Komoditas Tuna Pengembangan Indikator Kinerja Kunci (IKK) perikanan tuna terpadu di Sulawesi Utara

28 berkelanjutan dalam lima elemen utama, yaitu sumberdaya alam, lingkungan, kebutuhan manusia ekonomi dan sosial, teknologi dan institusi FAO 2001. Sumberdaya alam dan lingkungan adalah elemen untuk dilindungi, sedangkan elemen lainnya dipenuhi, diawasi dan berlangsung sesuai proses pengelolaan. Secara singkat, keberlanjutan ekologi berkenaan dengan jaminan kelestarian sumberdaya ikan yang dieksploitasi. Institusi yang dapat mewujudkannya adalah kepemilikan pribadi atau komunitas skala kecil Hilborn et al, 1995. Menurut Gibb and Bromley 1989 bahwa hak kepemilikan terhadap sumberdaya alam umumnya terdiri dari: 1 State property dimana klaim pemilikan berada di tangan pemerintah. 2 Private property dimana klaim pemilikan berada pada individu atau kelompok usaha 3 Common property atau communal property dimana individu atau kelompok memiliki klaim atas sumberdaya yang dikelola bersama. Suatu sumberdaya alam bisa saja tidak memiliki klaim yang sah sehingga tidak bisa dikatakan memiliki hak pemilikan. Sumberdaya seperti ini disebut sebagai open acces Grima dan Berkes 1989. Keterkaitan antara hak kepemilikan dan akses disajikan pada Gambar 8. Gambar 8 Hubungan hak kepemilikan dan akses

2.3 Komoditas Tuna

Tuna adalah ikan epipelagis yang hidup di lapisan permukaan hingga pertengahan dengan kedalaman mencapai lebih dari 500 m tergantung pada ukuran dan spesies. Tersebar di seluruh perairan dunia, kecuali di daerah kutub. Berenang dengan jarak yang jauh membentang dari utara hingga selatan dan juga Komunal Negara Individu Hak kepemilikan Terbuka Terbatas Akses 29 membentuk pola migrasi transoceanic. Tuna harus berenang paling lambat 1 kali panjang tubuh per detik untuk melewatkan oksigen yang cukup pada insangnya. Tuna berenang dalam kawanan kecil berkisar dari enam hingga 40 ekor semuanya berukuran sama, tetapi sering terdiri dari beberapa spesies. Tuna yang berukuran 225 kg biasanya berenang sendirian soliter. Jenis makanan tuna terdiri dari teri, layang, selar, hake, cod, bluefish, whiting, dan juga cumi-cumi serta crustacea, seperti udang Fishbase 2000. Di kawasan perikanan Indonesia terdapat 16 jenis ikan tuna yang diatur pengelolaanya oleh IOTC, yaitu: Yellow Fin Tuna, Skipjack, Bigeye Tuna, Albacore Tuna, Southern Bluefine Tuna, Long tail Tuna, Kawakawa, Frigate Tuna, Bullet Tuna, Narrow Barred Spanish Mackerel, Indo Pacific King Mackerel, Indo Pacific Blue Marlin, Black Marlin, Strip Marlin, Indo Pacific Sailfish, dan Swordfish. Produksi tuna Indonesia selang tahun 1999 hingga 2007 yang terdiri dari sailfish, black marlin, blue marlin, swordfish, skipjack tuna, albacore, yellowfin tuna, dan bigeye tuna seperti yang dikemukakan oleh DKP and JICA 2009, disajikan pada Gambar 9. 100000 200000 300000 400000 500000 600000 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 P r o d u k si to n Gambar 9 Produksi tuna Indonesia selang tahun 1999 hingga 2007 Sumber: DKP and JICA 2009 30 Panjang maksimum yellowfin dan bigeye tuna adalah 190 cm sedang albacore umumnya tidak lebih dari 120 cm. Umur matang gonad berkisar antara 3 hingga 5 tahun, tergantung spesies tuna. Seekor betina yang memijah dapat melepaskan telur sebanyak 100000 telur per kg berat tuna. Hal ini berarti bahwa tuna betina dengan berat 100 kg akan melepaskan telur sebanyak 10 juta telur di musim pemijahan. Setelah 30 jam, telur akan menetas, tetapi hanya sedikit yang dapat bertahan hidup hingga ukuran dewasa. Tuna bertumbuh cepat dan masa hidupnya panjang, misalnya tuna mata besar dan albacore diestimasi dapat hidup selama 9 tahun lebih, sedangkan bluefin dapat mencapai umur 30 tahun Fishbase 2000. Tuna dipasarkan dalam bentuk segar, asap, beku dan kaleng. Berdasarkan kajian potensi sumberdaya ikan tuna tahun 1998, bahwa wilayah pengelolaan 716 Samudera Pasifik dan Laut Sulawesi mempunyai potensi ikan madidihang yellowfin tuna sebesar 29.408 ton per tahun dan untuk wilayah pengelolaan 715 Teluk Tomini dan Laut Maluku sebesar 13.795 ton per tahun, ikan tuna mata besar bigeye tuna masing-masing sebesar 15.529 ton per tahun dan 6.032 ton per tahun, ikan albakora masing-masing sebesar 528 ton per tahun dan 34 ton per tahun dan ikan cakalang masing-masing sebesar 121.201 ton per tahun dan 55.403 ton per tahun, ikan tongkol masing-masing sebesar 37.615 ton per tahun dan 14.963 ton per tahun. Menurut PRPT 2001, bahwa tingkat pemanfaatan tuna di wilayah pengelolaan Laut Seram hingga Teluk Tomini sebesar 35,17 dari potensi sebesar 106,51 x 10 3 tontahun, sedangkan untuk wilayah Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik sebesar 87,54 dari potensi sebesar 175,26 x 10 3 tontahun. 31 Tabel 5 Produksi dan potensi jenis tuna di WPP 715 440,1 km 2 dan WPP 716 821,7 km 2 Jenis Tuna WPP Densitas Potensi Produksi Tingkat pengusahaan Madidihang T. albacares 715 716 62,69 71,58 13.795 29.408 6.119 11.799 44,4 40,1 Mata besar T. obesus 715 716 27,41 37,80 6.032 15.529 2.676 62,31 44,4 40,1 Albakora T. alalunga 715 716 0,16 1,28 34 528 15 212 43,6 40,2 Cakalang K. pelamis 715 716 252 295 55.453 121.201 18.952 30.538 34,2 25,2 Tongkol E. affinis 715 716 68 91 14.963 37.615 9.374 7.672 82,6 20,3 Tenggiri Scomberomorus sp. 715 716 57 57 12.543 23.418 944 2.398 7,5 10,2 Sumber: Uktolseja 1998 Potensi ikan cakalang di Indonesia adalah 374.046 ton, diantaranya 260.993 ton 69,8 terdapat di wilayah perairan pengelolaan Samudera Pasifik dan 113.054 30,2 terdapat di Samudera Hindia. Potensi terbesar terdapat di Laut Sulawesi hingga Utara Irian Jaya sebesar 121.201 ton. Jika dirinci menurut wilayah pengelolaannya, maka indeks kemelimpahan tertinggi di perairan Samudera Pasifik terdapat di Laut Sulawesi hingga Utara irian Jaya sebesar 295 kgkm 2 dan terendah di Laut Flores hingga Selat Makassar sebesar 94 kgkm 2 Uktolseja et al. 1998 Tabel 5. Ikan cakalang Katsuwonus pelamis adalah ikan yang mempunyai distribusi yang sangat luas di perairan Pasifik bagian barat, yaitu mencakup wilayah 45 LU hingga 45 LS Matsumoto et al. 1984. Luas sebarannya ini menunjukkan bahwa ikan cakalang termasuk spesies yang highly migratory FAO 1994 yang berarti bahwa aktivitas penangkapan di satu wilayah akan mempengaruhi aktivitas penangkapan di wilayah yang lain dipandang dari segi tangkapan. Ikan cakalang Katsuwonus pelamis sangat menyukai permukaan laut dengan suhu antara 15 – 30 C. Pengelompokan ikan cakalang cenderung berasosiasi dengan zone konvergen, batas antara massa air dingin dan panas daerah kutub, upwelling dan diskontinuitas lain hidrografi. Ikan cakalang terdapat di permukaan hingga kedalaman 260 m selama siang hari, tetapi tetap 32 berada di permukaan pada malam hari migrasi diurnal. Ikan cakalang sering terdapat dipermukaan dalam bentuk kawanan di sekitar benda-benda terapung. Ikan ini bercampur dengan kawanan yellowfin dan bigeye tuna berukuran lebih kecil 100 cm Coan Jr. et al. 2000. Selanjutnya disebutkan bahwa ikan cakalang dapat mencapai ukuran panjang 108 cm atau dengan berat 35 kg. Ikan ini berwarna biru keunguan di bagian punggung dan berwarna keperakan pada sisinya dengan 4 – 6 strip memanjang berwarna gelap. Mempunyai satu keel yang kuat pada tiap sisi caudal fin base antara dua keel yang lebih kecil. Ikan cakalang memasuki perikanan permukaan pada ukuran 25 cm 0,2 kg dan umumnya mencapai panjang lebih dari 80 cm 12 kg. Beberapa perikanan longline menangkap cakalang berukuran besar. Pertumbuhan ikan cakalang cepat dan ukuran panjang 31 cm mempunyai berat 0,5 kg berumur 1 tahun, ukuran panjang 51 cm dengan berat 2,7 kg berumur 2 tahun, ukuran panjang 64 cm dengan berat 5,8 kg berumur 3 tahun dan ukuran 72 cm dengan berat 8,7 kg berumur 4 tahun. Umur maksimum cakalang berada di sekitar 7 tahun. Laju mortalitas alami sesaat tertinggi mungkin pada semua tuna dan tergantung pada estimasi laju emigrasi. Di perairan Atlantik tropis, ikan cakalang mendominasi hasil tangkapan dengan pukat cincin mencapai 71, dimana ukuran yang tertangkap bervariasi antara 0,80 hingga 8,22 kg dengan rata-rata 2,05 kg Menard et al. 2000. Selanjutnya disebutkan bahwa di kawasan tersebut penggunaan pukat cincin untuk menangkap ikan tuna dimulai sejak tahun 1960-an dan berkembang pada tahun 1975 – 1990. Sejak tahun 1991, dilaporkan bahwa telah terjadi penurunan rata-rata berat tubuh ikan hasil tangkapan yang diduga akibat overfishing atau perubahan pertumbuhan. Khusus untuk produksi cakalang skipjack tuna dan madidihang yellowfin tuna selang tahun 1999 hingga 2007, disajikan pada Gambar 10. 33 50000 100000 150000 200000 250000 300000 350000 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 P rod uk si t on Skipjack tuna Yellowfin tuna Gambar 10 Produksi cakalang dan madidihang di Indonesia selang tahun 1999 hingga 2007 Sumber: DKP and JICA 2009 Sulawesi Utara merupakan pusat pengembangan industri perikanan dimana sejak tahun 2001, pemerintah telah melaksanakan apa yang disebut Gerakan Pengembangan Komoditas Unggulan Berbasis Agribisnis Gerbang Kuba meliputi industri ikan tuna, cakalang dan layang. Hasil penangkapan ikan di laut merupakan produksi tertinggi di sektor perikanan. Produksi perikanan tangkap tuna, cakalang, tongkol pada 2006 sebanyak 137.000 ton. Produksi ini meningkat menjadi 141.000 ton pada 2007. Produksi tuna di Sulawesi Utara selang tahun 2004 hingga 2009 menunjukkan peningkatan yang cukup baik, seperti disajikan pada Gambar 11 berikut: 34 124000 126000 128000 130000 132000 134000 136000 138000 140000 2004 2005 2006 2007 2008 P rod uu k si t un a t on Gambar 11 Produksi Tuna di Sulawesi Utara tahun 2004 hingga 2008 sumber: DPK 2005, 2006, 2007, 2008 dan 2009 Perkembangan ekspor komoditas perikanan Sulawesi Utara didukung oleh perkembangan unit-unit pengelolaan hasil perikanan. Sampai 2004, terdapat 40 unit perusahaan pengelolaan hasil perikanan dengan 22 cold storage yang dimiliki. Setiap cold storage berkapasitas 10.630 ton. Kini terdapat 60 eksportir komoditas hasil perikanan dengan negara tujuan ekspor antara lain Jepang, Korea, AS, Cina, Spanyol, Australia, Jerman, Inggris, Hongkong, Denmark, Afrika Selatan, Irlandia, Belanda, Swiss, Slovenia, Belgia, Finlandia, Italia, Polandia, Prancis, Yunani, Malta, Cyprus, Kanada, Thailand, Taiwan, Singapura, Afrika dan Filipina. Tuna di Sulawesi Utara ditangkap dengan menggunakan alat tangkap pancing tuna handline tuna dan long line dan purse seine. Handline tuna terdiri dari vertical handline dan pancing layang-layang. Hasil tangkapan tuna sejak 2004 hingga 2008 yang diproses menjadi produk ekspor disajikan dalam Gambar 12. 35 500 1000 1500 2000 2500 3000 2004 2005 2006 2007 2008 T an gk ap an ton Gambar 12 Tangkapan tuna tahun 2004 hingga 2008 Sumber: PT. Bitung Mina Utama 2009 Awal industri tuna di Indonesia, yaitu dengan berdirinya 4 BUMN perikanan dengan mengoperasikan 18 kapal. Sampai tahun 2005 jumlah armada tuna menjadi 1600 longliners dengan tipe ukuran: 30 GT 138 kapal 30 - 50 GT 230 kapal 50-100 GT 523 kapal 100 GT 758 kapal Pada akhir tahun 2005. Akibat kenaikan harga BBM yang begitu drastis dari Rp. 2.100,- menjadi Rp. 6.100,- per liter atau hampir meningkat 300 menyebabkan kapal-kapal tidak bisa melaut karena akan merugi karena biaya BBM merupakan komponen terbesar dari biaya operasional. Untuk beradaptasi dengan kondisi tersebut, maka banyak kapal-kapal tuna longline yang merubah pola operasinya, yaitu dengan lebih lama di fishing ground menambah hari operasi, ada pula yang merubah fungsinya atau alat tangkapnya menjadi purse seine, squid jigger dan carrier. Tantangan usaha perikanan tuna di Indonesia saat ini antara lain; 1 Penurunan stok sumberdaya ikan tuna, 2 Peningkatan biaya operasional, 3 Pemberantasan IUU fishing, 4 Regulasi pemerintah, 5 Pemodalan, 6 Trade barriers dan 7 Perikanan tuna farming. 36 Namun pada tanggal 30 Maret 2009 dilaksanakan pertemuan tahunan ke 13 Indian Ocean Tuna Commission IOTC di Bali. Indonesia resmi menjadi negara full member IOTC ke-27 pada tanggal 20 Juni 2007. Masuknya Indonesia menjadi full member IOTC merupakan implementasi dari UU No.31 Tahun 2004 Pasal 10 2 yang mengamanatkan pemerintah Indonesia untuk ikut serta secara aktif dalam keanggotaan badanlembagaorganisasi regional dan internasional dalam rangka kerjasama pengelolaan perikanan. IOTC merupakan salah satu Regional Fisheries Management Organization RFMO, yaitu organisasi pengelolaan perikanan regional di bawah FAO, yang diberi mandat untuk melakukan pengelolaan sumberdaya ikan tuna di wilayah Samudra Indonesia. Selain itu Indonesia masuk sebagai contracting party dalam Western Central Pacific Fisheries Council WCPFC untuk wilayah Pasifik Barat dan Tengah. Saat ini IOTC memiliki anggota sebanyak 27 negara full member dan 3 negara cooperating non-contracting parties, di mana setiap anggota berkewajiban untuk menerapkan keputusan-keputusan IOTC dalam berbagai resolusi dengan sistem hukum nasional. Dalam pertemuan ini, Indonesia telah melaksanakan beberapa kegiatan antara lain: 1 program revitalisasi perikanan tuna, 2 penyampaian informasi kepada sekretariat IOTC tentang Authorized Vessel dan Active Vessel atau kapal yang aktif dan resmi melakukan penangkapan tuna, 3 penyusunan Peraturan Menteri No PER.03MEN2009 tentang Penangkapan Ikan danatau Pengangkutan Ikan di Laut Lepas, 4 persiapan penerapan Log Book perikanan, 5 program outer fishing port atau pelabuhan perikanan terluar; dan 6 bersama Australia menyusun Regional Plan of Action RPOA to Promote Responsible Fishing Practices including Combating IUU Fishing in the Region, yakni rencana aksi dua negara untuk mewujudkan pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab termasuk pemberantasan illegal fishing. Sebagai full member IOTC, Indonesia mempunyai peluang dalam memanfaatkan sumberdaya ikan di laut lepas high seas dengan kewajiban melakukan kontrol yang efektif terhadap kapal perikanan Indonesia yang melakukan kegiatan di laut lepas. Dengan 37 masuknya Indonesia di organisasi internasional diharapkan dapat membantu mengurangi tantangan sub sektor perikanan tangkap khususnya Tuna. Khusus untuk Sulawesi Utara, Gafa et al. 1993 mengungkapkan bahwa sejak akhir tahun 1990 dilakukan kerjasama antara pengusaha swasta nasional dari Filipina General Santos untuk mengeksploitasi bersama Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ZEEI di bagian Utara Sulawesi. Alat tangkap yang digunakan adalah pukat cincin dengan memasang 150 payaos rumpon. Penggunaan pukat cincin dengan alat bantu rumpon tentunya berpeluang besar tertangkapnya ikan-ikan berukuran kecil. Setelah satu tahun pemasangan payaos ini telah ada tuntutan dari nelayan huhate Sulawesi Utara bahwa hasil tangkapan mereka menurun cukup banyak. Sampai tahun 1990, daerah penangkapan cakalang oleh nelayan di Sulawesi Utara masih di bawah 30 mil dari garis pantai. Tetapi mulai tahun1991 daerah penangkapan menjadi lebih jauh ke tengah laut, yaitu sekitar rumpon yang dipasang di wilayah ZEEI, milik perusahaan nasional yang bekerja sama dengan perusahaan asing. Selanjutnya dinyatakan bahwa penurunan hasil tangkapan cakalang per unit huhate pada tahun 1992 di Sulawesi Utara dipengaruhi oleh faktor-faktor: 1 Meningkatnya upaya penangkapan oleh perikanan huhate; 2 Tekanan penangkapan dengan pukat cincin; 3 Faktor alam, yaitu naiknya suhu perairan laut mencapai 30 C akibat musim kemarau panjang.

2.4 Perikanan Tuna Terpadu