Pengertian Strategi Manajemen Konflik

18 mengkombinasikan kedua sudut pandang tersebut hingga akhirnya tercapai kesepakatan dalam menentukan keputusan bersama. Komunikasi yang dilakukan dengan efektif dalam mengatasi konflik akan dapat menguatkan komitmen pasangan dalam mempertahankan hubungan, sebaliknya, jika komunikasi tidak berhasil, maka dapat berakibat pada berakhirnya hubungan. Beberapa strategi manajemen konflik dapat membantu pasangan dalam menguatkan hubungan pernikahan, namun ada juga strategi manajemen konflik yang menjadikan hubungan semakin renggang atau berakhir. Artinya, konflik dapat menunjang atau mengancam suatu hubungan, tergantung dari cara mengelolanya. Secara teoretis, para ahli selama ini melakukan berbagai studi mengenai manajeman konflik dengan menggunakan klasifikasi yang berbeda-beda dalam Rahmah, 1997. Secara trikotomi, dapat digunakan teori dari Horney dalam Hall dan Lindzey, 1993 dengan pembagian menarik diri moving away, mencapai solusi moving toward, agresi moving againts. Beberapa peneliti juga menggunakan lima tipologi manajemen konflik yang terdiri dari menghindar avoiding, berdamai accomodating, kompromi compromising, menyelesaikan masalah problem solving, dan kompetisi competing. Rubin 1994 juga menguraikan strategi manajemen konflik yang biasa dilakukan pasangan menjadi enam cara dalam menghadapi konflik pernikahan, sebagai berikut: 1 Dominasi domination 2 Menyerah capitulation 19 3 Tidak bertindak inaction 4 Menarik diri withdrawl 5 Negosiasi negotiation 6 Intervensi pihak ke tiga third-party intervention Menurut Rubin, di antara keenam cara tersebut, yang merupakan strategi manajemen konflik yang konstruktif hanyalah negosiasi dan intervensi pihak ke tiga, karena hanya pada kedua strategi tersebut kepentingan orang lain turut dipertimbangkan dalam menghadapi konflik. Peneliti lain, Johnson dan Johnson 1991 menyebutkan lima cara manajemen konflik sebagai berikut: 1 Menarik diri withdrawl 2 Memaksa forcing 3 Melunak smoothing 4 Kompromi compromising 5 Konfrontasi confronting Gottman dan Krokoff 1989 membagi strategi manajemen konflik dalam empat cara, yaitu: 1 Menyerang dan lepas kontrol conflict engagement Strategi ini ditandai dengan adanya salah satu pihak yang mencoba memaksa pasangannya untuk menerima kemauannya melalui cara-cara fisik atau psikologis. 20 2 Kompromi dan negosiasi positive problem solving Strategi ini ditandai dengan adanya pertukaran pendapat antara pasangan untuk mencapai persetujuan yang dapat diterima keduanya. 3 Menarik diri withdrawl Pada strategi ini, salah satu pihak menolak melanjutkan keterlibatannya di dalam konflik. 4 Menyerah dan tidak membela diri compliance Ciri dari strategi ini adalah adanya salah satu pihak yang menyerahkan kemenangan pada pasangannya. Uraian di atas menunjukkan adanya kemiripan pandangan tokoh-tokoh yang telah disebutkan dalam mendeskripsikan strategi manajemen konflik yang biasa dilakukan pada saat dua atau lebih pihak menghadapi konflik. Istilah yang digunakan oleh para ahli tersebut berbeda-beda, namun beberapa istilah memiliki pengertian yang sama. Istilah moving against yang digunakan Horney dalam Hall dan Lindzey, 1993 memiliki pengertian yang sama dengan istilah domination dari Rubin 1994, forcing dari Johnson dan Johnson 1991, serta conflict engagement dari Gottman dan Krokoff 1989. Istilah capitulation yang digunakan oleh Rubin 1994 juga memiliki pengertian yang sama dengan istilah smoothing dari Johnson dan Johnson 1991 serta compliance dari Gottman dan Krokoff 1989. Istilah moving away yang digunakan Horney dalam Hall dan Lindzey, 1993 juga memiliki kesamaan pengertian dengan istilah withdrawl yang digunakan para tokoh lainnya tersebut. 21 Para tokoh tersebut juga sepakat bahwa strategi manajemen konflik harus mengarah pada penyelesaian masalah dengan mempertimbangkan kepentingan pihak lain. Kepentingan pasangan harus dipertimbangkan dalam hal menghadapi konflik pernikahan. Berdasarkan bahasan mengenai strategi manajemen konflik yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa strategi manajemen konflik dalam pernikahan adalah kecenderungan yang dimiliki individu dalam menghadapi dan menyelesaikan konflik yang terjadi dalam kehidupan pernikahan.

b. Strategi Manajemen Konflik Positive Problem Solving dalam

Pernikahan Gottman dan Krokoff 1989 berpendapat bahwa dari keempat strategi manajemen konflik yang dijabarkan di atas, yang dapat dijadikan cara penyelesaian masalah yang konstruktif hanyalah kompromi dan negosiasi positive problem solving karena pada strategi ini individu berupaya mengkonfrontasikan konflik yang ada secara langsung, aktif, dan terbuka. Melalui cara ini, perasaan, pendapat, kebutuhan, dan tujuan yang berhubungan dengan konflik diekspresikan dengan jelas. Kedua individu berusaha memahami dan mempertimbangkan pendapat dan perasaan pasangannya dalam menyelesaikan konflik. Hasil yang didapat melalui strategi ini biasanya adalah pemecahan konflik yang efektif. Strategi manajemen konflik dibedakan menjadi dua, yaitu strategi manajemen konflik yang konstrukif dan strategi manajemen konflik yang destruktif. Strategi manajemen konflik yang konstruktif mengarah pada 22 penyelesaian konflik yang efektif dan membangun hubungan, sementara strategi manajemen konflik yang destruktif cenderung memunculkan perilaku negatif yang dapat merusak hubungan pernikahan. Penelitian ini mengacu pada pendapat Gottman dan Krokoff karena klasifikasi dari kedua tokoh tersebut dapat mewakili berbagai macam manajemen konflik yang ada serta telah banyak digunakan oleh para peneliti lain sebelumnya dalam mengungkap keterampilan manajemen konflik dalam hubungan pernikahan Kurdeck, 1994. Menurut Gottman dan Krokoff 1989, yang tergolong dalam strategi manajemen konflik yang konstruktif positive problem solving adalah kompromi dan negosiasi, sedangkan strategi manajemen konflik yang destruktif adalah menyerang dan lepas kontrol, menarik diri, serta menyerah dan tidak membela diri. Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kemampuan individu dalam mengelola konflik sangat dibutuhkan untuk memelihara hubungan pernikahan. Dan strategi manajemen konflik positive problem solving merupakan alternatif penyelesaian konflik yang dapat membantu kelangsungan hidup pernikahan pasutri.

B. Kualitas Kelekatan

1. Pengertian Kelekatan

Istilah kelekatan pertama kali dipopulerkan oleh John Bowlby. Bowlby dalam Santrock, 1999 mendefinisikan kelekatan sebagai segala bentuk perilaku yang menghasilkan kedekatan yang unik antara seseorang dengan orang lain yang 23 dianggap berbeda dan istimewa. Menurut Bowlby, kelekatan terjadi sebagai suatu sistem yang dikembangkan oleh suatu organisme dalam rangka melestarikan jenisnya dengan cara membantu keturunannya untuk memperoleh kedekatan dengan pengasuhnya. Teori ini muncul sebagai hasil dari suatu penelitian pada bayi primata dan induknya. Hojat dalam Santrock, 1999 juga menyatakan bahwa kelekatan pada hewan adalah sesuatu yang penting karena hewan-hewan yang masih sangat muda memerlukan pengasuhnya untuk melindungi dirinya dari serangan makhluk predator. Kelekatan tumbuh karena adanya perasaan aman dan terlindung yang diberikan oleh pengasuh kepada makhluk-makhluk muda yang masih lemah tersebut. Konsep kelekatan untuk pemenuhan kebutuhan fisiologis juga dipaparkan oleh Freud dalam Santrock, 1999. Menurut Freud, seorang bayi akan cenderung menjadi lekat dengan sosok yang memenuhi kebutuhan oralnya. Pada kebanyakan bayi, kebutuhan oral dipenuhi oleh ibu yang menyusuinya. Bowlby dalam Santrock, 1999, dari hasil penelitiannya kemudian berpendapat bahwa sistem kelekatan tidak hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisik. Tujuan kelekatan sebenarnya lebih difokuskan untuk memenuhi dan mempertahankan rasa aman. Bowlby juga menyatakan bahwa hubungan lekat ini mempunyai pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak dan merupakan dasar dalam menjalin hubungan. Awal dari tumbuhnya hubungan lekat ini, menurut Bowlby, sebagian besar ditentukan oleh kemampuan figur lekat