Uji Hipotesis Analisis Hasil Penelitian
69 positive problem solving dalam pernikahan. Semakin tinggi kualitas kelekatan
pasutri, maka kecenderungan pemakaian strategi manajemen konflik positive problem solving dalam pernikahan juga semakin tinggi.
Peneliti mengajukan hipotesis dalam penelitian ini yaitu adanya hubungan antara kualitas kelakatan pasutri dengan strategi manajemen konflik positive
problem solving dalam pernikahan. Dari analisis data penelitian diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa hipotesis yang diajukan oleh peneliti telah teruji dan
terbukti. Hasil penelitian ini sesuai dengan alur pemikiran peneliti yang dijelaskan
di muka bahwa pasangan suami istri yang memiliki kualitas kelekatan tinggi maka cenderung akan menjaga dan mempertahankan hubungan pernikahan mereka Hal
ini sejalan dengan pandangan Santrock 1999 di mana hubungan yang terjalin atas dasar kelekatan yang baik akan menjadi hubungan yang berharga untuk
dipertahankan. Salah satu cara yang dilakukan untuk menjaga hubungan tersebut sehingga tercapai kepuasan dalam pernikahan adalah dengan penggunaan strategi
manajemen konflik konstruktif yaitu positive problem solving. Berdasarkan analisis yang dilakukan diperoleh hasil koefisien korelasi
determinan r
2
sebesar 0,560. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas kelekatan memberi sumbangan atau kontribusi efektif terhadap strategi manajemen konflik
positive problem solving sebesar 56 . Sedangkan 44 nya lagi dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor-faktor lain itu kemungkinan adalah peran gender dan
culture atau budaya Counts, 2003.
70 Rata-rata subjek memiliki kecenderungan pemakaian strategi manajemen
konflik positive problem solving yang tinggi, terlihat dari mean empiriknya sebesar 89,24 mean teoritiknya sebesar 75. Hal ini terjadi karena subjek
mempunyai kesadaran yang tinggi untuk tetap menjaga keutuhan rumah tangga mereka. Bila dilihat dari tingkat pendidikan subjek, tingginya kecenderungan
pemakaian strategi manajemen konflik positive problem solving dalam pernikahan dikarenakan subjek penelitian memiliki tingkat pendidikan yang relatif
tinggi yaitu SLTA. Di mana asumsinya bahwa subjek akan menjadi lebih mampu untuk menjalankan tugasnya sesuai bidang yang dijalaninya berdasarkan
perjalanan yang dilalui. Di samping karena latar belakang pendidikan subjek yang relatif tinggi, tingginya kecenderungan penggunaan strategi manajemen konflik
positive problem solving dalam pernikahan disebabkan oleh sebagian besar subjek bekerja. Kecenderungan subjek yang bekerja membuat subjek memiliki
kemapuan untuk menjalin komunikasi yang baik dan terarah dengan orang lain, termasuk dengan pasangannya. Selain itu subjek juga akan lebih mampu untuk
memahami dan menerima keadaan pasangannya serta lebih mampu berpikir dalam mengelola permasalahan yang terjadi dalam rumah tangga mereka.
Rata-rata subjek memiliki kualitas kelekatan yang tinggi pula, terlihat dari mean empiriknya lebih besar daripada mean teoritiknya 119,13 105. Hal ini
terjadi karena subjek berada dalam tahapan usia dewasa 20-50 tahun. Menurut Erickson dalam Santrock, 1999 menyebutkan bahwa salah satu tujuan dari
tahapan usia dewasa adalah mengembangkan keintiman, yaitu kapasitas individu untuk membina hubungan yang hangat dan berarti dengan orang lain.