Kecepatan Produksi ASI Ernawati Nasution, S.K.M, M.Kes

BAB 5 PEMBAHASAN

5.1. Kecepatan Produksi ASI

Ibu pascapersalinan perlu memahami sekaligus mempersiapkan segala sesuatu yang dapat membantu mempercepat produksi ASI baik fisik maupun mental dari mulai kehamilan sehingga segera setelah persalinan dapat memberikan ASI yang optimal pada bayinya. Menurut Rahayu 2012 produksi ASI sangat dipengaruhi oleh makanan yang di makan ibu, faktor psikis dan isapan bayi. Apabila ibu makan secara teratur dan mengandung zat gizi yang cukup dapat meningkatkan produksi ASI, karena kelenjar pembuat ASI tidak dapat bekerja dengan sempurna tanpa makanan yang cukup. Kejiwaan ibu yang selalu dalam keadaan tertekan, sedih, kurang percaya diri dan berbagai bentuk ketegangan emosional akan menurunkan volume ASI bahkan tidak akan terjadi produksi ASI. Isapan bayi juga akan merangsang otot polos payudara untuk berkontraksi yang kemudian merangsang susunan saraf disekitarnya dan meneruskan rangsangan ini ke otak. Otak akan memerintahkan kelenjar hipofise posterior untuk mengeluarkan hormon pituitari lebih banyak, sehingga kadar hormon estrogen dan progesteron yang masih ada menjadi lebih rendah. Pengeluaran hormon pituitari yang lebih banyak akan memengaruhi kuatnya kontraksi otot-otot polos payudara yang berguna untuk mempercepat pembentukan ASI. Pada analisis univariat didapatkan hasil penelitian dengan menilai beberapa indikator, diketahui bahwa sebagian besar ibu dalam 2 hari pascapersalinan 72 Universitas Sumatera Utara mengalami produksi ASI yang cepat yaitu sebesar 59,6 dan selebihnya lambat yaitu sebesar 40,4 . Hal ini menunjukkan bahwa lebih besar ibu pascapersalinan yang mengalami produksi ASI yang cepat daripada yang lambat. Namun melihat persentasenya, hal ini masih belum menunjukkan hasil yang memuaskan karena hanya menunjukkan selisih angka yang tidak jauh berbeda antara produksi ASI yang cepat dengan yang lambat. Dikatakan produksi ASI-nya cepat pada ibu 2 hari pascapersalinan apabila memenuhi indikator yang meliputi : ketegangan payudara sebelum menyusui, ASI kolostrum yang merembes dari puting susu dengan memencet puting susu ibu, frekuensi menyusui 6-8 kali sehari, frekuensi buang air kecil bayi 6-8 kali sehari, bayi tidur tenang setiap selesai menyusu, dan pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama. Dari distribusi masing-masing indikator tersebut dapat dilihat bahwa pada indikator kolostrum yang merembes dari puting susu dengan memencet puting susu ibu, menunjukkan mayoritas ibu pascapersalinan mengalami pengeluaran ASI kolostrum yang merembes dari puting susu saat puting susu ibu dipencet yaitu sebanyak 88,3. Pada indikator pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama mayoritas ibu pascapersalinan juga menyatakan ada pengeluaran mekonium pada bayi dalam 24 jam pertama, yaitu sebanyak 83. Meskipun mayoritas ibu pascapersalinan mengalami air susu yang merembes dari puting susu saat dipencet, namun apabila ASI yang keluar hanya sedikit, hal ini sering menimbulkan persepsi bagi ibu pascapersalinan bahwa ASI-nya tidak mencukupi bagi kebutuhan bayinya, padahal ASI yang keluar pada hari-hari pertama Universitas Sumatera Utara memang masih sedikit namun itu sudah mencukupi bagi bayi baru lahir, ditambah lagi apabila bayi tetap menangis meskipun sudah disusui, sehingga ibu menginginkan agar bayinya diberikan susu formula, dengan begitu tentu saja akan menggagalkan ASI eksklusif. Menurut Roesli 2012 pengeluaran mekonium pada 24 jam pertama sebenarnya sudah mengindikasikan bahwa produksi ASI sudah mencukupi kebutuhan bayi baru lahir oleh karena sistem pencernaan mulai berfungsi dengan baik dikarenakan adanya produksi ASI yang cukup, meskipun hanya mengeluarkan ASI berupa kolostrum. Hal ini disebabkan oleh karena kolostrum merupakan pencahar yang ideal untuk membersihkan zat yang tidak terpakai pada usus bayi baru lahir dan mempersiapkan pencernaan bayi untuk makanan yang akan datang. Jumlah kolostrum yang diproduksi bervariasi tergantung dari isapan bayi pada hari-hari pertama kelahiran. Meskipun diproduksi dalam jumlah yang sedikit namun kolostrum sudah dapat memenuhi kebutuhan bagi bayi baru lahir. Bayi hendaknya disusui sedini mungkin, bahkan saat masih berada di kamar bersalin. Pada umumnya sebelum 5-6 jam setelah dilahirkan bayi harus sudah dicoba untuk disusui walaupun ibu belum mengeluarkan ASI karena kontak fisik dan isapan bayi akan merangsang produksi ASI, terutama pada 30 menit pertama setelah lahir. Pada periode ini ASI saja sudah dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi Indriyani, 2005. Hal ini sejalan dengan pendapat Soetjiningsih 1997 yang menjelaskan bahwa pada hari-hari pertama biasanya ASI memang belum keluar, tetapi bayi harus Universitas Sumatera Utara dilatih dan dibiasakan untuk merangsang produksi ASI dengan mengisap puting susu ibu. Purwanti 2004 juga menyebutkan hal serupa, bahwa pada hari pertama sampai ketujuh setelah persalinan, ASI yang dihasilkan masih berupa kolostrum yang hanya diproduksi sebanyak 150 – 300 ml saja perharinya dan kemudian akan mengalami ASI transisi hingga mencapai ASI yang matang mature dengan peningkatan volume pada setiap tahapannya. King 1993 juga menjelaskan bahwa proses menyusui penuh tidak terjadi segera setelah persalinan. Selama dua atau tiga hari pertama sesudah melahirkan dikeluarkan ASI dalam jumlah yang sedikit dan kemudian semakin bertambah hingga mencapai puncaknya pada akhir minggu pertama sesudah melahirkan dan lebih lama terjadi pada ibu dengan primipara yang baru mencapai puncaknya pada akhir minggu ketiga atau lebih. Pada periode tersebut bukan dimaksudkan agar bayi mendapatkan ASI yang banyak namun memperkenalkan dan melatih bayi untuk mengisap puting susu ibu dan merangsang hormon-hormon yang berfungsi untuk mempercepat produksi ASI. Kondisi seperti ini biasanya menyebabkan kecemasan yang menimbulkan persepsi pada ibu pasca persalinan bahwa ASI yang ia miliki tidak dapat mencukupi kebutuhan bayinya. Dari hasil penelitian ditemukan fakta yang tentu saja menjadi fenomena bahwa masalah yang ada ternyata bukan pada produksi ASI yang tidak cukup namun pada kepercayaan diri dan motivasi yang kurang dari ibu pascapersalinan itu sendiri meskipun ASI-nya sudah berada dalam kategori cukup. Untuk dapat melihat bagaimana pengaruh hormon oksitosin terhadap produksi ASI, diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Mardiyaningsih 2010 tentang Universitas Sumatera Utara efektifitas teknik marmet dan pijat oksitosin terhadap produksi ASI pada ibu post sectio caesarea. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan proporsi kelancaran produksi ASI antara kelompok kontrol dan intervensi dengan p=0,000 dan ibu postpartum dengan sectio caesarea yang diberikan kombinasi teknik marmet dan pijat oksitosin memiliki peluang 11,5 kali lebih besar untuk memiliki produksi ASI yang lancar dibandingkan dengan dengan kelompok kontrol OR=11,50. Berdasarkan hasil analisis multivariat, didapatkan hasil bahwa inisiasi menyusu dini, asupan gizi saat hamil dan tingkat kecemasan berhubungan dengan kecepatan produksi ASI pada ibu pascapersalinan di BPM Medan. Kekuatan hubungan yang dapat dinilai dari nilai OR EXP { B} menunjukkan bahwa tingkat kecemasan merupakan faktor risiko yang paling dominan dengan nilai OR sebesar 3,051 dan dapat disimpulkan bahwa ibu pascapersalinan yang mengalami tingkat kecemasan berat berisiko 3 kali lebih tinggi untuk memproduksi ASI yang lambat dibandingkan dengan ibu yang tingkat kecemasannya ringan, sedangkan asupan gizi dan inisiasi menyusu dini hanya merupakan faktor protektif dan bukan faktor risiko. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa yang paling berisiko memengaruhi kecepatan produksi ASI adalah tingkat kecemasan. Hal ini sesuai dengan pendapat Neville 1983, yang menyatakan bahwa hal yang penting adalah bayi tidak akan mendapatkan ASI yang cukup bila hanya mengandalkan refleks pembentukan ASI atau refleks prolaktin saja tetapi harus dibantu dengan refleks oksitosin, karena bila refleks ini tidak bekerja maka bayi tidak akan mendapatkan ASI yang memadai Universitas Sumatera Utara walaupun produksi ASI-nya cukup. Refleks oksitosin lebih rumit dibandingkan dengan refleks prolaktin. Pikiran, perasaan dan sensasi seorang ibu akan sangat memengaruhi refleks ini. Perasaan ibu dapat meningkatkan dan juga menghambat pengeluaran oksitosin.

5.2. Hubungan Inisiasi Menyusu Dini dengan Kecepatan Produksi ASI

Dokumen yang terkait

Tingkat Kecemasan Ibu Menghadapi Persalinan di BPM (Bidan Praktek Mandiri) Wilayah Kerja Puskesmas Padang Bulan Medan 2014

0 43 60

Persepsi Ibu Hamil Tentang Inisiasi Menyusu Dini di Klinik Bersalin Kota Medan

1 39 117

Hubungan Pengetahuan Bidan Praktek Swasta Dengan Pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Morawa Kecamatan Tanjung Morawa Medan

0 22 67

Tingkat Pengetahuan Ibu Hamil tentang Inisiasi Menyusu Dini di Poliklinik Ibu Hamil RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2010.

0 33 89

Perilaku Bidan Praktek Swasta Dalam Pelaksanaan Program Inisiasi Menyusu Dini di Kota Medan Tahun 2010

0 40 88

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN, STATUS PEKERJAAN IBU, DAN PELAKSANAAN INISIASI MENYUSU DINI DENGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF

2 8 102

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG INISIASI MENYUSU DINI DAN STATUS PEKERJAAN IBU DENGAN STATUS PEMBERIAN ASI DI Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Inisiasi Menyusu Dini Dan Status Pekerjaan Ibu Dengan Status Pemberian ASI Di Kecamatan Jatipu

0 1 17

PENDAHULUAN Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Inisiasi Menyusu Dini Dan Status Pekerjaan Ibu Dengan Status Pemberian ASI Di Kecamatan Jatipuro Kabupaten Karanganyar.

0 1 6

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG INISIASI MENYUSU DINI DAN STATUS PEKERJAAN IBU DENGAN STATUS PEMBERIAN ASI DI Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Inisiasi Menyusu Dini Dan Status Pekerjaan Ibu Dengan Status Pemberian ASI Di Kecamatan Jatipu

0 2 16

Hubungan Dukungan Suami Dan Peran Bidan Dengan Pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini COVERR

0 0 13