Latar Belakang Pengembangan Indikator Kinerja Kunci (IKK) perikanan tuna terpadu di Sulawesi Utara

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Potensi sumberdaya kelautan di Indonesia telah dimanfaatkan dalam berbagai aktivitas perekonomian yang di dalamnya termasuk usaha perikanan tangkap. Perikanan tangkap selama ini telah menjadi salah satu soko guru pembangunan di tanah air, baik dalam bentuk pengembangan ekonomi nasional secara umum maupun dalam peningkatan kesejahteraan. Perikanan tangkap adalah satu aktivitas ekonomi yang unik, karena sumberdaya yang ada merupakan milik bersama common property resources. Pemanfaatan sumberdaya ikan melalui aktivitas perikanan tangkap memberikan dampak eksternalitas baik positif maupun negatif. Sumberdaya ikan bersifat renewable resources sumberdaya yang dapat pulih tetapi bukan berarti tak terbatas sehingga apabila tidak dikelola secara hati-hati akan memberikan dampak negatif terhadap ketersediaan sumberdaya ikan dan lingkungan. Luas wilayah perikanan laut sekitar 5, 8 juta km 2 , terdiri dari perairan kepulauan dan teritorial seluas 3,1 juta km 2 serta perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ZEEI seluas 2,7 juta km2. Dengan memperhatikan karakteristik sumberdaya ikan dan lingkungannya, wilayah perikanan di laut tersebut dibagi ke dalam 11 wilayah pengelolaan perikanan WPP. Khusus untuk Sulawesi Utara, diapit oleh 2 wilayah pengelolaan perikanan yaitu wilayah pengelolaan perikanan 715 dan wilayah pengelolaan perikanan 716. Berdasarkan tingkat pemanfaatan tuna di wilayah pengelolaan Laut Seram hingga Teluk Tomini sebesar 35,17 WPP 715 dan untuk wilayah Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik sebesar 87,54 WPP 716 seperti yang dikemukakan oleh Sugiarta 2008. Berdasarkan rekomendasi Komisi Pengkajian Stok Ikan 2005, bahwa WPP 716 untuk pelagis besar berada dalam kondisi overfishing dan WPP 715 dalam kondisi fully exploited, dengan demikian peluang untuk memanfaatkan sumberdaya ke depan semakin kecil. Meskipun gambaran secara makro bahwa perikanan tangkap masih berpeluang untuk dikembangkan, namun di satu sisi masih terdapat beberapa permasalahan pembangunan perikanan tangkap, 2 antara lain : 1 Sebagian besar nelayan masih merupakan nelayan tradisional dengan karakteristik sosial budaya yang memang belum begitu kondusif untuk suatu kemajuan. 2 Struktur armada perikanan yang masih didominasi oleh skala keciltradisional dengan kemampuan IPTEK Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang rendah. 3 Masih timpangnya tingkat pemanfaatan stok ikan antara satu kawasan dengan kawasan perairan laut lainnya. 4 Masih banyaknya praktek Illegal, Unregulated, and Unreported IUU fishing yang terjadi karena penegakan hukum law enforcement di laut masih lemah. 5 Belum memadainya dukungan sarana dan prasarana perikanan tangkap. 6 Terjadinya kerusakan lingkungan ekosistem laut, seperti kerusakan hutan mangrove, terumbu karang, dan padang lamun seagrass beds, yang sebenarnya merupakan tempat habitat ikan dan organisme laut lainnya berpijah spawning ground, mencari makan feeding ground, atau membesarkan diri nursery ground. 7 Masih rendahnya kemampuan penanganan dan pengolahan hasil perikanan, terutama oleh usaha tradisional sesuai dengan selera konsumen dan standardisasi mutu produk secara internasional seperti Hazard Analysis of Critical Control PointHACCP, persyaratan sanitasi, dan lainnya. 8 Lemahnya market intelligence yang meliputi penguasaan informasi tentang pesaing, segmen pasar, dan selera preference para konsumen tentang jenis dan mutu komoditas perikanan. 9 Belum memadainya prasarana ekonomi dan sarana sistem transportasi dan komunikasi untuk mendukung distribusi atau penyampaian delivery produk perikanan dari produsen ke konsumen secara tepat waktu, terutama di luar Jawa dan Bali Barani 2004. Di kawasan perikanan Indonesia terdapat 16 jenis ikan tuna yang diatur pengelolaanya oleh IOTC, yaitu: Yellow Fin Tuna, Skipjack, Bigeye Tuna, Albacore Tuna, Southern Bluefine Tuna, Long tail Tuna, Kawakawa, Frigate Tuna, Bullet Tuna, Narrow Barred Spanish Mackerel, Indo Pacific King Mackerel, Indo Pacific Blue Marlin, Black Marlin, Strip Marlin, Indo Pacific Sailfish, dan Swordfish. Produksi tuna Indonesia selang tahun 1999 hingga 2007 yang terdiri dari sailfish, black marlin, blue marlin, swordfish, skipjack tuna, albacore, yellowfin tuna, dan bigeye tuna seperti yang dikemukakan oleh DKP and JICA 2009. 3 Tuna dipasarkan dalam bentuk segar, asap, beku dan kaleng. Berdasarkan kajian potensi sumberdaya ikan tuna tahun 1998, bahwa wilayah pengelolaan 716 Samudera Pasifik dan Laut Sulawesi mempunyai potensi ikan madidihang yellowfin tuna sebesar 29.408 ton per tahun dan untuk wilayah pengelolaan 715 Teluk Tomini dan Laut Maluku sebesar 13.795 ton per tahun, ikan tuna mata besar bigeye tuna masing-masing sebesar 15.529 ton per tahun dan 6.032 ton per tahun, ikan albakora masing-masing sebesar 528 ton per tahun dan 34 ton per tahun dan ikan cakalang masing-masing sebesar 121.201 ton per tahun dan 55.403 ton per tahun, ikan tongkol masing-masing sebesar 37.615 ton per tahun dan 14.963 ton per tahun. Menurut PRPT 2001, bahwa tingkat pemanfaatan tuna di wilayah pengelolaan Laut Seram hingga Teluk Tomini sebesar 35,17 dari potensi sebesar 106,51 x 10 3 tontahun, sedangkan untuk wilayah Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik sebesar 87,54 dari potensi sebesar 175,26 x 10 3 tontahun. Besarnya perhatian dunia akan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya dapat pulih sekarang ini tertuang pada konferensi Persatuan Bangsa-Bangsa PBB bidang Lingkungan dan Pembangunan UNCED yang dilakukan di Rio de Janeiro Brasil tahun 1992, menggambarkan konsensus global untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan yang lebih berbasis pada ekosistem lintas semua sektor aktivitas manusia, sebagai satu alat untuk pengembangan kesejahteraan manusia generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang FAO 2000. Dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan diperlukan peran substansial pemerintah, pengembangan yang didukung dengan sains dalam pembuatan keputusan dan peningkatan informasi strategis. Oleh sebab itu, dalam membangun investasi dalam dunia usaha perikanan tangkap terpadu pengintegrasian investasi penangkapan ikan dengan industri pengolahan ikan yang dapat berkelanjutan, maka diusulkan untuk mengadopsi seperangkat Indikator Kinerja Kunci IKK. Perangkat IKK ini adalah salah satu bagian statistik yang menggunakan uji yang dikenal dengan SMART: Specific jelas dan terfokus, Measurable dapat dikuantifikasi dan dibandingkan dengan data lain, Attainable dapat dicapai, masuk akal dan dapat dipercaya, Realistic sesuai dengan keadaan organisasiperusahaan dan biayanya efektif and Timely dapat dilaksanakan sesuai dengan kerangka waktu yang ditentukan McNeeney 2004. 4 Sebagian dari perangkat IKK didasarkan atas data yang telah dikumpulkan, sehingga dapat dijadikan baselines dalam membuat perbandingan akan kemajuan yang telah dicapai. Setiap usaha penangkapan ikan tuna terpadu mempunyai produk yang bernilai tambah tinggi dan memiliki kualitas ekspor, sehingga dapat menciptakan iklim yang kondusif, menggerakkan ekonomi lokal dan memperluas penyediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat setempat secara berkelanjutan dengan memilih IKK yang baik melalui pemahaman apa yang menjadi penggerak kemajuan. Perkembangan IKK sebagai dasar penilaian atau kriteria analisis saat ini sangat pesat, khususnya pada industri manufaktur yang mulai dikembangkan dengan ―green IKK‖, dimana standar kualitas produk harus memperhatikan keberlangsungan dari lingkungan. Demikian juga dalam perikanan, memang tidak disebutkan IKK harus green tapi persyaratan import dalam negeri di negara- negara tertentu, terutama Uni Eropa dan Amerika Serikat perlu ada health certification, ecolabelling, HACCP untuk mengaplikasi SPS Sanitary and Phytisanitary Agreement , catch certification dan khusus untuk Uni Eropa pada awal Januari 2010 memberlakukan catch document scheme untuk semua produk import Dirjen P2HP 2009. Hal ini menunjukkan secara tidak langsung green IKK telah masuk dalam industri perikanan dan menunjukkan bahwa konsumen sudah memperhatikan standar mutu produk. Sejauh ini Indonesia telah berperan baik dalam perikanan dunia, namun masih sangat terbuka peluang untuk dapat dioptimalkan. Dari berbagai potensi, kekuatan, peluang dan tantangan yang di hadapi sub sektor ini, baik dari sisi pengelolaan sumberdayanya, kemiskinan nelayan dan kelembagaan menunjukan bahwa diperlukan suatu formula indikator kinerja perikanan. Namun demikian sampai saat ini usaha penangkapan ikan dan lembaga pemerintahan serta stakeholder perikanan lainnya bukan saja tidak tersedia tapi belum memiliki IKK sebagai kriteria analisis kunci keberhasilan atau potensi kelanjutan dari perikanan tuna baik di tingkat nasional maupun daerah. Untuk itulah penelitian ini menjadi penting dilakukan sebagai formulasi dasar dalam menyusun formula IKK perikanan tuna di Indonesia. Jadi dengan kata lain indikator-indikator kinerja merupakan alat yang sangat dibutuhkan untuk melihat apakah suatu strategi, 5 program, atau kegiatan berhasilgagal dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan.

1.2 Perumusan Masalah