DIARE YANG DISEBABKAN OLEH STRAIN ENTEROHEMORAGIKA ICD-9 008.0; ICD-10 A04.3

I. DIARE YANG DISEBABKAN OLEH STRAIN ENTEROHEMORAGIKA ICD-9 008.0; ICD-10 A04.3

(EHEC, E. coli penghasil toksin Shiga [STEC]

E. coli O 157:H7, E. coli penghasil verotoksin) [VTEC]

1. Identifikasi

Kategori E. coli penyebab diare ini dikenal pada tahun 1982 ketika terjadi suatu KLB colitis hemoragika di Amerika Serikat yang disebabkan oleh serotipe yang tidak lazim, E. coli O157:H7 yang sebelumnya tidak terbukti sebagai patogen enterik. Diare dapat bervariasi mulai dari yang ringan tanpa darah sampai dengan terlihat darah dengan jelas dalam tinja tetapi tidak mengandung lekosit. Yang paling ditakuti dari infeksi EHEC adalah sindroma uremia hemolitik (HUS) dan purpura trombotik trombositopenik (TTP). Kira-kira 2-7% dari diare karena EHEC berkembang lanjut menjadi HUS. EHEC mengeluarkan sitotoksin kuat yang disebut toksin Shiga 1 dan 2. Toksin Shiga 1 identik dengan toksin Shiga yang dikeluarkan oleh Shigella dysentriae 1; khususnya, HUS juga dikenal suatu komplikasi berat dari penyakit S. dysentriae 1. Sebelumnya toksin-toksin ini disebut verotoksin 1 dan 2 atau toksin I dan II mirip-Shiga. Keluarnya toksin-toksin ini tergantung pada adanya “phages” tertentu yang dibawa oleh bakteri.

Disamping itu strain EHEC mengandung plasmid yang ganas yang membantu

menempelnya bakteri pada mukosa usus. Kebanyakan strain EHEC mempunyai pulau pathogen di dalam kromosomnya yang mengandung bermacam gen virulen dengan kode- kode protein tertentu penyebab terjadinya penempelan dan penyembuhan luka pada mukosa usus. Di Amerika Utara strain dari serotipe EHEC yang paling umum adalah 0157:H7, dapat diidentifikasi dari kultur tinja, terlihat dari ketidakmampuannya meragikan sarbitol dari media seperti MacConkey-sorbitol (media ini digunakan untuk skrining E. coli 0157:H7). Sejak diketahui bahwa pada strain EHEC yang bisa meragikan sarbitol, maka teknik lain untuk mendeteksi EHEC perlu dikembangkan. Teknik yang perlu dikembangkan ini termasuk kemampuan mendeteksi adanya toksin Shiga. Kemampuan melakukan identifikasi karakteristik serotipe atau penggunaan probes DNA untuk identifikasi gen toksin punya kemampuan mendeteksi adanya plasmid virulens EHEC atau sekuensi spesifik dalam pulau patogenik. Tidak adanya demam pada kebanyakan pasien dapat membantu membedakan penyakit ini dari shigellosis dan disentri yang disebabkan oleh strain enteroinvasive E. coli atau oleh Campylobacter.

2. Penyebab Penyakit

Serotipe EHEC utama yang ditemukan di Amerika Utara adalah E. coli 0157:H7; serotipe lainnya seperti 026:H11; 0111:H8; 0103:H2; 0113:H21; dan 0104:H21 juga ditemukan.

3. Distribusi Penyakit

Penyakit ini sekarang ini dianggap masalah kesehatan masyarakat di Amerika Utara, Eropa, Afrika Selatan, Jepang, ujung selatan Amerika Selatan dan Australia. Sedangkan di bagian lain belahan bumi, penyakit ini belum menjadi masalah. KLB hebat, KLB dengan colitis hemoragika, HUS disertai dengan kematian terjadi di Amerika karena hamburger yang tidak dimasak dengan baik, susu yang tidak dipasteurisasi, cuka apel (dibuat dari apel yang kemungkinan tercemar kotoran sapi) dan karena mengkonsumsi tauge alfafa.

4. Reservoir

Ternak merupakan reservoir EHEC terpenting; manusia dapat juga menjadi sumber penularan dari orang ke orang. Terjadi peningkatan kejadian di Amerika Utara dimana rusa dapat juga menjadi reservoir.

5. Cara Penularan

Penularan terjadi terutama karena mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi seperti:

tercemar dengan Salmonella, hal ini paling sering terjadi karena daging sapi yang tidak dimasak dengan baik (terutama daging sapi giling) dan juga susu mentah dan buah atau sayuran yang terkontaminasi dengan kotoran binatang pemamah biak. Seperti halnya Shigella, penularan juga terjadi secara langsung dari orang ke orang, dalam keluarga, pusat penitipan anak dan asrama yatim piatu. Penularan juga dapat melalui air, misalnya pernah dilaporkan adanya KLB sehabis berenang di sebuah danau yang ramai dikunjungi orang dan KLB lainnya disebabkan oleh karena minum air PAM yang terkontaminasi dan tidak dilakukan klorinasi dengan semestinya.

6. Masa Inkubasi

Relatif panjang berkisar antara 2 sampai 8 hari, dengan median antara 3-4 hari.

7. Masa Penularan

Lamanya ekskresi patogen kira-kira selama seminggu atau kurang pada orang dewasa dan

3 minggu pada kira-kira sepertiga dari anak-anak. Jarang ditemukan “carrier” yang berlarut-larut.

8. Kerentanan dan Kekebalan

Dosis infeksius sangat rendah. Hanya sedikit yang diketahui tentang spektrum dari kerentanan dan kekebalan. Umur tua mempunyai risiko lebih tinggi, hipoklorhidria diduga menjadi faktor yang terkontribusi pada tingkat kerentanan. Anak usia di bawah 5 tahun berisiko paling tinggi untuk mendapat HUS.

9. Cara-cara Pemberantasan

A. Cara Pencegahan

Mengingat bahwa penyakit ini sangat potensial menimbulkan KLB dengan kasus- kasus berat maka kewaspadaan ini dari petugas kesehatan setempat untuk mengenal sumber penularan dan melakukan pencegahan spesifik yang memadai sangat diperlukan. Begitu ada penderita yang dicurigai segera lakukan tindakan untuk mencegah penularan dari orang ke orang dengan cara meminta semua anggota keluarga dari penderita untuk sering mencuci tangan dengan sabun dan air terutama buang air besar, sehabis menangani popok kotor dan sampah, dan melakukan pencegahan kontaminasi makanan dan minuman. Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk mengurangi Distribusi Penyakit sebagai berikut:

1) Mengelola kegiatan rumah pemotongan hewan dengan benar untuk mengurangi kontaminasi daging oleh kotoran binatang.

2) Pasteurisasi susu dan produk susu.

3) Radiasi daging sapi terutama daging sapi giling.

4) Masaklah daging sapi sampai matang dengan suhu yang cukup terutama daging sapi giling. The USA Food Safety Inspection Service dan the 1997 FDA Food Code merekomendasikan memasak daging sapi giling pada suhu internal 155ºF (68ºC) paling sedikit selama 15-16 detik. Hanya dengan melihat warna merah muda daging yang menghilang, tidak dapat dibandingkan dengan kecepatan pengukuran suhu menggunakan termometer daging.

5) Lindungi dan lakukan pemurnian dan klorinasi air PAM; lakukan klorinasi kolam renang.

6) Pastikan bahwa kebersihan lingkungan dan kebersihan perorangan pada pusat penampungan anak, terutama sering mencuci tangan dengan sabun dan air sudah menjadi budaya sehari-hari.

B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar

1) Laporan kepada pejabat kesehatan setempat: Laporan kasus infeksi E. coli 0157:H7 merupakan keharusan di beberapa negara bagian di Amerika Serikat dan di banyak negara, Kelas 2B (lihat tentang pelaporan penyakit menular). Mengenal KLB secara dini dan segera melaporkan kepada Dinas Kesehatan setempat sangatlah penting.

2) Isolasi: Selama penyakit dalam keadaan akut, tindakan pencegahan dengan kewaspadaan enterik.

Walaupun dengan dosis infektif yang amat kecil, pasien yang terinfeksi dilarang menjamah makanan atau menjaga anak atau merawat pasien sampai hasil sampel tinja atau suap dubur negatif selama 2 kali berturut-turut (diambil 24 jam secara terpisah dan tidak lebih cepat dari 48 jam setelah pemberian dosis antibiotik yang terakhir).

3) Disinfeksi serentak: dilakukan terhadap tinja dan barang-barang yang terkontaminasi. Masyarakat yang mempunyai sistem pembuangan kotoran modern dan memadai, tinja dapat dibuang langsung kedalam saluran pembuangan tanpa dilakukan desinfeksi. Pembersihan terminal.

4) Karantina: tidak ada.

5) Penatalaksanaan kontak: Jika memungkinkan mereka yang kontak dengan diare dilarang menjamah makanan dan merawat anak atau pasien sampai diare berhenti dan hasil kultur tinja 2 kali berturut-turut negatif. Mereka diberitahu agar mencuci tangan dengan sabun dan air sehabis buang air besar dan sebelum menjamah makanan atau memegang anak dan merawat pasien.

6) Penyelidikan kontak dan sumber infeksi: kultur kontak hanya terbatas dilakukan pada penjamah makana, pengunjung dan anak-anak pada pusat perawatan anak dan situasi lain dimana penyebaran infeksi mungkin terjadi. Pada kasus sporadic, melakukan kultur makanan yang dicurigai tidak dianjurkan karena kurang bermanfaat.

7) Pengobatan spesifik: Penggantian cairan dan elektrolit penting jika diare cair atau adanya tanda dehidrasi (lihat Kolera, 9B7). Peranan pengobatan antibiotika terhadap infeksi E. coli 0157:H7 dan EHEC lainnya tidak jelas. Bahkan beberapa kejadian menunjukkan bahwa pengobatan dengan TMP-SMX fluorquinolones dan antimikrobial tertentu lainnya dapat sebagai pencetus komplikasi seperti HUS.

C. Penanggulangan Wabah

1) Laporkan segera kepada pejabat kesehatan setempat jika ditemukan adanya kelompok kasus diare berdarah akut, walaupun agen penyebab belum diketahui.

2) Cari secara intensif media (makanan atau air) yang menjadi sumber infeksi, selidiki kemungkinan terjadinya penyebaran dari orang ke orang dan gunakan hasil penyelidikan epidemiologis ini sebagai pedoman melakukan penanggulangan yang tepat.

3) Singkirkan makanan yang dicurigai dan telusuri darimana asal makanan tersebut; pada KLB keracunan makanan yang common-cource; ingatan terhadap makanan yang dikonsumsi dapat mencegah banyak kasus

4) Jika dicurigai telah terjadi KLB dengan penularan melalui air (waterborne), keluarkan perintah untuk memasak air dan melakukan klorinasi sumber air yang dicurigai dibawah pengawasan yang berwenang dan jika ini tidak dilakukan maka sebaiknya air tidak digunakan.

5) Jika kolam renang dicurigai sebagai sumber KLB, tutuplah kolam renang tersebut dan pantai sampai kolam renang diberi klorinasi atau sampai terbukti bebas kontaminasi tinja. Sediakan fasilitas toilet yang memadai untuk mencegah kontaminasi air lebih lanjut oleh orang-orang yang mandi.

6) Jika suatu KLB dicurigai berhubungan dengan susu, pasteurisasi dan masak dahulu susu tersebut sebelum diminum.

7) Pemberian antibiotik untuk pencegahan tidak dianjurkan.

8) Masyarakatkan pentingnya mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar; sediakan sabun dan kertas tissue.

D. Implikasi menjadi bencana: Potensial terjadi bencana jika kebesihan perorangan dan sanitasi lingkungan tidak memadai (lihat Demam Tifoid, 9D).

E. Penanganan Internasional: Manfaatkan Pusat kerja sama WHO.