Basis Legitimasi Jatuh Bangun Karier H.M Soeharto

78 selama Soeharto kuat, tetapi ketika Soeharto sudah mulai lemah, budaya ini turut hancur dengan sendirinya, karena Soeharto yang membudayakannya sudah tidak mampu memberikan restu dan petunjuk lagi ketika terjadi berbagai gempuran dan tekanan terhadap kekuasaanya. Budaya “tepo selero” toleransi, telah menciptakan ketundukan beku bagi massa warga dan pembungkam terhadap berbagai tindakan kekerasan, intimidasi, teror dan pembunuhan yang juga memunculkan prilaku “diam” di dalam masyarakat dan juga di dalam struktur pemerintahan legislatif, yudikatif dan eksekutif-birokrat terhadap berbagai ketimpangan yang dilakukan oleh Soeharto dan kroni-kroninya seperti meluasnya korupsi, kolusi dan nepotisme, maka budaya tepo selero justru telah menjadikan KKN sebagai budaya bersama, sama- sama merasakan, sama-sama menikmati dan sama-sama kaya yang terkosentrasi di kalangan orang-orang yang berda di sekitar Soeharto, mulai dari eksekutif di pusat hingga kepala desa di pedalaman, mulai dari legislative di pusat sampai dengan yang ada di daerah, dan menyusup sampai ke lembaga peradilan yang tidak banyak berbuat untuk menegakkan keadilan.

2.2.12 Basis Legitimasi

Setiap model pemerintahan dalam bentuk apapun legitimasi terhadap kekuasaan merupakan sesuatu yang sangat perlu. Pemerintah yang tidak memiliki legitimasi tentu sajan tidak mampu memerintah dengan baik, karena selalu saja terjadi goncangan yang mengancam kekuasaan politik tersebut. Dalam negara modern dimana semua lembaga politik modern hidup dan mengikuti logika demokrasi, jujur, terbuka dan bebas dari tekanan dan militer bersama dengan Universitas Sumatera Utara 79 birokrasi negara bertindak netral sebagai penjaga keamanan dan sekaligus pengatur administrasi Pemilu dengan baik, sehingga pemilu benar-benar menghasilkan perwakilan politik yang dipercaya oleh masyarakat pemilihnya dalam periode tertentu. Sebaliknya dalam negara otoriter pengabsahaan kekuasaan terbentuk melalui berbagai faktor yang membentuk kekuasaan tersebut. Soeharto yang membawa Orde Baru termasuk dalam kerangka rezim personal rule penguasa tunggal dimana kebanyakan faktor penentu dalam negara diletakkan pada peran individual sang penguasa, legitimasi atau pengabsahan kekuasaan itu diperoleh melalui kinerja penguasa pribadi, produk-produk kekuasaan yang dibuatnya dan kinerja mesin-mesin yang digunakannya. Rezim personal rule penguasa tunggal yang dimiliki Soeharto agak sedikit berbeda dengan rezim-rezim penguasa tunggal lainnya, penyebabnya dipengaruhi dengan ketidakjelasan lietarur yang membicarakan tentang proses naiknya Soeharto ke pangkuan kekuasaan. Ahli-ahli ilmu politik luar negeri mengatakan bahwa kenaikan Soeharto itu melalui proses kudeta militer yang terjadi secara samar-samar atau “grilya” sebagaimana biasanya strategi tradisional dalam model pertempuran dengan penjajah di Indonesia. Sebaliknya para pakar politik dalam negeri terbelah dua, ada yang mengatakan melalui kudeta, tetapi tidak sedikit juga yang mengatakan kenaikan Soeharto menjadi Presiden melalui proses konstitusional. 70 70 Gregorius Sahdan, S.IP, Op.cit, hal.187. Universitas Sumatera Utara 80 Atas ketidakjelasan seperti itulah, maka timbul kesulitan untuk melacak dengan jelas basis legitimasi terhadap kekuasaan Soeharto. Pengabsahan kekuasaan Soeharto memang bisa dilihat dari “klaim” adanya Surat Perintah 11 Maret 1966 dari Pemimpin Besar Revolusi, Mandataris MPR dan pengemban amanat Kedaulatan Rakyat yaitu Soekarno untuk mengambil langka-langkah yang penting guna memulihkan keamanan dan ketertiban akibat kudeta PKI yang gagal pada 30 September 1965. berdasarkan surat sakti ini maka, soeharto memiliki kekuatan yang sah untuk melakukan konsolidasi kekuatan awalnya, keamanan dan ketertiban dalam masyarakat dan juga mengahalau orang-orang Soekarno dari birokrasi negara dan militer yang bertentangan dengan garis komandao Soeharto sebagai Panglima Komandao keamanan dan ketertiban. Sebuah jabatan yang memberikan keleluasaan terhadap Soeharto untuk menarik perhatian massa yang mengalami secara langsung keresahan sosial yang diakibatkan oleh pembelahan politik, konflik kepentingan dan pertarungan kekuatan yang mengalirkan banyak darah di tahun 1960-an itu. 71 Untuk mengukur legitimasi Soeharto, jelas Pemilu bukan sarananya, karena Pemilu dalam negara yang dikuasai oleh rezim penguasa tunggal jelas merupakan mekanisme pembiusan karena melahirkan berbagai kecurangan, sehingga tolak ukur bagi pengabsahan kekuasaan Soeharto itu adalah sejauh mana kinerja mesin-mesin Soeharto, produk-produk kekuasaan dan performance Soeharto sendiri dalam mendapatkan pengabsahan atas kekuasaanya. Selama Soeharto menjadi Presiden legitimasi Soeharto banyak digantungkan pada 71 Ibid, hal.188. Universitas Sumatera Utara 81 strategi-strategi yang dibuat oleh Soeharto untuk menciptakan kepercayaan masyarakat terhadap kekuasaannya. Pertama, menghidupkan kembali peran lembaga-lembaga politik modern yang selama Orde Lama telah dikacaukan oleh arus deras kekuasaan Soekarno. Lembaga-lembaga politik modern seperti parlemen, MA, BPK, DPA dan lain-lain sebagainya dipersiapkan untuk meproduksi legitimasi bagi kekuasaan Soeharto. Kontrol dan pengendalian terhadap lembaga ini tetap naungan Soeharto. Kedua, dengan membatasi partisipasi politik masyarakat dengan menciptakan stabilitas politik untuk melindungi pembangunan ekonomi yang menjadi basis material bagi Soeharto selanjutnya dan melakukan depolitisasi, departisasi dan deideologisasi dalam masyarakat melalui penciptaan berbagai regulasi yang mengekang kebebasan masyarakat untuk mengekspresikan seni berpolitiknya melalui pemaksaan pengfusian partai 1973. Deideologisasi dan depolitisasi sangat mengental di era 1980-an ketika banyak produk pemerintah dan UU pemilu yang menetapkan pemberlakuan azaz tunggal bagi semua partai politik dan Golkar. Ketiga, pengerahan mesin-mesin pembangunan bangsa yang terdiri dari para teknokrat, birokrat baik sipil maupun ,militer untuk terlibat dalam pertarungan politik menenangkan Golkar dalam setiap Pemilu Orde Baru dengan menciptakan unipolar dimana satu partai hegemonik Golkar menjadi satu- satunya kekuatan yang tidak ada tandingannya. Soeharto juga melakukan penyatuan partai-partai politik sehingga pada masa itu dikenal tiga partai politik, yakni Partai Persatuan PembangunanPPP, Golongan Karya Golkar dan Partai Universitas Sumatera Utara 82 Demokrasi Indonesia PDI dalam upayanya menyederhanakan kehidupan berpolitik di Indonesia sebagai akibat dari politik masa presiden Soekarno yang menggunakan sistem multipartai yang berakibat pada jatuh bangunnya kabinet badan dianggap penyebab tersendatnya pembangunan, kemudian dikeluarkannya UU Politik dan Asas Tunggal Pancasila yang mewarnai kehidupan politik saat itu. Soeharto mengubah UU Pemilu dengan mengizinkan hanya tiga partai yang boleh mengikuti pemilihan, termasuk Golkar. Oleh karena itu semua partai islam yang ada diharuskan bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan, sementara partai-partai non-islam Katolik dan Protestan, serta partai-partai nasionalis digabungkan menjadi Partai Demokrasi Indonesia PDI. Namun dalam perjalanannya, terjadi ketimpangan dalam kehidupan politik dan muncul istilah “mayoritas tunggal” yakni Golkar untuk mengebiri dua parpol lain dalam setiap penyelenggaraan pemilu. Guna mencapai tujuan ini, rezim Soeharto mengerahkan personel militer dan birokrasi untuk mengintimidasi dan memaksa rakyat untuk memilih Golkar. Dibawah KORPRI Korps Pegawai Republik Indonesia, semua pegawai negeri diwajibkan memilih Golkar dalam pemilu. 72 Selama enam priode Soeharto menjadi Presiden ditambah dengan dua tahun yang mengantarkannya pada keruntuhan, Pemilu selalu dimenangkan oleh Golkar dengan persentase suara yang sangat mencolok. Dengan begitu Soeharto yang dalam struktur kepengurusan Golkar merupakan Ketua Dewan Pembina, selalu dipilih secara aklamasi dalam siding-sidang DPRMPR pada waktu itu. Penyebab utamanya adalah kinerja Soeharto dan mesin-mesinnya masih memiliki 72 Syamsul Hadi, Strategi Pembangunan Mahatir dan Soeharto”Politik Industrialisasi dan Modal Jepang di Malaysia dan Indonesia”, Jakarta: Pelangi Cendikia, 2005,hal. 61. Universitas Sumatera Utara 83 kekuatan luar biasa untuk memproduksikan legitimasi bagi kekuasaan Soeharto, walaupun diperoleh dengan cara yang tidak jujur, tetapi produk legitimasi performance itu, telah membuat Soeharto berada diatas pangkuan kekuasaan, karena rakyat mempercayai Soeharto sebagai pemimpin yang mampu memberikan kesejahteraan kepada mereka. 73 Di sisi lain, meski kepemimpinan Orba sangat otoriter, namun kehidupan rakyat “tampak” tenang, stabil, cukup pangan. Semua ketidaknyamanan rakyat tidak keuar ke permukaan dan hanya mengendap, yang tampak keluar adalah stabilitas dan kenyamanan. 74 Dengan demikian, kekuasaan Soeharto dan Orde Baru kian kokoh. Lembaga yudikatif, legislatif dan eksekutif telah berhasil digenggam, demikian pula militer. Partai-partai politik juga telah dijinakkan dengan Golkar sebagai kendaraan kekuasaanya. Sebenarnya, political resources sumber daya politik yang dimiliki Soeharto bukan hanya yang disebutkan diatas. William Liddle, 75 misalnya, menyebut sumber kekuatan Soeharto antara lain kedudukannya yang istimewa sebgai pahlawan anti komunis dan penyelemat bangsa pada pertengahan 1960-an; peranannya sebagai Bapak Pembangunan selama seperempat abad; hubungan pribadinya dengan beberapa teman setia yang menjadi kepanjangan tangannya di sektor pemerinthan dan golongan masyarakat; aksesnya yang unik pada sumber-sumber keuangan, seperti Banpres dan yayasan-yayasannya; dan kepekaannya yang tajam yang terbentuk melalui pengalaman yang cukup lama 73 Ibid, hal. 190. 74 Dr. Baskara T. Wardaya SJ, Op.cit, hal.80. 75 William Liddle, Partisipasi dan Partai Politik: Indonesia pada Awal Orde Baru, Jakarta:Pustaka Utama Grafiti, 1992, hal. 10. Universitas Sumatera Utara 84 dalam kancah politik, dalam menanggapi tuntutan-tuntutan individu dan golongan, di dalam dan di luar negeri. Hampir tidak terbantahkan bahwa Soeharto memiliki kekuasaan sangat kokoh dan tidak memberikan sedikit ruang pun bagi oposisi untuk bergerak dan melakukan perlawanan. Jadi, dalam banyak hal kebijakan-kebijakan rezim Soeharto selalu mulus tanpa hambatan, sekalipun mungkin tidak masuk akal dan dilihat dari kacamata politik sangat otoriter. Tapi semua itu teratasi dengan mengideologikan melalui argumen-argumen para cendikiawan yang berada di sekelilingnya. Namun, tidak semua para cendikiawan yang mengideologikan hal yang sama, mereka yang kukuh berdiri tegak di pihak kebenaran adalah mereka yang melahirkan, melalui kekuatan tulisan mereka, pencerahan-pencerahan pada generasi terpelajar di lembaga-lembaga pendidikan, pesantren dan masyarakat. Hasilnya dalah kekuatan yang muncul berupa sikap kritis dan korektif terhadap pemerintahan Orde baru. Mereka adalah eksponen yang menjebol kekuatan Orde baru melalui gerakan Reformasi. Karya-karya intelektual yang bersih dan jujur telah mengilhami serangkaian gerakan mahasiswa dan kelompok-kelompok masyarakat. Kesadaran mahasiswa yang telah tercerahkan bertemu dengan kondisi obyektif bangsa yang dilanda krisis ekonomi, kekeringan panjang, pengaruh globalisasi dan ketidakpuasan rakyat sehingga bersatu menjadi kekuatan penjebol kokohnya labirin kekuasaan Orde Baru. Universitas Sumatera Utara 85

2.2.13 Jatuhnya Rezim Orde Baru