Hubungan antara kualitas kelekatan pasutri dengan strategi manajemen konflik [positive problem solving] dalam pernikahan.

(1)

ABSTRAK

PERSEPSI KONSUMEN TERHADAP EFISIENSI KOMUNIKASI INTERPERSONAL SALES PROMOTION GIRL MARLBORO

DI AMBARUKMO PLAZA, YOGYAKARTA Guruh Himawan Pramudianto

Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2009

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran tentang persepsi konsumen terhadap efisiensi komunikasi interpersonal Sales Promotion Girl Marlboro di Ambarukma Plaza Yogyakarta. Persepsi adalah suatu proses mental dasar yang mempengaruhi atau membentuk sikap dan perilaku individu. Pada penelitian ini, persepsi yang merupakan salah satu faktor psikologis yang dapat mempengaruhi perilaku konsumen dalam pembelian suatu produk, maka tidak sedikit produsen berusaha “memaksa” konsumen agar memiliki pengalaman terhadap produk yang ditawarkan.

Penentuan subjek penelitian dilakukan dengan pengamatan, subjek yang dipilih adalah yang telah berinteraksi dengan SPG minimal 10 menit, sehingga bisa memberikan persepsi terhadap efisiensi SPG dalam komunikasi interpersonal. Jumlah subjek adalah 100 orang dan instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Skala Likert. Uji realibilitas skala dilakukan dengan menggunakan rumus Alpha Cronbach dengan hasil koefisien reliabilitas sebesar 0.912 (tinggi). Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode analisis statistik deskriptif.

Berdasarkan analisis data dapat disimpulkan bahwa secara umum subjek dalam penelitian ini memiliki persepsi yang positif terhadap efisiensi komunikasi interpersonal SPG. Hal ini terlihat dari hasil mean empirik (95,86) lebih besar daripada mean teoritik (82,5). Subjek yang mempunyai persepsi positif adalah 94 subjek (94%) dan subjek yang mempunyai persepsi negatif hanya terdiri dari 6 subjek (6%). Semua aspek komunikasi interpersonal dalam skala penelitian menghasilkan mean empirik yang tinggi. Mean empirik aspek keterbukaan (26,48) > mean teoritik (22,5), mean empirik aspek empati (17,61) > mean teoritik (15), mean empirik aspek dukungan (14,38) > mean teoritik (12,5), mean empirik aspek kepositifan (14,46) > mean teoritik (12,5), dan mean empirik aspek kesamaan (22,93) > mean teoritik (20). Persepsi konsumen terhadap kompetensi SPG rokok Marlboro di Ambarukmo Plaza Yogyakarta dilihat dari aspek keterbukaan mayoritas adalah positif yaitu sebesar 93% dan yang mempunyai persepsi negatif 7%, aspek empati yang positif 97% dan negatif 3%, aspek dukungan yang positif 88% dan negatif 12%, aspek kepositifan yang positif 89% dan negatif 11%, serta aspek kesamaan yang positif 93% dan negatif 7%.


(2)

ABSTRACT

CONSUMER PERCEPTION TOWARD

INTERPRESONAL COMMUNICATION EFFICIENCY OF MARLBORO SALES PROMOTION GIRL IN AMBARUKMO PLAZA,

YOGYAKARTA

Guruh Himawan Pramudianto Faculty of Psychology

Sanata Dharma Yogyakarta University 2009

The objective of this research is to attain figure about consumer perception toward interpersonal communication efficiency of Marlboro Sales Promotion Girl in Ambarukmo Plaza, Yogyakarta. Perception is basic mental process which influence or shaping individual attitude and behavior. In this research, perception is one of psychologist factor which can influencing consumer attitude in buying such product, so many producer try to “coercing” consumer in order they having experience with offered product.

Research subject is determined by observation; subject is people who have interaction with SPG at least 10 minutes, so they can give perception toward SPG efficiency in interpersonal communication. Total subject is 100 people and instrument that used is Likert scale. Scale reliability test is done by using Cronbach Alpha formula with reliability coefficient result as 0.912 (high). Data analysis based on this research using descriptive statistic analytical method.

Based on data analysis, could be concluded that generally, subject in this research have positive perception toward SPG interpersonal communication efficiency. It representing in empirical mean (95,86) which greater than theoretical mean (82,5). Subjects that have positive perception is 94 subject (94%) and all subject that have negative perception consist of 6 subject (6%). Overall interpersonal communication aspect in research scale resulting high empirical mean. Openness aspect of mean empirical (26,48) > theoretical mean (22,5), empathy aspect empirical mean (17,61) > theoretical mean (15), support aspect empirical mean (14,38) > theoretical mean (12,5), positive aspect empirical mean (14,46) > theoretical mean (12,5) and similarity aspect empirical mean (22,93) > theoretical mean (20). Consumer perception toward competency of Marlboro cigarette SPG in Ambarukmo Plaza Yogyakarta seen from majority openness aspect is positive, that is 93% and have negative perception 7%, positive empathy aspect 97%, and 3% negative, positive support aspect 88% and 12% negative, positive of positive aspect 89%, and 11% negative, and positive similarity aspect 93% and 7% negative.


(3)

HUBUNGAN ANTARA KUALITAS KELEKATAN PASUTRI

DENGAN STRATEGI MANAJEMEN KONFLIK (POSITIVE

PROBLEM SOLVING) DALAM PERNIKAHAN

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh : Ida Ayu Ketut Asri Hariyanti NIM : 019114079

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

rentang waktu yang bergulir

hantarkan aku pada masa

saat di mana

aku ada dalam leluasa

hembus lega dalam dada

ku tlah tunaikan asa tertunda

yang terhalang

problematika

kini...

aku hadir dalam wujudku

bak individu baru

ku raih bebasku

tanggalkan penat kisahku

tiada yang lebih berarti

selain hadirMu di sisi

meski semua sangsi

penuh caci maki

banggaku akanMu

syukurku padaMu

hanya untukMu Khalik-ku


(7)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, Agustus 2007 Penulis,


(8)

ABSTRAK

Ida Ayu Ketut Asri Hariyanti. (2007). Hubungan antara Kualitas Kelekatan Pasutri dengan Strategi Manajemen Konflik (Positive Problem Solving) dalam Pernikahan. Yogyakarta : Fakultas Psikologi. Universitas Sanata Dharma.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kualitas kelekatan pasutri dengan strategi manajemen konflik (positive problem solving) dalam pernikahan.

Strategi manajemen konflik (positive problem solving) berfungsi sebagai variabel tergantung dan kualitas kelekatan pasutri sebagai variabel bebas. Subyek dalam penelitian ini adalah 50 pasang suami istri yang usia pernikahannya di bawah sepuluh tahun, yang diperoleh dengan menggunakan teknik purposive random sampling. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan dua macam skala yaitu skala kualitas kelekatan pasutri dan skala strategi manajemen konflik. Teknik analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini adalah teknik korelasi Product Moment dari Pearson.

Hasil analisis data menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara kualitas kelekatan pasutri dengan strategi manajemen konflik (positive problem solving) dalam pernikahan. Hal itu ditunjukkan dari nilai korelasi sebesar 0,748 dengan probabilitas sebesar 0,000 (p < 0,01).


(9)

ABSTRACT

Ida Ayu Ketut Asri Hariyanti. (2007). Correlation Between Spouses’ Attachment Quality and Conflict Management Strategy (Positive Problem Solving) in Marriage. Yogyakarta: Psychology Faculty. Sanata Dharma University.

This research aimed to find out the correlation between spouses’ attachment quality and conflict management strategy (positive problem solving) in marriage.

Conflict management strategy (positive problem solving) functioned as the dependent variable and spouses’ attachment quality functioned as the independent variable. The subjects included in this research were 50 married spouses whose marriage age was less than ten years, drawn by means of purposive random sampling method. The data were collected by two instruments for measuring the spouses’ attachment quality scales and conflict management strategy scales. The technique used to test the hypothesis in this research was the Product-Moment Correlation of Pearson.

The results of data analysis showed that there was a positive and significant correlation between spouses’ attachment quality and conflict management strategy (positive problem solving) in marriage. This was indicated by the correlation coefficient of 0.748 with p value of 0.000 (p < 0.01).


(10)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Mulia yang telah memberikan kasih sayang, penguatan, ketegaran, berkat dan hidayah sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. P. Eddy Suhartanto, S.Psi, M.Si selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Dra. L. Pratidarmanastiti, M.S. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas segala support, nasehat, masukan, dan semua yang telah tercurah….nice to meet you, mom. Semoga Tuhan ‘kan berkatimu selalu, amin.

3. Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si. dan A. Tanti Arini, S. Psi, M.Si selaku dosen penguji skripsi yang telah memberi masukan dalam menyempurnakan skripsi ini.

4. Sylvia Carolina M.Y.M M.Si. selaku dosen pembimbing akademik. 5. Dosen-dosen Fakultas Psikologi yang telah memberikan ilmu dan

pengetahuannya selama penulis menempuh studi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

6. Segenap staff Fakultas Psikologi, Mas Gandung, Pak Gie, Mbak Nanik, Mas Muji dan Mas Doni, atas segala bantuan yang diberikan


(11)

7. My lovely parents, Papi_Tonk dan Momie_Tonk yang telah mendidik, membimbing, memfasilitasi serta memberikan segala bentuk bantuan dan dukungan sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi.

8. Kakak-kakakku tercinta, Mbok Adek, Bunda_Ari, Mas Yudi, Ayah_Irfan, serta keponakan-keponakanku yang lucu dan sangat membanggakan, Hanif dan Daffa, terima kasih atas perhatian yang tercurah selama ini.

9. Keluarga besar Singaraja Bali, terimakasih atas segala dukungan yang diberikan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

10. Dove...someone yang berkesan selama paruh perjalanan hidup di Yogya. Thanks for all babe...kan selalu ada dalam kenangan dan ingatan.

11. Asri “MANK” Satriani thanks untuk support, doa, perhatian dan segala bantuan yang diberikan. Thanks a lot sist...

12. Rikhan (member of “Gejay” Soropadan) thanks a lot for everything guys... makasih ya udah pinjamin komputer dan nebeng ngeprint ☺ 13. Members of Piyungan House...terima kasih atas penerimaan dan

kebaikan selama ini, i love you all....really.

14. Members of Aspol Pathuk NG I/592A Yogya (I.B. Yudika, bunda_Berta, keponakanku yang cerdas “Philberta & “Avon”) thanks atas bantuan, perhatian dan supportnya selama ini. Moga Tuhan ‘kan selalu berkati kalian semua, amin.


(12)

15. Mpok Hindun / O...dagh / “Nyah / Em” (teman sekamarku), makasih atas doa, dukungan, kesetiaan dan perhatiannya selama di asrama. Moga kan kau temui kehidupan yang lebih baik dari sekarang, amin. 16. Rani Ayuningtyas dan Icha, terima kasih atas segala bantuan,

dukungan dan semua yang pernah kita lewati selama di bangku kuliah ini. God bless you, friends. Yosephine Retno Maha “Rani” atas bantuan dan ajarannya mengolah data.

17. Maharani “Nyit-nyit” Andiansyah, makasih ya pren, dah masakin aku selama di Gejay☺ Thanks atas kesediaannya mendengarkan segala keluh-kesahku dan thanks atas petuah bijaknya.

18. Teman-teman kuliah di Fakultas Psikologi Sanata Dharma, semoga waktu yang kita habiskan bersama dapat menjadi kenangan indah sampai hari tua kita.

19. Pihak-pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu, yang telah ikut membantu baik langsung maupun tidak langsung, tanpa bantuan kalian skripsi ini tidak akan terselesaikan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna karena memiliki berbagai keterbatasan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.

Akhir kata, semoga skripsi ini berguna bagi kita semua.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR SKEMA ………... xv

DAFTAR TABEL ………... xvi

DAFTAR LAMPIRAN... xvii

BAB I. PENDAHULUAN ………. ... 1

A. Latar Belakang Masalah ……….. ... 1

B. Rumusan Masalah ……….... ... 7

C. Tujuan Penelitian ………. ... 7

D. Manfaat Penelitian ………... ... 7

BAB II. LANDASAN TEORI ... 9 A. Strategi Manajemen Konflik (Positive Problem Solving)


(14)

1. Pernikahan ... 9

2. Konflik ... 11

a. Pengertian Konflik ... 11

b. Konflik dalam Pernikahan ... 12

3. Strategi Manajemen Konflik ... 15

a. Pengertian Strategi Manajemen Konflik ... 15

b. Strategi Manajemen Konflik (Positive Problem Solving) dalam Pernikahan ... 20

B. Kelekatan ... 21

1. Pengertian Kelekatan ... 21

2. Kualitas Kelekatan ... 26

3. Kualitas Kelekatan dalam Pernikahan ... 30

C. Hubungan antara Kualitas Kelekatan dengan Strategi Manajemen Konflik (Positive Problem Solving) dalam Pernikahan . 34 D. Hipotesis ... 38

BAB III. METODE PENELITIAN ... 39

A. Jenis Penelitian ... 39

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 30

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 39

1. Strategi Manajemen Konflik (Positive Problem Solving) dalam Pernikahan ... 30


(15)

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 42

1. Metode Pengumpulan Data ... 43

2. Alat Pengumpulan Data ... 44

F. Validitas dan Reliabilitas ... 49

1. Validitas . ... 49

2. Reliabilitas ... 50

G. Pelaksanaan Uji Coba Alat Pengumpulan Data ... 51

H. Hasil Uji Coba Alat Pengumpulan Data ... 52

1. Estimasi Validitas ... 52

2. Analisis Butir ... 53

3. Uji Reliabilitas ... 57

I. Metode Analisis Data ... 58

BAB IV. PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN ... 59

A. Pelaksanaan Penelitian ... 59

B. Orientasi Kancah ... 60

C. Analisis Hasil Penelitian ... 60

1. Uji Asumsi Penelitian ... 60

a. Uji Normalitas ... 60

b. Uji Linearitas ... 61

2. Deskripsi Subyek dan Data Penelitian ... 62

3. Uji Hipotesis ... 67


(16)

BAB V. PENUTUP ... 72

A. Kesimpulan ... 72

B. Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 74


(17)

DAFTAR SKEMA

Halaman Skema 1. Skema Hubungan antara Kualitas Kelekatan dengan Strategi

Manajemen Konflik (Positive Problem Solving)


(18)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1. Sebaran Item Skala Strategi Manajemen Konflik Uji Coba ... 47

Tabel 3.2. Sebaran item Skala Kualitas Kelekatan Uji Coba ... 49

Tabel 3.3. Skala Kualitas Kelekatan Setelah Uji Coba ... 57

Tabel 3.4. Skala Strategi Manajemen Konflik Setelah Uji Coba ... 58

Tabel 4.1. Hasil Uji Normalitas ... 61

Tabel 4.2. Hasil Uji Linearitas ... 62

Tabel 4.3 Deskripsi Subyek Penelitian Berdasarkan Usia ... 63

Tabel 4.4 Deskripsi Subyek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 64

Tabel 4.5. Deskripsi Subyek Penelitian Berdasarkan Usia Pernikahan ... 65

Tabel 4.6. Deskripsi Subyek Penelitian Berdasarkan Jenis Pekerjaan ... 66

Tabel 4.7. Deskripsi Statistik Data Penelitian ... 67

Tabel 4.8. Perbandingan Data Teoritik dan Data Empirik ... 67


(19)

Halaman

Lampiran A. Tryout ... 78

Lampiran B. Penelitian ... 92


(20)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejak awal kehidupan, manusia selalu membutuhkan keterikatan dan keintiman dengan manusia lainnya. Pada umumnya, interaksi intim pertama manusia terjadi antara seorang bayi dengan ibunya. Selain karena bayi menggantungkan pemenuhan kebutuhan dasarnya pada ibu sebagai pengasuh, hubungan kelekatan di sisi lain juga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan emosinal ibu agar secara fisik merasakan kedekatan dengan bayinya. Perilaku ibu yang memeluk, mencium, menimang-nimang, dan bersenda gurau menjadi suatu hal yang tidak hanya mendatangkan kepuasan batin pada kedua individu tersebut, namun juga menumbuhkan ikatan emosional mendalam yang lazim disebut sebagai kelekatan.

Kelekatan yang tumbuh pada masa bayi tidak lantas pudar dan menghilang setelah individu berkembang melalui masa kanak-kanak, remaja, dan kemudian menjadi dewasa. Ahli-ahli psikologi perkembangan, seperti Hazan dan Shaver (1987), Feeney dan Noller (1990), dan Sroufe (dalam Santrock, 1999), telah banyak meneliti perilaku lekat pada individu dewasa. Mereka menyatakan bahwa kelekatan akan terus berkembang sampai tua. Kondisi kelekatan tersebut mirip dengan kondisi keterberakaran, yang menurut Erick Fromm dibutuhkan manusia sepanjang hidupnya. Keterberakaran manusia dewasa biasanya tidak lagi hanya


(21)

bersumber dari keluarganya, namun beralih pada hubungan intim lain yang bersifat romantis (dalam Hall dan Lindzey, 1993).

Seperti keterberakaran, kelekatan juga memiliki peran penting ketika seseorang di masa dewasa berinteraksi dengan orang lain di luar keluarganya, termasuk dalam menjalin hubungan romantis (Feeney dan Noller, 1990). Berbeda dengan hubungan anak dengan orang tuanya, hubungan romantis terjalin dengan bersumber pada kerelaan kedua pihak untuk bersama-sama menjaga dan membina hubungan. Kualitas kelekatan yang baik akan turut mendukung keberhasilan seseorang dalam membina hubungan dengan pasangan.

Kualitas kelekatan seseorang terhadap seorang figur lekatnya, menurut Ainsworth (dalam Santrock, 1999), dipengaruhi oleh tingkat sensitivitas dan responsivitas figur lekatnya tersebut. Hal ini sejalan dengan teori Bowlby (dalam Santrock, 1999) yang menyatakan bahwa kelekatan terbentuk dari kepercayaan (trust) seseorang terhadap orang lain yang menimbulkan rasa aman. Sensitivitas dan responsivitas figur lekat dalam memenuhi kebutuhan dasar seseorang akan menjadi dasar bagi terbentuknya kepercayaan dan rasa aman. Inilah yang kemudian mendasari tingkat kualitas kelekatan seseorang terhadap figur lekatnya. Kualitas kelekatan yang aman terbentuk karena adanya kepercayaan terhadap responsivitas dan sensitivitas yang ditunjukkan oleh figur lekat. Kurangnya responsivitas dan sensitivitas figur lekat akan menimbulkan ketidakpercayaan (mistrust) individu terhadap figur lekatnya, sehingga akan terbentuk kualitas kelekatan yang tidak aman.


(22)

Kualitas kelekatan tersebut kemudian akan tercermin dalam perilaku-perilaku lekat yang ditampakkan individu terhadap figur lekatnya. Dalam konteks hubungan intim, perilaku lekat ditujukan pada pasangan yang berikutnya akan memberikan pengaruh kepada pasangan tersebut dalam beberapa hal seperti gaya mencintai dan kesediaan untuk mempertahankan hubungan. Adanya hubungan antara kelekatan dengan kedua hal tersebut ditunjukkan oleh studi yang dilakukan oleh sejumlah peneliti.

Ketertarikan para peneliti terhadap pengaruh kelekatan pada masa remaja dan dewasa diawali oleh penelitian Hazan dan Shaver (1987). Dalam penelitian tersebut, dikemukakan konsep bahwa hubungan romantis yang tercermin dalam gaya mencintai (love style) pada masa dewasa merupakan sebuah proses kelekatan. Dalam proses ini seseorang dapat menjalin ikatan emosional dengan pasangannya sebagai cerminan dari ikatan emosional yang pernah terbentuk dengan orang tuanya ketika kecil. Helmi (1992) dan Rachmawatie (2002), dalam penelitiannya, mengemukakan adanya korelasi positif antara kualitas kelekatan dengan gaya mencintai pada individu usia dewasa awal.

Rachmawatie (2002) juga menyebutkan bahwa pada umumnya, cinta menjadi faktor pendorong untuk menjalin hubungan pernikahan dan selanjutnya membentuk keluarga baru. Havighurst (dalam Hurlock, 1980) menguraikan pula bahwa mencari pasangan dan membangun keluarga baru merupakan salah satu tugas perkembangan manusia dewasa.


(23)

Dari sudut pandang yang lain, Santrock (1999) menyatakan bahwa salah satu hubungan yang paling berarti untuk dipertahankan adalah hubungan yang mengandung kelekatan. Artinya, dalam hubungan pernikahan, pasangan yang memiliki kualitas kelekatan yang baik akan memiliki daya juang yang lebih tinggi dalam mempertahankan pernikahan dan memelihara keutuhan keluarganya.

Mengenai kehidupan berkeluarga, para ahli ilmu sosial, seperti Rakhmat (1988) dan Durkin (1995), berpendapat bahwa keluarga merupakan institusi sosial yang paling penting dalam masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari keluarga menjalankan fungsi-fungsi penting dalam segi ekonomi, seksual, reproduksi, pendidikan maupun sosialisasi, oleh karena itu, kualitas keluarga turut mempengaruhi tingkat kualitas masyarakat.

Kualitas keluarga terutama ditentukan oleh kondisi pernikahan dua orang dewasa yang memegang peran sebagai suami dan istri dalam keluarga tersebut. Keluarga yang berkualitas akan tumbuh dari pernikahan yang harmonis. Pernikahan yang harmonis ditandai oleh adanya keselarasan pandangan, pendapat, maupun ketertarikan suami istri pada berbagai hal. Pernikahan yang harmonis juga merupakan potensi yang mendukung keluarga dalam menjalankan fungsi-fungsinya dalam masyarakat.

Kelanggengan suatu hubungan, menurut Hurlock (1980), dipengaruhi oleh adanya berbagai perbedaan aspek-aspek internal yang dibawa oleh masing-masing individu dari lingkungan asalnya. Pada hubungan pernikahan, ada hal-hal yang mendukung keutuhan dan kepuasan pernikahan, ada juga hal-hal yang justru menghambat atau bahkan menghancurkan keintiman suami istri. Menurut Rahmah


(24)

(1997), kesuksesan dalam mengatasi konflik pernikahan diasumsikan sebagai akar dari stabil tidaknya kondisi pernikahan, sebab kelangsungan hidup pernikahan juga ditentukan oleh kemampuan suami istri dalam mengatasi konflik tersebut. Pandangan ini sejalan dengan pendapat Wibhowo (2002) bahwa hal yang paling utama dalam kehidupan pasutri bukanlah hal-hal dari luar mereka namun sesuatu yang ada dalam diri mereka yaitu keintiman atau keakraban.

Kenyataannya, berbagai fenomena yang muncul pada masa ini menunjukkan bahwa menjaga sebuah pernikahan tetap dalam kondisi harmonis bukanlah suatu hal yang mudah bagi setiap pasangan. Itu adalah hal yang wajar karena pernikahan merupakan perpaduan dari dua manusia yang memiliki perbedaan dalam beragam aspek, baik aspek kepribadian, latar belakang, maupun kepentingan. Apabila pasangan tidak mampu mengakomodasikan suatu perbedaan dalam kehidupan bersama, maka dapat diduga bahwa keakraban atau keintiman semakin jauh dari kehidupannya. Kondisi inipun tak jarang menimbulkan konflik dalam kehidupan pasangan suami istri.

Banyaknya perbedaan dalam diri pasangan membuat pernikahan tidak pernah terlepas dari konflik. Burin, dkk, (dalam Sears, dkk, 1992) menemukan fakta dalam sebuah survey berskala nasional bahwa 45 % orang yang menikah menyatakan bahwa dalam kehidupan bersama akan muncul berbagai masalah khususnya pada masa-masa awal pernikahan. Pandangan ini sejalan dengan pendapat Landis dan Landis (1960) bahwa konflik antara suami istri sering terjadi pada tahun-tahun awal pernikahan. Konflik tersebut terjadi karena pasangan


(25)

berlangsung terus sampai sepuluh tahun pertama pernikahan sampai pada akhirnya pasangan suami istri tersebut dapat menyelesaikan konflik yang ada dengan kesepakatan.

Konflik, dalam kehidupan sosial, dapat dijadikan sebagai hal yang bepotensi positif dan juga negatif terhadap hubungan, tergantung pada bagaimana cara yang digunakan untuk mengatasi konflik tersebut. Konflik dikatakan berpotensi positif apabila penyelesaian konflik mampu menjadi solusi yang berdampak pada peningkatan kualitas suatu hubungan, sebaliknya, konflik berpotensi negatif apabila penyelesaian konflik memicu munculnya berbagai masalah baru yang pada akhirnya mengurangi kualitas hubungan (Johnson dan Johnson, 1991).

Konflik yang berkepanjangan merupakan salah satu manifestasi potensi konflik negatif. Konflik dalam pernikahan yang terus berlanjut tanpa ada penyelesaian menimbulkan beban mental yang semain lama akan mengurangi kepuasan terhadap pernikahan (Rahmah, 1997).

Strategi manajemen konflik dibedakan menjadi dua oleh Folkman (dalam Smet, 1990), yaitu SMM-M (strategi menghadapi masalah yang berorientasi pada masalah) dan SMM-E (strategi menghadapi masalah yang berorientasi pada emosi). Dalam SMM-M, individu berusaha untuk menghadapi masalah dengan penuh hati-hati, aksi instrumental dan negosiasi. Sedangkan dalam SMM-E, individu akan berusaha melarikan diri dari masalah, mengurangi beban masalah, menyalahkan diri sendiri dan mencari makna. Menurut Aldwin dan Revenson (dalam Wibhowo, 2002) baik SMM-M dan SMM-E sama-sama efektif untuk


(26)

menyelesaikan masalah. Akan tetapi mengingat salah satu bentuk dalam SMM-E, yakni melarikan diri dari masalah, sangat berkaitan dengan adanya gangguan pada kesehatan mental, maka secara umum, SMM-M lebih efektif bagi kesehatan mental.

Sebuah studi yang lain dilakukan oleh Kurdeck (1994) mengenai interaksi pernikahan yang difokuskan pada pengidentifikasian bentuk-bentuk manajemen konflik dalam pernikahan, menerangkan bahwa strategi manajemen konflik yang digunakan pasangan suami istri dapat dijadikan sebagai bahan prediksi atas kepuasan yang dirsakan pasangan tersebut. Menurut Kurdeck (1994), pasangan yang memperoleh kepuasan adalah pasangan yang dapat menyelesaikan konflik dengan cara-cara yang konstruktif (positive problem solving).

Hasil studi tersebut juga didukung oleh hasil dari beberapa studi lain yang dilakukan berikutnya, diantaranya adalah studi yang dilakukan oleh Rahmah (1997) serta Greeff dan De Bruyne (2000). Hasil dari kedua studi tersebut menunjukkan adanya korelasi positif antara penggunaan strategi manajemen konflik yang konstruktif dengan kepuasan pasangan terhadap pernikahan.

Kepuasan pernikahan yang dirasakan pasangan selanjutnya akan membuat pernikahan menjadi lebih berarti untuk dipertahankan. Hal ini sejalan dengan pendapat Gottman (1994) yang menyatakan bahwa usaha mengelola konflik merupakan salah satu cara memelihara dan mempertahankan pernikahan. Santrock (1999) juga menjelaskan bahwa dalam memelihara dan membangun suatu hubungan diperlukan kesediaan untuk menyelesaikan permasalahan dengan


(27)

respon-respon yang bersifat konstruktif, termasuk juga dalam menyelesaikan permasalahan berupa konflik.

Kesimpulan dari uraian di atas adalah bahwa seperti juga kelekatan antara bayi dengan ibunya, kelekatan yang berkembang pada hubungan pernikahan juga melibatkan ikatan emosional dalam kualitas tertentu. Ikatan emosional ini menjadi salah satu faktor internal kedua individu tersebut yang akan terus menyertai sepanjang kehidupan pernikahan. Ikatan emosional dalam hubungan pernikahan yang telah terjalin akan mendukung berbagai perilaku yang mengarah pada usaha memelihara hubungan. Salah satu perilaku yang kemudian muncul untuk mendukung kelanggengan hubungan adalah berupaya menjaga kualitas kelekatan antara pasangan. Dari uraian tersebut jelaslah bahwa agar hubungan pernikahan tetap berarti untuk dipertahankan semaksimal mungkin dengan cara-cara yang konstruktif, pasangan suami istri perlu selalu memelihara kualitas kelekatan dalam pernikahannya.

Berlatar belakang permasalahan tersebut, peneliti menganggap perlu adanya suatu penelitian untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara kualitas kelekatan dengan strategi manajemen konflik (positive problem solving) pada hubungan pernikahan.


(28)

B. Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan positif antara kualitas kelekatan pasutri dengan strategi manajemen konflik (positive problem solving) dalam pernikahan?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidak adanya hubungan positif antara kualitas kelekatan pasutri dengan strategi manajemen konflik (positive problem solving) dalam pernikahan.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini menambah kajian dalam bidang psikologi perkembangan, khususnya bahasan mengenai kelekatan dan strategi manajemen konflik (positive problem solving) dalam pernikahan.

2. Manfaat Praktis

a. Memberi pemahaman pada pasangan suami istri mengenai kualitas kelekatan, serta pentingnya pemilihan strategi manajemen konflik yang konstrutif dalam membina hubungan pernikahan.

b. Memberi masukan kepada konselor atau penasehat pernikahan dalam mengatasi berbagai permasalahan dalam pernikahan.


(29)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Strategi Manajemen Konflik (Positive Problem Solving) dalam Pernikahan

1. Pernikahan

Pernikahan merupakan komitmen antara dua orang untuk hidup bersama. Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974, pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami istri. Ikatan tersebut disahkan menurut hukum agama dan kepercayaan mereka serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pernikahan menurut Mc Kinney (1950) merupakan hubungan yang dinamis antara dua kepribadian. Ketika dua kepribadian bersatu dan telah terjadi kesesuaian, maka masing-masing akan dapat meningkatkan kualitas hubungan sehari-hari. Penyatuan ini tidak dapat dilakukan oleh satu pihak saja, melainkan harus diciptakan oleh kedua pasangan suami istri melalui usaha kerja sama. Landis dan Landis (1960) juga berpendapat bahwa kualitas hubungan suami-istri tidak akan dapat ditingkatkan jika masing-masing pihak berusaha berjalan dengan caranya sendiri dan mencari kebebasan sendiri.

Pernikahan juga merupakan pembentukan suatu basis rumah tangga baru dan mandiri yang akan segera memisahkan diri, baik secara ekonomi maupun tempat tinggal, lepas dari orang tua. Pada prakteknya pemisahan ini dapat tertunda satu tahun atau lebih sesudah menikah karena berbagai alasan (Geertz, 1983).


(30)

Para ahli ilmu sosial secara berbeda-beda membagi waktu pernikahan dalam beberapa masa. Setiap masa menggambarkan karakteristik kehidupan pernikahan yang berbeda-beda. La Rose (dalam Rahmah, 1997) menyebutkan, setidaknya ada tiga masa rawan dalam kehidupan pernikahan. Tiga masa rawan tersebut yaitu:

(a) Masa rawan pertama

Pada masa ini setiap orang akan mulai tampil sebagaimana adanya, sehingga pada masa ini diperlukan penyesuaian antara kedua orang pasangan yang terlibat di dalam pernikahan. Masa ini dapat teratasi bila seseorang sanggup menerima kenyataan bahwa pasangannya tidak seperti yang diharapkan dan dibayangkan.

(b) Masa rawan ke dua

Masa ini disebut juga sebagai the seven years itch atau masa dengan kegelisahan yang menggelitik menjelang tahun ke tujuh pernikahan. Masa ini dapat mengakibatkan hadirnya orang ke tiga. Masa ini dapat teratasi bila dalam perjalanan pernikahan seseorang telah tumbuh menjadi pribadi yang dewasa.

(c) Masa rawan ke tiga

Masa ini terjadi pada kira-kira usia pernikahan yang ke dua puluh. Saat itu pasangan sudah saling mengenal dengan lebih baik sehingga tidak banyak lagi misteri atau rasa ingin tahu terhadap pasangan. Hal ini sering membuat pernikahan jadi terasa membosankan.


(31)

Dari sejumlah pengertian mengenai pernikahan yang telah diuraikan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami istri dalam suatu hubungan yang dinamis.

2. Konflik

a. Pengertian Konflik

Konflik adalah proses yang dinamis dan keberadaannya lebih banyak menyangkut persepsi dari orang atau pihak yang mengalami dan merasakannya. Individu dapat merasakan adanya konflik apabila perilaku individu tersebut menjadi terhambat karena perilaku orang lain.

Perbedaan persepsi terjadi karena pada prinsipnya manusia punya keyakinan, pengetahuan, dan pendapat yang berbeda. Perbedaan inilah yang menyebabkan timbulnya konflik. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial yang akan selalu berinteraksi dengan manusia lainnya membuat setiap manusia selama hidupnya akan selalu menghadapi konflik.

Deutsch (dalam Boardman dan Horrowitz, 1994) menjelaskan timbulnya konflik sebagai akibat dari terjadinya aktivitas dua atau lebih pihak yang saling bertentangan. Pendapat tersebut sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Pruitt dan Robin (dalam Boardman dan Horrowitz, 1994). Menurut Pruitt dan Robin, konflik muncul sebagai akibat dari tidak dapat disesuaikannya aspirasi dari pihak-pihak yang bersangkutan atas suatu keperluan atau keyakinan yang berbeda. Forsyth (dalam Boardman dan Horrowitz, 1994) juga menerangkan konflik sebagai suatu situasi yang terjadi jika tindakan atau keyakinan dari satu atau lebih


(32)

anggota dalam suatu kelompok tidak dapat diterima sehingga dihalangi oleh satu atau lebih anggota kelompok lain.

Kesimpulan dari berbagai pendapat di atas adalah bahwa konflik merupakan perselisihan antara dua pihak atau lebih yang muncul sebagai akibat dari adanya perbedaan kepentingan yang tidak dapat diterima oleh semua pihak yang terkait.

b. Konflik dalam Pernikahan

Seperti telah diuraikan sebelumnya, keluarga sebagai bagian dari masyarakat memiliki sejumlah fungsi penting. Hal itu membuat pernikahan sebagai inti dari keluarga mempunyai beragam aktivitas yang mengarah kepada berbagai kepentingan, baik berupa kepentingan internal keluarga tersebut, maupun kepentingan eksternal bagi masyarakat yang lebih luas. Kesenjangan kepentingan dalam interaksi keluarga, khususnya yang terjadi pada suami istri, sering memunculkan adanya konflik antar pasangan.

Beberapa ahli merumuskan sejumlah bagian atau area konflik antar pasangan dalam pernikahan. Beck (dalam Counts, 2003) mengidentifikasi tiga area, yaitu sebagai berikut:

1) Area pertama adalah hal-hal yang berkaitan dengan ketidaksepakatan pasangan menentukan kepentingan dalam hal menghabiskan waktu bersama-sama. Misalnya jika semua pasangan memiliki aktivitas yang berbeda-beda di luar rumah, diperlukan kesepakatan agar kedua pasangan dapat menemukan waktu untuk menghabiskan waktu bersama-sama. Konflik pada area ini akan


(33)

waktu kedua pasangan untuk bersama-sama atau bergantian meluangkan waktu untuk memenuhi kebutuhan anak sehari-hari di samping kesibukannya sendiri, membuat pasangan seringkali keliru menentukan keputusan.

2) Area ke dua adalah yang berkaitan dengan ketidaksepakatan dalam cara pengasuhan anak. Pasangan seringkali memiliki pandangan yang berbeda mengenai strategi mendisiplinkan anak atau membuat aturan-aturan keluarga. 3) Area ke tiga adalah yang berkaitan dengan pembagian tanggung jawab tugas

sehari-hari dalam urusan rumah tangga. Pada masa ini fenomena wanita bekerja di luar rumah sudah merupakan hal yang umum, namun masih banyak suami yang tetap menganggap bahwa pekerjaan domestik rumah tangga dan pengasuhan anak tetap merupakan tanggung jawab istri meskipun istri juga bekerja di luar rumah, di sisi lain, istri yang bekerja di luar rumah seringkali juga mengharapkan suaminya turut berperan dan bertanggung jawab atas pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak.

Ahli yang lain, Rahim (dalam Counts, 2003) menambahkan dua lagi area konflik antar pasangan dalam pernikahan, yaitu:

1) Area pertama adalah kurangnya atau buruknya kualitas komunikasi antar pasangan. Komunikasi antara pasangan memiliki peran yang sangat penting dalam pernikahan. Hal ini disebabkan karena komunikasi merupakan alat yang vital digunakan untuk saling menyampaikan isi hati, pikiran, dan juga harapan. Ketika komunikasi tidak dapat berfungsi secara efektif dalam penyampaian pesan, maka akan terjadi kesalahpahaman yang berakibat pada munculnya konflik.


(34)

2) Area ke dua adalah perbedaan kepribadian. Konflik seringkali muncul pada pasangan dengan kepribadian yang saling bertentangan. Misalnya jika istri tergolong individu yang senang bersosialisasi, bepergian ke luar rumah, serta sangat terbuka membicarakan perasaan maupun pikirannya, sementara suami termasuk individu yang pendiam, menyenangi kegiatan di dalam rumah, serta tidak menyukai pembicaraan yang berubungan dengan perasaan pribadi masing-masing.

Rahim (dalam Counts, 2003) berpendapat bahwa bagaimanapun selarasnya kondisi pasangan, konflik tetap akan terjadi secara bergantian pada kedua area karena konflik merupakan hal yang tidak dapat terelakkan dalam suatu kehidupan bersama.

Dalam hubungan pernikahan konflik dapat membantu individu untuk memperjelas dan mengubah harapannya terhadap suatu hubungan serta konsep tentang diri dan pasangannya. Konflik, di sisi lain juga dapat membangkitkan perasaan yang kuat, maka ada resiko seorang individu terjebak dan mengambil keputusan yang tidak membangun hubungan dan pada akhirnya dapat mengancam keberlangsungan suatu hubungan.

Fenomena seperti itu merupakan hal yang wajar, karena konflik merupakan suatu pertentangan sikap, tindakan, atau kognisi sebagai akibat dari tidak dapat disesuaikannya aspirasi seseorang atas kepentingan atau keyakinan yang berbeda dengan pasangannya.


(35)

karena dapat membantu mengurangi ketegangan pada salah satu pihak atau keduanya, dan dapat pula mengatasi perbedaan yang timbul secara terbuka apabila pasangan suami istri mampu menyelesaikan dengan cara-cara yang konstruktif (Landis dan Landis, 1960). Baik buruknya sifat konflik tergantung dari bagaimana cara penyelesaiannya. Konflik berakibat positif jika diselesaikan dengan cara yang positif pula. Beberapa dampak positif dari munculnya konflik antara lain adalah dapat menjernihkan suasana, menemukan pemecahan masalah, serta mencapai sikap saling pengertian antara pasangan.

3. Strategi Manajemen Konflik

a. Pengertian Strategi Manajemen Konflik

Ada banyak cara bagi pasangan dalam menghadapi konflik dalam pernikahan. Dalam hal mengatasi konflik, ada dua hal yang terkait, yaitu coping dan manajemen konflik. Agar bahasan mengenai manajemen konflik menjadi lebih jelas, berikut ini akan diuraikan dengan lebih mendalam mengenai perbedaan antara coping dan manajemen konflik.

Coping diartikan sebagai segala cara yang digunakan individu untuk mengatasi stress yang diakibatkan oleh suatu kejadian tertentu (Parry, 1992). Ruang lingkup coping lebih luas daripada manajemen konflik karena menunjuk pada kesempatan menghadapi segala macam problem termasuk problem adanya konflik, sementara manajemen konflik hanya menunjuk pada kemampuan individu dalam menghadapi konflik.

Lazarus (1991) mendeskripsikan dua model dasar perilaku coping berdasarkan domain yang menjadi fokus coping, yaitu:


(36)

(1)Problem-focused coping

Proses coping yang mengubah hubungan aktual antara lingkungan dengan individu. Bentuk coping ini berpusat pada tindakan atau usaha yang dilakukan untuk mengubah hubungan lingkungan secara aktual.

(2)Emotion-focused

Bentuk coping ini terutama dilakukan dengan berpikir dibandingkan tindakan langsung. Coping ini berkaitan dengan usaha internal untuk merestrukturisasi pemaknaan individu terhadap situasi. Dengan mengubah makna dari sebuah situasi maka individu juga mengubah reaksi emosional yang menyertainya.

Uraian mengenai coping di atas menjelaskan bahwa jika masalah yang membebani individu berupa konflik, maka manajemen konflik merupakan bagian dari problem–focused coping yang dilakukan individu dalam menghadapi masalah tersebut.

Manajemen konflik didefinisikan secara berbeda-beda oleh beberapa ahli. Burgess dan Huston (dalam Counts, 2003) menyebutkan, manajemen konflik adalah saat ketika terjadi negosiasi kembali atas terjadinya permasalahan dan pertentangan. Pada konflik dalam pernikahan, manajemen konflik pada pasangan harus dimulai dengan komunikasi yang efektif antara kedua belah pihak. Komunikasi tersebut meliputi sebab terjadinya konflik, serta saling mengungkapkan pandangannya terhadap hal yang dipertentangkan. Komunikasi, selanjutnya harus menjadi alat yang efektif bagi pasangan dalam menemukan


(37)

mengkombinasikan kedua sudut pandang tersebut hingga akhirnya tercapai kesepakatan dalam menentukan keputusan bersama.

Komunikasi yang dilakukan dengan efektif dalam mengatasi konflik akan dapat menguatkan komitmen pasangan dalam mempertahankan hubungan, sebaliknya, jika komunikasi tidak berhasil, maka dapat berakibat pada berakhirnya hubungan. Beberapa strategi manajemen konflik dapat membantu pasangan dalam menguatkan hubungan pernikahan, namun ada juga strategi manajemen konflik yang menjadikan hubungan semakin renggang atau berakhir. Artinya, konflik dapat menunjang atau mengancam suatu hubungan, tergantung dari cara mengelolanya.

Secara teoretis, para ahli selama ini melakukan berbagai studi mengenai manajeman konflik dengan menggunakan klasifikasi yang berbeda-beda (dalam Rahmah, 1997). Secara trikotomi, dapat digunakan teori dari Horney (dalam Hall dan Lindzey, 1993) dengan pembagian menarik diri (moving away), mencapai solusi (moving toward), agresi (moving againts). Beberapa peneliti juga menggunakan lima tipologi manajemen konflik yang terdiri dari menghindar (avoiding), berdamai (accomodating), kompromi (compromising), menyelesaikan masalah (problem solving), dan kompetisi (competing).

Rubin (1994) juga menguraikan strategi manajemen konflik yang biasa dilakukan pasangan menjadi enam cara dalam menghadapi konflik pernikahan, sebagai berikut:

(1)Dominasi (domination) (2)Menyerah (capitulation)


(38)

(3)Tidak bertindak (inaction) (4)Menarik diri (withdrawl) (5)Negosiasi (negotiation)

(6)Intervensi pihak ke tiga (third-party intervention)

Menurut Rubin, di antara keenam cara tersebut, yang merupakan strategi manajemen konflik yang konstruktif hanyalah negosiasi dan intervensi pihak ke tiga, karena hanya pada kedua strategi tersebut kepentingan orang lain turut dipertimbangkan dalam menghadapi konflik.

Peneliti lain, Johnson dan Johnson (1991) menyebutkan lima cara manajemen konflik sebagai berikut:

(1)Menarik diri (withdrawl) (2)Memaksa (forcing) (3)Melunak (smoothing) (4)Kompromi (compromising) (5)Konfrontasi (confronting)

Gottman dan Krokoff (1989) membagi strategi manajemen konflik dalam empat cara, yaitu:

(1)Menyerang dan lepas kontrol (conflict engagement)

Strategi ini ditandai dengan adanya salah satu pihak yang mencoba memaksa pasangannya untuk menerima kemauannya melalui cara-cara fisik atau psikologis.


(39)

(2)Kompromi dan negosiasi (positive problem solving)

Strategi ini ditandai dengan adanya pertukaran pendapat antara pasangan untuk mencapai persetujuan yang dapat diterima keduanya. (3)Menarik diri (withdrawl)

Pada strategi ini, salah satu pihak menolak melanjutkan keterlibatannya di dalam konflik.

(4)Menyerah dan tidak membela diri (compliance)

Ciri dari strategi ini adalah adanya salah satu pihak yang menyerahkan kemenangan pada pasangannya.

Uraian di atas menunjukkan adanya kemiripan pandangan tokoh-tokoh yang telah disebutkan dalam mendeskripsikan strategi manajemen konflik yang biasa dilakukan pada saat dua atau lebih pihak menghadapi konflik. Istilah yang digunakan oleh para ahli tersebut berbeda-beda, namun beberapa istilah memiliki pengertian yang sama. Istilah moving against yang digunakan Horney (dalam Hall dan Lindzey, 1993) memiliki pengertian yang sama dengan istilah domination dari Rubin (1994), forcing dari Johnson dan Johnson (1991), serta conflict

engagement dari Gottman dan Krokoff (1989). Istilah capitulation yang

digunakan oleh Rubin (1994) juga memiliki pengertian yang sama dengan istilah smoothing dari Johnson dan Johnson (1991) serta compliance dari Gottman dan Krokoff (1989). Istilah moving away yang digunakan Horney (dalam Hall dan Lindzey, 1993) juga memiliki kesamaan pengertian dengan istilah withdrawl yang digunakan para tokoh lainnya tersebut.


(40)

Para tokoh tersebut juga sepakat bahwa strategi manajemen konflik harus mengarah pada penyelesaian masalah dengan mempertimbangkan kepentingan pihak lain. Kepentingan pasangan harus dipertimbangkan dalam hal menghadapi konflik pernikahan.

Berdasarkan bahasan mengenai strategi manajemen konflik yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa strategi manajemen konflik dalam pernikahan adalah kecenderungan yang dimiliki individu dalam menghadapi dan menyelesaikan konflik yang terjadi dalam kehidupan pernikahan.

b. Strategi Manajemen Konflik (Positive Problem Solving) dalam

Pernikahan

Gottman dan Krokoff (1989) berpendapat bahwa dari keempat strategi manajemen konflik yang dijabarkan di atas, yang dapat dijadikan cara penyelesaian masalah yang konstruktif hanyalah kompromi dan negosiasi

(positive problem solving) karena pada strategi ini individu berupaya

mengkonfrontasikan konflik yang ada secara langsung, aktif, dan terbuka. Melalui cara ini, perasaan, pendapat, kebutuhan, dan tujuan yang berhubungan dengan konflik diekspresikan dengan jelas. Kedua individu berusaha memahami dan mempertimbangkan pendapat dan perasaan pasangannya dalam menyelesaikan konflik. Hasil yang didapat melalui strategi ini biasanya adalah pemecahan konflik yang efektif.

Strategi manajemen konflik dibedakan menjadi dua, yaitu strategi manajemen konflik yang konstrukif dan strategi manajemen konflik yang


(41)

penyelesaian konflik yang efektif dan membangun hubungan, sementara strategi manajemen konflik yang destruktif cenderung memunculkan perilaku negatif yang dapat merusak hubungan pernikahan.

Penelitian ini mengacu pada pendapat Gottman dan Krokoff karena klasifikasi dari kedua tokoh tersebut dapat mewakili berbagai macam manajemen konflik yang ada serta telah banyak digunakan oleh para peneliti lain sebelumnya dalam mengungkap keterampilan manajemen konflik dalam hubungan pernikahan (Kurdeck, 1994). Menurut Gottman dan Krokoff (1989), yang tergolong dalam strategi manajemen konflik yang konstruktif (positive problem solving) adalah kompromi dan negosiasi, sedangkan strategi manajemen konflik yang destruktif adalah menyerang dan lepas kontrol, menarik diri, serta menyerah dan tidak membela diri.

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kemampuan individu dalam mengelola konflik sangat dibutuhkan untuk memelihara hubungan pernikahan. Dan strategi manajemen konflik (positive problem solving) merupakan alternatif penyelesaian konflik yang dapat membantu kelangsungan hidup pernikahan pasutri.

B. Kualitas Kelekatan 1. Pengertian Kelekatan

Istilah kelekatan pertama kali dipopulerkan oleh John Bowlby. Bowlby (dalam Santrock, 1999) mendefinisikan kelekatan sebagai segala bentuk perilaku yang menghasilkan kedekatan yang unik antara seseorang dengan orang lain yang


(42)

dianggap berbeda dan istimewa. Menurut Bowlby, kelekatan terjadi sebagai suatu sistem yang dikembangkan oleh suatu organisme dalam rangka melestarikan jenisnya dengan cara membantu keturunannya untuk memperoleh kedekatan dengan pengasuhnya. Teori ini muncul sebagai hasil dari suatu penelitian pada bayi primata dan induknya.

Hojat (dalam Santrock, 1999) juga menyatakan bahwa kelekatan pada hewan adalah sesuatu yang penting karena hewan-hewan yang masih sangat muda memerlukan pengasuhnya untuk melindungi dirinya dari serangan makhluk predator. Kelekatan tumbuh karena adanya perasaan aman dan terlindung yang diberikan oleh pengasuh kepada makhluk-makhluk muda yang masih lemah tersebut.

Konsep kelekatan untuk pemenuhan kebutuhan fisiologis juga dipaparkan oleh Freud (dalam Santrock, 1999). Menurut Freud, seorang bayi akan cenderung menjadi lekat dengan sosok yang memenuhi kebutuhan oralnya. Pada kebanyakan bayi, kebutuhan oral dipenuhi oleh ibu yang menyusuinya.

Bowlby (dalam Santrock, 1999), dari hasil penelitiannya kemudian berpendapat bahwa sistem kelekatan tidak hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisik. Tujuan kelekatan sebenarnya lebih difokuskan untuk memenuhi dan mempertahankan rasa aman. Bowlby juga menyatakan bahwa hubungan lekat ini mempunyai pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak dan merupakan dasar dalam menjalin hubungan. Awal dari tumbuhnya hubungan lekat ini, menurut Bowlby, sebagian besar ditentukan oleh kemampuan figur lekat


(43)

dalam merespon kebutuhan anak sehingga tercipta hubungan kelekatan yang mutual baik bagi anak, maupun bagi figur lekatnya.

Senada dengan konsep yang diajukan Bowlby, Harlow dan Zimmerman (dalam Santrock, 1999) mengemukakan hasil penelitiannya, bahwa kontak yang memberikan perasaan nyaman bagi bayi dapat menimbulkan kelekatan lebih kuat daripada sekedar pemuasan kebutuhan oral. Perasaan nyaman tersebut berhubungan erat dengan rasa aman yang dialami bayi, yang membuat bayi menyenangi kontak yang berlangsung.

Santrock (1999) kemudian menyusun suatu definisi mengenai kelekatan dengan mengacu pada pendapat sejumlah tokoh di muka. Pengertian kelekatan yang diajukan Santrock mengacu pada hubungan antara dua individu yang mempunyai ikatan afeksi yang kuat terhadap satu sama lain dan melakukan berbagai hal untuk melanggengkan hubungan tersebut.

Tidak semua hubungan afeksi antar manusia dapat disebut sebagai kelekatan. Hubungan afeksi disebut kelekatan bila mengandung ikatan emosional yang bersifat khusus, ditujukan pada orang tertentu, dan telah berlangsung cukup lama. Pengertian ini dikemukakan oleh Ainsworth, seorang ahli lain yang secara mendalam meneliti perilaku lekat manusia (dalam Feeney dan Noller, 1990).

Pendapat Ainsworth tersebut didukung oleh Bell, dkk. (1985). Menurut Bell, dkk., kelekatan mengandung arti suatu ikatan emosional yang dibentuk oleh seseorang pada orang-orang tertentu dan berlangsung terus-menerus.

Ainsworth (dalam Feeney dan Noller, 1990) juga menjelaskan bahwa ikatan di antara kedua individu yang saling lekat akan selalu ada meskipun figur


(44)

lekat tidak tampak dalam pandangan, bahkan jika figur lekat digantikan oleh orang lain.

Ainsworth (dalam Feeney dan Noller, 1990) menerangkan lebih jauh bahwa munculnya gangguan terhadap ikatan tersebut dapat menimbulkan kecemasan, sedangkan bertahannya ikatan tersebut dapat membawa ketenangan dan menjadi sumber kebahagiaan. Kelekatan kemudian diidentifikasikan dengan mencintai dan memiliki keinginan atau hasrat yang kuat untuk dapat bersama dengan orang tertentu. Keinginan untuk selalu berdekatan dengan figur lekat tersebut tercermin dalam berbagai tingkah laku lekat.

Tingkah laku lekat merupakan berbagai macam tingkah laku yang dilakukan untuk mencari, mempertahankan, dan menambah kedekatan dengan figur lekatnya (Ainsworth dalam Durkin, 1995).

Adanya tingkah laku lekat pada seorang individu dapat diidentifikasi dari beberapa ciri-ciri berikut (Maccoby, dalam Scarr, dkk, 1986):

a. Senang berdekatan dekatan dengan figur lekat b. Menjadi cemas ketika berpisah dengan figur lekat c. Menjadi gembira dan lega ketika figur lekatnya kembali

d. Tetap berorientasi pada figur lekat meski tidak melakukan interaksi

Ciri lain kelekatan adalah memberikan kepercayaan pada orang lain yang dapat memberikan ketenangan kepadanya (Faw, 1980). Craig (1986) menambahkan, kelekatan ditandai oleh adanya saling ketergantungan yang kuat serta ikatan emosional yang timbal balik dan intens.


(45)

Pendapat Craig mengenai adanya unsur ketergantungan yang kuat dalam kelekatan bertentangan dengan konsep kelekatan yang diajukan oleh Mönks, dkk. (2002). Menurut Mönks, dkk., tingkah laku lekat merupakan tingkah laku yang khusus pada manusia, yaitu kecenderungan dan keinginan seseorang untuk mencari kedekatan dengan orang lain serta untuk mencari kepuasan dalam hubungan dengan orang tersebut. Pada kelekatan, pemenuhan keinginan bukan merupakan hal yang pokok, namun hal tersebut menjadi penting pada tingkah laku ketergantungan. Ketergantungan dapat ditujukan pada siapa saja, sedangkan kelekatan selalu tertuju pada orang-orang tertentu saja.

Pemilihan figur lekat yang dianggap istimewa bagi seseorang didasarkan pada pertimbangan tertentu. Papousêk dan Papousêk, (dalam Mönks, dkk.,2002) dalam beberapa penelitiannya terhadap bayi-bayi, menemukan bahwa bukan sosok ibu yang atau pengasuh yang dijadikan alasan memilih figur lekat, melainkan siapa yang mampu memberikan perhatian penuh kepadanya. Mönks, dkk. juga menambahkan dua macam tingkah laku yang dapat menyebabkan seseorang dipilih sebagai figur lekat, yaitu:

a. Sering mengadakan reaksi terhadap tingkah laku yang dilakukan anak untuk mencari perhatian.

b. Sering membuat interaksi secara spontan dengan anak.

Berdasarkan uraian sejumlah teori di muka dapat disimpulkan bahwa kelekatan adalah ikatan emosional timbal balik yang kuat dan bertahan lama antara dua orang individu, yang dilakukan untuk mencari; mempertahankan; dan


(46)

menambah kedekatan yang memberikan rasa aman dan ketenangan dengan figur lekat yang dianggap istimewa.

2. Kualitas Kelekatan

Istilah “kualitas” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989) diartikan sebagai tingkat baik buruknya sesuatu, derajat, taraf, atau mutu. Berdasar pada pengertian tersebut, maka kualitas kelekatan mengacu pada tingkat mutu atau kebaikan perilaku-perilaku lekat yang dimunculkan seorang individu.

Ainsworth (dalam Feeney & Noller, 1990) menyatakan bahwa kualitas kelekatan berbeda-beda dan menunjukkan karakteristik yang berbeda-beda pula. Pendapat ini dikemukakan sebagai hasil dari observasinya mengenai respon dari sejumlah besar anak terhadap episode situasi asing. Variasi kualitas kelekatan dibedakan berdasarkan beberapa tipe kelekatan yang digolongkan dari variasi respon anak terhadap situasi asing tersebut. Menurut Ainsworth (dalam Santrock, 1999; Feeney dan Noller, 1990; Mikulincer, Florian, dan Tolmacz, 1990; dan Hazan dan Shaver, 1987), pada dasarnya tipe kelekatan terbagi dalam dua kategori: tipe kelekatan aman dan tipe kelekatan tidak aman. Lalu tipe kelekatan tidak aman terbagi lagi menjadi dua dengan kekhasan tertentu, yaitu tipe kelekatan cemas dan menghindar.

Mengingat bahwa model mental yang dibentuk oleh seorang individu akan mempengaruhi dirinya, maka tipe kelekatan individu kemudian akan turut mempengaruhi kemampuannya dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Selain itu, perbedaan individual dalam tipe kelekatan adalah cerminan dari


(47)

internalisasi bayi tehadap pengalamannya. Berikut ini dijelaskan dengan lebih rinci kekhasan yang terdapat pada ketiga tipe kelekatan:

a. Kelekatan Tipe Aman (secure attachment)

Bayi menggunakan pengasuhnya, biasanya ibunya, sebagai dasar yang dianggapnya aman untuk mengeksplorasi lingkungan. Ketika dewasa, individu dengan tipe kelekatan aman cenderung mengembangkan model mental dengan memandang orang lain sebagai orang yang bersahabat, dapat dipercaya, responsif, dan penuh kasih sayang; dan memandang diri sendiri sebagai orang yang berharga. Individu dengan tipe kelekatan aman juga relatif mudah untuk berdekatan dengan orang lain dan tidak khawatir ditinggalkan. Menurut Kobak dan Hazan (1991), individu tipe ini lebih terbuka dalam mengeksplorasi lingkungan sosialnya, aktif menyerap informasi-informasi sosial, dan peka terhadap informasi yang didapatnya.

b. Kelekatan Tipe Cemas (anxious/ ambivalent attachment)

Bayi dengan tipe kelekatan cemas menunjukkan perasaan tidak aman dengan bersikap melawan ibunya. Model mental yang dikembangkan oleh individu tipe ini ketika dewasa memandang diri sendiri sebagai orang yang gampang curiga dan skeptis; memandang orang lain sebagai orang yang mudah berubah-ubah pendiriannya. Hal ini membuat individu tersebut akan merasa kurang puas dalam menjalin hubungan dengan orang lain, sukar membuka diri, tidak dapat dengan mudah menyandarkan diri begitu saja pada orang lain, dan merasa cemas bila ada orang lain yang berusaha dekat dengannya.


(48)

c. Kelekatan Tipe Menghindar (avoidant attachment)

Bayi dengan tipe ini menunjukkan kecemasan dengan bersikap menghindari kontak dengan ibunya. Ketika dewasa, individu dengan tipe kelekatan ini mengembangkan model mental yang memandang diri sendiri sebagai orang yang kurang pengertian, kurang percaya diri, kurang berharga, takut ditinggalkan atau tidak dicintai oleh orang lain; memandang orang lain sebagai orang yang mudah berubah, punya komitmen yang rendah dalam berhubungan; dan cenderung salah dalam menginterpretasikan tanda-tanda yang diberikan oleh orang lain.

Tipe-tipe kelekatan tersebut terbentuk dari bagaimana tingkat sensitivitas dan responsivitas pengasuh terhadap tanda-tanda yang diberikan bayi. Misalnya, bayi dengan tipe kelekatan aman biasanya memiliki ibu yang lebih sensitif, lebih memberikan penerimaan dan lebih ekspresif menunjukkan perasaan. Ibu dari bayi-bayi dengan tipe kelekatan menghindar biasanya lebih sedikit melakukan kontak fisik dengan bayinya, lebih sering menunjukkan kemarahan dan wajah tidak senang daripada mengekspresikan kasih sayangnya. Lain halnya dengan ibu dari bayi dengan tipe kelekatan cemas. Ibu dengan bayi tipe ini tidak banyak menunjukkan perasaan sayangnya namun juga tidak menunjukkan perilaku menolak pada bayinya (Ainsworth, dalam Santrock, 1999).

Uraian mengenai karakteristik tipe kelekatan tersebut menunjukkan bahwa tingkat sensitivitas dan responsivitas ibu kepada bayinya merupakan faktor yang menentukan kualitas kelekatan di antara bayi dengan ibunya. Kualitas kelekatan


(49)

dan sensitivitas yang ditunjukkan oleh figur lekat. Sebaliknya, kurangnya responsivitas dan sensitivitas figur lekat akan menimbulkan ketidakpercayaan (mistrust) individu terhadapa figur lekatnya, sehingga akan terbentuk kualitas kelekatan yang tidak aman. Kualitas kelekatan tersebut kemudian akan tercermin dalam perilaku-perilaku lekat yang ditampakkan individu terhadap figur lekatnya.

Alan Sroufe (dalam Santrock, 1999) juga melakukan penelitian dengan hasil yang menunjukkan bahwa kualitas kelekatan berpengaruh terhadap perilaku sosial anak dalam berhubungan di masa mendatang. Lebih spesifik, Sroufe menjelaskan bahwa anak-anak dengan kelekatan tipe aman mempunyai lebih sedikit masalah, lebih mampu menikmati masa remajanya dan sukses dalam menjalin hubungan akrab dengan sebayanya. Walaupun anak-anak dengan tipe kelekatan tidak aman memiliki resiko lebih besar untuk mendapat lebih banyak masalah di masa mendatang, namun anak-anak dengan kelekatan tipe inipun dapat merasa lebih tenang pada masa remajanya jika ibu kemudian mampu mengadakan hubungan yang penuh kasih sayang dan meredakan gejala-gejala depresi pada anaknya (Ostoja, dkk., dalam Santrock, 1999).

Berdasarkan uraian di muka, dapat disimpulkan bahwa kualitas kelekatan merupakan tingkat mutu atau kebaikan kelekatan yang tercermin dalam perilaku-perilaku lekat yang dimunculkan individu terhadap figur lekatnya. Kualitas kelekatan berbeda-beda dan menunjukkan karakteristik yang berbeda-beda pula. Variasi kualitas kelekatan dapat dibedakan berdasarkan beberapa tipe kelekatan yang digolongkan dari variasi respon individu terhadap situasi yang dihadapi pada saat berdekatan atau sedang tidak berdekatan dengan figur lekat. Pada penelitian


(50)

ini, tingkat kualitas kelekatan tidak diketahui melalui penggolongan subjek ke dalam tipe-tipe kelekatan tertentu, melainkan melalui perilaku-perilaku lekat yang dimunculkan individu terhadap figur lekatnya.

3. Kualitas Kelekatan dalam Pernikahan

Hubungan pernikahan diharapkan tidak hanya diartikan sebagai sebuah perangkat sosial semata, namun juga mengandung ikatan emosional di dalamnya. Adanya ikatan emosional dalam hubungan pernikahan sangat penting karena menurut Santrock (1999), ikatan emosional atau kelekatan merupakan alasan yang paling kuat bagi individu untuk menjalin dan memelihara hubungan dengan individu lain.

Hubungan kelekatan antara pasangan intim, seperti pasangan suami istri, tumbuh dengan proses yang serupa dengan proses tumbuhnya kelekatan pada bayi dan kanak-kanak terhadap ibunya. Durkin (1995) menjelaskan bahwa model mental yang terbentuk dari relasi kelekatan pada masa bayi melandasi terbentuknya hubungan individu dengan individu lain. Apa yang dipelajari dari hubungan antara anak dengan ibu akan digeneralisasikan pada hubungan yang lain di kemudian hari, salah satunya adalah hubungan berpasangan seperti pacaran dan hubungan pernikahan.

Proses terbentuknya kelekatan pada individu dewasa dapat pula diterangkan dengan teori Hazan dan Shaver (1987). Menurut Hazan dan Shaver, melalui interaksi yang berkesinambungan, seseorang akan memberikan penilaian terhadap hubungannya dengan figur lekatnya mengenai dua hal, yaitu:


(51)

a. Berkaitan dengan pandangannya terhadap orang lain; apakah orang lain dinilai dapat memberikan perlindungan, penghargaan dan dorongan.

b. Berkaitan dengan pandangannya terhadap dirinya sendiri; apakah dirinya dinilai sebagai orang yang berharga dan dicintai.

Penilaian tersebut kemudian melandasi berkembangnya model mental pada diri individu secara internal yang berisi tentang kepercayaan dan harapan apakah figur lekatnya hangat dan responsif atau tidak.

Dalam hubungan berpasangan, model mental yang terorganisasi sebagai harapan-harapan akan respon dari figur lekat tersebut akan mengarahkan individu untuk meramalkan perilaku pasangannya (Bartholomew & Horowitz, 1991; Westmast & Silver, 2001).

Menurut Bell, dkk. (1985), hubungan cinta dalam konteks pasangan merupakan suatu langkah awal untuk mendapatkan status orang dewasa. Hubungan cinta dapat menjadi jawaban dari ketidakseimbangan, kekosongan, dan kecemasan karena salah satu tugas perkembangan yang harus diselesaikan pada masa dewasa awal adalah memilih teman hidup.

Erikson (dalam Santrock,1999) juga menyebutkan bahwa salah satu tujuan dari tahap dewasa adalah mengembangkan keintiman, yaitu kapasitas individu untuk membina hubungan yang hangat dan berarti dengan orang lain. Hubungan ini dapat berupa persahabatan maupun hubungan romantis. Jika pada masa ini seseorang tidak dapat membina keintiman dengan orang lain, maka ia akan merasa sepi, sedih, dan terasing.


(52)

Berscheid, dkk. (dalam Santrock, 1999) menyatakan hasil surveinya bahwa hubungan romantis adalah hubungan yang paling dianggap penting oleh kalangan orang dewasa. Mereka juga menyatakan bahwa ikatan dengan pasangan romantis adalah hubungan yang paling dekat.

Santrock (1999) menerangkan bahwa dalam keterampilan menjalin hubungan yang adaptif, salah satu hal yang penting dilakukan untuk mengembangkan kemampuan sosial-emosional pada orang dewasa adalah dengan membina hubungan cinta yang memuaskan dengan pasangannya. Hal ini menjadi penting karena dalam hubungan cinta, terkandung gairah, emosi, dan komitmen yang secara positif berarti ada kesediaan untuk saling mengembangkan identitas positif masing-masing, saling membagi kehidupan, saling terbuka dan dapat memandang dari perspektif pasangannya.

Hubungan kelekatan dalam interaksi orang dewasa, termasuk dalam hubungan pernikahan, menurut Myers (1999) memiliki aspek yang agak berbeda dengan aspek-aspek kelekatan pada bayi dan anak-anak. Hal ini disebabkan karena kelekatan antara individu dewasa lebih merupakan hubungan yang timbal balik daripada hubungan kelekatan yang terjalin pada masa bayi dan kanak-kanak. Myers menjelaskan kelekatan di antara individu dewasa dalam hubungan pernikahan meliputi tiga aspek, yaitu:

a. Pengertian yang berkualitas (mutual understanding)

Pengertian dalam hal ini terjadi kepada pasangan baik secara kognitif, maupun afektif.


(53)

b. Pemberian dukungan timbal-balik (giving and receiving support)

Artinya, setiap individu memberikan dukungan baik secara materi maupun afeksi untuk menguatkan diri pasangannya dalam berbagai hal.

c. Menikmati dan memaknai kebersamaan dengan pasangan (valuing and enjoying being with the love one)

Aspek ini ditampakkan dengan kemampuan individu dalam memaknai kebersamaan dengan pasangannya baik secara fisik maupun afeksi. Hasil pemaknaan ini akan mempengaruhi kemampuan individu dalam menikmati kebersamaan dengan pasangannya.

Menurut Myers (1999), terpenuhinya ketiga aspek tersebut menandakan kualitas kelekatan yang baik antara dua individu dewasa yang akan mengarah pada semakin kokohnya hubungan yang terjalin.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kualitas kelekatan pada pasangan dalam pernikahan merupakan tingkat mutu atau kebaikan kelekatan yang tercermin dalam perilaku-perilaku lekat yang dimunculkan individu terhadap figur lekatnya, yaitu pasangannya.

Pengertian kualitas kelekatan yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada teori yang yang diuraikan oleh Myers, yaitu diungkap berdasarkan kemunculan aspek-aspek pengertian yang berkualitas (mutual understanding), pemberian dukungan timbal-balik (giving and receiving support), serta kemampuan individu menikmati dan memaknai kebersamaan dengan pasangannya (valuing and enjoying being with the love one). Kualitas kelekatan yang baik pada pasangan suami istri memiliki kualitas pengertian yang baik,


(54)

suportivitas yang tinggi, serta kenyamanan yang tinggi dalam menikmati kebersamaan.

C. Hubungan antara Kualitas Kelekatan dengan Strategi Manajemen Konflik dalam Pernikahan

Telah diketahui bahwa kualitas kelekatan yang terjadi pada hubungan antara seorang bayi dengan pengasuhnya di kemudian hari menjadi dasar dari hubungan yang dijalani oleh anak selanjutnya. Penelitian Feeney dan Noller (1990) telah menunjukkan bahwa ikatan emosional dalam hubungan yang lekat tetap terjadi hingga dewasa. Kualitas kelekatan yang tampak pada hubungan intim yang terjalin pada saat individu dewasa bersumber dari kualitas kelekatan yang dirasakan oleh individu tersebut ketika bayi hingga kanak-kanak.

Hal tersebut terjadi pula pada berbagai kemampuan adaptif yang berkaitan dengan kemampuan sosial, karena perkembangan kemampuan sosial bersumber pula dari perkembangan karakteristik mental individu seperti harga diri, kepercayaan diri, kemampuan penyesuaian emosional, dan sebagainya (Burland dan Zimmerman, dalam Santrock, 1999).

Penelitian Helmi (1992) dan Rachmawatie (2002) menunjukkan adanya hubungan antara kualitas kelekatan dengan salah satu atribut dalam hubungan intim dengan lawan jenis pada pasangan individu dewasa yang belum menikah, yaitu gaya mencintai. Hasil dari kedua penelitian tersebut menerangkan bahwa individu dengan tipe kelekatan aman cenderung mencintai dengan gaya pragma,


(55)

tulus tanpa dikuasai oleh perasaan curiga dan cemburu yang terlalu mengikat dan disertai oleh komitmen.

Tingkat kepercayaan yang dirasakan oleh seorang individu terhadap pasangannya juga akan mempengaruhi upaya yang dilakukannya dalam memelihara hubungan. Hal ini dijelaskan oleh Heath (dalam Counts, 2003) dengan teori pertukaran sosial, bahwa kepercayaan seseorang terhadap pasangannya akan memperkuat respon-respon positif yang akan berfungsi dalam membangun hubungan. Respon-respon positif tersebut juga tercermin dalam cara-cara yang digunakan seseorang dalam menghadapi konflik dengan pasangannya. Artinya, seseorang yang memiliki kualitas kelekatan yang baik dan merasa aman terhadap pasangannya, akan cenderung menggunakan cara-cara penyelesaian konflik yang konstruktif agar hubungan pernikahan tetap terpelihara.

Pandangan ini sesuai dengan pendapat Santrock (1999) yang telah diuraikan sebelumnya bahwa hubungan yang terjalin atas dasar kelekatan yang baik akan menjadi hubungan yang berharga untuk dipertahankan. Alur logika hubungan antara kualitas kelekatan dan strategi manajemen konflik dalam pernikahan digambarkan dalam bagan berikut ini:


(56)

Hubungan seseorang dengan figur lekatnya atau sering disebut kelekatan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keintiman suami istri (dalam Wibhowo, 2002). Menurut Wibhowo (2002), keintiman yang terjalin pada pasangan suami istri dapat mempengaruhi kepuasan dalam pernikahan. Pada bagan di atas dijelaskan bahwa kualitas kelekatan pada pasangan suami istri ditunjukkan dalam tiga aspek, yaitu pengertian yang berkualitas, pemberian dukungan timbal balik, menikmati dan memaknai kebersamaan dengan pasangan. Ketiga aspek ini dapat mempengaruhi kepuasan dalam pernikahan.

Konflik merupakan hal yang tidak dapat dihindari dalam setiap kehidupan bersama (Kottler, dalam Counts, 2003). Konsekuensi dari munculnya konflik, baik positif maupun negatif, sangat tergantung pada cara-cara yang digunakan dalam menghadapi konflik tersebut. Menurut Wibhowo (2002), cara menyelesaikan masalah dan cara pengambilan keputusan terhadap masalah

Kualitas Kelekatan Pengertian yang Berkualitas Pemberian Dukungan Timbal Balik Menikmati & Memaknai Kebersamaan dengan Pasangan Kepuasan Pernikahan Strategi Manajemen Konflik Positive Problem Solving

Kompromi Negosiasi

Kepuasan Pernikahan


(57)

bagan di atas, cara menyelesaikan konflik atau strategi manajemen konflik konstruktif dibedakan menjadi dua yaitu kompromi dan negosiasi. Kemampuan pasangan suami istri dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah yang terjadi dalam rumah tangga akan berpengaruh terhadap keintiman atau keakraban. Jika keintiman pasutri tersebut dapat terjaga maka akan menimbulkan suatu kepuasan dalam pernikahan.

Kesimpulan yang dapat diambil dari bagan di atas adalah bahwa jika suatu hubungan pernikahan yang memiliki kualitas kelekatan yang baik, maka pasangan tersebut dapat merasakan kepuasan dalam pernikahannya. Apabila pasangan suami istri memandang pernikahan sebagai suatu hubungan yang berharga, maka mereka akan berupaya untuk tetap mempertahankannya. Pasutri cenderung menggunakan strategi manajemen konflik yang konstruktif, yaitu dengan cara positive problem solving, sebagai salah satu upaya yang harus dilakukan untuk memelihara pernikahan. Alur logika tersebut memperkuat pandangan mengenai adanya hubungan antara kualitas kelekatan pada pasangan dengan penggunaan strategi manajemen konflik dalam pernikahan.

D. Hipotesis

Berdasarkan tinjauan teoretis yang telah dikemukakan, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara kualitas kelekatan pasangan suami istri dengan strategi manajemen konflik (positive problem solving) dalam pernikahan. Semakin tinggi kualitas kelekatan pasangan suami istri, semakin tinggi pula kecenderungan penggunaan strategi manajemen


(58)

konflik (positive problem solving) dalam pernikahan. Sebaliknya, semakin rendah kualitas kelekatan pasangan suami istri, semakin rendah pula kecenderungan penggunaan strategi manajemen konflik (positive problem solving) dalam pernikahan.


(59)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah jenis penelitian korelasional. Penelitian korelasional yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk mencari hubungan atau relasi antara dua variabel. Dalam penelitian ini, penulis ingin mengetahui apakah ada hubungan yang positif antara kualitas kelekatan pasutri dan strategi manajemen konflik (positive problem solving) dalam pernikahan.

B. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Variabel tergantung : Strategi manajemen konflik (positive problem solving)

2. Variabel bebas : Kualitas kelekatan pasutri

C. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN

1. Strategi Manajemen Konflik (Positive Problem Solving) dalam

Pernikahan

Strategi manjemen konflik (positive problem solving) dalam pernikahan diartikan sebagai kecenderungan yang dimiliki oleh pasangan suami istri dalam menghadapi konflik yang terjadi dalam pernikahan dimana kecenderungan


(60)

tersebut mengarah pada penyelesaian konflik yang efektif dan membangun hubungan. Strategi manajemen konflik (positive problem solving) terdiri dari yaitu kompromi dan negosiasi. Kompromi merupakan suatu strategi atau cara menyelesaikan konflik dimana kedua pihak yang terlibat konflik mencoba untuk mengorbankan sebagian tujuannya demi mencapai persetujuan bersama sehingga keduanya sama-sama mendapat keuntungan. Sedangkan negosiasi adalah suatu bentuk manajemen konflik yang ditandai dengan adanya pertukaran pendapat antara dua pihak atau lebih yang terlibat konflik untuk mencapai persetujuan bersama yang dapat diterima oleh semua pihak. Dalam pertukaran pendapat tersebut pihak-pihak yang terlibat konflik tetap melakukan interaksi sehingga persetujuan dapat tercapai tanpa menggunakan kekerasan.

Variabel strategi manajemen konflik pada penelitian ini diungkap dengan Skala Strategi Manajemen Konflik yang disusun oleh peneliti. Penyusunan skala tersebut didasarkan pada indikator strategi manajemen konflik (positive problem

solving), yaitu tetap menjaga kedekatan dengan pasangan; mendengarkan,

menerima, dan memahami pasangan; mendiskusikan penyelesaian yang terbaik bagi kedua belah pihak; mengendalikan diri dan berkomunikasi secara positif; serta mengorbankan sebagian tujuan untuk kesepakatan bersama. Semakin tinggi skor subjek, semakin tinggi kecenderungan penggunaan strategi manajemen konflik (positive problem solving) dalam pernikahan. Sebaliknya, semakin rendah skor subjek, maka kecenderungan penggunaan strategi manajemen konflik (positive problem solving) dalam pernikahan juga semakin rendah.


(61)

2. Kualitas Kelekatan Pasutri

Kelekatan diartikan sebagai ikatan emosional timbal balik yang kuat dan bertahan lama antara dua orang individu yang dilakukan untuk mencari, mempertahankan, dan menambah kedekatan yang memberikan rasa aman dan ketenangan dengan figur lekat yang dianggap istimewa.

Kualitas kelekatan yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan tingkat kelekatan yang khas pada pasangan suami istri, sehingga pengertian figur lekat mengacu pada pasangan. Kualitas kelekatan dalam pernikahan tercermin dalam kemunculan aspek-aspek pengertian berkualitas (mutual understanding), pemberian dukungan timbal balik (giving and receiving support), serta kemampuan individu menikmati dan memaknai kebersamaan dengan pasangannya (valuing and enjoying being with the love one).

Variabel kualitas kelekatan pasangan suami istri pada penelitian ini diungkap dengan Skala Kualitas Kelekatan Pasutri yang disusun oleh peneliti. Penyusunan skala tersebut berdasarkan pada indikator kualitas kelekatan yaitu: a. Pengertian berkualitas (mutual understanding)

(1) Tidak memaksa pasangan untuk melakukan sesuatu

(2) Berpikir positif, mempercayai dan menjaga kepercayaan pasangan (3) Memaafkan tanpa syarat

(4) Menerima dan mengerti kelebihan dan kekurangan masing-masing (5) Memahami kebutuhan pasangan serta hal-hal yang disenangi dan tidak

disenangi


(62)

b. Pemberian dukungan timbal balik (giving and receiving support) (1) Saling mendukung aktivitas pasangan

(2) Ada di dekat pasangan saat dibutuhkan

(3) Menerima dan memberi bantuan yang diperlukan pasangan

c. Menikmati dan memaknai kebersamaan dengan pasangan (valuing and enjoying being with the love one)

(1) Merasa nyaman bersama pasangan

(2) Menghargai perhatian dan tanda cinta pasangan (3) Merasa cemas dan kehilangan saat berjauhan (4) Menikmati interaksi fisik dengan pasangan

(5) Tetap berorientasi pada pasangan meski tidak sedang berinteraksi

Pada penelitian ini, variabel kualitas kelekatan pasangan suami istri diungkap dengan Skala Kualitas Kelekatan yang disusun oleh peneliti. Semakin tinggi skor subjek, semakin baik kualitas kelekatan subjek pada pasangannya. Sebaliknya, semakin rendah skor subjek, semakin kurang baik kualitas kelekatan subjek dengan pasangannya.

D. SUBJEK PENELITIAN

Subjek pada penelitian ini adalah pasangan suami istri yang diambil menggunakan teknik purposive sampling, yaitu teknik penentuan sample dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2006). Subjek penelitian ini diambil sebanyak 100 orang dengan rincian 50 orang suami dan 50 orang istri untuk meneliti


(63)

kualitas kelekatan pasutri dengan strategi manajemen konflik (positive problem solving) dalam pernikahan, dengan kriteria sebagai berikut:

1. Usia subjek

Usia subjek berkisar antara 20-50 tahun, telah menikah dan memiliki anak, dengan asumsi subjek pada usia ini sudah cukup matang untuk menjalani hidup pernikahan.

2. Usia pernikahan

Usia pernikahan subjek di bawah sepuluh tahun. Menurut pandangan Landis dan Landis (1960), konflik antara suami istri sering terjadi pada tahun-tahun awal pernikahan. Konflik tersebut terjadi karena pasangan suami istri sedang dalam proses belajar untuk hidup bersama. Keadaan ini akan berlangsung terus sampai sepuluh tahun pertama pernikahan sampai pada akhirnya pasangan suami istri tersebut dapat menyelesaikan konflik yang ada dengan kesepakatan. 3. Latar belakang pendidikan

Latar belakang pendidikan subjek adalah minimal SLTP-Sarjana dengan tujuan agar subjek lebih mudah dalam memahami skala yang disajikan. Selain itu adanya asumsi bahwa subjek yang memiliki pengetahuan dari pendidikan yang ditempuhnya akan mempunyai kemampuan untuk menjalin komunikasi yang baik dan terarah.

4. Subjek juga tidak bersama orang tua sehingga strategi manajemen konflik yang muncul tidak terpengaruh oleh keberadaan figur orang tua dalam rumah tangga.


(64)

E. METODE DAN ALAT PENGUMPULAN DATA

1. Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif korelasional. Alat untuk memperoleh data berupa skala. Skala yang digunakan dalam penelitian ini disusun untuk mengungkap kualitas kelekatan pasutri dan strategi manajemen konflik dalam pernikahan. Peneliti memilih menggunakan skala dalam pengumpulan data dengan pertimbangan asumsi bahwa subyek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya sendiri. Selain itu, metode skala juga merupakan metode yang praktis, mudah pelaksanaannya, efektif serta efisien. Metode ini dikatakan efektif dan efisien karena dalam waktu singkat dapat diperoleh data yang banyak, serta ekonomis terutama dalam segi biaya.

Sebelum digunakan pada penelitian yang sesungguhnya, skala yang akan digunakan diujicobakan terlebih dahulu. Data dari hasil uji coba kemudian dianalisis secara statistik untuk menentukan validitas dan reliabilitas alat ukur. Skala yang telah memenuhi kualifikasi validitas dan reliabilitas inilah yang akan dipakai dalam penelitian, dengan asumsi bahwa alat ukur tersebut dapat secara tepat mengungkap apa yang ingin diungkap, serta ajeg dalam penelitian.

2. Alat Pengumpulan Data


(65)

a. Skala Strategi Manajemen Konflik

Variabel strategi manajemen konflik pada penelitian ini diungkap dengan Skala Strategi Manajemen Konflik yang disusun oleh peneliti berdasarkan indikator strategi manajemen konflik yang konstruktif, yaitu kompromi dan negosiasi (positive problem solving). Indikator-indikator kompromi dan negosiasi meliputi tetap menjaga kedekatan dengan pasangan; mendengarkan, menerima, dan memahami pendapat pasangan; mendiskusikan penyelesaian yang terbaik bagi kedua pihak; mengendalikan diri dan berkomunikasi secara positif; serta tetap berusaha menyelesaikan konflik.

Skala ini memberikan empat pilihan jawaban terhadap item-item pada masing-masing strategi manajemen konflik. Pada item-item yang favourable

skor jawaban Selalu (SL) = 4, Sering (SR) = 3, Kadang-Kadang (KD) = 2, dan Tidak Pernah (TP) = 1. Pada aitem-aitem dianggap unfavourable dengan skor jawaban Selalu (SL) = 1, Sering (SR) = 2, Kadang-Kadang (KD) = 3, dan Tidak Pernah (TP) = 4.

Skor total dari tiap subyek akan diperoleh dengan menjumlah skor dari semua item pada masing-masing skala. Dengan demikian, semakin tinggi skor subjek, semakin tinggi kecenderungan penggunaan strategi manajemen konflik yang konstruktif (Positive Problem Solving) dalam pernikahan. Sebaliknya, semakin rendah skor subjek, kecenderungan penggunaan strategi manajemen konflik yang konstruktif (Positive Problem Solving) dalam pernikahan semakin rendah.


(66)

Pada Tabel 3.1 berikut ini disajikan sebaran item pada setiap indikator perilaku dalam Skala Strategi Manajemen Konflik untuk uji coba.

Tabel 3. 1

Sebaran Aitem Skala Strategi Manajemen Konflik Uji Coba

Indikator Nomor Item Jumlah

Total Item

Favourable Unfavourable

Tetap menjaga kedekatan dengan pasangan

9, 33, 35 2, 5, 8, 29 7 Mendengarkan, menerima, dan

memahami pendapat pasangan

3, 16, 23, 30, 32

13, 20 7 Mendiskusikan penyelesaian yang

terbaik bagi kedua pihak

1, 10, 21, 26 7, 15, 34 7 Mengendalikan diri dan

berkomunikasi secara positif

4, 17, 22 6, 11, 27, 31 7 Tetap berusaha menyelesaikan

konflik

14, 19 12, 18, 24, 25, 28 7

Jumlah 17 18 35

Keterangan: 30, 14 merupakan item yang gugur

2, 10,6 merupakan item yang digugurkan

Jumlah total item pada tiap-tiap indikator sama, dikarenakan tidak ada kontribusi yang dominan dari indikator-indikator tertentu terhadap variabel strategi manajemen konflik yang hendak diukur.

b. Skala Kualitas Kelekatan

Skala Kualitas Kelekatan ini disusun berdasarkan pada aspek-aspek kelekatan yang dikemukakan oleh Myers, yaitu pengertian yang berkualitas (mutual understanding), pemberian dukungan timbal-balik (giving and

receiving support), serta kemampuan individu menikmati dan memaknai

kebersamaan dengan pasangannya (valuing and enjoying being with the love one). Dalam hal ini, konteks figur lekat mengacu pada pasangan yaitu suami


(67)

Butir-butir pernyataan disusun berdasarkan model (skala summated rating) dengan empat pilihan jawaban. Pilihan jawaban tersebut adalah sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), dan sangat tidak sesuai (STS). Pernyataan-pernyataan tersebut terdiri dari item-item yang favorable dan unfavorable.

Pemberian skor jawaban untuk item favorable adalah SS = 4; S = 3; TS = 2; dan STS = 1. Sebaliknya, item unfavorable diberi skor SS = 1; S =2; TS = 3; dan STS = 4. Skor total dari tiap subyek akan diperoleh dengan menjumlah skor dari semua item pada masing-masing skala. Semakin tinggi skor subjek menandakan kualitas kelekatan semakin baik, sebaliknya skor yang rendah menandakan kualitas kelekatan yang kurang baik.

Pada Tabel 3.2 berikut ini disajikan sebaran item skala Kualitas Kelekatan untuk uji coba.


(68)

Tabel 3.2

Sebaran Aitem Skala Kualitas Kelekatan Uji Coba

Aspek Indikator Nomor Aitem Jumlah Favourable Unfavorable

Mutual understanding

•Tidak memaksa untuk melakukan sesuatu

•Berpikir positif, mempercayai dan menjaga kepercayaannya

•Memafkan tanpa syarat

•Menerima dan mengerti kelebihan dan kekurangan masing-masing •Memahami kebutuhannya serta

hal-hal yang disenangi dan tidak disenangi

•Menerima emosi positif dan negatif yang diekspresikan

38 2,10 21 5 8 9 33 16, 28 29 26 31 3,17 15 Giving and receiving support

•Saling mendukung aktivitas •Ada di dekatnya saat dibutuhkan •Menerima dan memberi bantuan

yang diperlukan

12, 22, 37 14, 42, 44 6,19

20, 43

41, 45 15, 30, 34

15

Valuing and enjoying being with the love one

•Merasa nyaman bersamanya •Menghargai perhatian dan tanda

cintanya

•Merasa cemas dan kehilangan saat berjauhan

•Menikmati interaksi fisik dengan pasangan

•Tetap berorientasi pada figur lekat meski tidak sedang berinteraksi

27 23

7, 35, 36, 40 11, 32 1 13 4 24 18, 25 39 15

Total 23 22 45

Keterangan: 36 merupakan item yang gugur

26, 43 merupakan item yang digugurkan

Jumlah total item pada tiap-tiap indikator sama, dikarenakan tidak ada kontribusi yang dominan dari indikator-indikator tertentu terhadap variabel kualitas kelekatan yang hendak diukur.

Seleksi terhadap item-item skala dilakukan dengan perhitungan statistik untuk mendapatkan item-item yang memenuhi standar validitas dan


(1)

Means

[DataSet2]

Case Processing Summary

100 100,0% 0 ,0% 100 100,0%

strategi_manajemen_ konflik * kualitas_ kelekatan

N Percent N Percent N Percent

Included Excluded Total


(2)

Report strategi_manajemen_konflik

63,0000 1 .

67,0000 1 .

71,0000 1 .

70,0000 2 ,00000

73,5000 2 2,12132

67,5000 2 4,94975

73,0000 2 2,82843

69,0000 1 .

77,0000 2 8,48528

84,8000 5 12,27599

77,3333 3 ,57735

76,6667 3 15,53491

73,0000 1 .

84,0000 1 .

82,0000 2 11,31371

83,0000 2 11,31371

85,0000 1 .

80,5000 2 17,67767

90,5000 2 16,26346

89,2500 4 8,05709

98,0000 1 .

94,5000 2 3,53553

84,0000 1 .

89,2500 4 8,99537

88,0000 1 .

78,0000 1 .

93,2500 4 4,57347

94,5000 2 3,53553

94,0000 3 2,64575

99,7143 7 3,54562

94,0000 2 11,31371

115,0000 1 .

93,5000 2 9,19239

100,0000 1 .

101,0000 1 .

105,0000 1 .

92,3333 3 6,11010

73,0000 1 .

100,5000 2 3,53553

88,0000 1 .

100,0000 1 .

89,0000 2 4,24264

102,7500 4 7,32006

103,0000 1 .

90,0000 1 .

92,0000 1 .

105,2500 4 7,13559

99,0000 1 .

106,0000 1 .

93,0000 1 .

105,5000 2 12,02082

89,2400 100 12,72246

kualitas_kelekatan 92,00 93,00 94,00 95,00 96,00 97,00 98,00 101,00 102,00 103,00 104,00 105,00 106,00 107,00 108,00 109,00 111,00 112,00 113,00 114,00 115,00 116,00 117,00 118,00 119,00 120,00 121,00 122,00 123,00 124,00 125,00 126,00 127,00 128,00 129,00 130,00 131,00 132,00 133,00 134,00 135,00 136,00 138,00 139,00 140,00 141,00 142,00 144,00 146,00 147,00 157,00 Total

Mean N Std. Deviation


(3)

ANOVA Table

12605,761 50 252,115

8720,207 1 8720,207

3885,554 49 79,297

3418,479 49 69,765

16024,240 99

(Combined) Linearity

Deviation from Linearity Between

Groups Within Groups Total

strategi_manajemen_ konflik * kualitas_ kelekatan

Sum of


(4)

ANOVA Table

3,614 ,000 124,994 ,000 1,137 ,328 (Combined)

Linearity

Deviation from Linearity Between

Groups Within Groups Total

strategi_manajemen_ konflik * kualitas_ kelekatan

F Sig.

Measures of Association

,738 ,544 ,887 ,787

strategi_manajemen_ konflik * kualitas_ kelekatan

R R Squared Eta Eta Squared


(5)

Descriptives

[DataSet2]

Descriptive Statistics

100 92,00 157,00 11942,00 119,4200 15,38081 100 63,00 115,00 8924,00 89,2400 12,72246 100

kualitas_kelekatan strategi_manajemen_ konflik

Valid N (listwise)


(6)

Correlations

[DataSet2]

Correlations

1 ,738**

,000

100 100

,738** 1

,000

100 100

Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N

Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N

kualitas_kelekatan

strategi_manajemen_ konflik

kualitas_ kelekatan

strategi_ manajemen_

konflik

Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed). **.