berkembang selama rawat inap di rumah sakit. Hal tersebut terjadi karena pasien AIHA rentan terkena infeksi dan tidak diberikannya antibiotik untuk mengatasi
infeksi bakteri tersebut.
Gambar 10. Alasan Meninggalkan Rumah Sakit Pada Kasus AIHA Usia Dewasa di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta Periode 2009-2014.
B. Profil Pengobatan
1. Terapi Farmakologi
Pengkajian terkait gambaran umum penggunaan obat pada pasien dewasa dengan diagnosis AIHA dilakukan berdasarkan sub kelas terapi menurut
Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 328 Tahun 2013 tentang formularium nasional.
87 13
Membaik dan diizinkan Meninggal
Tabel V. Penggunaan Obat Berdasarkan Kelas Terapi Pada Kasus AIHA diInstalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode
2009-2014
Kelas Terapi Jenis Obat
Kasus Jumlah
Kasus Persentase
n=15
Kortikosteroid Metilprednisolon
1-15 15
100 Imunosupresan
Mikofenolat mofetil
5 dan 8 2
13,3 Analgesik Non
Narkotik Parasetamol
3, 6, 11, dan 13 4
26,6 Antidiabetes
Insulin aspart 14
1 6,6
Antiulkus Ranitidin
2, 13, 14, 15 9
60,0 Lansoprazol
11 Pantoprazol
Antasida 7, 8, 12
14 Antianemi
Asam Folat 5, 6, 7, 9
4 26,6
Vitamin B12 9
Antibakteri Sefalosporin
3, 5, 11, 13 5
33,3 Meropenem
8 Aminoglikosida
11 Penggunaan obat yang paling banyak adalah dari kelas kortikosteroid,
dimana obat-obatan pada kelas ini merupakan first-line untuk terapi AIHA. a.
Kortikosteroid Obat golongan kortikosteroid yang digunakan untuk pengobatan AIHA
di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta ini adalah metilprednisolon. Semua kasus mendapatkan terapi metilprednisolon baik secara enteral maupun parenteral.
Pasien yang baru terdiagnosis dan mengalami wAIHA parah harus segera diberikan terapi steroid Hoffman et al, 2014.
Kortikosteroid merupakan sintesis analog dari hormon steroid yang diproduksi oleh korteks adrenal ginjal. Seperti hormon aslinya, komponen sintesis
ini juga
memiliki glukokortikoid
GC danatau
meneralokortikoid. Mineralokortikoid berperan pada transportasi ion di sel epitel pada tubulus renal
dan juga terlibat pada regulasi keseimbangan atau penyangga garam dan cairan dalam tubuh. GC terlibat dalam metabolisme karbohidrat, lemak dan protein,
selain itu juga memiliki efek anti-inflamasi, imunosupresif, anti-proliferative, dan vasokonstriksi. GC dapat menurunkan penghancuran eritrosit pada pasien AIHA
Liu, Ward, Krishnamoorthy, Mandelcorn, Leigh, et al,2013. Steroid bekerja dengan menurunkan produksi autoantibodi oleh sel B, selain itu juga menurunkan
densitas reseptor Fc-gamma pada saat fagositosis di limpa Zeerleder, 2011. Pemberian kortikosteroid dalam jangka panjang dapat menyebabkan
terjadinya oseteoporosis pada orang dewasa dan menghambat perkembangan tulang rangka pada anak-anak. Hormon glukokortikoid dapat mengganggu
transport kalsium oleh bantuan vitamin D di usus dan menghambat pembentukan tulang. Penggunaan kortikosteroid dalam jangka panjang harus disertai dengan
pemberian vitamin D, kalsium, dan asam folat Zanella et al, 2014. Beberapa efek samping potensial lainnya yaitu, gangguan cairan dan elektrolit, gangguan
pencernaan, gangguan penglihatan, gangguan otot dan saraf, serta gangguan kulit Zoorob et al, 1998.
b. Imunosupresan
Imunosupresan merupakan pilihan obat secondline pada terapi AIHA yang bekerja dengan menurunkan produksi antibodi Lechner et al, 2010. Obat
imunosupresan yang efektif digunakan antara lain azathioprin, siklofosfamid, siklosporin dan mikofenolat mofetil MMF Zeerleder, 2001. Penggunaan
imunosupresan perlu dilakukan monitoring terhadap jumlah sel darah peripheral karena obat ini memiliki efek samping berupa mielosupresif.
MMF merupakan pro-drug dari asam mikofenolat, hasil fermantasi spesies Penicillium. MMF bekerja poten dengan menghambat
inosin 5’-mono- phosphate dehydrogenase, enzim yang memiliki peranan penting pada sintesis
purin. Mekanisme utama MMF yaitu dengan menghambat limfosit proliferatif namun dapat juga dengan menyebabkan penipisan guanosis trifosfat GTP
sehingga terjadi pengurangan molekul adhesi pada leukosit dan terjadi penurunan perekrutan leukosit pada lokasi inflamasi Howard, Hoffbrand, Prentice, Mehta,
2001. MMF direkomendasikan untuk masuk dalam terapi kekambuhan pada imun sitopenias sebagai pilihan steroid-sparing Zanella et al, 2014. Ditemukan 2
kasus, yaitu kasus 5 dan 8 yang diterapi dengan MMF bersamaan dengan metilprednisolon kortikosteroid.
c. Analgesik Non Narkotik
Parasetamol merupakan terapi untuk mengurangi nyeri dan demam Sharma and Mehta, 2013. Demam didefinisikan dimana keadaan suhu tubuh
37 C. Suhu normal untuk orang dewasa dengan pengukuran secara oral 33.2-
38.2 C, rectal 34.4-37.8
C, tympanic 35.4-37.8 C, axillary 35.5-37.0
C Sun, Forsberg, and Karin, 2011. Dosis parasetamol yang digunakan untuk
meringankan demam dan nyeri ringan pada orang dewasa yaitu 325-650 setiap 4- 6 jam, atau 1000 mg 3-4 kali per hari bila mengalami nyeri dengan dosis
maksimum 4 gramhari American Pharmacist Association, 2007. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Parasetamol bekerja di hipotalamus yang meregulasi suhu tubuh dan dapat bekerja di perifer untuk memblokir impuls nyeri, serta dapat juga
menghambat sintesis prostaglandin di CNS Botting, 2000. Parasetamol bekerja menurunkan demam dengan cara menghambat enzim cyclooxygenase dan
menurunkan jumlah PGE
2
di hipotalamus sehingga impuls nyeri terhambat. Parasetamol dapat menembus blood-brain barrier dan dapat bertindak secara
istimewa dalam sistem saraf pusat dengan mengurangi produksi prostaglandin Aronoff, 2001.
Terdapat 4 kasus pada penelitian evaluasi DRPs pasien dewasa dengan AIHA di RSUP Dr. Sardjito yang diberikan terapi analgesik non-narkotik, yaitu
kasus 3, 6, 11, dan 13.
d. Antidiabetes
Insulin aspart merupakan obat antidiabetes golongan rapid-acting yang bekerja secara cepat memiliki onset 15-30 menit Dipiro, 2008. Insulin memiliki
efek yang lebih cepat dibandingkan antidiabetes oral untuk menurunkan kadar gula dalam darah Meneghini, 2009.
Pemberian insulin bertujuan untuk menurunkan kadar gula dalam darah, dimana salah satu efek samping penggunaan jangka panjang kortikosteroid yaitu
peningkatan kadar gula dalam darah Zeerleder, 2011. Terdapat 1 kasus AIHA di RSUP Dr. Sardjito yang diberikan terapi insulin, yaitu kasus 14.
e. Antiulkus
Penggunaan kortikosteroid berisiko menyebabkan gangguan pencernaan seperti pendarahan gastrointestinal bagian atas dan peptik ulser Gutthann,
Rodriguez, and Raiford, 1996. Kortikosteroid dapat menghambat sintesis mukosa lambung, peningkatan sel gastrin, hiperplasia sel parietal karena sekresi asam
berlebih, gangguan fibroblast dan penekanan sintesis-sintesis prostaglandin melalui penghambatan interleukin-1beta dan COX-2 Luo, Chang, Lin, Lu, Lu,
Cheng et al, 2002. Terdapat 8 kasus pada penelitian ini yang diberikan terapi antiulkus,
dimana pemberiannya ditujukan untuk mencegah terjadinya peptik ulser yang merupakan salah satu efek samping penggunaan obat golongan kortikosteroid.
Obat yang digunakan yaitu golongan proton pump inhibitor PPI dan histamin H
2
receptor agonist. Pantoprazol dan lansoprazol termasuk dalam golongan PPI, sedangkan ranitidin dan antasida kombinasi termasuk dalam histamin H
2
receptor agonist. Obat golongan antiulkus yang paling sering digunakan yaitu ranitidin
sebanyak 4 kasus.
f. Antianemi
Berdasarkan formularium nasional, asam folat dan vitamin B12 sianokobalamin, ferro sulfat, low molecule feri sucrose, dan low molecular
weiht iron dextran termasuk dalam kelas terapi antianemi Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2013. Asam folat merupakan senyawa inaktif yang akan
diubah oleh dihidrofolat reduktase menjadi asam tetrahidrofolat dan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
metiltetrahidrofolat. Kemudian dibawa ke sel sehingga dapat digunakan untuk mempertahankan eritropoesis normal, interkonvert asam amino, sintesis purin dan
asam nukleat Mahmood, 2014. Asam folat diperlukan oleh pasien dengan wAIHA aktif untuk meningkatkan eritropoesis sehingga mencegah defisiensi
vitamin B9 March, 2014. Penelitian ini menunjukkan bahwa antianemi yang digunakan untuk pasien
AIHA dewasa di RSUP Dr. Sardjito yaitu asam folat dan vitamin B12. Terdapat 4 kasus pada penelitian ini yang diberikan terapi antianemi, dimana kasus tersebut
menunjukkan pemeriksaan RDW diatas normal dan MCV 100 fL.
g. Antibakteri
Antibakteri umumnya digunakan untuk mencegah maupun mengatasi infeksi oleh mikroorganisme. Pasien AIHA rentan terhadap infeksi bakteri karena
pertahanan tubuhnya terhadap agen asing menjadi lemah. Pada penelitian ini terdapat 5 kasus yang diberikan terapi antibibakteri. Golongan antibakteri yang
digunakan yaitu golongan beta laktam sefalosporin dan carbapenem dan aminoglikosida.
Aminoglikosida bekerja dengan mengikatkan diri pada ribosom sel bakteri sehingga sintesis proteinnya menjadi kacau Fourmy, Recht, Blanchard,
and Puglisi, 1996. Beta laktam bekerja dengan menghambat sintesis peptidoglikan dan mengaktifkan enzim autolisis pada bakteri Gustaferro and
Steckelberg, 1991. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2. Terapi Suportif