CREUTZFELDT JACOB DISEASE ICD-9 046.1; ICD-10 A81.0

I. CREUTZFELDT JACOB DISEASE ICD-9 046.1; ICD-10 A81.0

(Jacob-Creutzfeldt Syndrome, Subacute Spongiform Encephalopathy)

1. Identifikasi

Merupakan penyakit dengan perjalanan yang sangat lambat dengan gejala klinis: bingung, dementia dan ataxia yang bervariasi, menyerang mereka yang berusia antara 16 tahun sampai 80 tahun namun hampir semua penderita berusia di atas 35 tahun. Selanjutnya akan muncul kejang mioklonik bersamaan dengan gejala syaraf lain dengan spektrum yang lebih luas. Namun penyakit ini sangat khas dimana hasil pemeriksaan laboratorium terhadap LCS menunjukkan normal dan tidak ada gejala demam.

Gambaran Electro Encephalogram (EEG) sering menunjukkan adanya gambaran yang khas berupa “high voltage complexes” yang periodik. Penyakit ini sangat progressif, Gambaran Electro Encephalogram (EEG) sering menunjukkan adanya gambaran yang khas berupa “high voltage complexes” yang periodik. Penyakit ini sangat progressif,

berjalan lambat lainnya dari ensepalopati toksik dan metabolic serta kadang-kadang tumor dan lesi-lesi lain pada otak.

Laporan dari Inggris pada dekade yang lalu dilaporkan bahwa telah terjadi ribuan kasus BSE pada binatang ternak. Perhatian terhadap ternak sapi mendorong dilakukannya penelitian besar-besaran baik penelitian epidemiologi maupun penelitian laboratorium terhadap BSE dan hubungannya dengan CJD. Hasil penelitian terakhir menunjukkan adanya CJD bentuk baru. Penyakit ini di Inggris atau di negara lain di Eropa disebutkan sebagai varian baru dari Creutzfeldt Jacob Disease (CJD) atau vCJD. Kedua penyakit ini dapat dibedakan melalui 3 hal yang sangat berbeda. Pertama vCJD terjadi pada usia 20-30 tahun. Kedua, terjadi perubahan EEG yang khas pada CJD yang tidak ditemukan pada vCJD. Ketiga, lamanya gejala klinis, vCJD berlangsung lama yaitu 12-15 bulan sedangkan CJD hanya 3-6 bulan.

Percobaan yang dilakukan pada tikus (inbred strain) yang disuntikkan dengan

homogenate otak ternak yang terkena BSE dapat menyebabkan penyakit yang sama. Hal ini tidak berarti bahwa BSE dan CJD disebabkan oleh agen yang sama. Walaupun ada kemiripan pada kedua penyakit tersebut namun perbedaan yang prinsip dapat ditemukan dari berbagai pengamatan dan penelitian epidemiologis yang dilakukan pada manusia pada saat terjadinya KLB BSE di Inggris, bahwa vCJD merupakan varian dari CJD. Akhirnya diketahui juga bahwa faktor genetik mempunyai peran penting terhadap terjadinya penyakit, karena mereka dengan “individual homozygous for methionine” pada posisi 129 dari protein prion (PrP) diketahui mempunyai risiko terserang lebih tinggi. Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan adanya perubahan periodik yang khas dari EEG. Dan diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan hispatologik dan melalui penelitian dengan menularkan binatang percobaan dengan spesimen penderita. Amyloid protein abnormal yang ditemukan dalam jaringan otaknya dan adanya pasangan protein abnormal dalam LCS merupakan verifikasi diagnosa antemortum; namun kit untuk pemeriksaan LCS tidak selalu ada.

2. Penyebab Penyakit

Telah diketahui bahwa CJD disebabkan oleh mikroorganisme yang sangat kecil dan dapat replikasi sendiri yang disebut sebagai prion. Penyakit ini dapat ditularkan kepada simpanse, monyet, marmot, tikus, hamster dan kambing.

3. Distribusi Penyakit

CJD dilaporkan terjadi hampir di seluruh dunia. Angka kematian rata-rata setiap tahun adalah 0,5 – 1/1.000.000 penduduk dengan klaster dalam keluarga ditemukan di Slovakia, Israel dan Chili. Di Amerika Serikat kelompok umur spesifik tertinggi yang diserang adalah 65-79 tahun dengan rata-rata per tahun lebih dari 5 kasus/1.000.000.

Dan pada tahun 1999 ditemukan lebih dari 40 kasus vCJD hampir semuanya dari Inggris.

4. Reservoir

Manusia merupakan satu-satunya reservoir. Belum ada data yang mengatakan bahwa infeksi CJD pada manusia berasal dari hewan walaupun ini masih merupakan hipotesa.

5. Cara Penularan

Cara penularan sebagian besar kasus belum diketahui, namun sekali lagi diduga bahwa telah terjadi dengan cara generasi spontan dari replikasi diri protein, dilaporkan ada kasus secara “iatrogenic” (timbulnya penyakit karena tindakan medis operatif). Satu kasus terjadi setelah pencangkokan kornea, 2 kasus setelah pemasangan elektroda korteks yang pernah digunakan oleh penderita CJD, dan sedikitnya sekitar 14 kasus muncul setelah pencangkokan graft durameter manusia dan lebih dari 50 kasus setelah injeksi hormon gonadotropin atau hormon pertumbuhan yang berasal dari glandula pituitaria (hipofise) manusia. Sedangkan pasien CJD lainnya dilaporkan mempunyai riwayat telah dilakukan bedah otak terhadap mereka dalam waktu 2 tahun sebelum sakit. Kemungkinan lain dimungkinkan penularan vCJD adalah karena mengkonsumsi daging sapi penderita BSE.

6. Masa Inkubasi

Masa inkubasi pada kasus sporadis tidak diketahui, tetapi pada penyakit karena Kuru kemungkinan adalah 4-20 tahun. Pada kasus “iatrogenic” dapat berlangsung antara 15 bulan sampai 30 tahun. Kasus yang terjadi karena terpajan langsung dengan jaringan otak, masa inkubasi dapat berlangsung dengan cepat yaitu kurang dari 10 tahun.

7. Masa Penularan

Jaringan susunan saraf pusat (SSP) tetap infeksius selama ada gejala klinis. Namun jaringan lainnya dan LCS kadang-kadang juga infeksius. Tingkat infektivitas selama masa inkubasi tidak diketahui tapi percobaan pada hewan menunjukkan bahwa kelenjar limfa dan organ lainnya kemungkinan sudah terinfeksi sebelum gejala sakit terlihat .

8. Kerentanan dan Kekebalan

Faktor keturunan (genetic) sangat menentukan perbedaan kerentanan individu dimana adanya gen “antosomal dominant units”, dapat menjelaskan Distribusi Penyakit ini dalam lingkungan keluarga. Pada hewan faktor keturunan telah diketahui menyebabkan perbedaan kerentanan terhadap penyakit scrapie. Adanya mutasi gen pada “prion protein” terbukti erat hubungannya dengan Distribusi Penyakit ini dalam lingkungan keluarga.

9. Cara-cara Pemberantasan

A. Cara-cara Pencegahan

Hal yang harus dilakukan dalam upaya pencegahan terjadinya penularan: • Dihindari penggunaan jaringan penderita untuk ditransplantasi • Elektroda EEG dan instrument bedah harus dicegah dari pencemaran jaringan

infeksius. • Alat-alat harus disterilisasi dengan benar sebelum digunakan lagi.

Penularan melalui konsumsi produk daging atau susu belum terbukti.

Namun kekhawatiran akan terjadinya penularan melalui produk daging dari hewan yang terinfeksi BSE menyebabkan diberlakukannya larangan total mengkonsumsi daging sapi dari daerah terjangkit. Transfusi darah tidak terbukti dapat menularkan penyakit. Namun donor darah sebaiknya jangan diambil dari individu yang mempunyai risiko tinggi tertular penyakit “Transmissible Spongiform Encephalopathies” (mereka yang keluarganya menderita TSE atau mereka yang pernah mengalami pembedahan saraf). Untuk mencegah risiko terjadi penularan vCJD kepada penerima produk darah, pihak berwenang di Amerika Serikat dan Kanada pada bulan Agustus 1999 meminta seluruh pusat transfusi darah tidak menggunakan donor darah dari mereka yang secara kumulatif lebih dari 6 bulan pada periode 1 Januari 1980 sampai dengan 31 Desember 1996 berada atau berkunjung ke Ingris, Skotlandia, Wales, Irlandia Utara, Isle of Man dan pulau Channel. Selain itu pemerintah AS juga melarang donor yang sebelumnya telah memperoleh injeksi insulin sapi yang belum mendapat lisensi di AS dan produk injeksi yang dibuat dari sapi dari daerah endemis BSE.

B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar

1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat: Penyakit ini tidak wajib untuk dilaporkan, Kelas 5 (lihat pelaporan tentang penyakit menular).

2) Isolasi: Lakukan tindakan kewaspadaan universal.

3) Desinfeksi serentak: jaringan, alat-alat bedah dan drainage luka yang dianggap telah tercemar dan harus disterilisasi. Sterilisasi dengan uap menggunakan autoclave sangat efektif untuk disinfeksi (selama 1 jam pada suhu 132°C atau lebih). Penggunaan zat kimia seperti natrium hipoklorida 5% dan 1N-2N natrium hidroksida kurang efektif, setelah 1 jam harus diikuti dengan sterilisasi menggunakan autoclave. Penggunaan Aldehid tidak efektif.

4) Karantina: Tidak dilakukan.

5) Imunisasi terhadap kontak: Tidak dilakukan.

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: dapatkan riwayat lengkap penyakit termasuk riwayat bedah saraf, pengobatan gigi, riwayat pernah menerima pengobatan hormone manusia dan menerima jaringan transplantasi serta riwayat bahwa didalam keluarga ada yang menderita demensia.

7) Pengobatan spesifik: Tidak ada.

C, D, E: Penanggulangan wabah, Implikasi menjadi bencana dan Tindakan

Internasional: Tidak ada.

II. K U R U ICD-9 46.0; ICD-10 A81.8

Penyakit susunan saraf pusat dengan gejala ataxia cerebellar, gerak tidak beraturan, tremor (gemetaran), kaku pada penderita usia 4 tahun dan dewasa, terjadi penurunan berat badan dan kelemahan progresif. Penyakit ini menyerang wanita dan anak-anak dari kelompok suku yang menggunakan bahasa utama yang tinggal didataran tinggi di Papua Nugini. Penyakit ini disebabkan oleh agen berukuran kecil yang dapat mereplikasi sendiri dan ditularkan kepada hewan primata dan hewan lain.

Kuru ditularkan melalui praktek dan cara pemakaman tradisional yang berlaku di Papua Nugini dimana pada upacara pemakaman tersebut terjadi pemajanan terhadap jaringan tubuh jenazah penderita termasuk adanya praktek kanibalisme.

Dahulu penyakit Kuru sempat sangat banyak dan sering ditemukan di Papua Nugini, sekarang setiap tahun dilaporkan hanya sekitar 10 orang penderita.

ENTEROBIASIS ICD-9 127.4; ICD-10 B80

(Oxyuriasis, Infeksi cacing Kremi (Pinworm))

1. Identifikasi

Infeksi cacing perut yang paling umum terjadi, tanpa gejala, biasanya dubur terasa gatal, tidur terganggu (tidak bisa tidur), lecet sekitar dubur dan kadang-kadang terjadi infeksi sekunder pada kulit dubur karena digaruk menjadi lecet. Manifestasi klinis lainnya termasuk vuvovaginitis, salpingitis, granulomata pada pinggul. Radang usus buntu (apendiksitis) dan enuresis pernah dilaporkan sebagai akibat infeksi cacing kremi tetapi sangat jarang. Diagnosa dibuat dengan pemeriksaan sediaan yang dibuat dari usap dubur (anal swab) yang diambil dengan cara melekatkan “Scotch adhesive tape” pada dubur. Dilakukan pemeriksaan mikroskopis untuk melihat adanya telur cacing. Pengambilan usap dubur sebaiknya dilakukan pada pagi hari sebelum mandi dan buang air besar. Pemeriksaan diulang sebanyak tiga kali atau lebih sebelum menyatakan hasilnya negatif. Kadang telur cacing ditemukan pada pemeriksaan tinja atau urin. Cacing betina ditemukan dalam tinja dan disekitar dubur pada saat dilakukan pemeriksaan rectum dan vagina.

2. Penyebab Penyakit

Penyebab penyakit adalah nematoda usus Enterobius vermicularis.

3. Distribusi Penyakit

Tersebar luas di seluruh dunia terjadi pada semua golongan sosial ekonomi dan di beberapa wilayah tingkat infeksinya sangat tinggi. Enterobiasis sangat umum ditemukan di AS, prevalensi infeksi cacing paling tinggi pada anak-anak usia sekolah, pada kelompok tertentu bisa mencapai 50%. Kemudian diikuti anak prasekolah, dan prevalensi infeksi rendah pada orang dewasa kecuali pada ibu yang mendapatkan infeksi dari anaknya. Infeksi sering terjadi pada lebih dari satu anggota keluarga. Prevalensi tertinggi paling sering terjadi di asrama.

4. Reservoir

Manusia, cacing kremi pada hewan lain tidak menular pada manusia.

5. Cara Penularan

Kontak langsung dengan telur cacing kremi infektif melalui tangan, dari dubur, selanjutnya ke mulut sendiri atau ke orang lain atau secara tidak langsung melalui Kontak langsung dengan telur cacing kremi infektif melalui tangan, dari dubur, selanjutnya ke mulut sendiri atau ke orang lain atau secara tidak langsung melalui

6. Masa Inkubasi

Siklus hidup cacing kremi dari telur sampai dewasa kurang lebih 2-6 minggu. Gejala cacing kremi muncul karena adanya cacing yang banyak dalam usus dan karena infeksi ulang.

7. Masa Penularan

Selama cacing betina yang sedang gravid mengeluarkan telur di sekitar anus. Telur yang berada di dalam rumah dapat bertahan selama 2 minggu.

8. Kerentanan dan Kekebalan

Semua orang rentan terhadap enterobiasis. Perbedaan intensitas dan frekuensi infeksi tergantung pada perbedaan cara pemajanan.

9. Cara-cara Pemberantasan

A. Cara Pencegahan

1) Berikan penyuluhan kepada masyarakat tentang kebersihan perorangan: cuci tangan sebelum makan atau sebelum menyiapkan makanan, jaga kebersihan kuku, kuku sebaiknya dipotong pendek, jangan mengaruk-garuk daerah sekitar anus, dan tinggalkan kebiasaan mengigit-gigit kuku.

2) Menghilangkan sumber infeksi dengan cara memberi pengobatan terhadap penderita secara tuntas.

3) Mandi setiap pagi dengan air mengalir “shower” atau mandi dengan berendam dalam bak mandi.

4) Gantilah pakaian dalam, baju tidur dan sprei setiap hari, sebaiknya dilakukan setelah mandi.

5) Bersihkan rumah dan sedot dengan penyedot vakum setiap hari selama beberapa hari setelah pengobatan kasus.

6) Kurangi jumlah penghuni rumah yang ada penderita cacing kremi untuk menghindari penularan.

7) Anjurkan masyarakat menggunakan jamban keluarga yang sesuai standar dan selalu merawat kebersihan jamban tersebut.

B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar

1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat: Tidak diperlukan laporan formal untuk tindak lanjut kasus tersebut (lihat pelaporan tentang penyakit menular).

2) Isolasi: Tidak perlu.

3) Desinfeksi serentak: Ganti sprei dan pakaian dalam pasien yang terinfeksi setiap hari, dilakukan beberapa hari setelah pengobatan, dilakukan dengan hati-hati agar telur cacing tidak beterbangan di udara, gunakan baju tidur yang tertutup. Telur cacing akan mati jika dipanaskan dengan suhu 55ºC (131°) dalam beberapa detik; rebus sprei atau gunakan mesin cuci yang baik untuk mencuci kain tersebut pada suhu panas. Bersihkan dan gunakan penyedot debu untuk membersihkan tempat tidur dan ruang keluarga setiap hari, dilakukan selama beberapa hari setelah pengobatan.

4) Karantina: Tidak perlu.

5) Imunisasi kontak: Tidak perlu.

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: periksa semua anggota keluarga yang terinfeksi di rumah, atau semua penghuni asrama yang terinfeksi

7) ® Pengobatan spesifik: Pyrantel pamoate (Antiminth , Combantrin , mebendazole

(Vermox ® ) atau albendazole (Zantel ). Pengobatan diulang setelah 2 minggu. Pengobatan dilakukan terhadap seluruh anggota keluarga jika ada beberapa orang

yang terinfeksi cacing kremi tersebut.

C. Penanggulangan wabah

Jika ditemukan banyak kasus di sekolah atau institusi lain maka upaya pemberantasan paling baik adalah dengan cara memberikan pengobatan yang sistematik kepada mereka yang terinfeksi dan kepada anggota keluarga yang kontak dengan mereka yang terinfeksi.

D. Implikasi menjadi bencana: Tidak ada.

E. Penanganan Internasional: Tidak perlu.

ERITEMA INFEKSIOSUM ICD-9 057.0; ICD-10 B08.3

Infeksi Parvovirus pada manusia; Fifth Disease

1. Identifikasi

Eritema infeksiosum adalah penyakit virus ringan, umumnya tidak disertai demam, ditandai dengan adanya erupsi eritematus yang muncul secara sporadis atau dalam bentuk KLB. Umumnya menyerang anak-anak. Ciri-ciri penyakit tersebut: pipi kemerahan yang muncul tiba-tiba seperti habis ditampar dan sering disertai ruam seperti renda pada tubuh dan ekstremitas. Tanda seperti itu berulang sampai 1-3 minggu atau lebih, jika terkena sinar matahari atau panas. Gejala umum ringan muncul mendahului timbulnya ruam pada orang dewasa, bentuk ruam tidak khas atau belum tentu ada, namun gejala arthralgia atau arthritis yang dapat berlangsung selama beberapa bulan atau beberapa tahun; 25% kasus tanpa gejala. Penyakit ini perlu dibedakan dengan rubella, eritema multiforme dan scarlet fever. Komplikasi yang berat pada penyakit ini jarang namun dapat terjadi pada penderita yang menderita anemia yang memerlukan peningkatan produksi sel darah merah (misalnya pada penderita sickle cell), dapat berkembang menjadi TAC (Transient Aplastic

Crisis). Hal ini dapat terjadi tanpa didahului munculnya ruam. Infeksi intra uterin terjadi pada trimester kedua kehamilan dan dapat menyebabkan anemia pada janinnya dengan hidreopfetalis dan dapat berakibat kematian pada janin; kurang dari 10% dari kasus yang ada. Pada orang dengan kelainan sistem kekebalan akan menderita anemia kronis yang berat. Dan penyakit lain yang muncul bersamaan dengan infeksi parvovirus dilaporkan pernah terjadi yang tidak mempunyai hubungan kausatif seperti: remathoid arthritis, vasculitis, fulminant hepatitis dan myocarditis. Diagnosa biasanya dibuat berdasarkan gejala klinis dan data epidemiologi. Konfirmasi diagnosa dibuat melalui tes laboratorium dengan ditemukan adanya IgM antibody terhadap parvovirus B19 atau adanya kenaikan titer antibody IgG terhadap B19. IgM akan turun dalam waktu 30-60 hari setelah timbul gejala. Diagnosis infeksi B19 juga dapat dibuat dengan pemeriksaan untuk melihat antigen virus dari PCR DNA untuk B19 merupakan tes yang sangat sensitif dan hasilnya sudah positif pada bulan pertama setelah infeksi akut dan pada beberapa orang lebih lama dari itu.

2. Penyebab Penyakit

Penyebab infeksi adalah parvovirus B19 pada manusia yaitu virus DNA yang berukuran 20-25 nm termasuk famili parvoviridae, virus bereplikasi terutama dalam erythroid precursor cell.

3. Distribusi Penyakit

Tersebar luas hampir di seluruh dunia. Pada umumnya menyerang anak-anak dalam bentuk sporadis atau KLB. Di Amerika Serikat prevalensi antibodi IgG terhadap virus B19 sekitar 5-15% pada anak-anak usia dibawah 5 tahun, sedangkan orang dewasa 50%- 80%. Di daerah subtropis KLB cenderung pada musim dingin dan musim semi dengan siklus 3-7 tahun.

4. Reservoir: Manusia.

5. Cara Penularan

Infeksi terutama terjadi karena kontak dengan sekret dari saluran napas penderita parvovirus. Penularan dapat dari ibu ke janinnya melalui transfusi darah atau produk darah. Virus B19 sangat resisten terhadap berbagai upaya inaktivasi termasuk dengan pemanasan pada suhu 80°C selama 72 jam.

6. Masa Inkubasi

Masa inkubasi bervariasi, 4-20 hari sampai munculnya ruam atau munculnya gejala krisis aplastik.

7. Masa Penularan

Pada penderita yang hanya menunjukkan gejala klinis berupa ruam saja, penularan terjadi sebelum timbulnya ruam, setelah muncul ruam penderita tidak menular lagi. Namun pada penderita dengan krisis aplastik menular sampai 1 minggu setelah timbul gejala tersebut. Pada orang dengan gangguan sistem kekebalan tubuh dengan infeksi kronis dan pada orang yang menderita anemia berat, tetap menular dalam waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.

8. Kerentanan dan Kekebalan

Mereka dengan golongan darah yang mengandung “antigen P” rentan terhadap penyakit ini; adanya kekebalan ditandai dengan munculnya antibody B19. Reseptor B19 pada sel erythroid adalah antigen golongan darah P. Attack rate pada mereka yang rentan sangat tinggi dapat mencapai 50% pada orang yang kontak dengan penderita serumah, 10-60% terjadi pada penitipan anak atau di sekolah dan lama KLB dapat berlangsung selama 2-6 bulan. Di Amerika Serikat 50-80% orang dewasa mempunyai serologi positif sebagai bukti pernah mengalami infeksi, tergantung umur dan lokasi tempat tinggalnya.

9. Cara Pemberantasan

A. Cara-cara Pencegahan

1) Secara umum penyakit ini sangat ringan, pencegahan difokuskan kepada mereka yang cenderung terjadi komplikasi yaitu terhadap orang yang menderita anemia kronis dan terhadap mereka dengan gangguan sistem kekebalan serta terhadap ibu yang sedang hamil yang rentan terhadap virus B19. Kepada mereka ini harus dicegah terhadap infeksi parvovirus dengan menjauhi penderita yang sedang dirawat di rumah sakit atau pada saat terjadi wabah. Belum dilakukan uji coba efikasi penggunaan/pemberian IgG.

2) Wanita rentan yang sedang hamil atau yang akan hamil dan secara terus-menerus berada dekat dengan penderita infeksi virus B19, misalnya di sekolah, di rumah, di fasilitas pelayanan kesehatan perlu diberi penjelasan bahwa mereka sangat potensial mendapat infeksi yang dapat menyebabkan terjadinya komplikasi terhadap janin yang dikandung. Wanita hamil yang mempunyai anak dengan infeksi B19 dianjurkan untuk sesering mungkin mencuci tangan dan menghindari makan bersama dalam satu piring.

3) Perawatan kesehatan pada pekerja sangat penting dianjurkan agar terhindar dari infeksi, jarang terjadi infeksi nosokomial pada saat wabah.

B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar

1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat, jika terjadi wabah, Kelas 4 (lihat pelaporan tentang penyakit menular).

2) Isolasi: Tidak praktis dilakukan pada masyarakat luas. Terhadap penderita krisis transient aplastik di rumah sakit diberlakukan kewaspadaan umum terhadap penularan melalui percikan ludah (droplet). Walaupun anak-anak yang terinfeksi B19 sudah menular sebelum menunjukkan gejala sakit, haruslah hati-hati sekali mengijinkan mereka untuk tidak masuk sekolah pada saat demam.

3) Desinfeksi serentak: sangat dianjurkan mencuci tangan setelah kontak dengan penderita.

4) Karantina: Tidak perlu.

5) Imunisasi terhadap kontak: Dapat diberikan vaksin recombinant dari kapsid B19. Diberikan pada stadium awal dari perjalanan penyakit.

6) Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi: Wanita hamil yang terpajan virus B19 segera dilakukan pemeriksaan antibodi IgG dan IgM untuk menentukan kerentanan mereka dan membantu memberikan konseling tentang risiko pada bayinya.

7) Pengobatan spesifik: Diberikan serum Imunoglobulin intravena (IG IV). Hal ini telah dilakukan dengan hasil baik pada kasus anemia kronis walaupun relaps bisa terjadi lagi sehingga perlu diberikan IGIV lagi.

C. Penanganan wabah

Selama terjadi wabah di sekolah atau pada penitipan anak, mereka yang menderita anemia, mereka dengan gangguan sistem kekebalan dan wanita hamil harus diberitahu bahwa mereka berisiko terinfeksi virus B19.

D. Implikasi menjadi bencana: Tidak ada.

E. Penanganan Internasional: Tidak perlu.

EXANTHEMA SUBITUM ICD-9 057.8; ICD-10 B08.2

(Sixth disease, Roseola infantum)

1. Identifikasi

Exanthema subitum adalah penyakit akut, demam disertai ruam yang disebabkan oleh virus, biasanya menyerang anak-anak dibawah umur 4 tahun dan paling sering terjadi pada anak sebelum usia 2 tahun. Merupakan salah satu manifestasi dari penyakit-penyakit yang disebabkan oleh infeksi herpes virus 6B pada manusia (HHV-6B). Demam hilang, kadang-kadang mencapai 41°C (106°F) muncul tiba-tiba dan hilang dalam waktu 3-5 hari. Ruam makulopapuler muncul pada badan dan bagian lain dari badan yang biasanya muncul setelah demam berkurang. Ruam biasanya hilang dengan cepat, biasanya ringan, tetapi pernah dilaporkan adanya kejang demam. Spektrum penyakit pada anak saat ini telah diketahui, termasuk demam tanpa ruam, radang pada gendang telinga dan jarang terjadi meningoensefalitis, dapat terjadi serangan kejang demam berulang atau hepatitis fulminan. Pada orang dewasa pernah ditemukan sindroma monokleusis dan pada orang dengan gangguan sistem imunitas, pneumonitis juga dilaporkan. Infeksi HHV-6 dapat juga menimbulkan gejala dan dapat terjadi infeksi menahun. Membedakan exanthema subitum dengan penyakit serupa yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) seperti campak dan rubella perlu dilakukan. Diagnosa dapat ditegakkan dengan pemeriksaan “paired sera” untuk melihat antibodi dari HHV-6 dengan teknik IFA atau dengan isolasi virus HHV-6. Pemeriksaan terhadap Ig M saat ini tidak ada. Respons IgM biasanya tidak terdeteksi sampai dengan kurang dari 5 hari dari saat timbulnya gejala. Ditemukannya DNA dari HHV-6 dalam darah dengan teknik PCR dimana IgG tidak terdeteksi, teknik ini dimasa yang akan datang menjanjikan sebagai cara praktis untuk mendiagnosa penyakit ini secara cepat.

2. Penyebab Penyakit

Herpes virus 6 pada manusia (subfamili beta herpes virus, genus Roseolovirus). Sebagai penyebab utama exanthema subitum. HHV-6 dapat dibagi dalam HHV-6A dan HHV-6B Herpes virus 6 pada manusia (subfamili beta herpes virus, genus Roseolovirus). Sebagai penyebab utama exanthema subitum. HHV-6 dapat dibagi dalam HHV-6A dan HHV-6B

3. Distribusi Penyakit

Exanthema subitum tersebar luas hampir di seluruh dunia. Di Jepang, AS, Inggris dan Hongkong dimana gambaran seroepidemiologi dari infeksi HHV-6 telah diketahui dengan jelas, insidensi tertinggi pada usia 6-12 tahun, sedangkan pada usia 2 tahun sero prevalensi HHV-6 sekitar 65-100%. Pada wanita usia subur seroprevalensi sekitar 80-100%. Angka ini hampir sama di seluruh dunia. Jarang sekali terjadi KLB yang nyata dari exanthema subitum maupun HHV-6. variasi musiman ditemukan di Jepang yaitu timbul terutama pada akhir musim dingin atau awal musim semi.

4. Reservoir

Manusia merupakan reservoir utama dari infeksi HHV-6.

5. Cara Penularan

Tidak diketahui dengan pasti. Pada anak-anak terjadinya infeksi setelah antibodi yang diperoleh dari ibu menurun. Prevalensi DNA dari HHV-6 yang tinggi ditemukan pada kelenjar ludah orang dewasa membuktikan bahwa orang dewasa berperan sebagai pembawa virus yang menyebabkan terjadinya infeksi pada anak-anak. Namun penelitian di AS menunjukkan bahwa angka infeksi spesifik menurut umur (age specific infection rate) meningkat jika ada lebih dari satu orang anak dalam keluarga. Hal ini membuktikan bahwa anak berperan juga sebagai reservoir. Transplantasi ginjal atau hati dari donor yang menderita infeksi HHV-6 dapat mengakibatkan terjadinya infeksi primer pada resipien yang seronegatif.

6. Masa Inkubasi

Masa inkubasi 10 hari dan biasanya sekitar 5-15 hari. Pada orang yang menerima cangkok ginjal atau hati, masa inkubasi 2-4 minggu setelah pencangkokan.

7. Masa Penularan

Pada infeksi akut, masa penularan tidak diketahui secara pasti. Setelah infeksi akut virus menjadi laten di kelenjar limfe, ginjal, hati, kelenjar ludah dan dalam sel monosit. Lama masa penularan setelah fase laten ini belum diketahui, diperkirakan seumur hidup.

8. Kerentanan dan Kekebalan

Semua orang rentan terhadap infeksi virus tersebut. Angka infeksi pada bayi yang berumur kurang dari 6 bulan rendah dan meningkat cepat dengan bertambahnya usia. Hal ini membuktikan bahwa perlindungan sementara pada bayi didapat dari antibodi maternal. Penderita infeksi sekunder exanthema subitum jarang ditemukan. Infeksi laten dapat terjadi hampir pada semua orang tanpa gejala klinis yang berarti, gejala klinis nampak jelas pada mereka yang mempunyai gangguan sistem kekebalan. Gejala klinis pada penderita dengan infeksi primer mungkin berat dan gejala klinis ini berlangsung lama jika infeksi terjadi pada orang yang mempunyai gangguan sistem kekebalan.

9. Cara-cara Pemberantasan

Tidak ada cara pemberantasan yang cukup efektif dan memadai.

A. Cara-cara Pencegahan. Dimasa yang akan datang dicari jalan agar transplantasi organ dari donor yang positif HHV-6 terhadap resipien yang seronegatif dapat dihindari.

B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar

1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat: Laporan resmi tidak perlu, kelas 5 (lihat pelaporan tentang penyakit menular).

2) Isolasi: Di RS dan pada institusi tertentu, tersangka penderita exathema subitum harus diisolasi dan diterapkan kewaspadaan universal kontak dan penderita ditempatkan di kamar isolasi.

3) Desinfeksi serentak: Tidak perlu.

4) Karantina: Tidak perlu.

5) Imunisasi terhadap kontak: Tidak perlu. Titer antibodi setelah infeksi primer cukup untuk mencegah reinfeksi. Dimasa yang akan datang mungkin vaksinasi diperlukan.

6) Investigasi terhadap kontak dan sumber penularan: Tidak perlu, karena penderita tanpa gejala klinis di masyarakat prevalensinya sangat tinggi.

7) Pengobatan spesifik: Tidak ada.

C. Penanggulangan wabah: Tidak perlu.

D. Implikasi menjadi bencana: Tidak ada.

E. Penanganan Internasional: Tidak ada.

FASCIOLIASIS ICD-9 121.3; ICD-10 B66.3

1. Identifikasi

Penyakit hati yang disebabkan oleh cacing trematoda merupakan parasit yang secara alamiah hidup pada kambing, sapi dan hewan lain sejenis dan tersebar di seluruh dunia. Cacing dewasa berbentuk pipih berukuran sekitar 3 cm, hidup dalam saluran empedu. Cacing muda hidup dalam parenchim hati dan dapat menyebabkan kerusakan parenchim hati dan kerusakan jaringan serta hepatomegali. Pada saat awal invasi kedalam parenchim hati kuadran kanan atas terasa sakit, fungsi hati tidak normal dan terjadi eosinofilia. Setelah migrasi kedalam kelenjar empedu dapat menimbulkan kolik empedu dan icterus obstructive. Infeksi ektopik terutama disebabkan oleh Fasciola gigantica yang bisa menyebabkan peradangan di kulit, berpindah-pindah di badan dan bagian tubuh yang lain. Diagnosa ditegakkan dengan menemukan telur cacing didalam tinja atau didalam aspirat empedu yang diambil melalui duodenum. Diagnosa serologis dapat dilakukan di beberapa laboratorium. Diagnosa palsu bisa saja terjadi pada seseorang yang dalam tinjanya Penyakit hati yang disebabkan oleh cacing trematoda merupakan parasit yang secara alamiah hidup pada kambing, sapi dan hewan lain sejenis dan tersebar di seluruh dunia. Cacing dewasa berbentuk pipih berukuran sekitar 3 cm, hidup dalam saluran empedu. Cacing muda hidup dalam parenchim hati dan dapat menyebabkan kerusakan parenchim hati dan kerusakan jaringan serta hepatomegali. Pada saat awal invasi kedalam parenchim hati kuadran kanan atas terasa sakit, fungsi hati tidak normal dan terjadi eosinofilia. Setelah migrasi kedalam kelenjar empedu dapat menimbulkan kolik empedu dan icterus obstructive. Infeksi ektopik terutama disebabkan oleh Fasciola gigantica yang bisa menyebabkan peradangan di kulit, berpindah-pindah di badan dan bagian tubuh yang lain. Diagnosa ditegakkan dengan menemukan telur cacing didalam tinja atau didalam aspirat empedu yang diambil melalui duodenum. Diagnosa serologis dapat dilakukan di beberapa laboratorium. Diagnosa palsu bisa saja terjadi pada seseorang yang dalam tinjanya

2. Penyebab Penyakit:

Fasciola hepatica dan jarang oleh F. gigantica.

3. Distribusi Penyakit

Infeksi pada manusia dilaporkan terjadi di daerah peternakan kambing dan sapi di Amerika Selatan, Karibia, Eropa, Australia, Timur Tengah dan Asia. Kasus sporadis dilaporkan di Amerika Serikat. F. gigantica ditemukan terbatas hanya di Afrika, Pasifik sebelah barat dan Hawai.

4. Reservoir

Manusia adalah induk semang kebetulan. Siklus infeksi alamiah terjadi dan bertahan diantara beberapa spesies hewan, terutama pada kambing, sapi dan keong famili Lymnaeidae. Sapi, kerbau air dan mamalia besar lainnya menjadi reservoir F. gigantica.

5. Cara Penularan

Telur yang dikeluarkan melalui tinja akan menjadi matang dalam air dan sekitar 2 minggu telur akan menetas mengeluarkan mirasidium. Dan mirasidium masuk ke dalam tubuh keong air, dalam keong air mirasidium akan membentuk serkaria dalam jumlah yang banyak dan keluar dari keong berenang mencari dan melekat pada tumbuh-tumbuhan air kemudian membentuk kista (metaserkaria) yang tahan kering. Infeksi terjadi apabila memakan tumbuhan air yang tidak dimasak yang mengandung metaserkaria (seperti salada air). Kemudian larva mencapai susu dan migrasi menembus dinding usus masuk kedalam cavum peritoneal, kemudian masuk ke dalam hati dan tumbuh berkembang lalu masuk ke dalam saluran empedu dan cacing dewasa mengeluarkan telur dalam waktu 3-4 bulan setelah infeksi.

6. Masa Inkubasi: sangat bervariasi.

7. Masa Penularan

Penularan dari manusia ke manusia tidak terjadi secara langsung.

8. Kerentanan dan Kekebalan

Semua orang dan semua umur rentan terhadap infeksi cacing Fasciola dan infeksi bisa bertahan seumur hidup.

9. Cara-cara Pemberantasan

A. Cara-cara Pencegahan

1) Penyuluhan kesehatan dilakukan di daerah endemis, masyarakat dianjurkan untuk tidak makan tumbuh-tumbuhan air dan tumbuh-tumbuhan lainnya yang tidak diketahui asalnya, khususnya di daerah dimana kambing dan hewan lain merumput.

2) Hindari penggunaan kotoran kambing untuk memupuk tanaman selada air.

3) Keringkan tanah, gunakan moluskisida untuk membunuh moluska apabila secara teknis dan ekonomis memungkinkan.

B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar

1) Laporan ke intansi kesehatan setempat. Laporan resmi tidak perlu, Kelas 5 (lihat pelaporan tentang penyakit menular).

2) Isolasi: Tidak perlu.

3) Desinfeksi serentak: Tidak perlu.

4) Karantina: Tidak perlu.

5) Imunisasi terhadap kontak: Tidak perlu.

6) Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi: menemukan sumber infeksi berguna untuk mencegah penularan pada penderita dan orang lain.

7) Pengobatan spesifik: Upaya pengobatan secara umum tidak memberikan hasil yang memuaskan. Pada akhir tahun 1999 obat yang dianjurkan untuk dipakai adalah Triclabendazole: semua permintaan untuk pengobatan Fasciola hepatica yang ditujukan ke CDC Atlanta dirujuk ke Novartis Pharmacemical AG, Basel,

Swiss sebagai penyalur obat tersebut. Bithionol (Bitin ® ) yang sudah tidak diproduksi lagi namun masih tersedia di CDC Atlanta untuk keperluan domestik.

Obat ini tadinya dianggap sebagai obat pilihan namun angka kesembuhannya sangat tidak konsisten, begitu juga dengan Prasiquantel. Pada waktu stadium migrasi, keluhan dan gejala klinis dapat dikurangi dengan diberikan dehydroemetine, chloroquine atau metronidazole.

C. Penanggulangan wabah

Cari dan temukan sumber infeksi, tumbuh-tumbuhan serta keong yang terlibat dalam rantai penularan. Hindari mengkonsumsi tumbuhan-tumbuhan air dari daerah yang terkontaminasi.

D. Implikasi menjadi bencana: Tidak ada.

E. Penanganan Internasional: Tidak perlu.

FASCIOLOPSIASIS ICD-9 121.4; ICD-10 B66.5

1. Identifikasi

Infeksi trematoda yang menyerang usus halus, biasanya duedenum. Gejala klinis muncul sebagai akibat inflamasi lokal, ulserasi dinding dan keracunan sistemik. Biasanya berupa diare dan diselingi dengan konstipasi (sembelit); sering juga disertai dengan muntah dan tidak nafsu makan. Dalam jumlah besar cacing dapat menimbulkan penyumbatan usus akut. Muka penderita bisa terlihat bengkak, oedema pada kaki, dan ascites bisa terjadi 20 hari setelah infeksi yang masif. Sering dijumpai Eosinofilia dan kadang-kadang anemia sekunder. Kematian jarang terjadi dan infeksi ringan jarang menimbulkan gejala.

Diagnosa dibuat dengan menemukan cacing dewasa berukuran besar atau menemukan telur cacing dalam tinja; cacing kadang-kadang dimuntahkan.

2. Penyebab Penyakit

Penyebab penyakit adalah Fasciolopsis buski, trematoda yang ukuran panjangnya dapat mencapai 7 cm.

3. Penyebaran Penyakit

Tersebar di daerah pedesaan di Asia Tenggara, khususnya di Thailand, China Selatan dan Tengah, dan sebagian India. Prevalensi tinggi ditemukan di daerah peternakan babi.

4. Reservoir

Babi dan manusia merupakan hospes definitif dari cacing dewasa., anjing dapat juga terinfeksi tetapi jarang.

5. Cara Penularan

Telur yang dikeluarkan melalui tinja, paling sering pada babi, akan menetas dan berkembang dalam air dan dalam waktu 3-7 minggu dalam kondisi yang baik menjadi miracidia yang akan masuk kedalam tubuh keong yang berperan sebagai hospes perantara. Miracidia kemudian berkembang menjadi serkaria dan membentuk kista yang melekat pada tumbuhan air menjadi metaserkaria infektif. Manusia terinfeksi karena mengkonsumsi sayuran mentah tumbuhan air. Di China, sumber penularan utama adalah biji bunga teratai merah yang tumbuh dalam empang, umbi dari tanaman chesnut yang tumbuh di air dan umbi dari bambu air. Infeksi sering juga terjadi karena kulit ari lecet oleh gigitan.

6. Masa Inkubasi

Telur ditemukan di dalam tinja sekitar 3 bulan setelah infeksi.

7. Masa Penularan

Penularan tetap terjadi selama telur yang fertile masih ada dalam tinja; tanpa pengobatan, penularan mungkin dapat berlangsung sampai 1 tahun. Tidak menular secara langsung dari manusia ke manusia.

8. Kerentanan dan Kekebalan

Semua orang rentan. Pada orang yang kurang gizi, dampak dari penyakit ini lebih terlihat; jumlah cacing mempengaruhi berat ringannya penyakit.

9. Cara Pemberantasan

A. Cara Pencegahan

1. Beri penyuluhan kepada penduduk yang berisiko di daerah endemis tentang cara penularan dan siklus hidup dari parasit tersebut .

2. Untuk membasmi telur, buanglah tinja pada jamban saniter, lakukan manajemen yang baik terhadap sedotan tinja.

3. Jauhkan tempat peternakan babi didaerah yang tercemar dimana banyak tumbuhan air tumbuh di sana; babi jangan diberi makan tumbuhan air ini.

4. Keringkan tumbuhan air yang diduga mengandung metaserkaria, atau jika tumbuhan air tersebut mau dikonsumsi mentah hendaknya disiram dengan air panas selama beberapa detik, kedua cara tersebut dapat membunuh metaserkaria.

B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar

1. Laporan kepada instansi kesehatan setempat. Di daerah endemis tertentu, hampir di seluruh negara di dunia tidak merupakan penyakit yang wajib dilaporkan. Kelas

3 C (lihat tentang laporan penyakit menular).

2. Isolasi: tidak perlu.

3. Disinfeksi serentak: lakukan pembuangan tinja yang saniter.

4. Karantina: tidak perlu.

5. Imunisasi terhadap kontak: tidak perlu.

6. Investigasi terhadap sumber penularan: investigasi terhadap penderita perorangan kurang bermanfaat; upaya penanganan lingkungan adalah masalah masyarakat (lihat 9 C, di bawah ini).

7. ® Pengobatan spesifik : Praziaquantel (Biltricide ) adalah obat terpilih.

C. Penanggulangan Wabah:

Kecuali tumbuh-tumbuhan air yang mengandung metaserkaria dan yang biasa dimakan segar oleh penduduk, identifikasi spesies keong yang hidup di perairan dimana tanaman tersebut tumbuh dan cegah terjadinya kontaminasi badan air tersebut dengan kotoran manusia dan kotoran babi.

D. Implikasi menjadi wabah: tidak perlu.

E. Penanganan Internasional: tidak perlu.

FILARIASIS ICD-9 125; ICD-10 B74

Istilah filariasis digunakan untuk infeksi yang disebabkan oleh berbagai jenis nematoda dari keluarga Filarioidea. Namun istilah ini hanya digunakan untuk filaria yang hidup dalam kelenjar limfe seperti tercantum di bawah ini. Sedangkan untuk jenis yang lain merujuk kepada bab penyakit yang spesifik yang diuraikan tersendiri.

Filariasis yang disebabkan oleh Wuchereria bancrofti – ICD-9 125.0; ICD-10 B74.0

(Filariasis bancrofti)

Filariasis yang disebabkan oleh Brugia malayi – ICD-9 125.1; ICD-10 B74.1

(Filariasis malayi, Filariasis brugia)

Filariasis yang disebabkan oleh Brugia timori – ICD-9 125.6; ICD-10 B74.2

(Filariasis timorean)

1. Identifikasi

Filariasis bancrofti

Adalah infeksi yang disebabkan oleh cacing nematoda Wuchereria bancrofti yang biasanya tinggal di sistem limfatik (saluran dan kelenjar limfa) dari penderita. Cacing betina menghasilkan mikrofilaria yang dapat mencapai aliran darah dalam 6-12 bulan setelah infeksi. Ada jenis filarial yang menunjukkan perbedaan biologis yaitu : pertama dimana mikrofilaria ditemukan dalam darah tepi pada malam hari (periodisitas nokturnal) dengan konsentrasi maksimal pada pukul 22.00 hingga 02.00, kedua dimana mikrofilaria ditemukan dalam darah tepi terus-menerus namun konsentrasi maksimalnya terjadi pada siang hari (diurnal). Bentuk yang kedua endemis di Pasifik Selatan dan di daerah pedesaan muncul sebagai fokus kecil di Asia Tenggara dimana vektornya adalah nyamuk Aedes yang menggigit siang hari.

Spektrum manifestasi klinis pada daerah endemis filariasis adalah:

- Mereka yang terpajan namun tetap asimtomatik dan parasitnya negatif - Mereka yang asimtomatik dengan mikrofilaremia - Mereka yang mengalami demam berulang, limfadenitis dan limfangitis retrograde dengan

atau tanpa mikrofilaria. - Mereka dengan tanda-tanda klinis kronis seperti timbulnya hidrokel, kiluria dan elephantiasis pada anggota badan, payudara dan alat kelamin dengan mikrofilaremia konsentrasi rendah atau tidak terdeteksi sama sekali

- Mereka dengan sindrom “tropical pulmonary esosinophilia”, dan mereka dengan serangan asma nokturnal paroksismal, mereka dengan penyakit paru-paru interstitial kronis, mereka dengan demam ringan yang berulang serta mereka yang menunjukkan peningkatan eosinofilia dan adanya mikrofilaria degeneratif dalam jaringan dan bukan dalam aliran darah (occult filariasis).

Filariasis Brugia

Disebabkan oleh cacing nematoda Brugia malayi dan Brugia timori. Bentuk periodik nokturnal dari Brugia malayi ditemukan pada masyarakat pedesaan yang tinggal di daerah persawahan terbuka yang sebagian besar ditemukan di Asia Tenggara. Bentuk subperiodik dapat menginfeksi manusia, kera serta hewan karnivora baik hewan peliharaan ataupun binatang liar di hutan-hutan Indonesia dan Malaysia. Manifestasi klinis sama dengan filariasis bancrofti, kecuali bedanya ada pada serangan akut berupa demam filarial, dengan adenitis dan limfangitis retrograde yang lebih parah, sementara kiluria biasanya jarang terjadi dan elephantiasis biasanya mengenai ekstremitas bagian bawah (lengan bawah, kaki bagian bawah) paling banyak ditemui di bagian kaki di bawah lutut. Limfedema pada payudara dan hidrokel jarang ditemukan.

Infeksi Brugia Timori

Ditemukan di Pulau Timor dan di bagian tenggara kepulauan Indonesia. Manifestasi klinis sama dengan infeksi yang terjadi pada Brugia malayi.

Manifestasi klinis filariasis timbul tanpa ditemukannya mikrofilaria dalam darah (occult filariasis). Dari ribuan penderita dikalangan tentara Amerika yang diperiksa selama perang Dunia II, mikrofilaria ditemukan hanya pada 10 –15 orang penderita dengan pemeriksaan darah berulang-ulang. Pada sebagian dari penderita tersebut, infeksi ditandai dengan eosinofilia yang sangat jelas terkadang disertai dengan gejala pada paru berupa sindroma “tropical pulmonary eosinophilia”.

Mikrofilaria dengan mudah dapat dideteksi pada waktu mikrofilaremia maksimal. Mikrofilaria hidup dapat dilihat dengan mikroskop kekuatan rendah pada tetesan darah tepi (darah jari) pada slide atau pada darah yang sudah dihemolisa di dalam bilik hitung.

Pengecatan dengan giemsa untuk sediaan darah tebal maupun darah tipis dapat dipakai untuk mengidentifikasi spesies dari mikrofilaria. Mikrofilaria dapat dikonsentrasikan dengan cara filtrasi melalui filter “Nucleopore (dengan ukuran lubang 2-5 µm) dengan adapter Swinney dan teknik Knott (sedimentasi dengan sentrifugasi 2 cc darah yang dicampur dengan 10 cc formalin 2%) atau dengan “Quantitative Buffy Coat (QBC)” acridine orange dengan teknik tabung mikrohematokrit.

2. Penyebab Penyakit

Cacing panjang halus seperti benang yaitu : - Wuchereria bancrofti

- Brugia malayi - Brugia timori.

3. Penyebaran Penyakit

Wuchereria bancrofti endemis di sebagian besar wilayah di dunia di daerah dengan kelembaban yang cukup tinggi termasuk Amerika Latin(fokus-fokus penyebaran yang tersebar di Suriname, Guyana, Haiti, Republik Dominika dan Costa Rica), Afrika, Asia dan Kepulauan Pasifik. Umum ditemukan di daerah perkotaan dengan kondisi ideal untuk perkembangbiakan nyamuk.

Secara umum periodisitas nokturnal dari daerah endemis Wuchereria di wilayah Pasifik yang ditemukan di sebelah barat 140º bujur timur sedangkan dengan subperiodisitas diurnal ditemukan di wilayah yang terletak di sebelah timur daerah 180º bujur timur.

Brugia malayi endemis di daerah pedesaan di India, Asia Tenggara, daerah pantai utara China dan Korea Selatan.

Brugia timori keberadaannya di daerah pedesaan di Kepulauan Timor, Flores, Alor dan Roti di Tenggara Indonesia.

4. Reservoir

Reservoir adalah manusia yang darahnya mengandung mikrofilaria W. bancrofti, Brugia malayi (periodik) dan Brugia timori.

Di Malaysia, Tenggara Thailand, Philipina dan Indonesia, hewan seperti kucing, musang (Viverra tangalunga) dan kera dapat menjadi reservoir untuk Brugia malayi subperiodik.

5. Cara Penularan

Melalui gigitan nyamuk yang mengandung larva infektif. W. bancrofti ditularkan melalui berbagai spesies nyamuk, yang paling dominan adalah

Culex quinquefasciatus, Anopheles gambiae, An. funestus, Aedes polynesiensis, An. scapularis dan Ae. pseudoscutellaris.

Brugia malayi ditularkan oleh spesies yang bervariasi dari Mansonia, Anopheles dan Aedes.

Brugia timori ditularkan oleh An. barbirostris. Didalam tubuh nyamuk betina, mikrofilaria yang terisap waktu menghisap darah akan melakukan penetrasi pada dinding lambung dan berkembang dalam otot thorax hingga menjadi larva filariform infektif, kemudian berpindah ke proboscis. Saat nyamuk menghisap darah, larva filariform infektif akan ikut terbawa dan masuk melalui lubang bekas tusukan nyamuk di kulit. Larva infektif tersebut akan bergerak mengikuti saluran limfa dimana kemudian akan mengalami perubahan bentuk sebanyak dua kali sebelum menjadi cacing dewasa.

6. Masa Inkubasi

Manifestasi inflamasi alergik mungkin timbul lebih cepat yaitu sebulan setelah terjadi infeksi, mikrofilaria mungkin belum pada darah hingga 3-6 bulan pada B. malayi dan 6-12 bulan pada W. bancrofti.

7. Masa Penularan

Tidak langsung menular dari orang ke orang. Manusia dapat menularkan melalui nyamuk pada saat mikrofilaria berada pada darah tepi, mikrofilaria akan terus ada selama 5-10 tahun atau lebih sejak infeksi awal. Nyamuk akan menjadi infektif sekitar 12-14 hari setelah menghisap darah yang terinfeksi.

8. Kerentanan dan Kekebalan

Semua orang mungkin rentan terhadap infeksi namun ada perbedaan yang bermakna secara geografis terhadap jenis dan beratnya infeksi. Infeksi ulang yang terjadi di daerah endemis dapat mengakibatkan manifestasi lebih berat seperti elephantiasis.

9. Cara-cara Pemberantasan

A. Cara Pencegahan

1. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat di daerah endemis mengenai cara penularan dan cara pengendalian vektor (nyamuk).

2. Mengidentifikasi vektor dengan mendeteksi adanya larva infektif dalam nyamuk dengan menggunakan umpan manusia; mengidentifikasi waktu dan tempat menggigit nyamuk serta tempat perkembangbiakannya. Jika penularan terjadi oleh nyamuk yang menggigit pada malam hari di dalam rumah maka tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan penyemprotan, menggunakan pestisida residual, memasang kawat kasa, tidur dengan menggunakan kelambu (lebih baik yang sudah dicelup dengan insektisida piretroid), memakai obat gosok 2. Mengidentifikasi vektor dengan mendeteksi adanya larva infektif dalam nyamuk dengan menggunakan umpan manusia; mengidentifikasi waktu dan tempat menggigit nyamuk serta tempat perkembangbiakannya. Jika penularan terjadi oleh nyamuk yang menggigit pada malam hari di dalam rumah maka tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan penyemprotan, menggunakan pestisida residual, memasang kawat kasa, tidur dengan menggunakan kelambu (lebih baik yang sudah dicelup dengan insektisida piretroid), memakai obat gosok

3. Pengendalian vektor jangka panjang mungkin memerlukan perubahan konstruksi rumah dan termasuk pemasangan kawat kasa serta pengendalian lingkungan untuk memusnahkan tempat perindukan nyamuk.

4. Lakukan pengobatan misalnya dengan menggunakan diethylcarbamazine (DEC,

Banocide ® , Hetrazan , Notezine ); Pengobatan ini terbukti lebih efektif bila diikuti dengan pengobatan setiap bulan menggunakan DEC dosis rendah (25-50

mg/kg BB) selama 1-2 tahun atau konsumsi garam yang diberi DEC (0,2-0,4 mg/g garam) selama 6 bulan sampai dengan 2 tahun. Namun pada beberapa kasus timbulnya reaksi samping dapat mengurangi partisipasi masyarakat, khususnya di daerah endemis onchocerciasis (lihat Onchorcerciasis, reaksi Marzotti). Ivermectin dan Albendazole juga telah digunakan; saat ini, pengobatan dosis tunggal setahun sekali dengan kombinasi obat ini akan lebih efektif.

B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitarnya

1. Laporkan kepada instansi kesehatan yang berwenang: di daerah endemis tertentu di kebanyakan negara, bukan merupakan penyakit yang wajib dilaporkan, Kelas 3

C (lihat pelaporan tentang penyakit menular). Laporan penderita disertai dengan informasi tentang ditemukannya mikrofilaria memberikan gambaran luasnya wilayah transmisi di suatu daerah.

2. Isolasi: tidak dilakukan. Kalau memungkinkan penderita dengan mikrofilaria harus dilindungi dari gigitan nyamuk untuk mengurangi penularan.

3. Desinfeksi serentak: tidak ada.

4. Karantina: tidak ada.

5. Pemberian imunisasi: tidak ada.

6. Penyelidikan kontak dengan sumber infeksi: dilakukan sebagai bagian dari gerakan yang melibatkan masyarakat (lihat 9 A dan 9 C).

7. ® Pengobatan spesifik: Pemberian diethylcarbamazine (DEC, Banocide , Hetrazan , Notezine ® ) dan Ivermectin hasilnya membuat sebagian atau seluruh mikrofilaria

hilang dari darah, namun tidak membunuh seluruh cacing dewasa. Mikrofilaria dalam jumlah sedikit mungkin saja muncul kembali setelah pengobatan. Dengan demikian pengobatan biasanya harus diulangi lagi dalam interval setahun. Mikrofilaria dalam jumlah sedikit hanya dapat dideteksi dengan teknik konsentrasi. DEC, umumnya menimbulkan reaksi umum akut dalam 24 jam pertama dari pengobatan sebagai akibat dari degenerasi dan matinya mikrofilaria; reaksi ini biasanya di atasi dengan Parasetamol, anti histamine atau kortikosteroid. Limfadenitis dan limfangitis lokal mungkin juga terjadi karena matinya cacing dewasa. Antibiotik pada stadium awal infeksi dapat mencegah terjadinya gejala sisa pada sistem limfa yang disebabkan oleh infeksi bakteri.

C. Penanggulangan Wabah

Pengendalian vektor adalah upaya yang paling utama. Di daerah dengan tingkat endemisitas tinggi, penting sekali mengetahui dengan tepat bionomik dari vektor nyamuk, prevalensi dan insidensi penyakit, dan faktor lingkungan yang berperan dalam penularan di setiap daerah. Bahkan dengan upaya pengendalian vektor yang tidak lengkappun dengan menggunakan obat anti nyamuk masih dapat mengurangi insiden dan penyebaran penyakit. Hasil yang diperoleh sangat lambat karena masa inkubasi yang panjang.

D. Implikasi menjadi bencana: tidak ada.

E Tindakan Internasional: tidak ada.

DIROFILARIASIS ICD-9 125.6; ICD-10 B74.8

(Zoonotic filariasis)

Beberapa spesies filaria biasanya ditemukan pada binatang liar dan hewan peliharaan namun kadangkala menginfeksi manusia meskipun mikrofilaremia jarang terjadi. Genus Dirofilaria mengakibatkan penyakit paru-paru dan penyakit kulit pada manusia.

D. immitis (cacing jantung pada anjing) dapat menyebabkan penyakit paru di Amerika Serikat (dilaporkan sekitar 50 kasus) dengan beberapa kasus terjadi di Jepang, Asia dan Australia. Cara penularan pada manusia melalui gigitan nyamuk.

Cacing masuk melalui arteri paru-paru yang membentuk nidus pada thrombus yang mengakibatkan oklusi vaskuler, koagulasi, nekrosis dan fibrosis. Gejala yang timbul meliputi nyeri dada, batuk dan hemoptisis, jarang terjadi esosinofili. Suatu nodul fibrotis dengan diameter 1-3 cm, biasanya tanpa menimbulkan gejala, dapat diketahui dengan sinar X sebagai lesi bentuk koin (coin lesion).

Penyakit kulit yang terjadi dapat disebabkan oleh beberapa macam spesies seperti D. tenuis, suatu parasit pada hewan raccoon di Amerika; D. ursi pada beruang di Kanada, dan D. repens dewasa pada kucing dan anjing di Eropa, Afrika dan Asia. Cacing berkembang dan berpindah kedalam konjunctiva dan jaringan subkutan pada scrotum, payudara, lengan dan kaki namun mikrofilaremia jarang terjadi. Spesies lain (Brugia) terdapat pada noda limfa. Diagnosa biasanya ditegakkan dengan menemukan cacing di jaringan pada sayatan dalam pembedahan.

NEMATODA LAIN YANG MENGHASILKAN MIKROFILARIA PADA MANUSIA

Beberapa cacing lain mungkin menimbulkan infeksi dan menghasilkan mikrofilaria pada manusia. Contohnya Onchocerca volvulus dan Loa-loa yang mengakibatkan onchocerciasis dan loiasis (lihat penjelasan pada daftar penyakit tersebut). Infeksi lain berupa penyakit Mansonellosis (ICD-9 125.4 dan 125.5; ICD-10 B74.4) dimana Mansonella perstans tersebar luas di Afrika Barat dan Timur Laut Amerika Selatan. Cacing dewasa ditemukan pada rongga tubuh dan mikrofilaria telanjang bersikulasi dengan periodisitas yang tidak teratur. Infeksi biasanya terjadi asimtomatik. Tetapi infeksi pada mata oleh mikrofilaria tahap immature pernah dilaporkan.

Di beberapa negara di Afrika barat dan tengah, infeksi M. streptocerca (ICD-9 125.6; ICD-10 B74.4) sering terjadi dan diduga menimbulkan edema kulit dan bercak-bercak pada kulit, hipopigmentasi, macula, pruritis dan papula. Cacing dewasa dan mikrofilaria telanjang terdapat pada kulit sebagai onchocerciasis. M. ozzardi (ICD-9 125.5; ICD-10 B74.4) ditemukan di Peninsula Yucatan di Meksiko sampai di bagian utara Argentina dan di barat India. Diagnosa ditegakkan dengan ditemukannya mikrofilaria telanjang nonperiodik dalam darah. Infeksi biasanya asimptomatis tetapi bisa juga dengan gejala alergi seperti nyeri sendi, pruritis, sakit kepala dan limfadenopati.

Culicoides adalah vektor utama dari M. streptocerca, M. ozzardi dan M. perstans di daerah Karibia. M. ozzardi juga ditularkan oleh lalat hitam. M. rodhaini yang merupakan parasit dari simpanse ditemukan sebesar 1,7% dari sampel sayatan kulit yang diambil di Gabon.

DEC sangat efektif untuk mengatasi M. streptocerca dan tidak jarang pula efektif untuk mengatasi M. perstans dan M. ozzardi. Sedangkan Ivermectin efektif untuk M. ozzardi.

INTOKSIKASI MAKANAN ( FOODBORNE INTOXICATIONS)

Keracunan Makanan (Food Poisoning)

Penyakit akibat makanan, termasuk didalamnya intoksikasi makanan dan infeksi karena makanan, adalah penyakit yang didapat karena mengkonsumsi makanan yang tercemar; kejadian tersebut sering dan kurang tepat bila disebut sebagai keracunan makanan. Termasuk dalam istilah tersebut adalah penyakit yang disebabkan oleh pencemaran dengan bahan kimia seperti logam berat, senyawa organik kedalam makanan, namun penyakit akibat makanan lebih sering disebabkan oleh:

1) Terbentuknya toksin yang disebabkan oleh berkembangbiaknya bakteri didalam makanan

sebelum dikonsumsi (Clostridium botulinum, Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus, keracunan ikan scombroid, tidak ada hubungannya dengan toksin spesifik tetapi disebabkan oleh karena meningkatnya kadar histamin) atau toksin terbentuk didalam usus seperti pada Clostridum perfringens.

2) Infeksi bakteri, virus atau parasit (brucellosis, Campylobacter enteritis, diare yang disebabkan oleh Escherichia coli, hepatitis A, listeriosis, salmonellosis, shigellosis, toksoplasmosis, gastroenteritis oleh virus, taenisasis, trichinosis dan vibrio).

3) Toksin yang dihasilkan oleh spesies algae yang berbahaya (keracunan ikan ciguatera, keracunan kerang yang mengakibatkan paralitik, keracunan kerang yang menyebabkan neurotoksik, keracunan kerang yang menyebabkan diare dan amnesia) atau racun yang ada pada spesies ikan tertentu seperti pada ikan buntal.

Pada bab ini secara khusus membahas toksin yang berkaitan dengan penyakit karena makanan (dengan pengecualian pada botulism). Infeksi karena makanan dengan penyebab khusus akan dibahas dalam bagian tersendiri yang berhubungan dengan penyebabnya.

KLB penyakit akibat makanan ini dikenali dengan munculnya sejumlah penderita yang biasanya terjadi dalam waktu pendek dengan periode waktu yang sangat bervariasi (beberapa jam sampai beberapa minggu) setelah mengkonsumsi sesuatu makanan, pada umumnya terjadi diantara orang-orang yang mengkonsumsi makanan bersama-sama. Ketepatan dan kesepatan penanganan dan kecepatan melakukan pemeriksaan laboratorium dari peristiwa keracunan makanan ini adalah hal yang paling penting. Kasus tunggal penyakit akibat makanan sulit diidentifikasi, kecuali pada kasus botulisme, karena adanya sindrom gejala klinis yang sangat khas pada botulisme. Penyakit akibat makanan merupakan salah satu penyebab kesakitan akut yang paling sering ditemukan; banyak kasus dan KLB yang tidak diketahui dan tidak dilaporkan.

Upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit-penyakit akibat makanan tanpa melihat penyebab spesifik, pada prinsipnya adalah sama: yaitu dengan menghindari mengkonsumsi makanan yang tercemar, memusnahkan atau melakukan denaturasi terhadap bahan pencemar, mencegah penyebaran lebih luas atau mencegah berkembang biaknya bahan pencemar. Masalah yang terjadi dan bentuk yang tepat dari penanganan penyakit ini berbeda antara satu negara dan negara lain tergantung dari faktor-faktor: lingkungan, ekonomi, politik, teknologi dan sosial budaya. Akhirnya, upaya pencegahan sangat tergantung kepada upaya penyuluhan kepada para penjamah makanan tentang cara-cara memasak dan menyimpan makanan dengan tepat, dan membudayakan higiene perorangan. Tentang hal yang terakhir tersebut, WHO telah mengembangkan “Sepuluh Pedoman untuk Penyiapan Makanan yang aman” sebagai berikut:

1) Pilihlah makanan yang sudah diproses sesuai dengan standard keamanannya

2) Masaklah makanan secara sempurna (matang).

3) Makanlah makanan yang telah di masak sesegera mungkin.

4) Simpanlah makanan yang telah dimasak secara hati-hati

5) Panaskan kembali makanan yang telah di masak dengan sempurna apabila mau dihidangkan lagi

6) Hindari pencampuran antara bahan makanan mentah dan makanan yang matang pada tempat yang sama

7) Cucilah tangan berulang-kali setiap akan menjamah atau sehabis menjamah makanan/bahan makanan

8) Jagalah kebersihan seluruh bagian dapur

9) Lindungi makanan dari serangga, tikus dan binatang lainnya

10) Gunakan air bersih yang aman untuk mengolah makanan.

INTOKSIKASI MAKANAN KARENA STAPHYLOCOCCUS ICD-9 005.0; ICD-10 A05.0

(Staphylococcal Food intoxication)

1. Identifikasi

Intoksikasi (bukan infeksi) bisa terjadi secara tiba-tiba dan berat, dengan gejala nausea yang berat, kejang-kejang, muntah-muntah dan lemas tak berdaya, dan sering disertai dengan diare, kadang-kadang dengan suhu tubuh dibawah normal dan dengan tekanan darah yang rendah. Kematian jarang sekali terjadi, biasanya keadaan ini berlangsung antara 1 sampai dengan 2 hari. Dan dengan melihat gejala-gejalanya kadangkala diperlukan perawatan di rumah sakit. Dan pada kasus-kasus tertentu yang muncul sporadis kadang-kadang memerlukan tindakan eksplorasi lebih lanjut untuk kemungkinan dilakukan tindakan pembedahan. Diagnosa lebih mudah dilakukan bila ditemukan sekelompok penderita dengan gejala akut pada saluran pencernaan bagian atas, dimana interval waktu antara saat mengkonsumsi makanan tercemar dengan munculnya gejala klinis sangat pendek.

Diferensial diagnosa dilakukan terhadap bentuk-bentuk keracunan makanan lain dan keracunan dengan bahan kimia. Diagnosa keracunan staphylococcus pada suatu KLB

ditegakkan dengan ditemukannya kuman 10 5 atau lebih per gram makanan pada pembiakan rutin, atau ditemukannya enterotoksin dari makanan yang tercemar. Diagnosa

tidak dapat dikesampingkan begitu saja dengan tidak ditemukannya staphylococcus dari pembiakan makanan yang sebelumnya sudah dipanaskan; ditemukan bentuk Gram pada makanan membuktikan bahwa kuman mati akibat pemanasan. Walaupun bakteri tidak ditemukan dalam makanan namun masih memungkinkan untuk menemukan enteroktoksin atau termonuklease dalam makanan. Diagnosa juga dapat ditegakkan dengan ditemukannya kuman dengan tipe phage yang sama dari tinja atau muntahan dari 2 orang atau lebih penderita. Diagnosa juga dapat ditegakkan dengan ditemukan staphylococcus penghail enterotoksin dalam jumlah banyak dari tinja atau muntahan walaupun hanya dari seorang penderita. Pemeriksaan dengan phage typing jenis kuman dan tes enteroktoksin dapat membantu dalam penyelidikan epidemiologis namum fasilitas ini tidak selalu ada dan tidak selalu diperlukan.

2. Penyebab Penyakit ( Toxic agent)

Beberapa jenis enterotoksin dari Staphylococcus aureus stabil pada suhu mendidih. Staphylococcus berkembang biak di dalam makanan yang tercemar dan menghasilkan toksin.

3. Distribusi Penyakit

Keracunan makanan relatif lebih sering terjadi dan tersebar luas diseluruh dunia, dan merupakan salah satu jenis intoksikasi akut akibat makanan yang paling sering terjadi di Amerika Serikat. Sekitar 25% penduduk adalah carrier penyebab penyakit tersebut.

4. Reservoir

Pada umumnya yang berperan sebagai reservoir adalah manusia, kadang-kadang sapi dengan infeksi kelenjar susu berperan sebagai reservoir dan juga dapat anjing dan burung.

5. Cara-cara Penularan

Penularan terjadi karena mengkonsumsi produk makanan yang mengandung enterotoksin staphylococcus. Makanan yang sering tercemar adalah terutama makanan yang diolah dengan tangan, baik yang tidak segera dimasak dengan baik ataupun karena proses pemanasan atau penyimpanan yang tidak tepat. Jenis makanan tersebut seperti pastries, custard, saus salad, sandwhich, daging cincang dan produk daging. Toksin dapat juga berkembang pada ham dan salami yang tidak dimasak dengan benar, dan dapat juga pada keju yang tidak diproses atau diproses kurang sempurna. Bila makanan tersebut dibiarkan pada suhu kamar untuk beberapa jam sebelum dikonsumsi, maka staphylococcus yang memproduksi toksin akan berkembang biak dan akan memproduksi toksin tahan panas.

Kuman mungkin dapat bersumber dari manusia seperti dari discharge purulen pada jari dan mata yang terinfeksi, abses, erupsi jerawat di muka, sekret nasofaring, atau dari kulit yang kelihatan normal; atau kuman dapat berasal dari sapi yaitu dari susu dan produk susu yang tercemar khususnya keju.

6. Masa Inkubasi

Masa inkubasi mulai dari saat mengkonsumsi makanan tercemar sampai dengan timbulnya gejala klinis yang berlangsung antara 30 menit sampai dengan 8 jam, biasanya berkisar antara 2-4 jam.

7. Masa Penularan : Tidak terjadi penularan.

8. Kerentanan dan Kekebalan

Sebagian besar orang rentan terhadap keracunan.

9. Cara-cara Pemberantasan

A. Cara-cara Pencegahan

1) Beri penyuluhan kepada penjamah makanan tentang:

a. Higiene makanan, sanitasi dan kebersihan dapur, pengendalian temperatur penyimpanan makanan secara tepat, mencuci tangan dengan benar dan memotong kuku

b. Bahayanya kalau terpajan dengan kulit, hidung atau mata yang terinfeksi dan luka yang terbuka.

2) Pentingnya pengurangan waktu penjamahan makanan (mulai dari penyiapan sampai dengan penyajian makanan) tidak lebih dari 4 jam pada suhu kamar. Simpanlah makanan yang mudah busuk (tidak tahan lama) pada suhu panas (lebih dari 60°C /140°F) atau pada suhu dingin (kurang dari 10°C/50°F); yang paling baik adalah pada suhu dibawah 4°C/39°F didalam tempat yang tertutup, jika bahan makanan tersebut harus disimpan lebih dari 2 jam.

3) Jauhkan untuk sementara waktu, orang dengan bisul, abses dan lesi bernanah pada tangan, muka atau hidung dan mereka dilarang untuk menangani dan menjamah makanan.

B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar

1) Laporan kepada institusi kesehatan setempat, laporan wajib dilakukan apabila terjadi KLB dari kasus suspek atau apabila terjadi KLB dari penderita yang sudah pasti diagnosanya, Kelas 4 (lihat pelaporan tentang penyakit menular).

2), 3), 4) 5) dan 6) Isolasi, Disinfeksi serentak, karantina, Imunisasi terhadap kontak dan Investigasi kontak dan sumbe infeksi : Tidak perlu. Tindakan penanggulangan dilakukan apabila ada KLB. Kasus-kasus individual jarang sekali teridentifikasi.

7) Pengobatan spesifik: Penggantian cairan bila ada indikasi.

C. Upaya Penanggulangan Wabah

1) Lakukan review dengan cepat terhadap kasus yang dilaporkan: • Lakukan investigasi untuk mengetahui dengan pasti tentang waktu, tempat kejadian dan populasi yang berisiko. • Dapatkan daftar yang lengkap dari semua makanan yang disajikan, simpanlah makanan yang tersisa kedalam lemari es. • Dengan melihat gambaran klinis yang menonjol dan ditambah dengan perkiraan masa inkubasi akan sangat membantu mengarahkan kepada agen penyebab yang paling mungkin.

• Kumpulkan sampel dari tinja dan muntahan buat pemeriksaan laboratorium. • Beri penjelasan dan peringatan kepada petugas laboratorium tentang dugaan

agen penyebab. • Wawancarai mereka yang terpajan secara acak • Bandingkan attack rate dari masing-masing makanan yang dimakan dengan

attack rate jenis makanan yang tidak dikonsumsi; makanan yang tercemar biasanya mempunyai perbedaan attack rate yang bermakna. Biasanya sebagian besar penderita terbukti telah mengkonsumsi makanan yang tercemar.

2) Selidiki asal dari makanan yang tercemar dan cara-cara pengelolaan makanan tersebut mulai dari penyiapan, penyimpanan dan penyajian: • Cari sumber kontaminasi yang mungkin terjadi dan periode wakt pada saat

dilakukan pemanasan dan pendinginan yang tidak sempurna yang dapat menyebabkan pertumbuhan kuman staphylococcus.

• Segera ambil sisa makanan yang dicurigai sebagai penyebab kontaminasi untuk pemeriksaan laboratorium; kegagalan untuk menemukan staphylococcus dari sampel maknan tersebut tidak mengenyampingkan kemungkinan adanya enterotoksin tahan panas jika makanan tersebut telah dipanaskan.

3) Cari penjamah makanan dengan infeksi kulit terutama di bagian tangan. Biakkan semua lesi purulen dari penjamah makanan dan ambil swab hidung dari semua penjamah makanan. Pemeriksaan antibiogram dan phage typing dari strain staphylococcus yang memproduksi enterotoksin yang sampelnya diambil dari makanan, penjamah makanan dan dari muntahan atau tinja penderita, dapat membantu penegakan diagnosa.

D. Implikasi Bencana

Bahaya potensial dapat terjadi pada situasi dimana makanan harus disediakan secara massal dan tidak tersedia fasilitas pendingin (lemari es) hal ini khususnya menjadi Bahaya potensial dapat terjadi pada situasi dimana makanan harus disediakan secara massal dan tidak tersedia fasilitas pendingin (lemari es) hal ini khususnya menjadi

E. Tindakan Internasional

Manfaatkan Pusat-pusat Kerja sama WHO.