72 dukungan dari masyarakat bahwa seluruh institusi yang dibentuk dan kebijakan-
kebijakan Soeharto ditujukan pada kebaikan bersama.
65
Karena perbedaan pandangan dengan para pakar politik, di sini sumber daya koersif dan persuasif
birokrasi, tentara, dan Golkar dilihat sebagai mesin-mesin penggilas dalam kekuasaan Soeharto, sedangkan sumber daya materil ekonomi, legitimasi dan
budaya dinilai sebagai basis ekonomi, budaya dan legitimasi dalam kekuasaan Soeharto.
2.2.10 Basis ekonomi
Indonesia di bawah Kepemimpinan Soeharto, sedikitnya menganut system ekonomi campuran yang tidak jelas secara teoritis dan konseptual. Tahun- tahun
awal yang menyertai kebijakan ekonomi Soeharto, sudah mulai, muncul ketidaksukaannya terahadap sistem ekonomi sosialis ala Indonesia yang tercantum
dalam UUD 1945 pasal 33 yang memberikan peran sentral negara terhadap pengelolaan ekonomi. Strategi pembangunan ekonomi yang beroerentasi pada
penerapan sistem kapitalis dan sosialis campuran, ditujukan dengan pembentukan tim ekonomi yang akan merumuskan startegi pembangunan ekonomi yang
berorentasi pertumbuhan dan disertai dengan pemerataan ekonomi dan hasil- hasilnya.
Kebijakan trilogi pembangunan di dalmnya terkandung sistemekonomi kapitalis dan sosialis yaitu pertumbuhan ekonomi kapitalis dan pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya sosialis dengan penyertaan stabilitas nasional
65
R.William Liddle dalam “Pemilu –Pemilu Orde Baru”,Jakarta:LP3ES, 1992, hal.113-114
Universitas Sumatera Utara
73 yang sehat dan dinamis. Trilogi yang kedua jelas sekali memberikan peran sentral
terhadap pemerintahan Soeharto untuk melakukan pengontrolan yang ketat terhadap distribusi ekonomi oleh Soeharto atas nama negara dan memberikan
ruang sentralisasi ekonomi pada kawasan industri tertentu akibat pemusatan sektor-sektor industri pada tangan-tangan tertentu yang dalam pemerintahan
Soeharto diwakilkan oleh Soeharto keluarga dan patron-patron bisnisya. Pengendalian ekonomi yang terpusat dapat dilihat dari banjirnya
pembentukan Lembaga-lembaga perkreditan dan control kelembagaan yang menyertai pemberian dan perkreditan tersebut. Melalui lembaga-lembaga
perkreditan ini, Soeharto melakukan pengontrolan yang massif terhadap perekonomian rakyat kecil dan menempatkan patron-patron bisnis dan kelompok-
kelompok loyalisnya mulai dari pusat hingga ke desa. Besarnya pengendalian dan pengawasan terhadap sektor ekonomi, terutama sektor ekonomi rakyat kecil dapat
dilihat dari UU No.121969 tentang pokok-pokok perkoprasian. Udang-undang ini memberikan bimbingan pengawasan, perlindungan dan fasilitas terhadap koperasi.
Undang-undang ini diperkuat oleh instruksi Presiden No.21978 tentang KUD sebagai wadah dari seluruh warga desa; petani, nelayan, pengerajin, peternak,
pedagang dan sebagainya, untuk mengendalikan dan memonopoli hasil-hasil ekonomin dalam bidang-bidang sektor informal.
Bantuan perkreditan ini di satu sisi memang sangat menguntungkan petani, nelayan, dan pengusaha kecil, tetapi dengan adanya perkreditan semacam ini,
memberikan keleluasaan terhadap pemerintah Soeharto untuk mengontrol, mengendalikan dan memobilisasi massa di dalamnya untuk tujuan kekuasaan.
Universitas Sumatera Utara
74 Melalui lembaga-lembaga perkreditan ini, pemerintah soeharto dengan mudah
melakukan sosialisasi kekuasaan, karena pola pengawasa yang ketat, mempermudah penguasa untuk mengetahui gerak-gerik massa dibawahnya yang
bertentangan dengan kekuasaan. Semua kebijakan yang diambil dalam bidang ekonomi memang cukup
beralasan mengingat, pada awal tahun yang mengantarkan Soeharto ke pangkuan kekuasaan sebelum 11 Maret 1966 harga barang kebutuhan pokok membubung
sekitar 5 setiap bulan, cadangan pembayaran luar negeri habis, serta pembayaran hutang luar negeri Indonesia hampir setara dengan hasil pembayaran
ekspor yang diharapkan. Produksi industri jatuh karena kekurangmampuan membayar impor bahan-bahan baku. Ekspor merosot karena prasarana jalan,
pelabuhan dan transportasi bertambah buruk. Gaji pegawai negeri sangat rendah dan korupsi dalam tubuh birokrasi merajalela, inflasi melorot sampai ke tingkat
600, industri pabrik bekerja hanya dengan 10-20 kapasitas, karena kurangnya bahan baku dan suku cadang yang harus diimpor, keuangan negara hampir
seluruhnya tidak teratur karena terkikis oleh inflasi dan korupsi, sektor swasta asing dan domestik mendapat tekanan demi sosialisme ala Indonesia, perdagangan
luar negeri tersumbat oleh jaringan kurs ganda multiple exchange serta segala peraturannya, ditambah dengan membengkaknya hutang luar negeri yang sulit
untuk dibayar dalam tempo yang tepat, diteruskan dengan terjadinya polarisasi dalam diri pemerintah yang melahirkan Supersemar.
66
66
H.W.Arndt, Pembangunan Ekonomi Indonesia, Pandangan Seorang Tetangga, Gajah Mada Unversity Press, 1994, hal. 57.
Universitas Sumatera Utara
75 Ketidakjelasan dalam menerapkan sistem ekonomi Indonesia di bawah
Orde Baru juga nampak dalam kebijakan, hal ini dapat dilihat setelah kudeta yang gagal oleh PKI, Soeharto setap-demi setahap mengambil alih kekuasaan,
kemudian mengambil keputusan- keputusan penting yaitu : usaha rehabilitasi dan pembangunan ekonomi, pembentukan Tim ekonomi,
67
mengawasi pengeluaran pemerintah, menyusun anggaran belanja, pemotongan alokasi anggaran dalam
semua bidang terutama pengurangan alokasi anggaran angkatan Bersenjata RI dan melibatkan para petinggi militer untuk mengawasi penggunaan anggaran
negara. Melibatkan militer dalam pengawasan ekonomi merupakan suatu langkah pengendalian yang tidak sehat dalam rezim Soeharto.
Pada bulan Agustus 1966, tim IMF diundang datang ke Indonesia untuk meninjau kembali kebijakan dalam bantuan luar negeri serta membantu Tim RI
dalam usaha menstabilkan perekonomian nasional. Tim yang bergabung dalam dewan stabilitas ini, akhirnya menggariskan program bersama yaitu 1.
mengusahakan penyeimbangan anggaran balanced budged, 2. mengusahakan politik kredit yang ketat, 3. menciptakan sistem ekonomi yang terbuka, 4.
mendorong ekspor dan menertibkan impor, 5. mengusahakan kredit baru dan penjadwalan kembali utang lama, 6. memberikan peran yang lebih besar
pada ekonomi pasar, 7. merumuskan kembali suatu “investmen policy” yang memberikan peluang dan kepastian hukum kepada investor luar negeri.
Atas nota kesepakatan IMF ini, Indonesia kemudian, menjalankan program peniadaan campur tangan dalam perekonomian yang ditujukan pada
67
Ibid, hal.87-88.
Universitas Sumatera Utara
76 pembongkaran yang kompleks dalam sistem perdagangan luar negeri dan
pengendalian devisa yang telah dijalankan bertahun-tahun sejak Oktober 1966, memberikan kebebasan kepada para eksportir untuk menjual penerimaan hasil
valuta asing mereka di pasar bebas, para importer dibebaskan dari pajak pengawasan dengan lisensi, kurs berganda direduksi menjadi dua yaitu Eeport
Bonus BE bagi impor barang-barang penting dari tarif DP Domestic Product untuk barang-barang yang tidak penting dan pemindahan modal, penjadwalan
kembali hutang luar negeri dengan perundingan intens setiap tahun dengan donator, khususnya untuk utang dengan jangka waktu 30 tahun yang dimulai 1970
dengan suatu “grade periode” yang sifatnya fakulatif bagi sebagian penyebaran kembali modal dan bunga yang tertunda sampai dengan 15 tahun yang terakhir
yaitu antara tahun 1985 sampai dengan 1999.
2.2.11 Basis Sosial Budaya