Basis Sosial Budaya Jatuh Bangun Karier H.M Soeharto

76 pembongkaran yang kompleks dalam sistem perdagangan luar negeri dan pengendalian devisa yang telah dijalankan bertahun-tahun sejak Oktober 1966, memberikan kebebasan kepada para eksportir untuk menjual penerimaan hasil valuta asing mereka di pasar bebas, para importer dibebaskan dari pajak pengawasan dengan lisensi, kurs berganda direduksi menjadi dua yaitu Eeport Bonus BE bagi impor barang-barang penting dari tarif DP Domestic Product untuk barang-barang yang tidak penting dan pemindahan modal, penjadwalan kembali hutang luar negeri dengan perundingan intens setiap tahun dengan donator, khususnya untuk utang dengan jangka waktu 30 tahun yang dimulai 1970 dengan suatu “grade periode” yang sifatnya fakulatif bagi sebagian penyebaran kembali modal dan bunga yang tertunda sampai dengan 15 tahun yang terakhir yaitu antara tahun 1985 sampai dengan 1999.

2.2.11 Basis Sosial Budaya

Para pakar budaya mengatakan bahwa proses peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru pada periode dualisme kepemimpinan dilakukan sesuai dengan tuntutan nilai-nilai tradisional budaya Jawa yang menjunjung tinggi tata kerama dalam masyarakat. Soeharto dinilai merupakan figur yang tampil ke pentas kekuasaan dengan membawa serta berbagai nilai tradisional Jawa yang menempatkan orang tua sebagai figur yang harus dihormati, dihargai dan dijunjung tinggi. Seting politik Soeharto dengan latar kultur Jawa, merupakan satu strategi perangkap terhadap Soekarno untuk menemui perjalanan buntu meninggalkan mimbar politik yang telah pertahun-tahun menjadi arena permainan Universitas Sumatera Utara 77 Soekarno. Strategi ini juga merupakan instrumental politik Soeharto untuk mematikan lawan politiknya dengan pelan-pelan tapi pasti-menyingkirkan bersama pentolan-pentolan PKI. Suatu saran yang halus tetapi mengandung ketegasan sikap untuk meruntuhkan, mematahkan dan menghabiskan seluruh potensi tersisa yang dimiliki oleh Soekarno. 68 Kuatnya budaya Jawa yang melingkupi kekuasaan Soeharto nampak dalam interprestasi yang mentradisikan konsep-konsep modern akan legitimasi formal dan loyalitas msyarakat terbangun melalui adigum musyawarah untuk mufakat, tut wuri handayani, tepo selero dan puluhan tardisi Jawa yang lainnya sebagaimana ada dalam Prasetia Pancakarsa dalam Tap-tap MPR. 69 Tut Wuri Handayani yang mengedepankan peranan seorang pemimpin dengan massa pengikut dibelakangnya merupakan cerminan budaya patuh dan tunduk dari tradisi Jawa Kuno yang menempatkan seorang pemimpin sebagai “kepala” pasukan yang harus ditaati, dituruti, dan disanjung-sanjung. Semboyan ini, telah melahirkan kepatuhan semu dalam jangka pendek kekuasaan Soeharto terhadap masyarakat Indonesia yang selalu mengikuti apa yang dikatakan sang bapak. Kepatuhan semu seperti ini telah melahirkan msyarakat semu munafik yang tunduk, patuh dan taat selama kekuasaan itu memiliki kekuatan penopang yang mampu dihalaunya untuk menumpas para pembangkang, tetapi ketika pola kerja mesin ini sudah memudar, ia dengan sendirinya sulit untuk menciptakan dan memproduksi komando lagi dan pada akhirnya jatuh atau digulingkan. Tidak jarang bila budaya minta restu, sungkem, dan manut pada Soeharto hanya hidup 68 Gregorius Sahdan, S.IP, Op.cit, hal. 184. 69 Arbi Sanit, Reformasi Politik Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, hal.21. Universitas Sumatera Utara 78 selama Soeharto kuat, tetapi ketika Soeharto sudah mulai lemah, budaya ini turut hancur dengan sendirinya, karena Soeharto yang membudayakannya sudah tidak mampu memberikan restu dan petunjuk lagi ketika terjadi berbagai gempuran dan tekanan terhadap kekuasaanya. Budaya “tepo selero” toleransi, telah menciptakan ketundukan beku bagi massa warga dan pembungkam terhadap berbagai tindakan kekerasan, intimidasi, teror dan pembunuhan yang juga memunculkan prilaku “diam” di dalam masyarakat dan juga di dalam struktur pemerintahan legislatif, yudikatif dan eksekutif-birokrat terhadap berbagai ketimpangan yang dilakukan oleh Soeharto dan kroni-kroninya seperti meluasnya korupsi, kolusi dan nepotisme, maka budaya tepo selero justru telah menjadikan KKN sebagai budaya bersama, sama- sama merasakan, sama-sama menikmati dan sama-sama kaya yang terkosentrasi di kalangan orang-orang yang berda di sekitar Soeharto, mulai dari eksekutif di pusat hingga kepala desa di pedalaman, mulai dari legislative di pusat sampai dengan yang ada di daerah, dan menyusup sampai ke lembaga peradilan yang tidak banyak berbuat untuk menegakkan keadilan.

2.2.12 Basis Legitimasi