Konflik dalam Pernikahan Konflik

15 2 Area ke dua adalah perbedaan kepribadian. Konflik seringkali muncul pada pasangan dengan kepribadian yang saling bertentangan. Misalnya jika istri tergolong individu yang senang bersosialisasi, bepergian ke luar rumah, serta sangat terbuka membicarakan perasaan maupun pikirannya, sementara suami termasuk individu yang pendiam, menyenangi kegiatan di dalam rumah, serta tidak menyukai pembicaraan yang berubungan dengan perasaan pribadi masing-masing. Rahim dalam Counts, 2003 berpendapat bahwa bagaimanapun selarasnya kondisi pasangan, konflik tetap akan terjadi secara bergantian pada kedua area karena konflik merupakan hal yang tidak dapat terelakkan dalam suatu kehidupan bersama. Dalam hubungan pernikahan konflik dapat membantu individu untuk memperjelas dan mengubah harapannya terhadap suatu hubungan serta konsep tentang diri dan pasangannya. Konflik, di sisi lain juga dapat membangkitkan perasaan yang kuat, maka ada resiko seorang individu terjebak dan mengambil keputusan yang tidak membangun hubungan dan pada akhirnya dapat mengancam keberlangsungan suatu hubungan. Fenomena seperti itu merupakan hal yang wajar, karena konflik merupakan suatu pertentangan sikap, tindakan, atau kognisi sebagai akibat dari tidak dapat disesuaikannya aspirasi seseorang atas kepentingan atau keyakinan yang berbeda dengan pasangannya. Konflik pada umumnya tidak selalu bersifat negatif dan harus dihindari. Berkaitan dengan hal ini, konflik memiliki fungsi tertentu. Konflik diperlukan 16 karena dapat membantu mengurangi ketegangan pada salah satu pihak atau keduanya, dan dapat pula mengatasi perbedaan yang timbul secara terbuka apabila pasangan suami istri mampu menyelesaikan dengan cara-cara yang konstruktif Landis dan Landis, 1960. Baik buruknya sifat konflik tergantung dari bagaimana cara penyelesaiannya. Konflik berakibat positif jika diselesaikan dengan cara yang positif pula. Beberapa dampak positif dari munculnya konflik antara lain adalah dapat menjernihkan suasana, menemukan pemecahan masalah, serta mencapai sikap saling pengertian antara pasangan.

3. Strategi Manajemen Konflik

a. Pengertian Strategi Manajemen Konflik

Ada banyak cara bagi pasangan dalam menghadapi konflik dalam pernikahan. Dalam hal mengatasi konflik, ada dua hal yang terkait, yaitu coping dan manajemen konflik. Agar bahasan mengenai manajemen konflik menjadi lebih jelas, berikut ini akan diuraikan dengan lebih mendalam mengenai perbedaan antara coping dan manajemen konflik. Coping diartikan sebagai segala cara yang digunakan individu untuk mengatasi stress yang diakibatkan oleh suatu kejadian tertentu Parry, 1992. Ruang lingkup coping lebih luas daripada manajemen konflik karena menunjuk pada kesempatan menghadapi segala macam problem termasuk problem adanya konflik, sementara manajemen konflik hanya menunjuk pada kemampuan individu dalam menghadapi konflik. Lazarus 1991 mendeskripsikan dua model dasar perilaku coping berdasarkan domain yang menjadi fokus coping, yaitu: 17 1 Problem-focused coping Proses coping yang mengubah hubungan aktual antara lingkungan dengan individu. Bentuk coping ini berpusat pada tindakan atau usaha yang dilakukan untuk mengubah hubungan lingkungan secara aktual. 2 Emotion-focused Bentuk coping ini terutama dilakukan dengan berpikir dibandingkan tindakan langsung. Coping ini berkaitan dengan usaha internal untuk merestrukturisasi pemaknaan individu terhadap situasi. Dengan mengubah makna dari sebuah situasi maka individu juga mengubah reaksi emosional yang menyertainya. Uraian mengenai coping di atas menjelaskan bahwa jika masalah yang membebani individu berupa konflik, maka manajemen konflik merupakan bagian dari problem–focused coping yang dilakukan individu dalam menghadapi masalah tersebut. Manajemen konflik didefinisikan secara berbeda-beda oleh beberapa ahli. Burgess dan Huston dalam Counts, 2003 menyebutkan, manajemen konflik adalah saat ketika terjadi negosiasi kembali atas terjadinya permasalahan dan pertentangan. Pada konflik dalam pernikahan, manajemen konflik pada pasangan harus dimulai dengan komunikasi yang efektif antara kedua belah pihak. Komunikasi tersebut meliputi sebab terjadinya konflik, serta saling mengungkapkan pandangannya terhadap hal yang dipertentangkan. Komunikasi, selanjutnya harus menjadi alat yang efektif bagi pasangan dalam menemukan aspek tebaik dari sudut pandang masing-masing yang bertentangan dan 18 mengkombinasikan kedua sudut pandang tersebut hingga akhirnya tercapai kesepakatan dalam menentukan keputusan bersama. Komunikasi yang dilakukan dengan efektif dalam mengatasi konflik akan dapat menguatkan komitmen pasangan dalam mempertahankan hubungan, sebaliknya, jika komunikasi tidak berhasil, maka dapat berakibat pada berakhirnya hubungan. Beberapa strategi manajemen konflik dapat membantu pasangan dalam menguatkan hubungan pernikahan, namun ada juga strategi manajemen konflik yang menjadikan hubungan semakin renggang atau berakhir. Artinya, konflik dapat menunjang atau mengancam suatu hubungan, tergantung dari cara mengelolanya. Secara teoretis, para ahli selama ini melakukan berbagai studi mengenai manajeman konflik dengan menggunakan klasifikasi yang berbeda-beda dalam Rahmah, 1997. Secara trikotomi, dapat digunakan teori dari Horney dalam Hall dan Lindzey, 1993 dengan pembagian menarik diri moving away, mencapai solusi moving toward, agresi moving againts. Beberapa peneliti juga menggunakan lima tipologi manajemen konflik yang terdiri dari menghindar avoiding, berdamai accomodating, kompromi compromising, menyelesaikan masalah problem solving, dan kompetisi competing. Rubin 1994 juga menguraikan strategi manajemen konflik yang biasa dilakukan pasangan menjadi enam cara dalam menghadapi konflik pernikahan, sebagai berikut: 1 Dominasi domination 2 Menyerah capitulation