Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

3 Kualitas kelekatan tersebut kemudian akan tercermin dalam perilaku- perilaku lekat yang ditampakkan individu terhadap figur lekatnya. Dalam konteks hubungan intim, perilaku lekat ditujukan pada pasangan yang berikutnya akan memberikan pengaruh kepada pasangan tersebut dalam beberapa hal seperti gaya mencintai dan kesediaan untuk mempertahankan hubungan. Adanya hubungan antara kelekatan dengan kedua hal tersebut ditunjukkan oleh studi yang dilakukan oleh sejumlah peneliti. Ketertarikan para peneliti terhadap pengaruh kelekatan pada masa remaja dan dewasa diawali oleh penelitian Hazan dan Shaver 1987. Dalam penelitian tersebut, dikemukakan konsep bahwa hubungan romantis yang tercermin dalam gaya mencintai love style pada masa dewasa merupakan sebuah proses kelekatan. Dalam proses ini seseorang dapat menjalin ikatan emosional dengan pasangannya sebagai cerminan dari ikatan emosional yang pernah terbentuk dengan orang tuanya ketika kecil. Helmi 1992 dan Rachmawatie 2002, dalam penelitiannya, mengemukakan adanya korelasi positif antara kualitas kelekatan dengan gaya mencintai pada individu usia dewasa awal. Rachmawatie 2002 juga menyebutkan bahwa pada umumnya, cinta menjadi faktor pendorong untuk menjalin hubungan pernikahan dan selanjutnya membentuk keluarga baru. Havighurst dalam Hurlock, 1980 menguraikan pula bahwa mencari pasangan dan membangun keluarga baru merupakan salah satu tugas perkembangan manusia dewasa. 4 Dari sudut pandang yang lain, Santrock 1999 menyatakan bahwa salah satu hubungan yang paling berarti untuk dipertahankan adalah hubungan yang mengandung kelekatan. Artinya, dalam hubungan pernikahan, pasangan yang memiliki kualitas kelekatan yang baik akan memiliki daya juang yang lebih tinggi dalam mempertahankan pernikahan dan memelihara keutuhan keluarganya. Mengenai kehidupan berkeluarga, para ahli ilmu sosial, seperti Rakhmat 1988 dan Durkin 1995, berpendapat bahwa keluarga merupakan institusi sosial yang paling penting dalam masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari keluarga menjalankan fungsi-fungsi penting dalam segi ekonomi, seksual, reproduksi, pendidikan maupun sosialisasi, oleh karena itu, kualitas keluarga turut mempengaruhi tingkat kualitas masyarakat. Kualitas keluarga terutama ditentukan oleh kondisi pernikahan dua orang dewasa yang memegang peran sebagai suami dan istri dalam keluarga tersebut. Keluarga yang berkualitas akan tumbuh dari pernikahan yang harmonis. Pernikahan yang harmonis ditandai oleh adanya keselarasan pandangan, pendapat, maupun ketertarikan suami istri pada berbagai hal. Pernikahan yang harmonis juga merupakan potensi yang mendukung keluarga dalam menjalankan fungsi- fungsinya dalam masyarakat. Kelanggengan suatu hubungan, menurut Hurlock 1980, dipengaruhi oleh adanya berbagai perbedaan aspek-aspek internal yang dibawa oleh masing-masing individu dari lingkungan asalnya. Pada hubungan pernikahan, ada hal-hal yang mendukung keutuhan dan kepuasan pernikahan, ada juga hal-hal yang justru menghambat atau bahkan menghancurkan keintiman suami istri. Menurut Rahmah 5 1997, kesuksesan dalam mengatasi konflik pernikahan diasumsikan sebagai akar dari stabil tidaknya kondisi pernikahan, sebab kelangsungan hidup pernikahan juga ditentukan oleh kemampuan suami istri dalam mengatasi konflik tersebut. Pandangan ini sejalan dengan pendapat Wibhowo 2002 bahwa hal yang paling utama dalam kehidupan pasutri bukanlah hal-hal dari luar mereka namun sesuatu yang ada dalam diri mereka yaitu keintiman atau keakraban. Kenyataannya, berbagai fenomena yang muncul pada masa ini menunjukkan bahwa menjaga sebuah pernikahan tetap dalam kondisi harmonis bukanlah suatu hal yang mudah bagi setiap pasangan. Itu adalah hal yang wajar karena pernikahan merupakan perpaduan dari dua manusia yang memiliki perbedaan dalam beragam aspek, baik aspek kepribadian, latar belakang, maupun kepentingan. Apabila pasangan tidak mampu mengakomodasikan suatu perbedaan dalam kehidupan bersama, maka dapat diduga bahwa keakraban atau keintiman semakin jauh dari kehidupannya. Kondisi inipun tak jarang menimbulkan konflik dalam kehidupan pasangan suami istri. Banyaknya perbedaan dalam diri pasangan membuat pernikahan tidak pernah terlepas dari konflik. Burin, dkk, dalam Sears, dkk, 1992 menemukan fakta dalam sebuah survey berskala nasional bahwa 45 orang yang menikah menyatakan bahwa dalam kehidupan bersama akan muncul berbagai masalah khususnya pada masa-masa awal pernikahan. Pandangan ini sejalan dengan pendapat Landis dan Landis 1960 bahwa konflik antara suami istri sering terjadi pada tahun-tahun awal pernikahan. Konflik tersebut terjadi karena pasangan suami istri sedang dalam proses belajar untuk hidup bersama. Keadaan ini akan 6 berlangsung terus sampai sepuluh tahun pertama pernikahan sampai pada akhirnya pasangan suami istri tersebut dapat menyelesaikan konflik yang ada dengan kesepakatan. Konflik, dalam kehidupan sosial, dapat dijadikan sebagai hal yang bepotensi positif dan juga negatif terhadap hubungan, tergantung pada bagaimana cara yang digunakan untuk mengatasi konflik tersebut. Konflik dikatakan berpotensi positif apabila penyelesaian konflik mampu menjadi solusi yang berdampak pada peningkatan kualitas suatu hubungan, sebaliknya, konflik berpotensi negatif apabila penyelesaian konflik memicu munculnya berbagai masalah baru yang pada akhirnya mengurangi kualitas hubungan Johnson dan Johnson, 1991. Konflik yang berkepanjangan merupakan salah satu manifestasi potensi konflik negatif. Konflik dalam pernikahan yang terus berlanjut tanpa ada penyelesaian menimbulkan beban mental yang semain lama akan mengurangi kepuasan terhadap pernikahan Rahmah, 1997. Strategi manajemen konflik dibedakan menjadi dua oleh Folkman dalam Smet, 1990, yaitu SMM-M strategi menghadapi masalah yang berorientasi pada masalah dan SMM-E strategi menghadapi masalah yang berorientasi pada emosi. Dalam SMM-M, individu berusaha untuk menghadapi masalah dengan penuh hati-hati, aksi instrumental dan negosiasi. Sedangkan dalam SMM-E, individu akan berusaha melarikan diri dari masalah, mengurangi beban masalah, menyalahkan diri sendiri dan mencari makna. Menurut Aldwin dan Revenson dalam Wibhowo, 2002 baik SMM-M dan SMM-E sama-sama efektif untuk 7 menyelesaikan masalah. Akan tetapi mengingat salah satu bentuk dalam SMM-E, yakni melarikan diri dari masalah, sangat berkaitan dengan adanya gangguan pada kesehatan mental, maka secara umum, SMM-M lebih efektif bagi kesehatan mental. Sebuah studi yang lain dilakukan oleh Kurdeck 1994 mengenai interaksi pernikahan yang difokuskan pada pengidentifikasian bentuk-bentuk manajemen konflik dalam pernikahan, menerangkan bahwa strategi manajemen konflik yang digunakan pasangan suami istri dapat dijadikan sebagai bahan prediksi atas kepuasan yang dirsakan pasangan tersebut. Menurut Kurdeck 1994, pasangan yang memperoleh kepuasan adalah pasangan yang dapat menyelesaikan konflik dengan cara-cara yang konstruktif positive problem solving. Hasil studi tersebut juga didukung oleh hasil dari beberapa studi lain yang dilakukan berikutnya, diantaranya adalah studi yang dilakukan oleh Rahmah 1997 serta Greeff dan De Bruyne 2000. Hasil dari kedua studi tersebut menunjukkan adanya korelasi positif antara penggunaan strategi manajemen konflik yang konstruktif dengan kepuasan pasangan terhadap pernikahan. Kepuasan pernikahan yang dirasakan pasangan selanjutnya akan membuat pernikahan menjadi lebih berarti untuk dipertahankan. Hal ini sejalan dengan pendapat Gottman 1994 yang menyatakan bahwa usaha mengelola konflik merupakan salah satu cara memelihara dan mempertahankan pernikahan. Santrock 1999 juga menjelaskan bahwa dalam memelihara dan membangun suatu hubungan diperlukan kesediaan untuk menyelesaikan permasalahan dengan 8 respon-respon yang bersifat konstruktif, termasuk juga dalam menyelesaikan permasalahan berupa konflik. Kesimpulan dari uraian di atas adalah bahwa seperti juga kelekatan antara bayi dengan ibunya, kelekatan yang berkembang pada hubungan pernikahan juga melibatkan ikatan emosional dalam kualitas tertentu. Ikatan emosional ini menjadi salah satu faktor internal kedua individu tersebut yang akan terus menyertai sepanjang kehidupan pernikahan. Ikatan emosional dalam hubungan pernikahan yang telah terjalin akan mendukung berbagai perilaku yang mengarah pada usaha memelihara hubungan. Salah satu perilaku yang kemudian muncul untuk mendukung kelanggengan hubungan adalah berupaya menjaga kualitas kelekatan antara pasangan. Dari uraian tersebut jelaslah bahwa agar hubungan pernikahan tetap berarti untuk dipertahankan semaksimal mungkin dengan cara-cara yang konstruktif, pasangan suami istri perlu selalu memelihara kualitas kelekatan dalam pernikahannya. Berlatar belakang permasalahan tersebut, peneliti menganggap perlu adanya suatu penelitian untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara kualitas kelekatan dengan strategi manajemen konflik positive problem solving pada hubungan pernikahan. 9

B. Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan positif antara kualitas kelekatan pasutri dengan strategi manajemen konflik positive problem solving dalam pernikahan?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidak adanya hubungan positif antara kualitas kelekatan pasutri dengan strategi manajemen konflik positive problem solving dalam pernikahan.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis Penelitian ini menambah kajian dalam bidang psikologi perkembangan, khususnya bahasan mengenai kelekatan dan strategi manajemen konflik positive problem solving dalam pernikahan. 2. Manfaat Praktis a. Memberi pemahaman pada pasangan suami istri mengenai kualitas kelekatan, serta pentingnya pemilihan strategi manajemen konflik yang konstrutif dalam membina hubungan pernikahan. b. Memberi masukan kepada konselor atau penasehat pernikahan dalam mengatasi berbagai permasalahan dalam pernikahan. 10

BAB II LANDASAN TEORI

A. Strategi Manajemen Konflik Positive Problem Solving dalam

Pernikahan 1. Pernikahan Pernikahan merupakan komitmen antara dua orang untuk hidup bersama. Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974, pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami istri. Ikatan tersebut disahkan menurut hukum agama dan kepercayaan mereka serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pernikahan menurut Mc Kinney 1950 merupakan hubungan yang dinamis antara dua kepribadian. Ketika dua kepribadian bersatu dan telah terjadi kesesuaian, maka masing-masing akan dapat meningkatkan kualitas hubungan sehari-hari. Penyatuan ini tidak dapat dilakukan oleh satu pihak saja, melainkan harus diciptakan oleh kedua pasangan suami istri melalui usaha kerja sama. Landis dan Landis 1960 juga berpendapat bahwa kualitas hubungan suami-istri tidak akan dapat ditingkatkan jika masing-masing pihak berusaha berjalan dengan caranya sendiri dan mencari kebebasan sendiri. Pernikahan juga merupakan pembentukan suatu basis rumah tangga baru dan mandiri yang akan segera memisahkan diri, baik secara ekonomi maupun tempat tinggal, lepas dari orang tua. Pada prakteknya pemisahan ini dapat tertunda satu tahun atau lebih sesudah menikah karena berbagai alasan Geertz, 1983. 11 Para ahli ilmu sosial secara berbeda-beda membagi waktu pernikahan dalam beberapa masa. Setiap masa menggambarkan karakteristik kehidupan pernikahan yang berbeda-beda. La Rose dalam Rahmah, 1997 menyebutkan, setidaknya ada tiga masa rawan dalam kehidupan pernikahan. Tiga masa rawan tersebut yaitu: a Masa rawan pertama Pada masa ini setiap orang akan mulai tampil sebagaimana adanya, sehingga pada masa ini diperlukan penyesuaian antara kedua orang pasangan yang terlibat di dalam pernikahan. Masa ini dapat teratasi bila seseorang sanggup menerima kenyataan bahwa pasangannya tidak seperti yang diharapkan dan dibayangkan. b Masa rawan ke dua Masa ini disebut juga sebagai the seven years itch atau masa dengan kegelisahan yang menggelitik menjelang tahun ke tujuh pernikahan. Masa ini dapat mengakibatkan hadirnya orang ke tiga. Masa ini dapat teratasi bila dalam perjalanan pernikahan seseorang telah tumbuh menjadi pribadi yang dewasa. c Masa rawan ke tiga Masa ini terjadi pada kira-kira usia pernikahan yang ke dua puluh. Saat itu pasangan sudah saling mengenal dengan lebih baik sehingga tidak banyak lagi misteri atau rasa ingin tahu terhadap pasangan. Hal ini sering membuat pernikahan jadi terasa membosankan.