses fermentasi ini terjadi perubahan secara biokimia yang dapat menimbulkan aroma khas vanila, terjadi reaksi enzimatik, serta perubahan glukovanillin menjadi glukosa dan vanillin sehingga


(35)

timbul aroma khas vanili. Proses pemeraman ini biasanya dilakukan silih berganti dengan proses pengeringan (Suwandi dan Sudibyanto 2005).

Pengeringan tidak bertujuan untuk mengurangi air sampai sesedikit mungkin, tetapi untuk mengurangi air hanya sampai batas tertentu. Proses ini dilakukan secara perlahan hingga kadar airnya mencapai tingkat yang diharapkan. Vanili yang terlalu kering akan mudah patah. Proses pengeringan dilakukan berselang-seling dengan fermentasi selama 5-7 hari. Pengeringan dapat dilakukan dengan sinar matahari atau alat pengering (Suwandi dan Sudibyanto 2005).

Pengeringan lambat yang sering disebut pengering-anginan bertujuan untuk menurunkan kadar air vanili secara perlahan-lahan. Caranya dengan menyusun buah vanili di rak dan disimpan pada ruangan berventilasi. Selama tahap pengering-anginan, buah vanili harus terus dikontrol terhadap serangan jamur. Pengering-anginan selesai bila kadar airnya mencapai 35% dalam waktu 30-45 hari , tergantung ukuran buah dan kelembaban udara di sekitarnya. Waktu pengering-anginan ini dapat diperpendek dengan cara mengkombinasikan antara pengering-anginan dengan pengeringan dalam oven (50ºC selama 3 jam) setiap harinya. Buah yang dianggap cukup kering ditandai dengan kondisi buah yang tetap utuh, tidak pecah atau putus saat buah dililitkan pada jari tangan (Suwandi dan Sudibyanto 2005).

Proses penyimpanan bertujuan untuk menyempurnakan aroma vanili setelah dikeringkan. Proses penyimpanan dilakukan dengan cara mengikat buah vanili dan menyimpan dalam peti. Peti disimpan dalam ruangan bersuhu 45°C selama 2-3 bulan. Dengan tahap ini akan timbul aroma yang diharapkan sehingga mutu vanili meningkat. Selain vanillin, komponen lain yang ikut beperanan dalam pembentukan atoma vanili di antaranya vanillin acid, p-hidroxy benzoid, dan p-coumaric acid (Suwandi dan Sudibyanto 2005).

Sortasi dan pengepakan dilakukan untuk keperluan pemasaran. Buah vanili yang sudah disortasi dibungkus dalam kertas minyak serta disimpan dalam kaleng yang bersih dan tertutup rapat (Suwandi dan Sudibyanto 2005).

Vanili kering yang dihasilkan dapat dilanjutkan untuk proses selanjutnya yaitu mengolah menjadi oleoresin vanili. Oleoresin vanili diolah dengan cara mengekstrasi buah vanili dengan pelarut organik. Ada banyak faktor yang dapat


(36)

mempengaruhi proses ekstrasi oleoresin dan salah satunya adalah suhu. Suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan terjadinya penguapan pelarut dan sebagian senyawa organik dalam bahan menjadi rusak. Akibatnya, aroma oleoresin yang dihasilkan berkurang. Selain itu, vanili yang berasal dari tempat yang berbeda akan menghasilkan oleoresin dengan rendemen dan kandungan vanillin yang berbeda. Mutu oleoresin vanili dipengaruhi oleh mutu bahan baku yang digunakan, konsentrasi alkohol, cara ekstraksi, suhu ekstraksi dan lama ekstraksi. Keunggulan oleoresin adalah bebas dari kontaminasi mikroorganisme, mempunyai tingkat flavor yang lebih kuat dibandingkan bahan aslinya, lebih mudah melakukan proses pencampuran dalam pengolahan untuk pembuatan makanan, dan tidak membutuhkan tempat yang besar untuk pengemasan dan pengangkutan (Suwandi dan Sudibyanto 2005).

Vanili asli mempunyai wangi yang khas. Aroma vanili ini dibentuk melalui proses fermentasi. Aktivitas ensim di dalam buah akan mengubah zat glukosida (yang terpenting adalah zat glukovanilin) menjadi zat vanillin. Selain vanillin dihasilkan pula beberapa zat sebagai hasil sampingan, seperti asam benzoat, asam vanillin, alkohol dan sebagainya. Zat-zat hasil sampingan ini menambah aroma khas vanillin yang tidak ditemukan pada vanillin sintetis (Rismunadar dan Sukma 2007).

Kadar vanillin dari buah vanili di seluruh dunia berkisar antara 1.5-2.9%. Kadar vanillin dari buah vanili di beberapa daerah produksi adalah: vanili dari Meksiko 1.69-1.88%, vanili dari Madagaskar (Bourbon vanilli) 1.91-2.9%, vanili dari Ceylon 1.48%, vanili dari Tahiti 1.5-2.02%, dan vanili Jawa 2.75%. Pusat penelitian vanili di Antalaha (Madagaskar) telah menghasilkan buah vanili dengan kadar vanillin 4.11% apabila dikeringkan dengan menggunakan sinar matahari dan 4.47% bila menggunakan udara panas (Rismunadar dan Sukma 2007).

Aroma vanila ini diperoleh dalam waktu yang lama melalui proses yang disebut curing (IFF 2007). Pada proses curing, glukovanillin yang merupakan prekursor vanillin terbentuk selama proses pematangan buah vanila dan secara enzimatik diubah menjadi glukosa dan vanillin. Makin lama proses pematangan biji maka makin meningkat konsentrat vanillin dan senyawa aroma lain terbentuk. Makin tinggi kadar vaniilin maka kualitas biji makin meningkat. Orang Mexico


(37)

mengembangkan proses curing sekitar 5 hingga 6 bulan. Prosesnya disebut

Boubon yang berasal dari pulau Reunion yang dimodifikasi oleh Perancis. Metode ini hanya membutuhkan waktu 4 hingga 6 bulan, dan sekarang telah diterapkan di Madagaskar, Comoros dan Reunion. Sedangkan di Indonesia umumnya biji dipetik sebelum matang untuk menghindari pencurian. Sekarang Indonesia mulai mengikuti cara menanam dan curing Bourbon untuk meningkatkan kualitas biji vanila (Brandt 1996).

Vanila merupakan satu-satunya aroma yang mempunyai standar identitas yang ditetapkan oleh US FDA, yaitu: Code of Federal Regulation (21 CFR 169) yang menyatakan bahwa disebut sebagai ekstrak vanila bila mengandung minimum 13.35 ons biji vanila dalam satu galon campuran air dan alkohol dan tidak kurang dari 35% etil alkohol. Bila kurang dari 35% diberi label sebagai aroma vanila. Ekstrak vanila dibuat dengan cara menghancurkan biji vanila, diekstrasi dengan campuran air dan alkohol dan dipisahkan residu dari cairan. Kualitas dari ekstrak vanila dipengaruhi oleh waktu ekstraksi dan suhu. Ekstrak vanila buatan dibuat dari aroma yang alami dan aroma buatan termasuk vanillin (Brandt 1996). Vanila powder biasanya dibuat dari konsentrat ekstrak vanila yang dicampur dengan ingredien lain seperti tepung atau gula. Vanila flavor biasanya tidak mengandung alkohol. Umumnya gliserin, minyak sayur atau propilen glikol dipakai untuk aroma vanila (Frontier 2007).

Vanillin merupakan satu-satunya tiruan aroma yang dapat dibuat dari lebih dari 250 komponen yang memberikan profil aroma vanila. Vanillin alami dalam biji vanila hanya 2% berat. USP vanillin merupakan tiruan vanila yang lebih murah dan dibuat dari sintesa guaiacol yang merupakan turunan dari batu bara, atau dari lignin yang merupakan produk sampingan dari industri kertas. Kedua sumber vanila tersebut yang mempunyai profil aroma serupa. Vanillin sintetik di Amerika disebut ”buatan atau tiruan”, tapi di Eropa disebut sebagai ”identik alami

(nature-identical)” karena secara kimia identik dengan senyawa alami (Brandt 1996).

Ethyl vanillin merupakan bahan kimia sintetik atau buatan yang rasanya sama dengan vanillin dengan 2.5 kali lebih kuat. Oleh karena itu sering dipakai sebagai tiruan vanili (Brandt 1996).


(38)

Umumnya vanila dipakai pada produk pangan seperti produk dairy, minuman, produk yang dipanggang dan permen. Jenis vanila yang dipakai tergantung pada produk, ingredien dalam formulasi, dan profil aroma yang diinginkan (Brandt 1996).

C. Gula

Gula yang dipakai dalam pangan seringkali dihubungkan dengan bentuk gula yang ada di rumah. Sebenarnya ada berbagai macam jenis gula dan para ahli biasanya menggolongkan berdasarkan struktur kimianya. Gula biasanya terdapat secara alami pada berbagai jenis buah, sayuran dan produk susu. Gula juga dapat diproduksi secara komersil dan sengaja ditambahkan ke dalam pangan untuk meningkatkan kemanisannya dan juga memberikan tambahan fungsi tehnis seperti memberikan perbaikan struktur dan tekstur pangan, meningkatkan kemanisan dan aroma, mengontrol kristalisasi, memberikan media pertumbuhan pada khamir pada pangan yang dipanggang dan mencegah kerusakan (Anonim 2006).

Gula dapat berasal dari berbagai macam bentuk dan umumnya memberikan empat kalori per gram. Gula sederhana disebut monosakarida, tersusun dari molekul gula tunggal. Contoh: glukosa, fruktosa dan galaktosa. Bila dua gula sederhana bergabung menjadi satu dengan ikatan kimia, disebut disakarida. Contoh disakarida yang paling umum adalah sukrosa yang terdiri dari glukosa dan fruktosa. Semua karbohidrat yang tersusun dari lebih dari dua gula sederhana disebut polisakarida dan sebagai contohnya: pati dan serat. (Anonim 2006).

Gula yang umum ditemukan pada pangan adalah :

1. Sirup jagung , terbuat dari jagung dan tersusun terutama dari glukosa

2. Fruktosa, merupakan gula sederhana yang ditemukan pada buah-buahan,

madu dan akar sayuran. Digunakan sebagai pemanis yang berkalori dan ditambahkan pada pangan dan minuman dalam bentuk kristal fruktosa yang berasal dari pati jagung. Fruktosa menyusun setengah bagian dari gula pada sukrosa dan sirup fruktosa dengan konsentrasi tinggi (high fructose corn syrup). Fruktosa tidak memberikan respon glikemik sehingga seringkali dipakai sebagai pemanis untuk pangan bagi penderita diabetes.


(39)

4. Glukosa, merupakan sumber energi utama bagi tubuh dan merupakan gula yang diproduksi pada waktu karbohidrat dicerna atau dimetabolisme. Glukosa sering kali disebut sebagai dekstrosa. Pati merupakan rangkaian yang panjang dari glukosa. Glukosa menyusun setengah bagian gula yang ada di dalam sukrosa dan hampir setengah bagian gula di dalam sirup fruktosa dengan konsentrasi yang tinggi.

5. Sirup fruktosa dengan konsentrasi tinggi (high fructose corn syrup),

merupakan campuran dari glukosa dan fruktosa yang diproduksi dari jagung. Umumnya kandungan sirup fruktosa dengan konsentrasi tinggi terdiri dari campuran 55% fruktosa dan 45% glukosa.

6. Laktosa merupakan gula yang alami ditemukan di dalam susu, terdiri dari satu unit galaktosa dan satu unit glukosa. Seringkali disebut sebagai gula susu. 7. Maltosa merupakan disakarida yang terdiri dari dua unit glukosa . Ditemukan

pada molasis dan sering dipakai untuk fermentasi

8. Sukrosa yang seringkali disebut sebagai gula meja, terdiri dari satu unit glukosa dan satu unit fruktosa yang terikat jadi satu.

D. Pemanis

1. Teori kemanisan

Kemanisan merupakan sensasi rasa yang paling penting pada manusia. Senyawa manis secara umum memberikan respon yang positif pada manusia dan repson ini dijumpai pula pada bayi yang baru dilahirkan. Sangat jarang dijumpai kebiasaan makan yang tidak melibatkan rasa manis. Pentingnya rasa manis direfleksikan dengan adanya kenaikan produksi gula dunia dari delapan juta ton pada tahun 1900 menjadi 70 juta ton pada tahun 1970. Tidak ada satupun produk komoditi yang menunjukkan tingkat kenaikan produksi yang serupa pada periode yang sama (Salminen dan Hallikainen 2002).

Sukrosa dikonsumsi tidak hanya karena kemanisannya, tetapi juga memberikan fungsi fungsional yang lain di dalam pangan yaitu sebagai bulking agent, modifier tekstur, mouth-feel modifier dan juga sebagai pengawet. Sukrosa juga merupakan sumber energi pada produk pangan fermentasi (Salminen dan Hallikainen 2002).


(40)

Hingga saat ini sangat sedikit pengetahuan tentang dasar mekanisme rasa manis. Banyak usaha telah dilakukan untuk mengembangkan teori tentang kemanisan. Banyak peneliti menyatakan bahwa dasar stereo kimia dari kemanisan dapat dibuktikan dengan memakai bantuan model gula sederhana dan turunan

deoxy (Birch 1990, diacu dalam Salminen dan Hallikainen 2002). Hipotesis awal oleh Schallenberger (1960), dan Shallenberger dan Acree (1967) menyatakan bahwa ikatan hidrogen kemungkinan memberikan rasa manis pada gula. Teori ini menjelaskan bahwa stereo kimia yang berpengaruh memberikan kualitas rasa manis (Schallenger 1973, diacu dalam Salminen dan Hallikainen 2002). Namun, hingga sekarang penelitian yang kompleks pada berbagai aspek kemanisan masih belum dapat menjawab pertanyaan mengenai penerimaan kemanisan seluruhnya, tetapi diduga ada pengaruh genetik (Davenport 2001, diacu dalam Salminen dan Hallikainen 2002).

Menurut Cahyadi (2006) konsep adanya empat rasa pokok (manis, asin, pahit, dan asam) sebenarnya hanya penyederhanaan supaya praktis. Rangsangan diterima oleh otak karena rangsangan elektrik yang diteruskan dari sel perasa sebetulnya sangat kompleks. Rasa asin terutama disebabkan oleh rangsangan ion-ion positif (kation-ion) bahan kimia, sedangkan rasa asam oleh ion-ion-ion-ion negatif (anion-ion) bahan kimia pada reseptor rasa. Tetapi tidak ada kelompok bahan kimia tertentu yang menyebabkan rasa manis meskipun telah diketahui bahwa struktur molekul sederhana kelompok senyawa-senyawa gula yang terbentuk tertutup sangat merangsang rasa manis. Sakarin yang struktur kimianya sangat berlainan dengan gula ternyata tidak dapat dibedakan rasa manisnya. Sampai saat ini mekanisme respon rasa manis belum diketahui dengan baik. Perubahan struktur molekul sedikit saja dapat menghasilkan senyawa baru dengan rasa yang berbeda (Cahyadi 2006).

Menurut Cahyadi (2006), faktor-faktor yang perlu diperhatikan untuk mengetahui hubungan struktur kimia bahan pemanis dengan rasa manis adalah: a. Mutu rasa manis

Faktor ini sangat bergantung pada sifat kimia bahan pemanis dan kemurniannya. Dari uji sensoris menunjukkan tingkat mutu rasa manis yang berbeda antara bahan pemanis satu dengan yang lainnya. Bahan alami yang


(41)

mendekati rasa manis, kelompok gula yang banyak dipakai sebagai dasar pembuatan bahan pemanis sintetis adalah asam-asam amino. Salah satu dipeptida seperti aspartam memiliki rasa manis dengan mutu serupa dengan kelompok gula dan tidak memiliki rasa ikutan. Sedangkan pada sakarin dan siklamat menimbulkan rasa ikutan pahit yang semakin terasa dengan bertambahnya bahan pemanis.

b. Intensitas rasa manis

Intensitas rasa manis menunjukkan kekuatan atau tingkat kadar

kemanisan suatu bahan pemanis. Intensitas rasa manis berkaitan dengan nilai relatif rasa manis yang sama maupun yang berbeda antara masing-masing bahan pemanis. Masing-masing pemanis berbeda kemampuannya untuk merangsang indera perasa. Kekuatan rasa manis yang ditimbulkan oleh bahan pemanis dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya adalah suhu dan mediumnya (cair atau padat). Nilai intensitas rasa manis biasanya diukur dengan membandingkannya dengan kemanisan sukrosa 10%. Sebagai contoh pemanis aspartam mempunyai kemanisan relatif sebesar 250 kali dibandingkan dengan kemanisan relatif sukrosa sebesar satu.

Penentuan intensitas kemanisan mengalami kesulitan karena kenaikan tidak selalu proporsional dengan kenaikan rasa manis yang ditimbulkan oleh bahan pemanis dan lain-lain. Sebagai contoh pada sukrosa jika dinaikkan dua kali, kemanisannya meningkat lebih dari dua kalinya. Sedangkan sakarin, kenaikan dua kalinya ternyata kenaikan rasa manisnya tidak sampai dua kali dibandingkan pada awalnya.

c. Kenikmatan rasa manis

Bahan pemanis ditambahkan dengan tujuan untuk memperbaiki rasa dan aroma bahan pangan sehingga rasa manis yang timbul dapat meningkatkan kelezatan, tetapi pemanis yang berlebihan akan terasa tidak enak. Setiap jenis pemanis memiliki nilai toleransi yang berbeda antara kelompok masyarakat bahkan antar individu.


(42)

Salminen dan Hallikainen (2002) menyatakan bahwa peningkatan rasa manis dapat diperoleh dengan mencampurkan pemanis alami dan pemanis sintetik menarik dari segi ekonomi dan nutrisi. Purna rasa (aftertaste) yang tidak enak pada banyak pemanis buatan atau pemanis nonnutritifjuga telah distimulasidalam pengembangan campuran pemanis buatan untuk mengurangi purna rasa ini. Sinergi antar pemanis dan faktor yang mempengaruhinya telah direview oleh Hyvonen (1980).

2. Pengganti Gula Dalam Pangan

Gula bagi nutrisionis dan banyak konsumen merupakan pangan yang tidak memuaskan. Hal ini dibandingkan dengan banyak pangan lain dari nilai nutrisinya. Umumnya dipandang merugikan dan memberikan efek buruk terhadap karies gigi kita dan dihubungkan pada berbagai penyakit. Nutrisionis kuatir adanya penurunan nilai gizi dengan mengkonsumsi pangan yang mengandung gula refinasi tinggi (Salminen dan Hallikainen 2002).

Dengan alasan nutrisi dan kesehatan maka berkembang keinginan konsumen terutama di negara barat untuk memakai pemanis lain sebagai pengganti sukrosa. Konsumer menginginkan pengontrolan energi yang masuk untuk menghindari obesitas dengan cara mengurangi konsumsi lemak dan gula. Menurut Hyvonen (1980) alasan utama perubahan pemakaian pemanis sekarang ini terutama karena orang-orang menginginkan pengurangan energi yang masuk selain itu juga untuk mengatasi masalah metabolisme karbohidrat dan karies gigi (Salminen dan Hallikainen 2002).

Pemanis buatan adalah bahan tambahan pangan yang dapat menyebabkan terutama rasa manis pada prroduk pangan yang tidak atau sedikit mempunyai nilai gizi atau energi (BSN 2004). Ditinjau dari sumbernya, bahan pemanis dapat dibedakan atas pemanis alami dan pemanis sintetik. Ditinjau dari sumbangan energinya, pemanis dapat dibedakan atas pemanis berenergi (nutritive sweeteners),

dan pemanis tanpa energi (non-nutritive sweeteners). Selain itu, juga berbeda jumlah pemanis yang dibutuhkan (Salminen dan Hallikainen 2002).

Pemakaian pemanis buatan memberikan berbagai masalah pada pengolahan pangan karena adanya perbedaan antara pemanis buatan dan pemanis karbohidrat.


(43)

Pemanis tanpa energi biasanya bukan berasal dari karbohidrat dan mempunyai sifat kimia dan fisik yang berbeda. Seringkali pemanis tanpa energi memberikan aroma tertentu yang berbeda dengan pemanis buatan dan jauh lebih manis dibandingkan dengan pemanis yang berasal dari karbohidrat. Sifat ini akan mempengaruhi biaya produksi pangan karena diharapkan produk pangan yang dihasilkan dapat diterima seperti pada pemakaian pemanis dari karbohidrat (Salminen dan Hallikainen 2002).

Keraguan akan keamanan pemanis tanpa energi menyebabkan perkembangan pengganti sukrosa yang berkalori sebagai pemanis pada pangan, Pemanis nonnutritif meliputi cakupan dari produk alami dan bahan kimia sisntetik, sedangkan pemanis berkalori atau pengganti sukrosa umumnya karbohidrat atau turunan dari karbohidrat (Salminen dan Hallikainen 2002).

Yang termasuk ke dalam pemanis berenergi tinggi adalah: sukrosa, fruktosa, glukosa, dekstrosa, gula jagung, madu, laktosa, maltosa, berbagai jenis sirop, dan gula inert. Contoh pemanis yang termasuk ke dalam pemanis dengan energi rendah adalah poliol, seperti: sorbitol, mannitol, silitol, isomalt, laktitol, dan maltitol. Yang termasuk pemanis tanpa energi adalah sakarin, aspartam, asesulfam-K, dan sukralosa (Astawan 2006).

D. Sukralosa

1. Deskripsi Sukralosa

Sukralosa merupakan senyawa berbentuk kristal, berwarna putih, tidak higroskopis, tidak berbau, mudah larut dalam air, metanol, dan alkohol, sedikit larut dalam etil asetat, tidak mempengaruhi pH larutan, serta berasa manis dengan kemanisan relatif sebesar 600 kali tingkat kemanisan gula tanpa nilai kalori, dan tidak memberikan purna rasa yang tidak diinginkan (Goldsmith dan Merkel 2001; BPOM 2004).

Sukralosa ditemukan pada tahun 1976 oleh Hough dan temannya pada waktu melakukan penelitian di Queen Elizabeth College pada University of London yang didukung oleh Tate & Lyle yang merupakan pelopor industri gula (Goldsmith dan Merkel 2001).


(44)

Sukralosa adalah triklorodisakarida yaitu 1,6-Dichloro-1,6-dideoxy-β- D-fructofuranosyl-4-chloro-4-deoxy-α-D-galactopyranoside atau 1',4,6'-Trichlorogalactosucrose Trichlorosucrose dengan rumus kimia C12H19Cl3O8

seperti ditunjukkan pada Gambar 1.

Sumber: McNeil 2006

Gambar 1 Struktur kimia sukrosa dan sukralosa.

Sukralosa dihasilkan melalui berbagai proses yang telah dipatenkan dimana 3 molekul hidroksil pada sukrosa diganti dengan 3 atom klorin. Karena ketiga atom klorin terikat erat maka bersifat stabil dan mencegah metabolisme molekul sukralosa yang dapat menghasilkan energi (CCC 2006). Akibatnya sukralosa tidak meningkatkan glukosa darah maupun tingkat serum insulin. Atom klorin ini juga yang memberikan stabilitas terhadap panas, sehingga sukralosa tahan terhadap pemasakan dan pemanggangan tanpa kehilangan kemanisannya (Goldsmith dan Merkel 2001).

Sukralosa memiliki banyak keunggulan yaitu rasanya manis seperti gula serta tidak meninggalkan purna rasa, membantu mengontrol masuknya kalori, dapat dikonsumsi oleh penderita diabetes, tidak menyebabkan kerusakan gigi, sangat stabil terhadap panas, masa kadaluarsa panjang, dan merupakan ingredien yang kompatibel (CCC 2006). Kemanisannya tidak bereaksi dengan komponen atau ingredien pangan lain, dan juga kelarutannya dalam air sangat baik (Salminen dan Hallikainen 2002).

Sukralosa dapat dipakai untuk menciptakan berbagai kategori baru pangan dan minuman seperti kue kering yang dengan rendah kalori, es krim, bahan pengisi untuk pastel. Tersedianya sukralosa memberikan kesempatan pada pengembangan berbagai produk baru dengan rasa yang lebih enak, stabilitas


(45)

meningkat, biaya produksi berkurang dan memberikan banyak pilihan pada konsumen (CCC 2006b)

Sukralosa cocok dipakai untuk semua jenis produk mulai dari minuman berkarbonat hingga pangan yang dipanggang. Rasanya menyerupai gula dan bersifat sangat stabil. Sukralosa tetap mempertahankan kemanisannya meskipun dipanaskan pada suhu tinggi seperti pada proses pasteurisasi, sterilisasi, UHT, maupun pemanggangan. Selain itu, sukaralosa juga tetap stabil pada periode penyimpangan meskipun pada suhu rendah (Anonim 2001).

2. Karakteristik Sifat Sensori Sukralosa a. Intensitas kemanisan

Sukrosa dipakai sebagai referensi dalam membuat grafik garis

kemanisan. Faktor kemanisan dinyatakan dalam sumbu Y yang

menunjukkan berapa kali tingkat kemanisan suatu pemanis dibandingkan terhadap kemanisan sukrosa (Goldsmith dan Merkel 2001).

Sumber: Goldsmith dan Merkel 2001

Gambar 2 Perbandingan intensitas kemanisan.

Gambar 2 memperlihatkan bahwa kemanisan sukralosa tertinggi dibandingkan dengan kemanisan pemanis lain. Kemanisan sukralosa menunjukkan hampir 750 kali dibandingkan dengan sukrosa pada konsentrasi larutan sukrosa 2%. Pada konsentrasi larutan sukrosa 9%,


(46)

sukralosa menunjukkan kemanisan 500 kali terhadap sukrosa. Sebagai panduan standard, sukralosa dianggap mempunyai kemanisan lebih dari 600 kali terhadap sukrosa. Oleh karena sangat tinggi kemanisannya maka hanya dibutuhkan sukralosa dalam jumlah kecil bila ingin memperoleh kemanisan yang setara dengan sukrosa (Goldsmith dan Merkel 2001).

Tingkat kemanisan sukralosa dipengaruhi oleh pH, suhu, dan viskositas dari pangan maupun minuman yang akan ditambahkan sukralosa. Sebagai contoh: hanya dibutuhkan 20 mg sukralosa per liter untuk mendapatkan kemanisan setara dengan 2% larutan sukrosa. Tetapi pada tingkat kemanisan setara sukrosa 5% pada secangkir kopi manis, ternyata membutuhkan 83 mg sukralosa per liter (Goldsmith dan Merkel 2001).

Tingkat kemanisan yang kita rasakan tergantung pada seberapa baiknya reseptor di lidah kita bereaksi dengan molekul pangan. Makin kuat interaksinya maka kita akan merasakan rasa lebih manis. Rasa manis paling banyak dideteksi oleh kuncup cecapan yang ada di ujung lidah. (Winarno 1984 dan Obringer 2007).

b. Kualitas yang bersifat sementara (temporal qualities)

Profil kemanisan yang bersifat sementara ini meliputi faktor :

timbulnya rasa manis, waktu untuk mencapai intensitas dan kecepatan hilangnya rasa manis. Tabel 3 memperlihatkan bahwa waktu untuk mencapai intensitas kemanisan yang maksimum antara sukrosa dengan pemanis buatan hampir sama. Kecepatan penurunan rasa manis pada sukrosa terlihat berbeda dibandingkan pemanis buatan, termasuk sukralosa (Goldsmith dan Merkel. 2001).


(47)

Tabel 3 Perbandingan karakteristik kemanisan sementara

Intensitas maksimum (skala 0 -12)

Waktu untuk mencapai kemanisan maksimum (detik)

Lamanya rasa manis (detik)

Sukrosa 7.6 4.1 66.1 Sukralosa 7.8 5.0 75.4 Aspartam 7.5 6.2 76.7

Sakarin 7.5 3.1 77.2

Asesulfam-K 7.5 4.9 77.4

Sumber: Goldsmith dan Merkel. 2001

c. Profil rasa

Sukralosa telah banyak dipakai untuk produk pangan di dunia mulai dari sediaan pemanis buatan (tabletop) sebagai pengganti gula hingga untuk campuran produk. Hal ini disebabkan profil rasa sukralosa menyerupai gula, seperti ditunjukkan pada Gambar 3 (Anonim 2007).

Sumber: Anonim 2007

Gambar 3 Profil perbandingan sensori sukralosa dan gula.

3. Penyerapan, Peredaran, Metabolisme, dan Pengeluaran Sukralosa

Sebagian besar (kira-kira 85%) sukralosa yang dikonsumsi tidak diserap dan langsung dikeluarkan oleh tubuh melalui saluran pencernaan tanpa perubahan. Sukralosa yang terserap dalam jumlah kecil sekali akan dibuang melalui urin tanpa perubahan (McNeil 2006).


(48)

4. Kajian Keamanan dan Regulasi Sukralosa

Lebih dari 100 penelitian telah dilakukan selama waktu lebih dari 20 tahun untuk mengevaluasi keamanan sukralosa untuk konsumsi manusia. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa konsumsi sukralosa atau hasil hidrolisa sukralosa dapat menyebabkan akibat yang tidak diinginkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sukralosa tidak menyebabkan kerusakan gigi, kanker, perubahan genetik, dan cacat lahir. Selain itu, sukralosa juga tidak mempengaruhi metabolisme karbohidrat, pengaturan kadar glukosa darah dan pengeluaran insulin, reproduksi pria dan wanita, maupun sistim kekebalan tubuh. (Goldsmith dan Merkel 2001; CCC 2006).

Sukralose telah disetujui pemakaiannya oleh lebih dari 80 negara dan juga

oleh badan pengatur international seperti FDA (US Food and Drug

Administration), JECFA (Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives), European Commission’s Scientific Committee on Food, Health Canada dan Food Standards Australia/ New Zealand (CCC 2006). Sukralosa termasuk dalam golongan GRAS, sehingga aman dikonsumsi wanita hamil dan menyusui serta anak-anak segala usia (BPOM 2004).

Pada bulan Juni 1990, JECFA menyatakan ADI (Acceptable Daily Intake)

untuk sukralosa 15 mg/kg berat badan/hari. Pada bulan April 1998, US FDA menyatakan persetujuannya sukralosa sebagai bahan tambahan yang baru dan pada bulan Agustus 1999, FDA menyetujui sukralosa sebagai pemanis untuk semua penggunaan. ADI menurut FDA adalah 16 mg/kg berat badan/hari. Menurut SNI (2004) dan Badan POM (2004), ADI untuk sukralosa 0-15 mg/kg berat badan. CAC mengatur maksimum penggunaan sukralosa pada berbagai produk pangan berkisar 120 sampai dengan 5000 mg/kg produk (Goldsmith dan Merkel 2001; BPOM 2004).

Sukralosa pertama kali disetujui di Canada pada tanggal 5 September 1991. FDA juga menyetujui pemakaian sukralosa untuk 15 kategori pangan dan minuman pada tanggal 1 April 1998 dan kemudian pada tahun 1999 meralat menjadi pemanis yang diperbolehkan dipakai secara umum (CCC 2006a).

5. Stabilitas Masa Simpan Sukralosa


(49)

diberi penambahan sukralosa tetap kemanisannya sepanjang masa simpan.

Sukralosa paling stabil pada pH 5-6 dan kestabilannya mulai meningkat dari pH 1 hingga 5.5. Sukralosa menunjukkan stabilitas masa simpan yang sama baiknya baik pada pH netral maupun pH asam (Anonim 2001).

Gambar 4 menunjukkan tingkat hidrolisis sukralosa selama penyimpanan pada suhu 20 ºC dengan berbagai pH dan menunjukkan stabilitas sukralosa pada kondisi asam. Pada pH 3 terlihat bahwa kurang dari 0.5% sukralosa hilang tetapi tidak terjadi perubahan yang signifikan pada pH 4, 6, dan 7 (Anonim 2001).

Sumber: Anonim 2001

Gambar 4 Stabilitas masa simpan sukralosa.

E. Konsentrat Protein Whey

Whey awal mulanya dikenal sebagai produk samping. Whey digunakan untuk produksi laktosa tetapi terutama digunakan untuk pakan ternak dan sejumlah kecil dibuang ke tempat pembuangan limbah. Karena whey mengandung nilai gizi yang tinggi maka whey mulai dipakai agar dapat memberikan nilai ekonomis. Pemakaian whey memberikan banyak keuntungan, antara lain: pemanfaatan yang lengkap dari susu, menghasilkan komponen susu dengan kualitas yang tinggi dengan aplikasi yang luas dan pengurangan beban air limbah karena BOD dari whey 30-60.000 mg O2 per liter air limbah (Speer 1998).


(50)

Ada berbagai jenis whey. Whey merupakan produk sampingan dari proses produksi keju dan kasein, yang dikenal sebagai whey manis (sweet whey) dan mempunyai pH antara 5.9 - 6.6. Sedangkan whey yang dihasilkan dengan proses pengendapan asam dan mineral adalah whey asam (acid whey) dengan pH antara 4.3 – 4.6 (Bylund et al. 2003). Whey manis dengan titratable acidity 0.1-0.2%, pH 5.8-6.6, berasal dari koagulasi rennet keju seperti cheddar dan pabrik kasein rennet. Sedangkan whey asam dengan titratable acidity 0.4%, berasal dari keju asam yang segar dan dari pabrik kasein asam. Di antara kedua jenis, terdapat

medium-acid whey dengan titratable acidity 0.2-0.4%, pH 5.0-5.8, dan berasal dari keju yang asam dan segar seprti Ricotta dan keju cottage (Varman dan Sutherland 1994)

Diagram alir produksi protein whey diperlihatkan pada Gambar 5.

Sumber : Fonterra 2007


(51)

Whey merupakan produk yang mudah dicerna dan diserap oleh tubuh. Whey mengandung sekitar 50% dari nutrisi susu yaitu protein yang larut, laktosa, vitamin dan mineral. Mengingat kandungan gizinya yang tinggi, maka dikembangkan berbagai tehnik proses produksi sehingga dihasilkan produk whey dengan kualitas yang tinggi (Bylund et al. 2003).

Salah satu konsentrat protein whey yang diproduksi oleh Fonterra adalah konsentrat protein whey 322 (WPC 322), atau dikenal juga dengan nama AlacenTM 322.

Diagram alir proses produksi konsentrat protein whey atau isolat seperti diperlihatkan pada pada Gambar 6.

Sumber : Fonterra 2007


(1)

(2)

Kupersembahkan karya tulis ini untuk

mengenang ayahanda tercinta :

TJOA TJHENG HAY

Untuk keluargaku tercinta

Ibunda

HANNY,

Pendamping hidup

RUDI &

Anak

FENISSA

dan

RICHARD


(3)

PRAKATA

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Pengasih atas segala berkat dan kasih-Nya pada penulis sehingga tugas akhir ini berhasil diselesaikan.

Pada kesempatan in penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1 Prof.Dr.Ir.Deddy Muchtadi,MS dan Prof.Dr.Ir.Made Astawan,MS yang telah berkenan meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan saran dan perhatian kepada penulis hingga tugas akhir dapat terselesaikan.

2. Trevor Clark selaku pimpinan penulis yang selalu memberikan dukungan dan PT Fonterra Brands Indonesia yang menyediakan bahan baku penelitian ini. 3 Ir.Budi Nurtama,M.Agr yang telah membantu dalam metode analisis data. 4 Ruci dan Rina yang telah membantu dalam analisis sampel, juga Haryadi dan

Kunto yang telah mendukung dalam penyusunan tugas akhir ini.

5 Mama, suami, adik-adik dan anak-anak tersayang atas segala doa, dorongan semangat dan kasih sayangnya.

6 Rekan-rekan dan pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebut satu per satu yang telah membantu dalam penyusunan tugas akhir ini.

Penulis menerima segala saran dan kritik membangun. Semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat.

Jakarta, 20 Agustus 2007


(4)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Semarang pada tanggal 12 Desember 1960 dari ayah Tjoa Tjheng Hay (alm) dan ibu Hanny Purnawati Purnama. Pendidikan sarjana ditempuh pada Program Studi Biologi, Bidang Studi Mikrobiologi, Fakultas Biologi, Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga dan lulus pada tanggal 9 Nopember 1984.

Penulis meniti karier sebagai Asisten Dosen Fisiologi Tumbuhan pada tahun 1982-1983 dan Asisten Dosen Mikologi pada tahun 1983-1984 di Universitas Kristen Satya Wacana. Mulai meniti karier di industri pada tahun 1991 sebagai Supervisor Mikrobiologi dan dipromosikan pada tahun 1998 sebagai Operational Officer dan bekerja hingga tahun 1999 di PT Nutricia Indonesia Sejahtera. Pada tahun 2000 mulai bekerja di PT Pacific Indo Dairy sejak mulai dari konstruksi bangunan hingga berhasil mendapatkan Sertifikat ISO 9001:2000 dan Sertifkat

Food Safety Management System pada tahun 2004, sebagai Management Representative dan HACCP Leader. Pada tanggal 1 April 2005 hingga sekarang bekerja di PT Fonterra Brands Indonesia sebagai QA Manager dan Regional Team Audit.


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ………...… vi

DAFTAR GAMBAR ………... vii

DAFTAR LAMPIRAN ………. viii

PENDAHULUAN Latar Belakang ………... 1

Tujuan, Sasaran dan Manfaat ... 5

Tujuan ... 5

Sasaran ... 5

Manfaat ... 5

TINJAUAN PUSTAKA Susu Bubuk ... 6

Vanila ... 18

Gula ... 24

Pemanis ... 25

Teori Kemanisan ... 25

Pengganti Gula dalam Pangan ... 28

Sukralosa ... 29

Deskripsi Sukralosa ... 29

. Karakteristik Sifat Sensori Sukralosa ... 31

Intensitas kemanisan ... 31

Kualitas yang bersifat sementara (temporal qualities) ... 32

Profil rasa ... 33

Penyerapan, Peredaran, Metabolisme, dan Pengeluaran Sukralosa. 33 Kajian Keamanan dan Regulasi Sukralosa ... 34

Stabilitas Masa Simpan Sukralosa ... 34

Konsentrat Protein Whey ... 35

Maltodekstrin dan Sirup Glukosa ... 38

METODOLOGI Bahan dan Alat ... 41

Tempat Penelitian ... 41

Tahapan Penelitian ... 41

Tahap Pertama ... 41

Tahap Kedua ... 43

Metode Analisis ... 44

Analisis Harga Produk ... 45

HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Kemanisan dan Uji Hedonik Kesukaan pada Tahap Satu ... 46

Reformulasi dan Uji Hedonik Kesukaan pada Tahap Dua……… 48

Perbandingan Nilai Gizi Makro Susu Bubuk Beraroma Vanila ... 50


(6)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan ... 54

Saran ... 54

DAFTAR PUSTAKA ……….……… 55