3.4 Wilayah Budaya Batak Toba dan Pakpak Kelasen
Banyak kalangan dan ahli mengelompokan Pakpak sebagai bagian dari sub etnis Batak. Pendapat ini bisa saja bila ditinjau dari aspek kesamaan atau kemiripan dari berbagai unsur
kebudayaan yang dimiliki, seperti adanya kesamaan struktur sosial, bahasa dan sistem kekerabatan. Dalam hal sistem kekerabatan misalnya, sama seperti orang Karo, Toba,
Simalungun dan Mandailing, orang Pakpak juga menganut prinsip patrilineal. Dengan demikian klen marga diperhitungkan berdasarkan garis keturunan laki-laki. Etnis batak dalam sistem
kekerabatan menganut sistem patrilineal yaitu di dalam sistem kekerabatan etnis batak menggunakan istilah marga yg berasal dari nenek moyang. Pada awalnya nama-nama yang
dimiliki nenek moyang orang batak belum mengenal istilah marga. Namun karena adanya hubungan yang kurang baik pernah terjadi diantara mereka dalam satu keluarga atau keturunan
telah menjadikan pecahnya hubungan saudara diantara mereka, baru pada perkembangan selanjutnya muncullah istilah marga.
Sejalan dengan pernyataan tersebut, marga dalam etnis Pakpak dapat dikategorikan sebagai suatu klen besar, dimana satu sama lain anggotanya tidak saling mengenal secara
keseluruhan. Hal ini disebabkan oleh dua hal pokok, pertama karena jumlah anggotanya yang banyak dan kedua, karena tempat tinggal yang berbeda atau berjauhan karena adanya proses
migrasi. Pada awalnya secara bersama hidup dan tinggal di daerah asal yang sama. Akan tetapi
walaupun suatu marga tertentu tidak saling mengenal, namun anggotanya yakin berasal dari nenek moyang dan daerah asal yg sama. Klen marga diperhitungkan melalui garis laki-laki,
sedangkan wanita apabila sudah menikah maka ia menjadi kesatuan dari kerabat suami saja.
Seperti marga Tumanggor semua anggota marga tersebut yakni berasal dari daerah yang sama yakni Parlilitan Tapanuli Utara. Dari wilayah ini baru menyebar ke wilayah-wilayah lain. Para
anggotanya yakni berasal dari keturunan si Tumanggor yang beranak pinak. Kedua, marga Berutu yang anggotanya berasal dari Kecamatan Salak khususnya dari daerah permang-mang,
Sikuraja dan Sinabul. Ketiga nama tersebut mengaku berasal dari nenek moyang bernama Peraga. Keturunan yang pertama disebut permang-mang, anak yang kedua disebut Sikuraja dan
anak yg terkahir disebut Persinabul.
24
Dengan adanya marga hubungan kekerabatan menjadi jelas dan setidaknya dapat memperkecil kemungkinan perkawinan satu marga keluarga. Dari beberapa pustaka tentang
perkembangan marga-marga batak dapat disimpulkan bahwa terbentuknya marga telah menciptakan tata krama dalam hubungan kekeluargaan melalui perkawinan, bermakna bahwa
Jadi walaupun saat ini para anggota marga-marga tersebut tersebar di wilayah-wilayah lain, namun bila ditanya asal-usul daerah dan keturunan, mayoritas masih mengetahuinya.
Pengakuan-pengakuan ini ternyata diperkuat oleh hak-hak ulayat dan peninggalan kebudayaan fisik di daerah asal. Hak ulayat dimiliki oleh semua keturunan tanpa mempersoalkan tempat
tinggalnya masing-masing. Misalnya walaupun seorang bermarga Padang di Kota Medan, dia tetap punya hak dikampung halamannya. Demikian juga marga-marga lainnya yang hidup di
perantauan. Peninggalan kebudayaan fisik terwujud dengan adanya patung marga mejan sebagai simbol di masing-masing daerah yang bentuknya beragam, ada berbentuk binatang,
manusia, dan benda-benda lainnya yang dijadikan sebagai lambang perjuangan dari marga- marga tersebut.
24
Mansehat Manik, Silsilah Pakpak dengan Manik Pergetteng-getteng Sengkut dan Hubungannya terhadap Marga-marga Pakpak lainnya Medan: Penerbit Mitra Medan, 2010, hal 26.
keberadaan marga merupakan alat pengikat dalam kelompok etnis Pakpak. Dilihat dari sejarah terjadinya fungsi marga sangat besar artinya dalam hubungan masyarakat Pakpak. Selain
berfungsi menjaga hubungan antara yang satu dengan yang lain akibat kompleksnya hubungan diantara keturunan yang ada, tujuan yang lain adalah untuk mengurangi konflik dan hal-hal yang
tidak diinginkan. Istilah marga berasal dari bahasa sansekerta yang sama artinya dengan keluarga,
sekaum, satu keturunan. Sedangkan menurut kamus besar bahasa indonesia KBBI edisi ketiga 20055:715 bahwa marga adalah kelompok kekerabatan yang eksogam dan unlineal baik secara
matrilineal maupun patrilineal. Hal ini berarti marga adalah sebagai penegas atau pengikat terhadap suatu garis kekerabatan, hal ini dilakukan untuk menghindari perkawinan satu marga.
Lahirnya suatu ikatan melalui marga menunjukkan bahwa warga masyarakat dapat dikelompokkan dalam kelompok yang memakai nama nenek moyangnya atau nama orang
tuanya sebagai induk satuan kelompok. Selain itu adanya beberapa persamaan marga etnis Pakpak dengan Toba dalam hal penyebutan marga dan bahkan berasal dari nenek moyang yang
sama. Sebab secara geografis pun sub etnis Pakpak berbatasan langsung dengan sub etnis Batak lainnya. Malah beberapa nama marga dari masing-masing sub etnis hampir sama sebutannya dan
diakui berasal dari nenek moyang yang sama. Contohnya marga Manik Siketang dengan Sihotang, Lembeng dengan Limbong, Kebeaken dengan Habeahan. Secara teoritis kesamaan
dapat terjadi karena faktor intensitas akulturasi dan asimilasi disamping didukung oleh faktor Geografi. Oleh karena itu dibutuhkan suatu penyesuaian diri terhadap keadaan dimana dia
tinggal. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa marga Pakpak ada yang enggan
memakai marga asli, dan pada umumnya mengganti marga mereka menjadi marga suku lain
seperti marga Tumangger, Tinambunan, Anakampun, Maharaja, Banin mengaku Simbolon, marga Berutu menjadi Sinaga, marga Padang menjadi Situmorang, marga Bako menjadi
Naibaho, marga Maha menjadi Sembiring, Lingga menjadi Sinulingga. Kalau tidak mengganti marga minimal menyesuaikan dengan lafal bahasa etnis lain seperti Bahasa Toba.
Menurut pengakuan kelompok etnis itu sendiri, kelompok suak-suak Batak Pakpak tersebut berasal dari nenek moyang yang sama dan dari daerah asal yang sama yang disebut
Tanoh Pakpak. Dengan demikian wilayah komunitas Pakpak yang tradisional Hukum Adat tidak identik dengan wilayah administrasi pemerintahan pada zaman Belanda dan setelah
kemerdekaan Republik Indonesia. Pada zaman Belanda dengan politik pecah belah de vide et impera, wilayah pemerintahan selalu berubah-ubah sesuai dengan kepentingan mereka.
Misalnya, Keresidenan Tapanuli yang berdiri tahun 1842 merupakan salah satu keresidenan dari Gouvernemen van Sumatera Westkust Propinsi Sumatera Barat dan wilayah
Singkil Pakpak Boang salah satu afdeling Keresidenan Tapanuli. Sejak tahun 1904 afdeling Singkil dialihkan menjadi wilayah Keresidenan Aceh. Tahun 1906 Residen Tapanuli terpisah
dari propinsi Sumatera Barat dengan empat wilayah afdeling yakni afdeling Batak Landen, afdeling Sibolga, afdeling Padang Sidempuan dan afdeling Nias. Dairi dimasukkan dalam
wilayah afdeling Batak Landen dan merupakan salah satu dari lima Onder Afdeling yang disebut Onder Afdeling Dairi dengan ibu kota Sidikalang. Onder Afdeling Dairi terdiri dari tiga distrik
yakni Distrik Pakpak dengan ibukota Sidikalang, Distrik Simsim dengan ibu kota Salak dan Distrik Karo Kampung dengan ibu kota Tiga Lingga. Masing-masing distrik membawahi
beberapa kuta dan dipimpin oleh seorang Kepala Negeri, sedang di setiap kuta diangkat seorang
Kepala Kampung.
25
Setelah kemerdekaan dan berubahnya sistem pemerintahan menjadi Kabupaten, maka Onder Afdeling Dairi otomatis menjadi wilayah Tapanuli Utara. Pada tahun 1965 baru Dairi
menjadi Kabupaten yang terpisah dari Tapanuli, tapi wilayahnya tetap mengacu kepada pembagian wilayah peninggalan Belanda. Akibatnya wilayah komunitas Pakpak bersebar di
beberapa wilayah Kabupaten di Sumatera Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam. Suak Pakpak Daerah Pakpak Kelasen walaupun termasuk wilayah Keresidenan Tapanuli
tapi berada dalam wilayah afdeling Batak landen. Pada tahun 1946 di Tapanuli Tengah mulai dibentuk Kecamatan untuk menggantikan sistem Pemerintahan Onder Distrik Afdeling pada
masa Pemerintahan Belanda. Dalam konteks wilayah komunitas tradisional Pakpak, pembagian onder afdeling dan
distrik tersebut jelas tidak mengacu pada konsep tradisional Pakpak Silima Suak, karena 3 distrik dalam Onder Afdeling Dairi hanya mencakup wilayah suak Pakpak Keppas, Pegagan dan
Simsim, sedang suak Boang termasuk dalam wilayah Aceh dan Kelasen dalam wilayah Distrik Barus. Selain itu penggantian sistem pemerintahan ciptaan Belanda tersebut walaupun kekuasaan
Kepala Kampung mengacu pada kuta dan Kepala Negeri mengacu pada beberapa kuta, tapi pergantian sistem pemerintahan tradisional dimana kuta yang dipimpin oleh Pertaki dan
beberapa kuta dipimpin oleh Raja Aur, jelas mengacaukan sistem kepemimpinan tradisional karena terjadi perubahan peranan yang disesuaikan dengan kepentingan Belanda saat itu. Pada
zaman Jepang wilayah dan sistem pemerintahan tidak banyak berubah kecuali nama seperti Onder Afdeling Dairi Landen diubah menjadi Urung, Distrik menjadi Urung Kecil, nama
Kenegrian dan Kampung tetap dipertahankan.
25
Lister Berutu, Etnis Pakpak Dalam Fenomena Pemekaran Wilayah. Mempertanyakan Partisipasi Politik Perempuan Dalam Masyakarat Adat, Sidikalang: The Asia Foundation, 2002, hal 8.
Kelasen misalnya tetap berada di wilayah Kabupaten Tapanuli Utara dan Tapanuli Tengah, dan Suak Pakpak Boang berada di wilayah Kabupaten Singkil dan Aceh Selatan. Dengan kata lain
persebaran wilayah komunitas tradisional Tanoh Pakpak si lima suak berada di beberapa kabupaten dan bukan didasarkan pada konsep suak maupun berdasarkan kemauan masyarakat,
tapi lebih ditentukan oleh kepentingan Belanda dan dipertahankan atau dilanjutkan setelah pemerintahan Republik Indonesia.
Sementara itu, mengenai wilayah budaya Batak Toba Orientasi geografis penduduk yang bermukim di empat wilayah distrik Toba, masing-masing memiliki variasi adat istiadat
budaya.Daerah budaya suku bangsa ini terdapat dikawasan bagian Utara pantai Barat yang identik dengan Residentie Tapanuli.Kehadiran suku bangsa ini mempunyai arti besar dalam
kegiatan perdagangan di kawasan pantai Barat.Hubungan suku Batak dengan dunia luar memang melalui perdagangan yaitu menjual hasil-hasil daerah Batak dan membeli barang-barang yang
dibutuhkan daerah ini.Begitu juga dengan hubungan derah Batak dengan Sibolga. Dari wujud pelaksanaan bentuk upacara-upacara adat yang diadakan, sekilas tampak
ada persamaan diantara empat subkelompok kultur Batak Toba ini. Namun, bila diikuti seluruh rangkaian kegiatan dalam bentuk parjambaran juhut hak pembagian daging, bentuk ulos
selendang Batak yang diselempangkan ke berbagai pihak dalihan natolu, umpasa petuah- petuah, akan tampak adanya perbedaan-perbedaan.
Dalam memetakan empat kultur Batak Toba yang ada di wilayah Bona Pasogit, dapat dilihat bahwa satu sama lain tidak memiliki akar historis dari sumber yang sama. Masing-masing
memiliki bentuk budaya dengan variasi adat dengan ciri-ciri tertentu, dengan mengesampingkan wilayah yang didiami masyarakat Batak itu dari pembagian wilayah menurut demografi struktur
Pemerintahan. Misalnya, seorang Batak bermarga Sihombing yang bertempat tinggal di Siborongborong melakukan upacara adat Batak dengan afliasi kultur Humbang. Sekalipun,
daerah Siborongborong masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Utara yang dikenal dengan par-Silindung orang dari Silindung.Si empunya pesta tidak memakai adat Silindung dalam
kegiatannya, oleh karena nilai kulturnya masih dalam ranah budaya Humbang. Keadaan hal seperti itu juga diperlakukan sama pada masyarakat BatakToba yang ada di area kultur Humbang
lainnya seperti di Sipahutar, Pangaribuan, Muara, Pagaran, Butar dan Parmonangan.
26
26
Bungaran Antonius Simanjuntak, Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba hingga 1945: Suatu Pendekatan Antropologi Budaya dan Politik Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006, hal 43.
BAB IV FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BUDAYA MASYARAKAT PAKPAK KELASEN
MENGIKUTI BUDAYA BATAK TOBA 4.1 Pengaruh Terhadap Bahasa
Sebagaimana yang dikatakan oleh Koentjaraningrat bahwa ada tujuh unsur kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia. Ketujuh unsur yang dapat kita sebut sebagai
isu pokok dari kebudayaan dunia itu adalah: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian.
Sama halnya dengan daerah Sionomhudon, salah satu dari unsur kebudayaan tersebut yang ditemui di daerah ini adalah bahasa dan organisasi sosial, tetapi kedua unsur yang berbeda di
daerah ini secara bersamaan tetap dipakai dalam kehidupan sehari-hari sampai sekarang adalah Bahasa Batak Toba dan Batak Pakpak. Hal ini lah yang membuat dari dulu sampai sekarang
pelafalan kata Sionomhudon memuat dua pelafalan yang berbeda melalui dua persepsi budaya, yakni: dalam Toba tetap memakai Sionomhudon, dan dalam Pakpak memakai Sienemkoden.
Bahasa dan masyarakat merupakan dua unsur yang tidak dapat dipisahkan.Tidak mungkin ada masyarakat tanpa bahasa dan sebaliknya. Masyarakat ialah kumpulan individu yang saling
berhubungan sehingga terbentuk kerja sama antaraindividu-individu tersebut. Hubungan itu hanya terjadi bila ada alat penghubungnya, dalam hal ini adalah bahasa.Bahasa adalah alat
penghubung atau alat komunikasi anggota masyarakat sebagai manusia berpikir, merasa dan berkeinginan.Pikiran, perasaaan dan keinginan baru dapat dinyatakan dengan alat yaitu bahasa.
27
27
Muhizar Muchtar, ”Bahasa Indonesia”, Medan: Universitas Islam Sumatera Utara, 2006, hal 8.
Dengan adanya migrasi orang Batak Toba, mengakibatkan bahasa Pakpak tersisih, kita akui bahwa pengaruh penjajahan Belanda di daerah Batak terhadap perkembangan penggunaan
bahasa Pakpak sangat besar. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Belanda terlebih dahulu masuk ke daerah Tapanuli Utara daerah Toba dengan kelihaian dan ketajaman pikiran Belanda
maka Belanda mulai menjajah dengan mengembangkan agama dan terciptalah Huria Kristen Batak Protestan HKBP.
Belanda terlebih dahulu mempelajari bahasa Batak Toba, secara otomatis dengan adanya perkembangan HKBP daerah lainnya misal daerah Karo, Simalungun, Angkola dan
daerah Pakpak dengan menggunakan bahasa Toba maka mau tidak mau suku-suku lainnya harus mempelajari bahasa Toba. Demikian juga halnya dengan Sekolah Rakyat SR dahulu sekarang
menjadi Sekolah Dasar SD. Buku-buku pelajaran adalah kebanyakan menggunakan bahasa Toba terlebih yang menjadi tenaga pengajar maupun pegawai di kantor-kantor didominasi oleh
orang-orang Toba. Dan yang paling tajam lagi adalah keengganan Batak Toba untuk menggunakan bahasa
Pakpak sehingga bahasa Pakpak semakin kurang berkembang dan semakin terjepit atau tersisih. Yang paling menyedihkan disengaja atau tidak orang-orang pendatang sudah merusak bahasa
Pakpak misalnya dengan pengucapan nama desa, kampung dan lain-lain. Contohnya: nama kuta adalah Jumma Keccing namun kebanyakan orang Toba mengucapkan Juma Koccing.
Silumboyah diucapkan Silumbaya. Hal-hal yang diutarakan di atas adalah mempersempit penggunaan bahasa Pakpak dan
tidak menutup kemungkinan untuk menghilangkan bahasa Pakpak. Pada beberapa tahun lalu untuk Kabupaten Dairi sudah pernah diajarkan bahasa Pakpak di Sekolah Dasar SD dengan
kurikulum muatan lokal yang disusun oleh Djansen Gajah dengan bukunya Pande Kata Pakpak, tapi tidak lama kemudian pelajaran tersebut terhenti. Bahasa Pakpak sedikit agak sulit untuk
dipelajari oleh suku-suku lain karena ada kata-kata yang menggunakan ‘e’ lemah dan ‘e’ benar. Yang lebih menyulitkan lagi adanya kemungkinan dua atau tiga huruf mati yang berderet dan
tidak diantarai oleh huruf hidup, misalnya lppa artinya lengket, adakalanya orang menuliskan leppa, disini penulisan ‘e’ adalah ‘e’ lemah jadi tidak merubah cara membacanya.
28
Jika suatu bahasa daerah penutur bahasa cukup banyak maka bahasa tersebut dapat bertahan dari pengaruh bahasa lain. Penutur yang bertahan dengan ciri bahasa dan budaya
Pakpak pada umumnya adalah penutur dialek Simsim.Dimana jumlah penutur bahasa Pakpak di daerah Simsim ini cukup banyak.Dari sudut populasi, bahwa salah satu faktor yang
mempertahankan sebuah bahasa adalah jumlah penuturnya.Dialek Simsim didukung oleh jumlah penutur yang banyak untuk mempertahankan bahasa Pakpak. Faktor-faktor lain yang mendukung
Jadi Penggunaan bahasa Pakpak di Sidikalang sangat sedikit dimana yang lebih dominan adalah bahasa Batak Toba yang mejadi bahasa pengantar baik dalam pergaulan sehari-
hari di lingkungan rumah, di sekolah bahkan di rumah tangga serta di tempat-tempat lain. Berkurangnya penggunapenutur bahasa Pakpak di daerah Sidikalang disebabkan karena sejak
kedatangan orang Batak Toba secara giat terus mengembangkan bahasa Toba baik dalam pergaulan sehari-hari maupun dalam mengajar di sekolah Zending gereja.Penggunaan bahasa
Toba dalam lingkungan akhirnya lambat laun semakin mendominasi dan pengunaannya dalam kehidupan sehari-hari semakin bertambah dan orang Pakpak sendiri dengan sukarela
menggunakan bahasa tersebut.
28
WawancaraPdt. Remanto Tumanggor, pada tanggal 19 Agustus 2014
ketahanan sebuah bahasa adalah kekurangan dan kelebihan bahasa-bahasa lain tidak menjadi masalah bagi suatu bahasa daerah. Adanya suatu rasa permusuhan mayoritas terhadap bahasa
daerah sehingga para pengguna merasa agak cangung untuk menggunakannya atau adanya rasa permusuhan dari diri sendiri yaitu rasa malu dan lebih bangga menggunakan bahasa daerah lain
untuk digunakan dalam pergaulan sehari-hari. Perkembangan penduduk, perluasan lingkungan pemukiman dan pengaruh bahasa lain membawa dampak terhadap perkembangan dan perpisahan
bahasa daerah.
29
• Perkawinan MarbayoSitari-tari
4.2 Pengaruh Terhadap Adat Perkawinan