Kualitas Kelekatan Kualitas Kelekatan

29 c. Kelekatan Tipe Menghindar avoidant attachment Bayi dengan tipe ini menunjukkan kecemasan dengan bersikap menghindari kontak dengan ibunya. Ketika dewasa, individu dengan tipe kelekatan ini mengembangkan model mental yang memandang diri sendiri sebagai orang yang kurang pengertian, kurang percaya diri, kurang berharga, takut ditinggalkan atau tidak dicintai oleh orang lain; memandang orang lain sebagai orang yang mudah berubah, punya komitmen yang rendah dalam berhubungan; dan cenderung salah dalam menginterpretasikan tanda-tanda yang diberikan oleh orang lain. Tipe-tipe kelekatan tersebut terbentuk dari bagaimana tingkat sensitivitas dan responsivitas pengasuh terhadap tanda-tanda yang diberikan bayi. Misalnya, bayi dengan tipe kelekatan aman biasanya memiliki ibu yang lebih sensitif, lebih memberikan penerimaan dan lebih ekspresif menunjukkan perasaan. Ibu dari bayi-bayi dengan tipe kelekatan menghindar biasanya lebih sedikit melakukan kontak fisik dengan bayinya, lebih sering menunjukkan kemarahan dan wajah tidak senang daripada mengekspresikan kasih sayangnya. Lain halnya dengan ibu dari bayi dengan tipe kelekatan cemas. Ibu dengan bayi tipe ini tidak banyak menunjukkan perasaan sayangnya namun juga tidak menunjukkan perilaku menolak pada bayinya Ainsworth, dalam Santrock, 1999. Uraian mengenai karakteristik tipe kelekatan tersebut menunjukkan bahwa tingkat sensitivitas dan responsivitas ibu kepada bayinya merupakan faktor yang menentukan kualitas kelekatan di antara bayi dengan ibunya. Kualitas kelekatan yang aman terbentuk karena adanya kepercayaan trust terhadap responsivitas 30 dan sensitivitas yang ditunjukkan oleh figur lekat. Sebaliknya, kurangnya responsivitas dan sensitivitas figur lekat akan menimbulkan ketidakpercayaan mistrust individu terhadapa figur lekatnya, sehingga akan terbentuk kualitas kelekatan yang tidak aman. Kualitas kelekatan tersebut kemudian akan tercermin dalam perilaku-perilaku lekat yang ditampakkan individu terhadap figur lekatnya. Alan Sroufe dalam Santrock, 1999 juga melakukan penelitian dengan hasil yang menunjukkan bahwa kualitas kelekatan berpengaruh terhadap perilaku sosial anak dalam berhubungan di masa mendatang. Lebih spesifik, Sroufe menjelaskan bahwa anak-anak dengan kelekatan tipe aman mempunyai lebih sedikit masalah, lebih mampu menikmati masa remajanya dan sukses dalam menjalin hubungan akrab dengan sebayanya. Walaupun anak-anak dengan tipe kelekatan tidak aman memiliki resiko lebih besar untuk mendapat lebih banyak masalah di masa mendatang, namun anak-anak dengan kelekatan tipe inipun dapat merasa lebih tenang pada masa remajanya jika ibu kemudian mampu mengadakan hubungan yang penuh kasih sayang dan meredakan gejala-gejala depresi pada anaknya Ostoja, dkk., dalam Santrock, 1999. Berdasarkan uraian di muka, dapat disimpulkan bahwa kualitas kelekatan merupakan tingkat mutu atau kebaikan kelekatan yang tercermin dalam perilaku- perilaku lekat yang dimunculkan individu terhadap figur lekatnya. Kualitas kelekatan berbeda-beda dan menunjukkan karakteristik yang berbeda-beda pula. Variasi kualitas kelekatan dapat dibedakan berdasarkan beberapa tipe kelekatan yang digolongkan dari variasi respon individu terhadap situasi yang dihadapi pada saat berdekatan atau sedang tidak berdekatan dengan figur lekat. Pada penelitian 31 ini, tingkat kualitas kelekatan tidak diketahui melalui penggolongan subjek ke dalam tipe-tipe kelekatan tertentu, melainkan melalui perilaku-perilaku lekat yang dimunculkan individu terhadap figur lekatnya.

3. Kualitas Kelekatan dalam Pernikahan

Hubungan pernikahan diharapkan tidak hanya diartikan sebagai sebuah perangkat sosial semata, namun juga mengandung ikatan emosional di dalamnya. Adanya ikatan emosional dalam hubungan pernikahan sangat penting karena menurut Santrock 1999, ikatan emosional atau kelekatan merupakan alasan yang paling kuat bagi individu untuk menjalin dan memelihara hubungan dengan individu lain. Hubungan kelekatan antara pasangan intim, seperti pasangan suami istri, tumbuh dengan proses yang serupa dengan proses tumbuhnya kelekatan pada bayi dan kanak-kanak terhadap ibunya. Durkin 1995 menjelaskan bahwa model mental yang terbentuk dari relasi kelekatan pada masa bayi melandasi terbentuknya hubungan individu dengan individu lain. Apa yang dipelajari dari hubungan antara anak dengan ibu akan digeneralisasikan pada hubungan yang lain di kemudian hari, salah satunya adalah hubungan berpasangan seperti pacaran dan hubungan pernikahan. Proses terbentuknya kelekatan pada individu dewasa dapat pula diterangkan dengan teori Hazan dan Shaver 1987. Menurut Hazan dan Shaver, melalui interaksi yang berkesinambungan, seseorang akan memberikan penilaian terhadap hubungannya dengan figur lekatnya mengenai dua hal, yaitu: 32 a. Berkaitan dengan pandangannya terhadap orang lain; apakah orang lain dinilai dapat memberikan perlindungan, penghargaan dan dorongan. b. Berkaitan dengan pandangannya terhadap dirinya sendiri; apakah dirinya dinilai sebagai orang yang berharga dan dicintai. Penilaian tersebut kemudian melandasi berkembangnya model mental pada diri individu secara internal yang berisi tentang kepercayaan dan harapan apakah figur lekatnya hangat dan responsif atau tidak. Dalam hubungan berpasangan, model mental yang terorganisasi sebagai harapan-harapan akan respon dari figur lekat tersebut akan mengarahkan individu untuk meramalkan perilaku pasangannya Bartholomew Horowitz, 1991; Westmast Silver, 2001. Menurut Bell, dkk. 1985, hubungan cinta dalam konteks pasangan merupakan suatu langkah awal untuk mendapatkan status orang dewasa. Hubungan cinta dapat menjadi jawaban dari ketidakseimbangan, kekosongan, dan kecemasan karena salah satu tugas perkembangan yang harus diselesaikan pada masa dewasa awal adalah memilih teman hidup. Erikson dalam Santrock,1999 juga menyebutkan bahwa salah satu tujuan dari tahap dewasa adalah mengembangkan keintiman, yaitu kapasitas individu untuk membina hubungan yang hangat dan berarti dengan orang lain. Hubungan ini dapat berupa persahabatan maupun hubungan romantis. Jika pada masa ini seseorang tidak dapat membina keintiman dengan orang lain, maka ia akan merasa sepi, sedih, dan terasing. 33 Berscheid, dkk. dalam Santrock, 1999 menyatakan hasil surveinya bahwa hubungan romantis adalah hubungan yang paling dianggap penting oleh kalangan orang dewasa. Mereka juga menyatakan bahwa ikatan dengan pasangan romantis adalah hubungan yang paling dekat. Santrock 1999 menerangkan bahwa dalam keterampilan menjalin hubungan yang adaptif, salah satu hal yang penting dilakukan untuk mengembangkan kemampuan sosial-emosional pada orang dewasa adalah dengan membina hubungan cinta yang memuaskan dengan pasangannya. Hal ini menjadi penting karena dalam hubungan cinta, terkandung gairah, emosi, dan komitmen yang secara positif berarti ada kesediaan untuk saling mengembangkan identitas positif masing-masing, saling membagi kehidupan, saling terbuka dan dapat memandang dari perspektif pasangannya. Hubungan kelekatan dalam interaksi orang dewasa, termasuk dalam hubungan pernikahan, menurut Myers 1999 memiliki aspek yang agak berbeda dengan aspek-aspek kelekatan pada bayi dan anak-anak. Hal ini disebabkan karena kelekatan antara individu dewasa lebih merupakan hubungan yang timbal balik daripada hubungan kelekatan yang terjalin pada masa bayi dan kanak-kanak. Myers menjelaskan kelekatan di antara individu dewasa dalam hubungan pernikahan meliputi tiga aspek, yaitu: a. Pengertian yang berkualitas mutual understanding Pengertian dalam hal ini terjadi kepada pasangan baik secara kognitif, maupun afektif.