Analisis Kebijakan Lingkungan dalam Pengelolaan Tata Ruang di Kota Pematangsiantar

(1)

Judul Tesis : ANALISIS KEBIJAKAN LINGKUNGAN DALAM

PENGELOLAAN TATA RUANG DI KOTA

PEMATANGSIANTAR

N a m a : LEONARDO HASUDUNGAN SIMANJUNTAK

N I M : 057005052 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui : Komisi Pembimbing

Prof. Syamsul Arifin, SH,MH Ketua

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH.MH Dr. Sunarmi, SH. MHum


(2)

ANALISIS KEBIJAKAN LINGKUNGAN

DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DI

KOTA PEMATANGSIANTAR

TESIS

Oleh :

LEONARDO HASUDUNGAN SIMANJUNTAK

057005052/ HK

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(3)

N a m a : LEONARDO HASUDUNGAN SIMANJUNTAK N I M : 057005052

Program Studi : Ilmu Hukum

Judul Tesis : ANALISIS KEBIJAKAN LINGKUNGAN DALAM

PENGELOLAAN TATA RUANG DI KOTA

PEMATANGSIANTAR

Menyetujui : Komisi Pembimbing

Prof. Syamsul Arifin, SH,MH Ketua

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH.MH Dr. Sunarmi, SH. MHum

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Hukum D i r e k t u r

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH.MH Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B.MSc


(4)

DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DI

KOTA PEMATANGSIANTAR

TESIS

Untuk memperoleh Gelar Magister Ilmu Hukum

Dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh :

LEONARDO HASUDUNGAN SIMANJUNTAK

057005052/ HK

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(5)

Pengasih lagi Maha Penyayang atas segala rahmat dan karunianya sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

Kami menyadari bahwa Naskah Publikasi tesis ini bisa diselesaikan karena banyaknya bantuan dari berbagai pihak, baik sifatnya bantuan material maupun moril. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang tulus kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Chairuddin Lubis, DTM&H, Sp.A(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister ;

2. Direktur Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister pada Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara ;

3. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Bismar Nasution SH,MH atas segala pelayanan, pengarahan dan dorongan yang diberikan kepada kami selama menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara ;

4. Terima kasih yang terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya kami ucapkan kepada Prof. Syamsul Arifin SH,MH selaku Pembimbing Utama dan Prof.Dr. Bismar Nasution, SH,MH dan Dr. Sunarmi,SH,Mhum selaku anggota


(6)

5. Terima kasih yang terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya kami ucapkan kepada Prof. Dr. Runtung Sitepu SH,MHum dan Dr. T. Keizerina Devi Azwar,SH.CN. Mhum selaku Komisi Penguji ;

6. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua Dosen Pengajar pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara dan tidak bisa kami sebutkan satu persatu yang telah memberikan materi dan peningkatan wawasan berfikir selama mengikuti perkuliahan ;

7. Terima kasih kepada seluruh Staf yang bekerja pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara karena meluangkan tenaga untuk mahasiswa selama mengikuti perkuliahan ;

8. Terima kasih kepada rekan-rekan mahasiswa pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara ;

9. Terima kasih kepada isteri dan anak-anakku yang tetap memberikan semangat walaupun sering ditinggalkan selama mengikuti perkuliahan pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara ;

Medan, Agustus 2007 Penulis,


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PENGESAHAN………. i

KATA PENGANTAR ………. ii

ABSTRACT ……… iii

INTISARI ……… iv

DAFTAR ISI ……… v

DAFTAR LAMPIRAN ……… vi

BAB I PENDAHULUAN ………. 1

A. Latar Belakang ……….. 1

B. Permasalahan ……… 12

C. Tujuan penelitian ……….. 13

D. Manfaat Penelitian ……… 13

E. Keaslian Penelitian ……… 14

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ……… 14

G. Metode Penelitian ……….. 19

BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAH KOTA PEMATANGSIANTAR DALAM LINGKUNGAN HIDUP ……….. 23

A. Kebijakan Lingkungan Hidup Nasional ………. 23

B. Kebijakan Lingkungan Hidup Kota Pematangsiantar ……… 40

BAB III PENGELOLAAN PENATAAN RUANG PADA PEMERINTAH KOTA PEMATANGSIANTAR ……… 62

A. Hukum Tata Ruang ………... 61

B. Penataan Ruang dalam Perundang-undangan Nasional …… 66


(8)

BAB IV PERAN SERTA MASYARAKAT DI BIDANG LINGKUNGAN

DALAM PENATAAN RUANG ……… 92

A. Pengertian Lembaga Swadaya Masyarakat ……….. 92

B. Peranan Masyarakat ………. 94

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………... 102

A. Kesimpulan ………... 102

B. Saran ……… 103 DAFTAR PUSTAKA


(9)

DAFTAR PUSTAKA

Akbar Faisal, Dimensi Hukum dalam Pemerintahan Daerah, Medan ;Pustaka Bangsa

Press, 2003

Arifin Syamsul, Kerangka Acuan Kerja, “ Seminar Mewujudkan Kawasan Perkotaan yang Berwawasan Lingkungan dalam Rangka Otonomi Daerah, Medan, 2003 ____________, Penegakan Hukum Lingkungan menuju Pembangunan Berkelanjutan

yang berwawasan Lingkungan, Medan, 2000

Gumbira E. Said, Pembangunan dan Pelestarian Lingkungan Hidup, Jakarata ;Media Sarana Pers,1987

Hapsara Habib Rachmat R, Pembangunan Kesehatan di Indonesia, Yogyakarta; Gadjah Mada University Press, 2004

Hardjasoemantri Koesnadi, Hukum Tata Lingkungan, Yogyakarta ; Gadjah Mada University Press, 2002

____________, Aspek Hukum Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, Yogyakarta ; Universitas Gadjah Mada, 1985

Hartono Sunaryati, Landasan, Kerangka, Struktur dan Materi Sistem Hukum Nasional Kita, Pra Seminar Hukum Nasional V, Babinkum Departemen Kehakiman RI Jakarta, 21-22 Januari 1986

Lubis M.Solly, Politik dan Hukum di Era Reformasi, Bandung ; CV Mandar Maju, 2000

____________, Sistem Nasional, Bandung ; CV Mandar Maju, 2002

Nasution Bismar, Diktat Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Medan, 2005

Purbacaraka Purnadi dkk, Perihal Kaedah Hukum, Bandung ; Alumni,1979

Rangkuti Siti Sundari, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Surabaya; Airlangga Univertsity Press, 2005


(10)

Samekto FX Adji, Studi Hukum Kritis, Kritik terhadap Hukum Modern, Bandung; Citra Aditya Bakti, 2005

Sidharta Bernard Arief , Refleksi Struktur Ilmu Hukum, Bandung ;Mandar Maju, 1999

Soemarwoto Otto, Pengelolaan Manfaat dan Risiko Lingkungan, Bandung ; Lembaga Ekologi Unpad, 1981

Sunggono Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta ;Rajawali Press, 2006 Suratmo Gunawan , Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Yogyakarta ;Gadjah

Mada University Press, 2004

Peraturan Perundang-undangan

Undang Undang Dasar RI Tahun 1945, Pembukaan

Undang Undang RI Nomor 4 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Lingkungan Hidup Undang Undang RI Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun

Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Hayati Undang Undang RI Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang

Undang Undang RI Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara RI Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3501)

Undang Undang RI Nomor 23 Tahun 1992 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara RI Tahun 1992 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3699)

Undang Undang RI Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

Undang Undang RI Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan


(11)

Undang Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Undang Undang RI Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Peraturan Pemerintah RI Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang ( Lembaran Negara RI Tahun 1996 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3660 )

Peraturan Pemerintah RI Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ( Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3721 )

Peraturan Pemerintah RI Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara / Daerah ( Lembaran Negara RI Tahun 2006 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4609 )

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 416 / Menkes / Per / IX / 1990 tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air

Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor Kep.03 / MENKLH / II / 1991 tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan Keputusan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah RI Nomor 327 / KPTS / M /

2002 tentang Penetapan Enam Pedoman Bidang Penataan Ruang

Instruksi Menteri Dalam Negeri RI Nomor 8 Tahun 1980 tentang Pembinaan Lembaga Swadaya Masyarakat

Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tk.II Pematangsiantar Nomor 15 Tahun 1989 tentang Nama dan Fungsi Lapangan Haji Adam Malik Kotamadya Daerah Tk.II Pematangsiantar

Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tk.II pematangsiantar Nomor 19 Tahun 1989 tentang Nama dan Fungsi Lapangan / Stadion Sangnawaluh Kotamadya Daerah Tk.II Pematangsiantar

Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tk.II Pematangsiantar Nomor 9 Tahun 1992 tentang Wajib Bersih Lingkungan, Keindahan dan Ketertiban Umum


(12)

Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tk.II Pematangsiantar Nomor 5 Tahun 1994 tentang Rencana Umum Tata Wilayah Kotamadya Daerah Tk.II Pematangsiantar

Peraturan Daerah Kota pematangsiantar Nomor 2 Tahun 2001 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Dinas Daerah Kota Pematangsiantar Peraturan Daerah Kota Pematangsiantar Nomor 4 Tahun 2003 tentang Retribusi

Advis Planning

Peraturan Daerah Kota Pematangsiantar Nomor 5 Tahun 2003 tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan

Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Pematangsiantar

Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengendalian Dampak Lingkungan

Laporan Profil kesehatan Kota Pematangsiantar Tahun 2006

Badan Pusat Statistik Kota Pematangsiantar, Pematangsiantar dalam Angka, Tahun 2006

Jurnal Konstitusi, Volume 2 Nomor 2 September 2005 Data Dinas Perhubungan Kota pematangsiantar Tahun 2006

Data Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Pematangsiantar Tahun 2006 Data Dinas Tata Kota dan Bangunan Kota Pematangsiantar Tahun 2006


(13)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : LEONARDO HASUDUNGAN SIMANJUNTAK

Tempat / Tanggal Lahir : Pematangsiantar, 14 Februari 1970 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Kristen Protestan

Pendidikan :

- SD Latihan YPHKBP Pematangsiantar Lulus Tahun 1982 - SMP Negeri 4 Pematangsiantar Lulus Tahun 1985

- SMA Negeri 2 Pematangsiantar Lulus Tahun 1988

- Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia Jakarta Lulus Tahun 1992 - Sekolah Pasca Sarjana Program Studi Magister Ilmu Hukum, Universitas


(14)

DAFTAR PUSTAKA Buku

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta ;Rajawali Press, 2006

Faisal Akbar, Dimensi Hukum dalam Pemerintahan Daerah, Medan ;Pustaka Bangsa

Press, 2003

Gumbira E. Said, Pembangunan dan Pelestarian Lingkungan Hidup, Jakarata ;Media Sarana Pers,1987

Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Yogyakarta ; Gadjah Mada University Press, 2002

____________, Aspek Hukum Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, Yogyakarta ; Universitas Gadjah Mada, 1985

M.Solly Lubis, Politik dan Hukum di Era Reformasi, Bandung ; CV Mandar Maju, 2000

____________, Sistem Nasional, Bandung ; CV Mandar Maju, 2002 Purnadi Purbacaraka dkk, Perihal Kaedah Hukum, Bandung ; Alumni,1979

Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Surabaya; Airlangga Univertsity Press, 2005

Syamsul Arifin, Kerangka Acuan Kerja, “ Seminar Mewujudkan Kawasan Perkotaan yang Berwawasan Lingkungan dalam Rangka Otonomi Daerah, Medan, 2003 ____________, Penegakan Hukum Lingkungan menuju Pembangunan Berkelanjutan

yang berwawasan Lingkungan, Medan, 2000

Sunaryati Hartono, Landasan, Kerangka, Struktur dan Materi Sistem Hukum Nasional Kita, Pra Seminar Hukum Nasional V, Babinkum Departemen Kehakiman RI Jakarta, 21-22 Januari 1986


(15)

Peraturan Perundang-Undangan

Undang Undang RI Nomor 4 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Lingkungan Hidup Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Hayati

Undang Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Undang Undang RI Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Peraturan Pemerintah RI Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang ( Lembaran Negara RI Tahun 1996 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3660 )

Peraturan Pemerintah RI Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ( Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3721 )

Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tk.II Pematangsiantar Nomor 9 Tahun 1992 tentang Wajib Bersih Lingkungan, Keindahan dan Ketertiban Umum

Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tk.II Pematangsiantar Nomor 5 Tahun 1994 tentang Rencana Umum Tata Wilayah Kotamadya Daerah Tk.II Pematangsiantar

Peraturan Daerah Kota Pematangsiantar Nomor 5 Tahun 2003 tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan

Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Pematangsiantar

Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengendalian Dampak Lingkungan


(16)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Pengesahan ………. ii

Abstract ……… iii

Intisari ……… iv

Kata Pengantar ………. vi

Daftar Isi……. ……….. vii

A. Latar Belakang ……….. 1

B. Permasalahan ……… 4

C. Tujuan penelitian ……….. 4

D. Manfaat Penelitian ……… 5

E. Keaslian Penelitian ……… 6

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ……… 6

G. Metode Penelitian ……….. 9

H. Hasil Penelitian dan Pembahasan ………. 12

I.. Kesimpulan ………. 22

J. Saran……… ……… 23 DAFTAR PUSTAKA


(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 memuat tujuan nasional atau cita-cita Negara Republik Indonesia yaitu pada alinea keempat disebutkan ,”… Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial…”. Berbagai dimensi kegiatan yang akan dilakukan menuju cita-cita tersebut melalui pembangunan jangka menengah dan jangka panjang.

Percepatan pembangunan merupakan keinginan setiap daerah dengan mempertimbangkan kemampuannya dan local specific, sehingga reformasi telah membawa perubahan dalam pengelolaan pemerintahan daerah dengan sistim desentralisasi. Setiap daerah otonom diberikan hak mengatur rumah tangganya sendiri termasuk menetapkan berbagai kebijakan sesuai kewenangan masing masing. Serangkaian program pembangunan dalam berbagai sektor di seluruh penjuru tanah air mempunyai tujuan akhir dari rangkaian pembangunan itu adalah mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur dalam artian sejahtera secara


(18)

lahiriah dan batiniah.1 Aplikasi desentralisasi tidak berarti semua kewenangan diserahkan kepada daerah, hal ini disebabkan bentuk negara Indonesia adalah negara kesatuan (unitarisme) dan kesatuan sistim2.

Salah satu kewenangan yang diberikan kepada daerah berupa pengelolaan tata ruang dengan memperhatikan aspek lingkungan, kependudukan, kemampuan keuangan dan sumber daya manusia sebagai potensi yang dimiliki. Kebijakan pemerintah daerah dan kemauan politik adalah faktor yang menentukan pencapaian tujuan sehingga optimalisasi segenap potensi, situasi dan kondisi dengan pendekatan filosofis, yuridis, politis, pendekatan sistim dan pandangan strategis merupakan hal yang mendasar untuk diketahui pengambil keputusan.

Pengelolaan tata ruang bukan saja sekedar membagi bagi wilayah ke dalam beberapa kawasan dengan alasan percepatan pembangunan dan untuk mendatangkan investor tanpa melihat aspek hukum dan lingkungan yang dapat menimbulkan perubahan-perubahan kelestarian lingkungan. Pasal 1 butir (1) Undang Undang nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan,” Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan mahluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan peri kehidupan dan kesejahteraan manusia serta

1

Faisal Akbar, Dimensi Hukum Dalam Pemerintahan Daerah,Cetakan Pertama,( Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003 ) hal.43

2

M.Solly Lubis, Sistem Nasional, ( Bandung: Mandar Maju , 2002 ) hal 12 dengan mengutip Tatang M. Amirin (1984), Campbell mendefinisikan sistim sebagai,”A system as any group of interrelated compenents or parts wich function together to achieve a goal (sistim itu merupakan himpunan komponen atau bagian yang saling berkaitan yang bersama-sama berfungsi untuk mencapai sesuatu tujuan).


(19)

mahluk hidup lain.” Kebijaksanaan pembangunan yang tertuju pada pembangunan manusia seutuhnya, memuat keharusan untuk menegakkan kehidupan berimbang, sebagai perwujudan dari keragaman lingkungan hidup dan keseimbangan ekosistem.3

Pembangunan lingkungan hidup yang merupakan bagian sangat penting bagi ekosistem berfungsi sebagai penyangga kehidupan bagi seluruh mahluk hidup yang diarahkan kepada terwujudnya kelestarian serta fungsi lingkungan dalam keadaan dinamis menuju pembangunan berkelanjutan. Pengelolaan harus dilakukan dengan baik dan terpadu yang komprehensif sebagaimana disebutkan pada Pasal 1 butir (2) UUPLH :

Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup.

Setiap orang berhak dan memiliki peran dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup baik sebagai anggota masyarakat maupun sebagai aparatur pemerintah. Peranan itu berupa penilaian dengan memberikan pendapat atau analisis kepada pembuat keputusan dan legislatif khususnya pemberian fasilitas ataupun izin kepada orang maupun badan usaha yang akan terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup. Hal ini memungkinkan bagi setiap orang di era

3

Gumbira E. Sa’id, Pembangunan dan Pelestarian Lingkungan Hidup, ( Jakarta: Media Sarana Pers, 1987 ), hal 1


(20)

desentralisasi sekaligus mendukung pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik (Good Governance) dengan prinsip tranparansi dan akuntabel dengan kata lain kepala daerah harus memperhatikan pendapat masyarakatnya yang respon terhadap berbagai kegiatan pembangunan di lingkungannya.

Pertambahan jumlah penduduk dan urbanisasi merupakan faktor yang mempercepat pengembangan tata ruang suatu daerah perkotaan yang mau tidak mau harus dilakukan pengkajian secara matang untuk pertumbuhan ekonominya termasuk inventarisasi lahan-lahan yang belum dimanfaatkan dengan baik yang pada gilirannya dapat menurunkan kualitas lingkungan yang ditandai dengan4 : a. Hilangnya ruang terbuka hijau

b. Munculnya daerah daerah kumuh

c. Pencemaran udara atau pencemaran dari aktivitas industri d. Limbah domestik

e. Penggusuran

f. Keambrukan dan kemacetan lalu lintas g. Hilangnya teknologi hijau

h. Munculnya cacapolis atau suatu kota yang mengerikan

Kebijakan pembangunan khususnya dalam pengelolaaan tata ruang mendapat perhatian dari sisi lain oleh legislatif untuk proses legislasi, dimana pendapatan asli daerah (PAD) menjadi bagian yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah daerah, artinya pengembangan kawasan akan dirasakan bermanfaat

4

Syamsul Arifin, Kerangka Acuan Kerja, “ Seminar Mewujudkan Kawasan Perkotaan Yang Berwawasan Lingkungan dalam Rangka Otonomi Daerah,” Kerjasama Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Muhammadiyah dengan Bapedalda dan Komite Aksi Pembangunan Yang Berkelanjutan Propinsi Sumatera Utara, (Medan : 2003-2004), hal 2


(21)

apabila diperoleh peningkatan pendapatan daerah itu. Pandangan seperti itu terlalu sederhana bagi pembuatan peraturan daerah (making law) sehingga kualitas dari produk peraturan untuk menjamin kepastian hukum dalam penataan ruang di kota Pematangsiantar bisa berakibat tidak mencerminkan kepada fungsi hukum.5 .

UU RI Nomor 24 tahun 1992 sebagaimana telah digantikan dengan UU RI Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mulai berlaku sejak tanggal 28 April 2007 menyebutkan;” Ruang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara beserta sumber daya alam yang terkandung di dalamnya bagi kehidupan dan penghidupan. Kegiatan manusia dan mahluk hidup lainnya membutuhkan ruang sebagaimana lokasi berbagai pemanfaatan ruang dapat mewadahi berbagai kegiatan, sesuai dengan kondisi alam setempat dan teknologi yang diterapkan.”

Pengelolaan tata ruang dalam kebijakan lingkungan di sini adalah menyangkut ruang daratan, mengingat peraturan daerah tentang penataan ruang hanya sebatas lingkup daerah perkotaan.

Selanjutnya dalam Penjelasan UU tersebut disebutkan bahwa :

Penataan ruang sebagai proses perencanaan tata ruang , pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang merupakan suatu kesatuan sistim yang tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya. Untuk menjamin tercapainya tujuan penataan ruang diperlukan peraturan perundang-undangan dalam satu kesatuan sistim yang harus memberi dasar yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi upaya pemanfaatan ruang, sehingga undang-undang tentang penataan ruang memiliki ciri sebagai berikut :

a. Sederhana tetapi dapat mencakup kemungkinan perkembangan pemanfaatan ruang pada masa depan sesuai dengan keadaan, waktu dan tempat

5

Bismar Nasution, Diktat Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, 2005 menyebutkan, “ Menurut studi yang dilakukan Burgs ada dua unsur kualitas dari hukum yang harus dipenuhi, pertama stabilitas (stability), dimana hukum berpotensi untuk menjaga keseimbangan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing, kedua meramalkan (predictability), berfungsi untuk meramalkan akibat dari suatu langkah-langkah yang diambil dan diantara kedua unsur tersebut penting diperhatikan aspek keadilan (Fairness) seperti perlakuan yang sama dan standar pola tingkah laku pemerintah yang diperlukan untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan


(22)

b. Menjamin keterbukaan rencana tata ruang bagi masyarakat sehingga mendorong peran serta masyarakat dalam pemanfaatan ruang yang berkualitas dalam segala segi pembangunan

c. Mencakup semua aspek di bidang penatan ruang sebagai dasar bagi pengaturan lebih lanjut yang perlu dituangkan dalam bentuk peratuaran sendiri

d. Mengandung sejumlah ketentuan proses dan prosedur perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang sebagai dasar bagi pengaturan lebih lanjut

Undang-undang ini dijadikan landasan untuk menilai dan menyesuaikan peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan tentang segi-segi pemanfaatan ruang yang telah berlaku baik menyangkut perairan, pertanahan, kehutanan, pertambangan, pembangunan daerah pedesaan, perkotaan, transmigrasi, perindustrian, perikanan, jalan, landasan kontinen Indonesia, ZEE, perumahan dan pemukiman, kepariwisataan, perhubungan, telekomunikasi dan lain sebagainya.

Relevansi pengelolaan tata ruang perkotaan dengan kebijakan lingkungan dapat dilihat pada Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 23 tahun 1997 tentang UUPLH menyebutkan :” Sumber daya alam dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, serta pengaturannya ditentukan oleh pemerintah.”

Pemerintah dalam pelaksanaan Pasal 8 tersebut harus6 :

a. Mengatur dan mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka pengelolaan b.Mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan lingkungan

hidup, dan pemanfaatan kembali sumber daya alam termasuk sumber daya genetika

6


(23)

c.Mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang atau subyek hukum lainnya serta perbuatan hukum terhadap sumber daya alam dan sumber daya buatan termasuk sumber daya genetika

d. Mengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak sosial

e. Mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pembangunan berwawasan lingkungan secara umum pada beberapa daerah Kabupaten / Kota di Sumatera Utara dan khususnya di Kota pematangsiantar masih belum optimal, hal ini dapat dilihat apabila muncul masalah lingkungan tidak jelas instansi yang bertanggung jawab penuh menanganinya. Penjabaran tugas pokok dan fungsi badan dan dinas-dinas daerah sebagaimana tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2001 tentang Susunan dan Tata Kerja Dinas-Dinas Daerah, ada beberapa perangkat daerah yang memiliki tugas yang berkaitan dengan lingkungan yaitu dinas kesehatan menyangkut penyehatan lingkungan dan limbah medis, dinas kebersihan dan lingkungan hidup menyangkut kebersihan dan pertamanan kota serta dinas tata kota dan bangunan menyangkut aspek pemberian izin mendirikan bangunan. Keadaan seperti ini sampai sekarang belum mengalami perubahan walaupun Badan Pengendalian Dampak Lingkungan di kota Pematangsiantar baru terbentuk pada akhir tahun 2006 yang lalu.

Sosialisasi tentang penbangunan berkelanjutan hampir tidak pernah didengar dan berjalan termasuk peraturan daerah yang menyangkut lingkungan nyaris tidak pernah diajukan baik dari eksekutif dan legislatif di daerah ini.


(24)

Sebagai perbandingan dengan beberapa kota lain di pulau Jawa telah berhasil membuat regulasi di bidang lingkungan seperti Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Propinsi JawaTimur, Surabaya, Semarang, Padang, Makasar dan daerah lainnya yang saat ini sedang mempersiapkan perangkat hukum di wilayahnya untuk menjaga kualitas atau setidak-tidaknya mengeliminir kerusakan lingkungan sebagai dampak pembangunan fisik dan masuknya investor dari luar daerah dalam pengembangan bisnisnya.

Masuknya aspek lingkungan dalam pembangunan sebenarnya telah didengungkan dalam deklarasi Stockholm dan Negara Indonesia telah berupaya mengimplementasikannya dalam UU tentang Penataan Ruang yang menyebutkan Presiden menunjuk seorang menteri yang bertugas mengkordinasikan penataan ruang.7

Berdasarkan Pasal 18 ayat (3) UUPLH bahwa:” pengelolaan lingkungan hidup dilakukan oleh pemerintah daerah, yaitu kepala daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah.”

Keterlibatan DPRD dalam pengelolaan lingkungan belum terlihat secara nyata karena peraturan pelaksanaannya di daerah belum dijadikan dalam bentuk peraturan daerah atau peraturan walikota.

7

Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, (Surabaya: Airlangga University Press, cetakan ketiga 2005), hal 95


(25)

Kegiatan pembangunan dapat menimbulkan dampak negatif dan positif usaha atau kegiatan tersebut, sehingga sejak dini perlu dipersiapkan langkah untuk menanggulangi dampak tersebut.

Kota Pematangsiantar yang dikelilingi oleh Kabupaten Simalungun memiliki sifat yang khas, dimana susunan masyarakat yang heterogen dan terdiri dari 7 kecamatan dengan 43 kelurahan selalu mengalami kesulitan dalam menyusun kebijakan dalam pelaksanaan pembangunannya. Banyaknya berbagai kepentingan baik perorangan, kelompok atau lembaga sering mempengaruhi pengambil keputusan di daerah ini. Akhirnya pembuat keputusan lebih lambat memberikan penyelesaian dengan mengedepankan kehati-hatian, etika, budaya dan adat istiadat yang masih kentara dalam penyelenggaraan pemerintahan, bahkan pembuatan dan penegakan hukum masih jauh dari yang diharapkan apalagi membicarakan hukum yang dicita-citakan (Ius Constituendum) dalam bidang lingkungan dan penataan ruang. Sebagai contoh, pada saat pemerintah daerah mencoba menata kawasan bisnis di pusat kota dengan cara tukar menukar asset daerah seperti sekolah, mendapat sorotan bahkan melalui aksi unjuk rasa oleh berbagai elemen masyarakat yang tidak menginginkan gedung itu dipindahkan ke daerah lain demikian juga halnya rencana pendirian bangunan untuk Universitas Pematangsiantar pada tahun 2008 belum jelas di kecamatan mana akan ditempatkan.

Peraturan Pemerintah No.6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara / Daerah semakin membuat keadaan menjadi kompleks dengan


(26)

permasalahan, khususnya menyangkut pemindah tanganan sebagai tindak lanjut penghapusan barang milik negara / daerah melalui penjualan, tukar menukar, hibah atau penyertaan modal pemerintah terhadap kekayaan milik daerah yang belum diatur peruntukannya dalam penataan ruang yang semakin diperlukan dalam penyusunan kebijakan pembangunan.

Pasal 46 ayat (3) butir a PP Nomor 6 tahun 2006 menyebutkan :

Pemindahtanganan barang milik negara / daerah berupa tanah dan / atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a tidak memerlukan persetujuan DPR/DPRD apabila sudah tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan kota.8

Pasal 46 tersebut di atas sepertinya tidak sinkron dengan ketentuan dalam ketentuan UUPLH bahwa kepala daerah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terlibat dalam pengelolaan lingkungan hidup dan bukankah masalah penghapusan asset berupa tanah merupakan lingkup dari pengelolaan lingkungan dalam penataan ruang?

Beberapa kebijakan pemerintah daerah atau peraturan daerah kota Pematangsiantar yang berkaitan dengan lingkungan sangat minim sekali bahkan hampir tidak satupun yang mengatur pelestarian dan pencegahan kerusakan lingkungan. Hal ini disebabkan setelah menginventarisir ketentuan yang ada ,tidak mencerminkan ke dalam bentuk tindakan pencegahan kerusakan lingkungan

8

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah


(27)

termasuk pembiayaan untuk kelestarian lingkungan tidak pernah tertampung dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Peraturan Daerah sebagaimana disebutkan di atas yaitu :

a. Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 1989 tentang nama dan fungsi lapangan haji Adam Malik Kotamadya Daerah Tk.II Pematangsiantar

b Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 1989 tentang nama dan fungsi lapangan / stadion Sangnawaluh Kotamadya Daerah Tk.II Pematangsiantar

c. Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 1992 tentang Wajib Bersih Lingkungan, Keindahan dan Ketertiban Umum

d. Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Pematangsiantar

e Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2003 tentang Retribusi Advis Planning f. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2003 tentang Retribusi Izin Mendirikan

Bangunan

g. Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah

Melihat kenyataan tersebut, meningkatnya pembangunan secara fisik tanpa memperhatikan aspek lingkungan merupakan rendahnya political will dari penyelenggaraan pemerintahan daerah di kota ini atau bisa saja persoalan lingkungan dianggap menjadi sesuatu yang tidak terlalu penting dipikirkan dalam pembangunan. Keberpihakan pembangunan kepada pemilik modal besar juga salah satu bentuk kerjasama untuk menghindarkan isu lingkungan dalam


(28)

menjalankan bisnisnya serta adanya anggapan diratifikasinya berbagai konferensi internasional yang menyangkut lingkungan hanya menjadi urusan pemerintah pusat. Di sisi lain rencana revisi penataan ruang dan wilayah justru lebih mengarahkan optimalisasi kekayaan daerah dengan proses Ruilslagh atau tukar menukar asset bahkan sebagai pencarian celah hukum dengan alasan pembangunan kawasan bisnis dan upaya peningkatan ekonomi rakyat secara riil melalui regulasi dengan mendatangkan investor. Sebagai langkah kebijakan pembangunan yang nantinya mengharapkan dukungan stake holder, sehingga pusat kota benar-benar ditujukan untuk dijadikan kawasan bisnis sesungguhnya. Hal ini secara perlahan-lahan menggusur pasar tradisional, sekolah-sekolah yang saat ini berdampingan dengan pusat bisnis dan kemungkinan daerah pemukiman sekitarnya tanpa pertimbangan hilangnya daerah resapan air ditambah lagi banyaknya bangunan yang seharusnya wajib amdal berdiri dengan cepat tanpa dokumen atau audit lingkungan.

Alasan-alasan tersebut di atas memotivasi penulis untuk melakukan kajian dan sekaligus membahas berbagai kebijakan yang telah berjalan dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah daerah kota Pematangsiantar dan peran serta masyarakat, yang akan dituangkan dalam hasil penelitian yang berjudul : “ Analisis Kebijakan Lingkungan dalam Pengelolaan Tata Ruang di Kota Pematangsiantar “.


(29)

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan yang akan diteliti dan dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah Pemerintah Kota Pematangsiantar menerbitkan kebijakan lingkungan hidup?

2. Bagaimana Pemerintah Kota Pematangsiantar melaksanakan pengelolaan rencana tata ruang ?

3. Bagaimana peran serta masyarakat dalam pembangunan lingkungan untuk penataan ruang di Kota Pematangsiantar ?

Penelitian yang akan dilakukan perlu ditegaskan bahwa penerbitan kebijakan atau Peraturan Daerah dalam bidang lingkungan yang mendukung penataan ruang dan pelaksanaannya, serta peran masyarakat (di sini dibatasi hanya pada lembaga swadaya masyarakat yang membidangi lingkungan hidup).

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah disampaikan di atas, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1 Untuk mengetahui dan menganalisis kebijakan lingkungan hidup yang telah dibuat di Kota Pematangsiantar.

2. Untuk menganalisis berbagai pelaksanaan pengelolaan oleh Pemerintah Kota Pematangsiantar dalam penataan ruang.


(30)

3. Untuk mengetahui peran serta masyarakat dalam hal ini melalui lembaga swadaya masyarakat ( LSM ) di bidang lingkungan tentang penataan ruang di Kota Pematangsiantar.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis yaitu :

1. Secara teoritis,hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam menambah ilmu pengetahuan pada penegakan hukum positif bidang lingkungan hidup pada penyelenggaraan pemerintahan era desentralisasi.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat memberikan masukan bagi Pemerintah Kota Pematangsiantar sehingga kebijakan yang dilakukan dalam pengelolaan tata ruang dan wilayah agar tetap mempertimbangkan aspek lingkungan hidup sebagai wujud pembangunan yang berkelanjutan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan oleh penulis terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan dan secara khusus di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai “Analisis Kebijakan Lingkungan dalam Pengelolaan Tata Ruang di Kota Pematangsiatar “ belum pernah dilakukan penelitian pada topik dan permasalahan yang sama.


(31)

Obyek penelitian yang di lakukan merupakan suatu kajian ilmiah dan belum pernah dianalisis secara komprehensif dalam suatu penelitian ilmiah sehingga penelitian ini merupakan sesuatu yang baru dan asli sesuai dengan azas-azas keilmuan yang jujur, rasional, obyektif dan terbuka sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan transparan untuk kritikan yang bersifat membangun sesuai dengan topik, permasalahan dan lokasinya.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

Salah satu hal yang mendasar dalam penyelenggaran pemerintahan di era desentralisasi ini yaitu bagaimana memulihkan kepercayaan rakyat kepada sistem pemerintahan dan pelayanan birokrasi. Hal ini menyangkut keinginan politik pengambil keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan ( accountable ) kepada rakyat sebagai penerima pelayanan publik melalui Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah yang telah dibuat sebagai landasan kebijakan.Undang-Undang Republik Indonesia nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 136 ayat (2) disebutkan : “ Peraturan Daerah dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi / kabupaten / kota dan tugas pembantuan.” Selanjutnya pada ayat (3) disebutkan : “ Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.”


(32)

Hal ini berarti juga bahwa setiap Perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya dalam hierarkhi perundang-undangan. Menurut politik hukum, kegiatan perundang-undangan dimulai dari penetapan garis policy-nya kemudian disusun legislasi dan penerapan hukumnya mengenal dua pilihan untuk penerapannya yaitu secara mendasar ( grounded ) dan pragmatis.9 Pada saat penerapannya, kedua pilihan itu mempunyai kelemahan dan kebaikan masing-masing.10. Pembuatan Peraturan Daerah secara khusus menyangkut penataan ruang dan kebijakan lingkungan juga harus memperhatikan kaedah-kaedah hukum yang bersifat imperative dan fakultatif. Isi kaedah hukum dihubungkan dengan sifatnya maka kaedah-kaedah hukum yang berisikan suruhan dan larangan adalah imperative, sedangkan kaedah hukum yang berisikan kebolehan adalah fakultatif.11 Setiap pembangunan diperkirakan akan menghasilkan dampak dari kegiatan yang dilakukan, sehingga perlu melakukan telaah berbagai kebijakan lingkungan nasional dalam perspektif daerah otonom.

9

M.Solly Lubis, Politik dan Hukum di Era Reformasi, ( Bandung : CV Mandar Maju, 2000, ) hal 18 disebutkan secara mendasar atau grounded disebut juga secara dogmatic yakni sungguh-sungguh dahulu diteliti ius constituendum apa yang berkembang sebagai embrio aturan hukum itu dalam masyarakat, yang biasa disebut aspirasi masyarakat untuk diangkat kepermukaan menjadi aturan hukum; secara pragmatis yaitu dibuat saja lebih dahulu berhubung situasi dan kondisi yang mendesak, atau karena ada kepentingan politik tertentu yang melatarbelakanginya untuk segera diundangkan tanpa menghiraukan apakah produk legislative itu kelak akan akseptabel oleh seluruh masyarakat secara merata.

10

Ibid, hal 19; kebaikan secara mendasar ialah lebih aspiratif dan lebih akomodatif dan sesuai dengan perasaan keadilan masyarakat tetapi kelemahnnya lambat dalam processingnya sedangkan secara pragmatis dapat segera tercipta aturan hukum itu dengan catatan kalau ada keberatannya akan dikaji ulang; kelemahannya sering dirasa tidak aspiratif dan tidak akomodatif menurut pendapat umum yang berlaku ( common sense )

11


(33)

Walaupun hal kebijakan lingkungan masih dalam tahap dini, akan tetapi setiap larangan dan kewajiban yang harus dipenuhi dan diatur sepenuhnya dalam peraturan daerah atau peraturan kepala daerah dapat ditegakkan. Hal ini merupakan suatu kebutuhan untuk mengurangi resiko dan juga mencegah adanya kerusakan kualitas lingkungan serta menjaga kelestariannya. UULH sebagaimana telah digantikan dengan UUPLH merupakan pedoman atau acuan secara umum bagi pemerintahan di daerah sebagai pengendali setiap warganya agar tetap berada dalam batas-batas yang sesuai dengan daya dukung lingkungan yaitu kemampuan lingkungan untuk mendukung peri kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya.12 Syamsul Arifin menyebutkan kehadiran undang-undang ini merupakan awal pengembangan perangkat hukum sebagai dasar pengelolaan lingkungan hidup Indonesia sebagai bagian integral upaya pembangunan yang berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup.13

Saat ini, kewenangan pengelolaan lingkungan hidup di daerah sebagaimana Pasal 12 UUPLH disebutkan :

Untuk mewujudkan keterpaduan dan keserasian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan dapat :

a melimpahkan wewenang tertentu pengelolaan lingkungan hidup kepada perangkat di wilayah

b. mengikutsertakan peran pemerintah daerah untuk membantu pemerintah pusat dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup di daerah

12

Siti Sundari Rangkuti, op.cit hal 115

13

Arifin Syamsul, Penegakan Hukum Lingkungan Menuju Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan, diucapkan pada pengukuhan jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Internasional pada Fakultas Hukum USU Medan : 5 Februari 2000, hal 3


(34)

Selanjutnya pada Pasal 13 dinyatakan :

“Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan kepada pemerintah daerah menjadi urusan rumah tangganya.”

Konsekuensi ketentuan tersebut di atas sebagaimana disebutkan pada penjelasan Pasal 12 sebagai berikut :”… pemerintah pusat dapat menetapkan wewenang tertentu dengan memperhatikan situasi dan kondisi daerah baik potensi alam maupun kemampuan daerah, kepada perangkat instansi pusat yang ada di daerah dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi.”

Pemerintah kabupaten / kota berperan dalam pelaksanaan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup sebagai tugas pembantuan maka wewenang , pembiayaan, peralatan, dan tanggung jawab berada pada pemerintah yang menugaskannya.

Perlunya keserasian dan kesinambungan dalam pengelolaan lingkungan hidup di daerah, maka sangat dibutuhkan peraturan-peraturan di daerah sebagai penjabaran pemberian urusan kepada pemerintah daerah yang pada gilirannya dapat menyelesaikan berbagai aspek administratif, perdata dan pidana apabila muncul sengketa dalam lingkungan hidup. Semakin kompleksnya kepentingan-kepentingan dalam pembangunan sangat memungkinkan adanya benturan bahkan menjadi suatu konflik dalam pengembangan wilayah, sehingga hal ini juga menjadi alasan perlunya penyusunan tata ruang yang berwawasan lingkungan sekaligus menjadi landasan hukum di daerah dalam pelaksanaan visi dan misinya.

Berdasarkan kerangka teoritis yang telah diuraikan tersebut di atas, maka perlu diuraikan definisi secara operasional untuk menghindari adanya penafsiran yang berbeda dalam pelaksanaan penelitian ini, sebagai berikut :


(35)

Pertama, Pemerintah Daerah adalah Walikota Pematangsiantar beserta perangkat daerah sebagai penyelenggara pemerintahan daerah14

Kedua, Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah tempat manusia dan mahluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.15 Penelitian ini hanya membatasi ruang ini pada daratan di wilayah Kota Pematangsiantar.

Ketiga, lingkungan hidup berarti kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan mahluk hidup termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan peri kehidupan dan kesejahteraan manusia dan mahluk lainnya yang berarti merupakan hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi satu dengan lainnya terhadap lingkungan hidupnya.

Keempat, rencana tata ruang wilayah adalah hasil perencanaan tata ruang wilayah di kota Pematangsiantar berdasarkan aspek administrasi dan aspek fungsional yang telah ditetapkan.

Kelima, kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar masyarakat.

Keenam, penatagunaan tanah adalah sama dengan pengelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil.

14

Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Pematangsiantar

15


(36)

Ketujuh, kebijaksanaan lingkungan adalah peraturan perundang-undangan serta ketentuan lainnya di bidang lingkungan hidup yang masih berlaku.

G. Metode Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini adalah suatu rangkaian kegiatan yang di dalamnya merupakan proses sejak dari pengumpulan data, analisis data sehingga dapat ditarik kesimpulan. Metode penelitian ini menjelaskan jenis penelitian, sifat penelitian yang dilakukan, sumber data yang diperoleh, teknik pengumpulan data dan pengolahannya.

1. Jenis Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, maka pengumpulan data ditujukan kepada ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada sebagai dasar hukum, dimana hukum di sini merupakan hukum positif baik dilihat dari norma ataupun kaidahnya, sehingga penelitian ini merupakan yuridis normatif. Pengumpulan bahan-bahan untuk dianalisis berupa undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah maupun keputusan atau peraturan menteri serta kepala daerah yang berkaitan dengan kebijakan lingkungan dalam penataan ruang.

2. Sifat Penelitian

Dilihat dari sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu menggambarkan semua gejala dan fakta serta menganalisa permasalahan yang ada saat ini berkaitan dengan pengelolaan tata ruang.


(37)

3. Sumber Data Penelitian

Pada penelitian yang berupa yuridis normatif, maka sumber-sumber data yang dikumpulkan berasal dari data kepustakaan yang ada dibedakan atas :16 a. acuan umum, yang berisi konsep-konsep, teori, dan informasi lainnya yang bersifat umum seperti; buku, ensiklopedia dan sebagainya

b. acuan khusus, yang berisi hasil-hasil penelitian terdahulu yang ada kaitannya seperti; tesis, bulletin, jurnal dan lain-lain.

Bahan bahan hukum tersebut terdiri dari :

a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang undangan di bidang hukum lingkungan dan penyelenggaraan pemerintahan daerah.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu hasil-hasil penelitian ilmiah, jurnal, surat kabar, internet dan lain sebagainya.

c. Bahan hukum tertier, yaitu kamus-kamus hukum, ensiklopedia, indeks kumulatif dan sebagainya.

4. Tehnik Pengumpulan Data

Selain pengumpulan data sekunder juga dilakukan melalui situs internet dan teknik pengumpulan data dengan studi dokumen yang diperlukan untuk membantu menganalisis permasalahan yang akan dibahas.

16

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, ( Jakarta : Rajawali Press, ) 2006, hal 113


(38)

Pedoman wawancara sebagai salah satu alat pengumpulan data pada instansi pemerintah seperti Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah, Dinas Tata Kota dan Bangunan, Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup, Dinas Kesehatan serta LSM bidang lingkungan hidup sebagai bentuk peran serta masyarakat di Kota Pematangsiantar.

5. Metode Analisis Data

Dalam penelitian, analisis data harus dilakukan untuk lebih objektif memberikan jawaban terhadap permasalahn yang ada. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan diolah dengan dukungan logika berpikir serta keabsahan dokumen sehingga akan diuraikan secara sistematis yang mampu menjelaskan hubungan-hubungan berbagai jenis data sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan dengan logika deduktif.


(39)

(40)

BAB II

KEBIJAKAN PEMERINTAH KOTA PEMATANGSIANTAR DALAM LINGKUNGAN HIDUP

A. Kebijakan Lingkungan Hidup Nasional

Penataan hukum nasional merupakan arah kebijaksanaan di bidang hukum, sehingga perlu penegasan pengertian hukum nasional Indonesia yang dibedakan dari hukum positif Indonesia. Sunaryati Hartono menyatakan :... pengertian hukum nasional Indonesia tidaklah sama dengan pengertian hukum positif Indonesia karena hukum nasional dipakai dalam arti Ius Constituendum, sedangkan hukum positif tidak lain daripada merupakan Ius Constitutum.18

Selanjutnya mengenai pengertian ini, Sunaryati Hartono menyebutkan : “ Hukum positif Indonesia adalah hukum yang kini sudah ada dan berlaku di Indonesia, sedangkan hukum nasional Indonesia adalah hukum yang belum ( seluruhnya ) ada di Indonesia, dan karena itu masih harus dipikirkan bagaimana membentuknya dan apa serta bagaimana kerangka dan landasannya serta filsafah dan materinya “.19

Uraian tersebut di atas semakin menjelaskan betapa eratnya hubungan antara hukum lingkungan dengan kebijaksanaan lingkungan dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup dengan mendasarkan kepada prinsip-prinsip hukum lingkungan.

18

Sunaryati Hartono, Landasan, Kerangka, Struktur dan Materi Sistem Hukum Nasional Kita, Pra Seminar Hukum Nasional V, Babinkumnas, Departemen Kehakiman, Jakarta, 21-22 Januari 1986, hal 3.

19


(41)

Seperti diketahui bahwa hukum lingkungan menyangkut berbagai aspek atau materi dari hukum administrasi, perdata, pidana, perpajakan, internasional dan tata ruang. Hal tersebut dapat dilihat dalam pengembangan dan pembangunan lingkungan hidup antara lain menyangkut perizinan, tuntutan ganti kerugian akibat kerusakan lingkungan, sengketa tanah akibat perbuatan pidana, pengenaan tarif atau bea dalam pengelolaan ruang dan peruntukan tanah negara untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Banyaknya masalah-masalah lingkungan sangat membutuhkan berbagai pendekatan disiplin ilmu dan teknologi, sebagaimana dikemukakan oleh

Stewart dan Krier dalam Siti Sundari Rangkuty :… the relevance of science and

technology to the environtmental lawyers role in dealing with such problems. The environmental lawyers need not become a scientist or an engineer, but he must recognize the importance of communicating with those skilled in the disciplines, and of learning enough of their language to communicate.20

Melihat sejarah pembentukan Undang-undang Lingkungan Hidup yaitu dalam Repelita III, Bab 7 tentang Sumber Alam dan Lingkungan Hidup, dimana pemerintah berkewajiban untuk menyusun Undang-undang yang memuat ketentuan-ketentuan pokok tentang masalah lingkungan yang mengatur :

a. Pemukiman manusiawi dan lingkungan hidup b. Pengelolaan sumber daya alam

c. Pencemaran lingkungan hidup

d. Yurisdiksi departemen-departemen di bidang lingkungan hidup

20


(42)

Hal inilah yang melatarbelakangi diterbitkannya Undang-Undang Lingkungan hidup atau biasa disebut dengan UULH Nomor 4 Tahun 1982. Undang-undang yang memuat azas serta prinsip-prinsip pokok tentang perlindungan dan pengembangan lingkungan hidup ini beserta sanksi-sanksinya akan merupakan dasar bagi semua peraturan perundang-undangan lainnya yang diciptakan secara sektoral termasuk peraturan pelaksanaannya dan tata cara pelembagaan, wewenang serta tanggung jawabnya. Saat ini, Indonesia telah memasuki tahap industrialisasi yang merupakan tahapan pelaksanaan pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat dan untuk meletakkan landasan untuk pembangunan berikutnya.

Lima belas tahun kemudian lahirlah Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1997 dengan beberapa pertimbangan yaitu 21:

a.bahwa lingkungan hidup Indonesia sebagai karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan ruang bagi kehidupan dalam segala aspek dan matranya sesuai dengan Wawasan Nusantara ;

b.bahwa dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan kesejahteraan umum seperti diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup Berdasarkan Pancasila, perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup Berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa mendatang ;

c.bahwa dipandang perlu melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup untuk melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup yang serasi, selaras dan seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup ;

d.bahwa penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup harus didasarkan pada norma hukum dengan memperhatikan tingkat kesadaran

21

Koesnadi Harjosoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Cetakan ketujuh belas ( Yogyakarta : Gadjah Mada University Press ) hal.65


(43)

masyarakat dan perkembangan lingkungan global serta perangkat hukum internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup ;

e.bahwa kesadaran dan kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup telah berkembang demikian rupa sehingga pokok-pokok materi sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup perlu disempurnakan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup ;

f. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu ditetapkan Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup

Secara filosofis, pembangunan lingkungan hidup di Indonesia berlandaskan kepada Pembukaan Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 pada alinea ke 4 yang berbunyi :

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan Berdasarkan kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Peryataan tersebut secara konkrit dirumuskan pada Pasal 33 ayat (3) sebagai berikut : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Setiap pembangunan sudah barang tentu berimplikasi adanya perubahan, akan tetapi dalam pemanfaatan kekayaan alam dalam kebijaksanaan lingkungan hidup selalu muncul istilah pelestarian guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Lestari bisa bermakna langgeng atau tidak mengalami perubahan, dengan perkataan lainnya keadaan tetap seperti semula. Pemerintah harus memberikan perhatian terhadap dampak negatif dari pembangunan itu tadi walaupun sebenarnya hal itu terjadi semata-mata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Adanya upaya mengurangi atau meniadakan dampak tersebut


(44)

merupakan kemampuan lingkungannya dan bukan keadaan sejatinya lingkungan hidup tersebut, sehingga antara pembangunan dan kelestarian bukanlah hal yang bertolak belakang.

Kemampuan lingkungan hidup dalam pelestariannya merupakan sasaran pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana disebut pada Pasal 4 UUPLH yang berbunyi:

Sasaran lingkungan hidup adalah :

a.tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup ;

b.terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang memiliki sikap dan tindak melindungi dan membina lingkungan hidup ;

c.terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan; d.tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup ;

e.terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana ;

f. terlindunginya negara kesatuan Republik Indonesia terhadap dampak usaha dan atau kegiatan di luar wilayah Negara yang menyebabkan pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup”.

Pemanfaatan sumber daya secara bijaksana sangatlah penting dan bila dikaitkan kepada sumber daya yang tidak dapat diperbaharui sehingga penghematan dan daya gunanya menjadi mutlak diperhatikan dsamping aspek penggunaan teknologi yang ramah lingkungan maupun prospek daur ulang ( recyling ).

1. Perlindungan Sumber Daya Alam Non Hayati

Ketentuan ini meliputi tiap jenis sumber daya alam non hayati seperti air, udara, tanah, bahan galian, bentang alam ataupun perwujudan proses alam yang penting. Beberapa peraturan yang berkaitan dengan perlindungan ini yaitu tentang tata guna tanah dalam Pasal 14 dan 15 UUPA disebutkan menyediakan tanah untuk pembangunan dan menjaga supaya tanah yang sedang dipakai jangan diterlantarkan sampai rusak. Pengamatan yang dilakukan menyangkut persediaan tanah,


(45)

menggariskan peruntukan tanah, mengamati pola penggunaan tanah serta usaha pemeliharaan tanah. Usaha-usaha tersebut di atas diharapkan supaya tanah benar-benar digunakan sesuai kemampuannya sehingga tidak ada kegiatan yang tidak perlu yang pada gilirannya akan tercapai suatu asas keseimbangan dan optimalisasi. Banyaknya persoalan di bidang pertanahan dalam kaitannya dengan pengelolaan tata ruang, maka lahirlah Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 tanggal 19 Juli 1988 tentang pembentukan Badan Pertanahan Nasional yang berada dan bertanggung jawab langsung di bawah Presiden dalam melaksanakan fungsinya, serta dibentuknya Kantor Wilayah di Propinsi dan Kantor Pertanahan di Kabupaten / Kota yang dikoordinasi oleh kepala daerah masing-masing. Secara singkat fungsi Badan Pertanahan Nasional ini adalah merumuskan kebijaksanaan perencanaan dan penggunaan tanah, merumuskan kebijaksanaan dan perencanaan pemilikan tanah dengan prinsip bahwa tanah mempunyai fungsi sosial, melaksanakan pengukuran dan pemetaan tanah serta pendaftaran tanah dalam upaya pemberian kepastian hak dalam rangka tertib administrasi dan melakukan penelitian dan pengembangan bidang pertanahan.

Tata guna air juga merupakan salah satu perlindungan non hayati, yang tidak mengatur penggunaan air saja tetapi lebih memberikan dasar yang kuat bagi pengembangan atau pemanfaatan air untuk meningkatkan taraf hidup rakyat Tuntutan akan pengaturan yang lebih sempurna sebagai implementasi dari semangat otonomi daerah perlu dirasakan mengkaji ulang UU Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan.


(46)

Hal ini akhirnya terwujud setelah 30 tahun yakni pada tanggal 18 Maret 2004 disahkannya UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Pada awalnya kelahiran undang-undang ini sempat mengandung pro dan kontra sehingga bermuara kepada pengajuan uji formil dan materil oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat ke Mahkamah Konstitusi yang intinya menyangkut privatisasi dan manajemen sumber daya air dengan system perizinan, walaupun pada akhirnya Mahkamah Konstitusi menolak permohonan para penggugat.22

Sumber daya air sebagai sumber daya alam yang dinamis dapat dikategorikan sebagai sumber daya alam yang strategis yang bisa diperlakukan secara ekonomis sebagai pembangunan berkelanjutan. Tanah dapat diwariskan sebagai milik individu sedangkan air dalam suatu wilayah pada umumnya dipandang sebagai warisan bersama ( common heritage resources ).23

Kepentingan lingkungan dalam sumber daya air berupa pengaturan (regulatory) dan operasionalnya oleh pemerintah serta fungsi operasional oleh sektor publik maupun swasta agar penegakan hukum dapat berjalan khususnya sumber daya air berbasis sungai. Sumber daya air dalam prspektif tata ruang menimbulkan adanya tanggung jawab instansi pemerintahan yaitu :

a. Penatagunaan lahan dan air

b. Pembagian alokasi air permukaan dan air bawah tanah c. Pengelolaan kuantitas dan kualitas air

22

Jurnal Konstitusi, Volume 2, Nomor 2, September 2005, hal 13

23


(47)

Pada prinsip perencanaan, sangat diperlukan informasi kecukupan alokasi sumber daya air sesuai dengan tujuan penggunaan dan dalam pelaksanaan harus diyakinkan bahwa semua pihak mempunyai komitmen untuk melaksanakan sesuai dengan perencanaannya. Kenyataannya penanganan air permukaan dan air bawah tanah baik kualitas dan kuantitas bisa menimbulkan kerusakan lingkungan baik pencemaran maupun pengelolaan limbah yang melewati yurisdiksi administrasi pemerintahan dalam pengendaliannya.

Pasal 8 UUPLH menyebutkan :

(1) Sumber daya alam dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar- besarnya bagi kemakmuran rakyat, serta pengaturannya ditentukan oleh pemerintah

(2) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, pemerintah

a. mengatur dan mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka pengelolaan

lingkungan hidup ;

b. mengatur penyediaan , peruntukan, penggunaan, pengelolaan lingkungan

hidup, dan pemanfaatan kembali sumber daya alam, termasuk sumber daya genetikan ;

c. mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang atau

subyek hukum lainnya serta perbuatan hukum terhadap sumber daya alam dan sumber daya buatan termasuk sumber daya genetika ;

d. mengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak sosial

e. mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi lingkungan

hidup sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku

Pengaturan lebih lanjut untuk melaksanakan kewenangannya, maka pemerintah harus menerbitkan peraturan pemerintah untuk dilakukan di daerah yang secara teknis peraturan daerah dapat menyesuaikannya sehubungan dengan kebutuhan dan spesifikasi lokal yang berbeda dalam setiap wilayah.


(48)

2. Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

Caring for the Earth ( CE ) merupakan salah satu strategi konservasi baru yang disusun bersama oleh World Conversation Union yang diterbitkan dengan tujuan utama untuk membantu memperbaiki keadaan masyarakat dunia dengan menetapkan 2 syarat.24

Pertama adalah untuk menjamin komitmen yang meluas dan mendalam pada sebuah etika baru yaitu etika kehidupan yang berkelanjutan dan mewujudkan prinsip-prinsipnya dalam praktek. Kedua adalah untuk mengintegrasikan konservasi dan pembangunan, konservasi untuk menjaga agar kegiatan-kegiatan kita berlangsung dalam batas daya dukung bumi, dan pembangunan untuk memberi kesempatan kepada manusia dimanapun guna menikmati kehidupan yang lama, sehat dan memuaskan.

Selanjutnya CE menyatakan bahwa masyarakat berkelanjutan dapat dicapai apabila dikaitkan dengan 9 prinsip yang digariskan yaitu, menghargai dan memelihara komunitas kehidupan, meningkatkan kualitas kehidupan manusia, mengkonservasi vitalitas dan keanekaragaman bumi dan mengkonservasikan sistem penunjang kehidupan ekologis dan menjamin keanekaragaman hayati serta pemanfaatan secara lestari sumber daya yang dapat diperbaharui, meminimumkan penipisan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui, mempertahankan pembangunan dalam batas daya dukung bumi, merubah perilaku dan perbuatan pribadi, memberi kesempatan kepada masyarakat untuk memelihara lingkungannya sendiri, menyediakan kerangka kerangka kerja nasional untuk mengintegrasikan pembangunan dan konservasi dan menciptakan kerjasama global.

Pertama kali dalam evolusi konsep pembangunan berkelanjutan, telah dilakukan untuk membuat kerangka hukum yang komprehensif, baik di tingkat internasional, regional dan nasional sebagai dasar pembangunan berkelanjutan. Hukum lingkungan sebagai sarana yang esensial mempersyaratkan standar perilaku sosial dan memberikan ukuran kepastian pada kebijaksanaan yang pada gilirannya didasarkan pada pemahaman ilmiah dan analisis yang jelas mengenai tujuan sosial.

24


(49)

Pasal 14 UUPLH menyangkut tentang pelestarian fungsi lingkungan hidup diantaranya upaya konservasi. Pengertian konservasi sumber daya alam hayati mengandung 3 aspek yaitu :

a. Perlindungan sistem penyangga kehidupan

b. Pengawetan dan pemeliharaan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya pada matra darat, air dan udara

c. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya

Perlindungan jenis hewan yang hamper punah, yang hidupnya tidak diatur manusia serta tumbuh-tumbuhan yang menjadi langka serta hutan lindung termasuk dalam pengertian tersebut di atas.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Hayati mencantumkan beberapa pengertian antara lain:25

1.Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati ( tumbuhan ) dan sumber daya alam hewani ( satwa ) yang bersama dengan unsur non hayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem

2.Konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya

3.Ekosistem sumber daya alam hayati adalah system hubungan timbal balik antara unsur dalam alam baik hayati maupun non hayati yang saling tergantung dan pengaruh mempengaruhi

4.Kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan

25


(50)

5.Cagar alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara resmi

6.Suaka margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan/atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya

7. Cagar biosfer adalah suatu kawasan yang terdiri dari ekosistem asli, ekosistem unit, dan atau ekosistem yang telah mengalami degradasi yang keseluruhan unsur alamnya dilindungi dan dilestarikan bagi kepentingan penelitian dan pendidikan 8.Kawasan pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu baik di darat

maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan system penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya

9.Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budi daya, pariwisata dan rekrasi

10.Taman hutan raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budi daya, budaya, pariwisata dan rekreasi

11.Taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam

Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berasaskan pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara serasi dan seimbang.

3. Perlindungan Sumber Daya Buatan

Perlindungan sumber daya buatan yang penting ditujukan kepada konservasi fungsi sumber daya tersebut bagi kesinambungan pembangunan. Sumber daya buatan meliputi bendungan, waduk, instalasi energi, pemukiman dan perumahan dan lain sebagainya. Undang-undang perlu melindungi sumber daya buatan disebabkan menyangkut hajat hidup orang banyak sehingga pengaturan dan peruntukannya perlu


(51)

ditata oleh Negara. Undang-undang yang berhubungan dengan sumber daya buatan antara lain menyangkut perumahan misalnya rumah susun yang diatur dalam UU Nomor 16 Tahun 1985. Peraturan ini diterbitkan didasarkan pada pertimbangan bahwa untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan peningkatan taraf hidup orang banyak, khususnya dalam pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok akan perumahan sehingga diperlukan penyediaan perumahan yang layak dengan harga yang dapat dijangkau oleh daya beli masyarakat yang berpenghasilan rendah. Hal lainnya yang menjadi landasan filosofis yakni dalam rangka daya guna dan hasil guna tanah bagi pembangunan perumahan dan untuk meningkatkan kualitas lingkungan pemukiman terutama di daerah-daerah yang berpenduduk padat tetapi hanya tersedia luas tanah yang terbatas dirasakan perlu membangun perumahan dengan sistem lebih dari 1 lantai yang dibagi-bagi atas bagian yang dimiliki bersama dan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki secara terpisah untuk dihuni dengan memperhatikan faktor sosial budaya yang hidup dalam masyarakat. Keadaan yang demikian disebut dengan rumah susun26 dengan memperhatikan asas-asas pembangunannya.27

Pembangunan rumah untuk daerah pemukiman tetap mengacu kepada rencana tata ruang dan wilayah suatu daerah walaupun secara nasional kebijakannya diperlakukan dengan mengikuti ketentuan perundang-undangan yang berlaku secara

26

UU RI Nomor 16 Tahun 1985 pada Pasal 1 butir 1 disebutkan bahwa rumah susun adalah bangunan bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama-sama, benda bersama dan tanah bersama.

27

Pasal 2 menyatakan bahwa pembangunan rumah susun berlandaskan pada asas kesejahteraan umum, keadilan dan pemerataan, serta keserasian dan keseimbangan dalam peri kehidupan.


(52)

nasional, sebagaimana pada Pasal 7 UU Nomor 16 Tahun 1985 menyatakan bahwa setiap orang atau badan yang membangun rumah atau perumahan wajib :

a.Mengikuti persyaratan teknis, ekologis dan administratif ;

b.Melakukan pemantauan lingkungan yang terkena dampak berdasarkan rencana pemantauan lingkungan ;

c.Melakukan pengelolaan lingkungan Berdasarkan rencana pengelolaan lingkungan.

4. Perlindungan Cagar Budaya

Sebelum zaman kemerdekaan, pengaturan terhadap peninggalan-peninggalan kepurbakalaan sudah ada yaitu dengan dikeluarkannya Monumenten Ordonantie 1931 ( Stbl. Nomor 238 Tahun 1931 ), lazimnya disingkat MO.28

Pasal 1 MO tersebut berbunyi :

Dengan pengertian monument dalam ordonansi ini dimaksudkan :

a.benda-benda bergerak maupun tak bergerak buatan tangan manusia, bagian atau kelompok benda-benda dan juga sisa-sisanya yang pokoknya lebih tua dari 50 tahun atau termasuk masa langgam berusia sekurang-kurangnya 50 tahun dan dianggap mempunyai nilai penting bagi pra sejarah, sejarah atau kesenian ;

b.benda-benda yang dianggap mempunyai nilai penting dipandang dari sudut

paleoanthropoli ;

c.situs dengan petunjuk beralasan ( gegrond ) bahwa di dalamnya terdapat benda-benda yang dimaksud pada (a) dan (b) satu dan lain sepanjang benda-benda-benda-benda tersebut baik secara tetap maupun sementara dicantumkan dalam daftar yang disebut monument pusat yang disusun dan dikelola oleh kepala dinas purbakala dan yang terbuka untuk umum. Peninggalan sejarah dan kepurbakalaan dapat pula dibagi menurut zaman, macam, bahan dan fungsinya.

Tjandrasasmita dalam Koesnadi Harjosoemantri ( hukum tata lingkungan ; 2000 : 211 ) menyebutkan menurut zamannya ada peninggalan zaman pra sejarah,

28


(53)

zaman Indonesia Hindu/Budha atau seringkali disebut zaman klasik, zaman pengaruh Islam, Barat dan sebagainya. Menurut macamnya ada berupa benda-benda tak bergerak dan bergerak, misalnya arca, ukiran, alat-alat rumah tangga, alat-alat upacara, naskah, gedung, rumah, bekas settlement, benteng dan lain-lain. Menurut bahannya ada peninggalan sejarah dan kepurbakalaan yang dibuat dari batu, tulang, logam, kertas, kulit dan sebagainya. Menurut fungsinya ada berupa candi, kuil, kelenteng, gereja, kraton, pura, mesjid, punden berundak, alat perhiasan, alat atau benda upacara keagamaan dan lain-lain.

Pada tanggal 28 Juli 1982 Undang-undang Nomor 5 tahun 1992 tentang Cagar Budaya diundangkan sehingga MO dinyatakan tidak berlaku lagi dengan memperbaharui bentuk perlindungannya sebagai upaya melestarikan dan memanfaatkannya memajukan kebudayaan nasional serta menunjang pembangunan nasional di bidang ilmu pengetahuan, pendidikan, pariwisata dan lain-lain.

5. Baku Mutu Lingkungan

Definisi baku mutu lingkungan tercantum pada Pasal 1 UUPLH yang menyatakan bahwa : “baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar mahluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup”. Diperlukannya baku mutu lingkungan ini adalah untuk menetapkan apakah telah terjadi suatu kerusakan lingkungan yang artinya apabila keadaan lingkungan telah ada di atas ambang batas baku mutu lingkungan, maka lingkungan tersebut telah tercemar atau rusak. Sebagaimana telah dikemukakan pada bab sebelumnya bahwa pembangunan membutuhkan pengorbanan terhadap lingkungan, misalnya saja pendirian pabrik-pabrik industri yang menghasilkan


(54)

sisa-sisa buangan, gas, air dan padat yang dibuang ke lingkungan hidup akan menimbulkan dampak yang besar terhadap kehidupan manusia. Meningkatnya aktivitas manusia diiringi dengan meningkatnya populasi dan perkembangan teknologi sangat potensial bagi pencemaran lingkungan padahal aktivitas masyarakat adalah salah satu upaya pemenuhan kebutuhan hidup. Emisi yang dibatasi seyogyanya tetap dilakukan upaya pemantauan ( monitoring ) sehingga pengotoran dan pencemaran dapat dikendalikan. Minimnya pengalaman Indonesia dalam baku mutu lingkungan maka dimunculkan beberapa peraturan diantaranya mengenai syarat-syarat dan pengawasan kualitas air29 maupun mengenai baku mutu limbah cair bagi kegiatan yang sudah beroperasi.30

Selanjutnya pengaturan baku mutu lingkungan limbah cair ini meluas sampai dengan kegiatan perhotelan, kegiatan rumah sakit, minyak dan gas serta panas bumi di samping hal-hal yang berkaitan dengan baku tingkat kebisingan, tingkat getaran dan tingkat kebauan. Mengingat adanya perbedaan tata guna sumber daya pada setiap daerah maka perlu ditindaklanjuti pengaturan lebih detail dalam bentuk peraturan daerah maupun keputusan kepala daerah.

29

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 416/Menkes/Per/IX/1990 tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air sekaligus mencabut beberapa peraturan yaitu Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 01/Birhukmas/1/1975 dan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 172/Menkes/Per/VIII/1977 tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air Kolam Renang serta Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 257/Menkes/Per/VI/1982 tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air Pemandian Umum

30

Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor KEP-03/MENKLH/II/1991 yang merubah Keputusan Nomor KEP-02/MENKLH/I/1988 tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan


(55)

6. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

Pembangunan berkelanjutan menuntut adanya keseimbangan dan keserasian antar setiap kegiatan, hal ini disebabkan setiap pembangunan menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup. Pasal 15 UUPLH mengatur ketentuan analisis mengenai dampak lingkungan sebagai instrumen kebijaksanaan lingkungan. Perencanaan suatu awal kegiatan pembangunan sudah seharusnya memperkirakan dampak yang penting sebagai pertimbangan perlu tidaknya dibuat suatu analisisnya. Dampak atau dalam bahasa sehari-hari disebut akibat bisa negatif ataupun positif dan dalam konteks pembangunan berkelanjutan dampak negatif harus dieliminir sedangkan dampak positif dikembangkan. Setiap rencana pembangunan tidak diharuskan membuat analisis mengenai dampak lingkungan, karena kegiatan tertentu saja yaitu yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan. Analisis mengenai dampak lingkungan bagi rencana kegiatan yang mempunyai dampak penting merupakan sebuah proses untuk memperoleh perizinan. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan ( AMDAL ) Pasal 5 menyebutkan, keputusan tentang pemberian izin usaha tetap oleh instansi yang membidangi jenis usaha atau kegiatan dapat diberikan setelah adanya pelaksanaan rencana pengelolaan lingkungan (RKL) dan rencana pemantauan lingkungan (RPL) dari instansi yang bertanggung jawab. Kedua instrumen tersebut merupakan upaya pencegahan terhadap kerusakan dan pencemaran lingkungan.


(56)

Perundang-undangan tentang sektor usaha sejak zaman belanda sudah ada yang sering disebut dengan HO ( hinder ordonantie ). Otto Soemarwoto mengatakan bahwa pengelolaan lingkungan hidup diawasi oleh pemerintah dengan pendekatan atur dan awasi ( ADA ) dan dalam literatur internasional pada praktek

pelaksanaannya disebut dengan Command and Control ( CAC )31. Lemahnya

pengawasan dan penegakan hukum, pendekatan ADA telah mengalami kegagalan. Pencemaran air dan udara makin meluas dan tingkatnya makin tinggi. Pencemaran tinggi terdapat di daerah perkotaan dan perindustrian misalnya di Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan dan Makasar sehingga bank dunia memperkirakan di Jakarta dalam tahun 1990 kerugian dari dampak pencemaran air dan udara terhadap kesehatan melebihi 500 juta dollar AS.32

Salah satu sebab dalam konflik antara pembangunan dengan lingkungan kalau

diartikan dampak lingkungan ( environmental impact ) sebagai pengaruh yang

merugikan. Seolah-olah adanya kesan pembangunan hanyalah mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan yang terungkap dengan istilah terganggunya keseimbangan ekologi atau membahayakan kelestarian alam serta menimbulkan pencemaran. Padahal pembangunan mempunyai pula efek positif terhadap lingkungan, misalnya terkendalinya kebersihan adanya suatu lokalisasi hama,

31

Otto Soemarwoto, Menyinergikan Pembangunan dan Lingkungan, ( Yogyakarta : Anindya, 2005 ) hal. 185 ; ADA ialah yang diatur bukan hanya tujuannya, melainkan juga cara mencapai tujuan itu. Cara itu bersifat teknologi akhir pipa, misalnya instalasi pengolah air limbah ( IPAL) untuk mengendalikan pencemaran air serta terasering dan penghijauan untuk mengendalikan erosi tanah. Pengawasan terhadap kepatuhan kepada peraturan amatlah lemah sehingga amdal umumnya hanya menjadi dokumen untuk mendapatkan izin pelaksanaan kegiatan.

32


(57)

pengendalian vektor penyakit dan banjir serta lebih terjaminnya persediaan air untuk rumah tangga, pengairan, industri dan juga munculnya daerah resapan air yang baru sebagai upaya memanfaatkan tata guna tanah. Karena itu dalam pengelolaan lingkungan seyogyanya tidak hanya memperhatikan risiko lingkungan saja melainkan juga manfaat lingkungan, sehingga pembangunan bertujuan memperbesar manfaat dan memperkecil risiko.33

B. Kebijakan Lingkungan Hidup Kota Pematangsiantar

Pengelolaan lingkungan hidup tidak lagi ditangani sendiri oleh pemerintah

pusat sehubungan dengan diberikannya wewenang kepada pemerintah daerah.34

Wewenang yang diberikan kepada pemerintah daerah tidak terlepas dari upaya penerapan pembangunan berkelanjutan. Hanya saja sulit melaksanakannya secara benar di lapangan, dimana masyarakat sudah terbiasa melihat dan merasakan pencemaran lingkungan dan pengurasan sumber daya alam tanpa memperdulikan keberlanjutannya. Pengrusakan hutan berupa penebangan pohon yang dilakukan secara liar dan membabi buta, juga kebakaran hutan yang memusnahkan keanekaragaman hayati. Hampir semua sungai yang mengalir di tengah perkotaan

33

Otto Soemarwoto, Pengelolaan Manfaat dan Risiko Lingkungan, ( Bandung : Lembaga Ekologi UNPAD, 1981 ) pendapatnya tentang manfaat dan risiko lingkungan tersebut ditampung dalam penjelasan Pasal 16 UULH dimana baik dampak negatif maupun dampak positif mendapat perhatian dalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.

34

Lihat Pasal 12 UUPLH bahwa keserasian dan keterpaduan kebijakan nasional pengelolaan lingkungan hidup Berdasarkan peraturan perundang-undangan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah sehingga keikutsertaan pemerintah daerah dalam pengelolaan lingkungan hidup merupakan upaya dari bagian sistem desentralisasi. Bila dibandingkan dengan rezim orde baru, maka segala ketentuan hanya memungkinkan dilahirkan oleh pemerintah pusat dan propinsi sebagai perpanjangan tangan pusat di daerah ( dekonsentrasi ).


(1)

Pasal 39 Peraturan Daerah Kota Pematangsiantar Nomor 7 tahun 2003 menyebutkan 81:

Peran serta masyarakat dalam pemanfaatan ruang meliputi : a. Pemanfaatan ruang Berdasarkan rencana dan peraturan yang ada ; b. Bantuan teknik dan pengelolaan ;

c. Menjaga, memelihara dan meningkatkan kelestariannya ;

Selanjutnya Pasal 40 berbunyi :

Dalam pemanfaatan ruang masyarakat berhak : a. Mengetahui secara terbuka RTRW ;

b. Menikmati manfaat ruang sebagai akibat penataan ruang ;

c. Memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan pembangunan sesuai RTRW Kota.

Sedangkan Pasal 41 menyatakan :

Dalam kegiatan penataan ruang, masyarakat wajib : a. Berperan serta memelihara kualitas ruang;

b. Berlaku tertib dalam pemanfaatan ruang sesuai dengan peraturan yang berlaku ; c. Mentaati RTRW Kota yang telah ditetapkan.

Wahana Lingkungan Hidup Siantar Simalungun 82menyatakan bahwa sampai saat ini sosialisasi peraturan daerah masih minim sekali sehingga terkesan adanya upaya untuk mengelabui masyarakat akan hak dan kewajibannya dalam bidang lingkungan hidup maupun penataan ruang. Hal ini semakin menunjukkan ketidak terbukaan pemerintah atau boleh disebut alergi terhadap kelompok masyarakat yang biasa disebut dengan LSM. Penyelenggaraan good governance maupun clean government berarti juga sudah saatnya akuntabilitas dan transparansi dilakukan

81

Lihat Pasal 39, 40, 41Peraturan Daerah Kota Pematangsiantar Nomor 7 Tahun 2003 82

Wawancara dengan Ir Agus Marpaung sebagai eksekutif wilayah Siantar Simalungun pada tanggal 6 Juli 2007 di Pematangsiantar


(2)

sehingga ada pencerahan hukum yang diberikan oleh pemerintah dan seandainya saja pemerintah Kota Pematangsiantar memiliki website yang bisa dibuka hal ini tidak menjadi masalah. Walhi Siantar Simalungun ini juga menilai bahwa peran serta masyarakat sangat sulit berjalan dengan baik di daerah ini apalagi ikut dalam pemberian saran kepada pembuat keputusan yang disebabkan dalam proses legislasi nyaris tidak pernah mengundang stake holder untuk public hearing apalagi mengumumkan di papan pengumuman atau media rencana usaha dan atau kegiatan yang kemungkinan akan mempunyai Impact Environment.

Lain lagi pendapat yang diberikan oleh Forum Kesehatan Kota83 mengenai lingkungan bahwa semua informasi begitu penting mengingat pilar pembangunan tidak terlepas dari persoalan lingkungan bahkan salah satu faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia. Penurunan angka kesakitan di Kota Pematangsiantar dapat dilakukan dengan adanya persyaratan kesehatan lingkungan seperti lingkungan rumah sakit yang memenuhi syarat-syarat kesehatan seperti instalasi pengelolaan air limbah atau UPL dan UKLnya, tempat-tempat umum yang sehat ( sekolah, tempat ibadah, pasar ), industri, restoran / rumah makan yang memiliki syarat sanitasi dan hygiene, serta perilaku hidup bersih dan sehat oleh karyawan. Menanggapi sedikitnya masyarakat yang perduli terhadap kesehatan dan lingkungan ini juga disebabkan informasi yang dimiliki masyarakat sangat minim dan bagaimana cara memperoleh serta memberikan masukan kepada pemerintah juga prosesnya tidak semua orang

83

Wawancara dengan TPR Sinaga SKM sebagai Ketua Forum Kesehatan Kota Pematangsiantar tanggal 10 Juli 2007


(3)

mengetahuinya walaupun perundang-undangan sudah diundangkan sampai dengan peraturan daerah yang dicatat dalam lembaran daerah sekalipun sulit untuk memperolehnya.

LSM CBR Foundation84 menyebut peran serta masyarakat justru dilakukan swasta termasuk LSM karena banyak lembaga donor menyediakan akses informasi dan pembiayaan untuk menggerakkan masyarakat yang perduli tentang lingkungan misalnya saja pembentukan komunitas petani kawasan pinggiran hutan di Kabupaten Simalungun dan kelompok buruh tani sebagai dampingannya.

Sudah saatnya pemerintah pusat atau daerah mau membuka diri terhadap masyarakat khususnya dalam pemberian informasi, penyuluhan hukum, melakukan diskusi publik maupun dialog-dialog terbuka sepanjang hal itu digunakan untuk pengambilan keputusan atau kebijakan yang pada gilirannya akan mereduksi sejumlah aksi-aksi demonstrasi dan menghadapi perkara atas gugatan yang didaftarkan ke pengadilan oleh masyarakat. Pada saat penulisan tesis ini beberapa kondisi yang kurang kondusif akibat persoalan transparansi dan informasi kepada publik tidak berjalan di Kota Pematangsiantar antara lain penolakan penjualan asset atau ruilslagh bangunan sekolah yang dikategorikan oleh sekelompok masyarakat seharusnya dilindungi sebagai benda cagar budaya dan pembukaan jalan baru di kompleks rumah sakit milik pemerintah daerah tanpa adanya perubahan atas peraturan daerah tentang tata ruang wilayah walaupun diketahui lahan tersebut

84

Wawancara dengan Yusniar Siahaan,SH sebagai Direktur Eksekutif CBR Foundation yang juga advokat pada Ikadin Pematangsiantar tanggal 12 Juli 2007


(4)

dianggap sebagai paru-paru kota. Rencana pembukaan jalan baru Ring Road di wilayah permukiman penduduk dalam waktu mendatang, rencana pendirian Universitas Negeri Pematangsiantar tahun 2008 dan pembangunan fisik lainnya yang berpotensi mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan. Koordinasi lintas program maupun sektor yang melibatkan masyarakat sudah saatnya diikutsertakan dan perlunya reformasi birokrasi yang menghindarkan duplikasi tugas pokok dan fungsi masing-masing badan, dinas maupun kantor yang mempunyai kewenangan dal;am pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang, serta perlunya sumber daya manusia yang bekerja di pemerintah daerah dan memilki pendidikan atau setidak-tidaknya pendidikan dan latihan dalam penyelenggaraan pengelolaan lingkungan dan perencanaan wilayah.


(5)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia berlaku secara umum sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup biasa sering disebut dengan UUPLH yang menggariskan kebijakan nasional walaupun beberapa ahli menyatakan bahwa undang-undang ini belum sepenuhnya memuaskan.

Berdasarkan penulisan dalam bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan :

1. Pengelolaan Lingkungan Hidup di Kota Pematangsiantar belum optimal mengingat kebijakan atau Peraturan Daerah yang ada, belum merupakan tindak lanjut dari kebijakan lingkungan hidup nasional yang disebabkan kurangnya pemahaman terhadap prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.

2. Pengelolaan Rencana Tata Ruang Kota Pematangsiantar masih tertinggal dan memerlukan revisi kembali khususnya setelah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang diberlakukan sehingga perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang tetap memperhatikan aspek pelestarian lingkungan hidup. 3. Berbagai elemen masyarakat perlu memperoleh informasi tentang kebijakan

lingkungan dalam penataan ruang, Ketersediaan informasi juga faktor yang berpotensi mengurangi komunikasi pemerintah dan stake holdernya sebagai mitra


(6)

padahal peran serta masyarakat sangat memberikan arti positif dalam pengambilan keputusan atau pembuatan kebijakan khususnya dalam pemberian izin yang berkaitan dengan lingkungan.

B. SARAN

Pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang adalah suatu kebijakan yang berkaitan satu dengan lainnya sehingga penulis menyarankan :

1. Pemerintah Kota Pematangsiantar sesegera mungkin melakukan perubahan dan penambahan peraturan daerah, sehingga pengambilan keputusan dan kebijakan yang dilakukan memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum melalui :

a. Penerbitan peraturan daerah yang berwawasan lingkungan sehingga pembangunan berkelanjutan dapat direalisasikan ;

b. Penerbitan peraturan daerah mengenai transparansi dan akuntabilitas 2. Pemerintah Kota Pematangsiantar dalam mengelola penataan ruangnya tunduk

kepada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang sekaligus merevisi Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota pematangsiantar tahun 2002 – 2011.

3. Mengharapkan kepada elemen masyarakat baik LSM ataupun ormas agar berperan aktif untuk mendukung kelestarian lingkungan dan melakukan advokasi kepada pengambil keputusan demi penyelamatan lingkungan sehingga generasi berikutnya dapat menikmati hidup dengan indah, damai, dan nyaman (IDAMAN).