Pendapatan asli daerah juga dapat diperoleh dari dana perimbangan, seperti dijelaskan dalam Pasal 11 tentang dana bagi hasil. Ayat 1 dari Pasal 11
menyebutkan bahwa dana bagi hasil bersumberkan dari pajak dan sumber daya
alam.
Pembagian kewenangan kepada pemerintah daerah atas wilayah laut sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, secara yuridis tidak mengubah wilayah perairan Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang
Perairan Indonesia. Kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah untuk melaksanakan pengelolaan
sumberdaya kelautan di wilayah kewenangannya disertai dengan kewajiban untuk memelihara kelestarian lingkungannya.
Sebagai salah satu wujud dalam penyusunan kebijakan kelautan terutama pengelolaan wilayah pesisir dan laut di daerah adalah penyediaan produk hukum
wilayah pesisir dan laut dalam bentuk Peraturan Daerah dengan menggagas sebuah model yang berbasis masyarakat. Beberapa daerah di Kalimantan dan
Sulawesi yang telah difasilitasi oleh Satuan Kerja Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Marine and Coastal Resources Management Project MCRMP,
Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan, telah menghasilkan beberapa Peraturan Daerah mengenai
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan laut.
2.5 Kemiskinan Nelayan
Kemiskinan adalah suatu konsep yang cair, serba tidak pasti dan bersifat multi dimensional. Berbicara masalah kemiskinan, nelayan seringkali dipandang
Universitas Sumatera Utara
sebagai salah satu kelompok masyarakat yang identik dengan kemiskinan, mengingat kenyataan bahwa struktur usaha perikanan tangkap sejauh ini memang
masih didominasi oleh usaha skala kecil. Sebagian besar nelayan yang tergolong miskin merupakan nelayan yang memiliki keterbatasan kapasitas penangkapan
baik penguasaan teknologi, metode penangkapan, maupun permodalan. Masalah kemiskinan juga disebabkan adanya ketimpangan pemanfaatan sumber daya ikan.
Di satu sisi, ada daerah yang padat tangkap dengan jumlah nelayan besar terutama di Pantura Jawa. Di sisi lain ada daerah yang masih potensial namun jumlah
nelayannya sedikit seperti di Papua, Maluku, NTT dan Ternate. Masalah struktural yang dihadapi nelayan makin ditambah dengan persoalan kultural
seperti gaya hidup yang tidak produktif dan tidak efisien. Selanjutnya menurut Tarigan 2000, berdasarkan pendapatannya, nelayan
dapat dibagi menjadi: a.
Nelayan tetap atau nelayan penuh, yakni nelayan yang pendapatannya seluruhnya berasal dari perikanan.
b. Nelayan sambilan utama, yakni nelayan yang sebagian besar
pendapatannya berasal dari perikanan. c.
Nelayan sambilan tambahan, yakni nelayan yang sebagian kecil pendapatannya berasal dari perikanan.
d. Nelayan musiman, yakni orang yang dalam musim tertentu saja aktif
sebagai nelayan. Kemudian berdasarkan perahu atau kapal penangkap yang digunakan, nelayan
dibagi atas:
Universitas Sumatera Utara
a. Nelayan berperahu tak bermotor, terdiri dari: nelayan jukung dan nelayan
perahu papan kecil, sedang dan besar. b.
Nelayan berperahu motor tempel. c.
Nelayan berkapal motor menurut GT gross ton terdiri dari 5 GT; 5 – 10 GT; 10 – 20 GT; 20 – 30 GT; 30 – 50 GT; 50 – 100 GT; 100 – 200
GT; 200 – 500 GT; 500 GT. Dari segi kepemilikan alat tangkap, nelayan dapat dibedakan dalam tiga kelompok
yaitu: 1.
Nelayan Pemilik, yaitu pemilik perahu tak bermotor, pemilik kapal motor toke.
2. Nelayan Juragan, yaitu pengemudi pada perahu bermotor atau sebagai
kapten kapal motor. 3.
Nelayan Buruh, adalah pekerja menangkap ikan pada perahu motor atau pada kapal motor.
Dari ketiga kelompok tersebut, pada umumnya nelayan juragan tidak miskin. Kemiskinan nelayan cenderung dialami oleh nelayan perorangan dan
nelayan buruh. Sedangkan dilihat dari lingkupnya, kemiskinan nelayan terdiri atas kemiskinan prasarana dan kemiskinan keluarga. Kemiskinan prasarana dapat
diindikasikan pada ketersediaan prasarana fisik di desa-desa nelayan, yang pada umumnya masih sangat minim, seperti tidak tersedianya air bersih, jauh dari
pasar, dan tidak adanya akses untuk mendapatkan bahan bakar yang sesuai dengan harga standar. Kemiskinan prasarana itu tidak secara langsung juga memiliki andil
bagi munculnya kemiskinan keluarga. Misalnya, tidak tersedianya air bersih akan memaksa keluarga untuk mengeluarkan uang untuk membeli air bersih, yang
Universitas Sumatera Utara
berarti mengurangi pendapatan mereka. Kemiskinan prasarana juga dapat mengakibatkan keluarga yang berada pada garis kemiskinan bisa merosot ke
dalam kelompok keluarga miskin. Secara alami ada interaksi yang sangat kuat antara ketersediaan sumber
daya ikan, jumlah, perilaku, dan kapasitas nelayan serta ekonomi dari hasil usaha penangkapan. Oleh karena itu, kemiskinan nelayan harus dipandang sebagai suatu
sistem yang memiliki komponen saling berinteraksi. Seringkali nelayan dihadapkan pada sistem tata niaga yang tidak berpihak bahkan sangat merugikan
nelayan. Pada saat akan membeli faktor produksi nelayan dihadapkan pada harga yang sangat tinggi, sementara pada saat akan menjual hasil tangkapan, nelayan
dihadapkan pada harga jual yang sangat rendah. Hal ini disebabkan oleh panjang dan masih sangat berperannya para pedagang perantara.
2.6 Bagan Pancang Nelayan