BAHAN AJAR PPh PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN PROGRAM DIPLOMA III KEUANGAN SPESIALISASI PAJAK

(1)

BAHAN AJAR

PPh

PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN

PROGRAM DIPLOMA III KEUANGAN

SPESIALISASI PAJAK

Wahyu Santosa, Ak., M.Si.

Sadimin, S.S.T.

SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA

TAHUN 2012


(2)

i

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah

subhanahu wa ta’ala, bahan ajar Pemotongan/Pemungutan PPh bagi Program

Diploma I Keuangan Spesialisasi Pajak Sekolah Tinggi Akuntansi Negara dapat diselesaikan.

Bahan Ajar Pemotongan/Pemungutan PPh ini tidak semata-mata disusun bagi mahasiswa/i Program Diploma I Keuangan Spesialisasi Pajak STAN, mengingat luasnya cakupan materi Pemotongan/Pemungutan PPh dan kekhawatiran terjadinya bias dalam pemahaman Pemotongan/Pemungutan PPh akibat tidak disampaikannya ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Oleh karena itu, cakupan dan kedalaman materi Pemotongan/Pemungutan PPh yang akan disampaikan di kelas, diserahkan sepenuhnya bagi para Dosen Pengajar untuk memilah dan memilihnya.

Mengingat materi pemotongan/pemungutan PPh sangat luas dan selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan peraturan perpajakan di bidang Pajak Penghasilan, sangat dimungkinkan banyak aspek pemotongan/pemungutan PPh dalam Bahan Ajar ini yang tidak terbahas secara mendalam dan memadai.

Penyajian dan cakupan Bahan Ajar ini diharapkan dapat membantu mahasiswa/i Diploma I Keuangan Spesialisasi Pajak STAN khususnya dan para pembaca pada umumnya dalam memahami ketentuan tentang pemotongan/ pemungutan PPh yang berlaku di Indonesia.

Kami menyampaikan terima kasih kepada Bapak A. Sjarifudin Alsah selaku Direktur Peraturan Perpajakan II, Direktorat Jenderal Pajak dan Bapak Erhamsyah Noor selaku Kepala Subdit Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Direktorat Peraturan Perpajakan II yang telah memberikan penugasan kepada penulis untuk ikut terlibat dalam kegiatan penyusunan kurikulum Diploma I Keuangan Spesialisasi Pajak STAN, yang salah satunya adalah penyusunan Bahan Ajar ini.


(3)

ii

Terakhir, tiada gading yang tak retak, tiada capaian kesempurnaan tanpa perbaikan yang berkesinambungan, sehingga segala saran dan masukan pembaca dan pengguna bagi perbaikan dan penyempurnaan Bahan Ajar ini senantiasa Penulis harapkan.

Jakarta, April 2012

Wahyu Santosa, Ak., M.Si. Sadimin, S.S.T.


(4)

iii

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR GAMBAR ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 7

A. Peta Konsep Pajak Penghasilan ... 7

B. Peta Konsep PPh Pemotongan/Pemungutan ... 8

C. Pengertian Pemotongan dan Pemungutan Pajak Penghasilan ... 8

D. Kredit Pajak PPh ... 10

E. Pembayaran/Penyetoran dan Pelaporan PPh yang Dipotong/ Dipungut ... 12

BAB II PPh PASAL 21 ... 14

A. Peta Konsep PPh Pasal 21 ... 15

B. Pemotong PPh Pasal 21 ... 16

C. Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 ... 18

D. Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 ... 21

E. Penghasilan Tidak Kena Pajak ... 25

F. Tarif PPh Pasal 21 ... 27

G. Dasar Pengenaan dan Pemotongan PPh Pasal 21 ... 29

H. Saat Terutang PPh Pasal 21... 76

I. Sifat Pemotongan PPh Pasal 21 ... 76

J. Studi Kasus PPh Pasal 21 ... 84

K. Penyetoran dan Pelaporan Pemotongan PPh Pasal 21 ... 85

BAB III PPh PASAL 22 ... 86

A. Peta Konsep PPh Pasal 22 ... 86

B. Pemungut PPh Pasal 22 ... 87

C. Dikecualikan dari Pemungutan PPh Pasal 22 ... 88

D. Saat Terutang PPh Pasal 22... 90

E. Cara Pemungutan PPh Pasal 22 ... 91

F. Sifat Pemungutan PPh Pasal 22 ... 92

G. Studi Kasus PPh Pasal 22 ... 93

H. Studi Kasus PPh Pasal 22 Bendahara Pemerintah atas Belanja Barang, Modal, dan Jasa ... 97

I. Pembayaran/Penyetoran dan Pelaporan Pemungutan PPh Pasal 22... 99

BAB IV PPh PASAL 23 ... 100


(5)

iv

B. Pemotong PPh Pasal 23 ... 101

C. Tarif Pemotongan PPh Pasal 23 ... 101

D. Tidak Dilakukan Pemotongan PPh Pasal 23 ... 102

E. Dividen ... 103

F. Sewa ... 105

G. Bunga ... 106

H. Hadiah ... 106

I. Penyetoran dan Pelaporan Pemotongan PPh Pasal 23 ... 107

J. Studi Kasus PPh Pasal 23 ... 107

BAB V PPh PASAL 24 ... 112

A. Peta Konsep Kredit Pajak Luar Negeri ... 112

B. Konsep World Wide Income... 113

C. Tata Cara Penghitungan KPLN (Kredit Pajak Luar Negeri) ... 114

D. Studi Kasus KPLN ... 116

E. Pembetulan SPT Tahunan karena Perubahan Penghasilan dari Luar Negeri ... 120

F. Saat Diperolehnya Dividen oleh WP Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek ... 122

BAB VI PPh PASAL 26 ... 126

A. Peta Konsep PPh Pasal 26 ... 126

B. Pemotong PPh Pasal 26 ... 127

C. Tarif Pemotongan PPh Pasal 26 ... 127

D. Sifat Pemotongan PPh Pasal 26 ... 128

E. Pajak Penghasilan atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap (Branch Profit Tax) ... 129

F. PPh Pasal 26 atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh WPLN selain BUT dari Penjualan Saham ... 131

G. Penyetoran dan Pelaporan Pemotongan PPh Pasal 26 ... 133

H. Studi Kasus PPh Pasal 26 ... 133

BAB VII PPh PASAL 4 AYAT (2) ... 135

A. Peta Konsep PPh Pasal 4 ayat (2) ... 135

B. Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia (SBI) ... 137

C. Bunga Obligasi ... 138

D. Diskonto Surat Perbendaharaan Negara ... 144

E. Bunga Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi Orang Pribadi ... 145

F. Hadiah Undian ... 146


(6)

v

H. Penghasilan Perusahaan Modal Ventura dari Transaksi Penjualan Saham atau Pengalihan Penyertaan Modal pada Perusahaan Pasangan

Usaha ... 148

I. Dividen yang diterima atau diperoleh WP OP Dalam Negeri ... 149

J. Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan ... 149

K. Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan ... 151

L. Jasa Konstruksi ... 154

M. Penilaian Kembali (Revaluasi) Aktiva Tetap ... 157

N. Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa ... 160

O. Penyetoran dan Pelaporan Pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) ... 162

P. Studi Kasus PPh Pasal 4 ayat (2) ... 162

BAB VIII PPh PASAL 15 ... 176

A. Pengertian Norma Penghitungan Khusus ... 176

B. Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Perusahaan Penerbangan Dalam Negeri ... 176

C. Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri ... 177

D. Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri ... 178

E. Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Luar Negeri Yang Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang Di Indonesia ... 178

F. Penyetoran dan Pelaporan Pemotongan PPh Pasal 15 ... 179

G. Studi Kasus PPh Pasal 15 ... 179

CATATAN KAKI ... 183


(7)

vi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1: Peta Konsep Pajak Penghasilan ... 7

Gambar 2. Peta Konsep PPh Pemotongan/Pemungutan ... 8

Gambar 3: Peta Konsep Kredit Pajak PPh ... 10

Gambar 4. Peta Konsep Pemotongan PPh Pasal 21 ... 15

Gambar 5: Peta Konsep Perlakuan Perpajakan atas Natura/Kenikmatan ... 24

Gambar 6: Peta Konsep Perlakuan Perpajakan atas Premi Asuransi dan Iuran Pensiun/THT/JHT yang Dibayar oleh Pemberi Kerja ... 24

Gambar 7: Peta Konsep Perlakuan Perpajakan PPh Pasal 21 Ditanggung/Dibayar Pemberi Kerja dan Tunjangan PPh Pasal 21 ... 25

Gambar 8: Peta Konsep PPh Pasal 21 ... 29

bagi Pegawai Tetap dan Penerima Pensiun Berkala... 29

Gambar 9: Peta Konsep Biaya Jabatan/Biaya Pensiun ... 31

Gambar 10: Peta Konsep PTKP untuk Karyawati ... 32

Gambar 11: Peta Konsep Penghitungan PPh Pasal 21 yang Harus Dipotong Setiap Bulan ... 33

Gambar 12: Peta Konsep Pemungutan PPh Pasal 22 ... 86

Gambar 13: Peta Konsep Pemotongan PPh Pasal 23 ... 100

Gambar 14: Pengenaan Pajak Penghasilan atas Dividen ... 103

Gambar 15: Peta Konsep Aspek Pajak Penghasilan atas Sewa ... 105

Gambar 16: Peta Konsep Aspek Pajak Penghasilan atas Bunga ... 106

Gambar 17: Peta Konsep Aspek Pajak Penghasilan atas Hadiah ... 106

Gambar 18: Peta Konsep Kredit Pajak Luar Negeri ... 112

Gambar 19: Peta Konsep PPh Pasal 26 ... 126

Gambar 20: Peta Konsep PPh Pasal 4 ayat (2)... 136


(8)

7

BAB

PENDAHULUAN

A. Peta Konsep Pajak Penghasilan

Gambar 1: Peta Konsep Pajak Penghasilan

1

Tujuan Instruksional Khusus:

1. Mampu menguraikan tentang konsep Pajak Penghasilan dan konsep PPh Pemotongan/Pemungutan.

2. Mampu menjelaskan tentang pengertian Pemotongan/Pemungutan PPh. 3. Mampu menguraikan tentang Kredit Pajak Pajak Penghasilan.


(9)

8

B. Peta Konsep PPh Pemotongan/Pemu ngutan

Gambar 2. Peta Konsep PPh Pemotongan/Pemungutan

C. Pengertian Pemotongan dan Pemungutan Pajak Penghasilan

Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang PPh mengatur bahwa pajak yang diperkirakan akan terutang dalam suatu tahun pajak, dilunasi oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak berjalan melalui:

1. Pemotongan pajak oleh pihak lain dalam hal diperoleh penghasilan oleh Wajib Pajak dari pekerjaan, jasa atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang PPh.

2. Pemungutan pajak atas penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-Undang PPh.

3. Pemotongan pajak atas penghasilan dari modal, jasa dan kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-Undang PPh.

Perub. STATUS

LUAR INDONESIA INDONESIA

FINAL

PENERIMA PENGHASILAN

PPh 21 PPh 4

(2)

PPh 22

PPh 26 PEMOTONGAN

PPh

PEMUNGUTAN PPh

PPh 23

PENERIMA PENGHASILAN PEMBERI

PENGHASILAN

PEMBERI PENGHASILAN PPh 24

KREDIT PAJAK

PNS, TNI/POLRI

BBM, Gas, Pelumas* Perub.


(10)

9

4. Pembayaran oleh Wajib Pajak sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang PPh.

Menurut (Mansury, 1999) pemotongan oleh pihak lain atau lazim disebut juga pemotongan pajak pada sumbernya (withholding at source) dibedakan dari pemungutan oleh pihak lain (collection by another party), berdasarkan perbedaan: a. Pada pemotongan, pemotong pajak membayarkan penghasilan kepada Wajib

Pajak dan pemotong pajak (tax withholder) diwajibkan untuk menahan jumlah pajak yang terutang dari jumlah penghasilan yang dibayarkan kepada Wajib Pajak dan membayarkan jumlah PPh yang dipotong dari penghasilan Wajib Pajak tersebut ke kas negara.

b. Pada pemungutan, pemungut pajak (tax collector) tidak melakukan pembayaran penghasilan, melainkan hanya sekedar mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak dalam Wajib Pajak melakukan kegiatan usahanya.

Contoh-contoh pemungutan pajak adalah bank devisa yang memungut pajak importir, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memungut pajak atas pengusaha yang membawa barang impor, dan bendahara pemerintah yang memungut PPh dari pemasok barang kebutuhan kantor pemerintah.

Mengenai contoh pemungut pajak yang terakhir, yaitu bendahara pemerintah, agak kabur. Kekaburan tersebut disebabkan oleh karena bendahara sebagai pemungut pajak juga melakukan pembayaran, namun pembayaran itu bukan pembayaran penghasilan, melainkan pembayaran pembelian barang yang dipasok oleh Wajib Pajak. Dalam pembayaran harga barang yang dipasok memang mengandung penghasilan, yaitu sebesar laba dari penjualan barang yang bersangkutan, namun hanya sejumlah persen tertentu dari seluruh harga, sehingga tidak dapat dikatakan, bahwa pembayaran itu seluruhnya merupakan penghasilan.


(11)

10

D. Kredit Pajak PPh

1. Peta Konsep Kredit Pajak PPh

Gambar 3: Peta Konsep Kredit Pajak PPh

2. Kredit Pajak Dalam Negeri

a. Pemotongan/Pemungutan oleh Pihak Lain 1) PPh Pasal 21

PPh Pasal 21 merupakan cara pelunasan PPh dalam tahun berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan. Pasal 21 Undang-Undang PPh mengatur hanya penghasilan WP orang pribadi dalam negeri, sedang mengenai WP orang pribadi luar negeri diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang PPh.

2) PPh Pasal 22

PPh Pasal 22 merupakan cara pelunasan pembayaran pajak dalam tahun berjalan oleh Wajib Pajak atas penghasilan sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang, kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di

PPh PASAL 23 PPh PASAL 21

PPh PASAL 22

PPh PASAL 24

PPh PASAL 25 MELALUI

PIHAK KETIGA

PEMUNGUTAN PEMOTONGAN

Ph DARI LUAR NEGERI

PPh YANG DIBAYAR SENDIRI OLEH WAJIB PAJAK PADA TAHUN PAJAK BERJALAN

PPh YANG DIBAYAR DI LUAR NEGERI PPh TERUTANG

KREDIT PAJAK

PPh KURANG BAYAR (PPh TERUTANG > KREDIT

PAJAK)

NIHIL

(PPh TERUTANG = KREDIT PAJAK)

PPh LEBIH BAYAR (PPh TERUTANG < KREDIT


(12)

11

bidang lain (seperti kegiatan usaha produksi barang tertentu antara lain otomotif dan semen), dan penjualan barang yang tergolong sangat mewah. 3) PPh Pasal 23

PPh Pasal 23 merupakan cara pelunasan pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan pajak antara lain atas penghasilan berupa dividen, bunga, royalti, hadiah dan penghargaan, sewa, jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan, dan jasa lainnya.

4) PPh Pasal 26 ayat (5)

Pada prinsipnya pemotongan pajak atas WP luar negeri adalah bersifat final, tetapi atas penghasilan WP orang pribadi atau badan luar negeri yang

berubah status menjadi WP dalam negeri atau bentuk usaha tetap, pemotongan pajaknya tidak bersifat final sehingga potongan pajak tersebut dapat dikreditkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan.

Contoh:

Brian Adam (tenaga asing orang pribadi) membuat perjanjian kerja dengan PT B (WP dalam negeri) untuk bekerja di Indonesia untuk jangka waktu 5 bulan terhitung mulai tanggal 1 Januari 2009. Pada tanggal 20 April 2009 perjanjian kerja tersebut diperpanjang menjadi 8 bulan sehingga akan berakhir pada tanggal 31 Agustus 2009.

a) Jika perjanjian kerja tersebut tidak diperpanjang, status Brian Adam adalah tetap sebagai WP luar negeri. Dengan diperpanjangnya perjanjian kerja tersebut, status Brian Adam berubah dari WP luar negeri menjadi WP dalam negeri terhitung sejak tanggal 1 Januari 2009. Selama bulan Januari s.d. Maret 2009 atas penghasilan bruto Brian Adam telah dipotong PPh Pasal 26 oleh PT B.

b) Berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (5) UU PPh, maka untuk menghitung PPh yang terutang atas penghasilan Brian Adam untuk masa Januari s.d. Agustus 2009, PPh Pasal 26 yang telah dipotong dan disetor PT B atas penghasilan Brian Adam s.d. Maret tersebut, dapat dikreditkan terhadap pajak Brian Adam sebagai WP dalam negeri.


(13)

12

3. Kredit Pajak Luar Negeri (PPh Pasal 24)

Pada dasarnya Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas seluruh penghasilan, termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri. Untuk meringankan beban pajak ganda yang dapat terjadi karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri, ketentuan Pasal 24 UU PPh mengatur tentang perhitungan besarnya pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam negeri.

E. Pembayaran/Penyetoran dan Pelaporan PPh yang Dipotong/ Dipungut

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010, mengatur antara lain:

PPh

Pemotongan/Pemungutan

Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran/Penyetoran

Batas Akhir Pelaporan PPh

Pasal 4 ayat (2)

Dipotong oleh Pemotong PPh p a lin g la m a ta n g g a l

10 bu

lan b e rikut n ya se te lah M a sa P a jak b e ra kh ir W a jib m e n ya m p a ikan S P T M a sa p a lin g la m a 2 0 h a ri se te lah M a sa P a jak b e ra kh ir .

Dibayar sendiri oleh WP 15 PPh

Pasal 15

Dipotong oleh Pemotong PPh

10 Dibayar sendiri oleh WP 15 PPh

Pasal 21

Dipotong oleh Pemotong PPh

10 PPh

Pasal 23/26

Dipotong oleh Pemotong PPh 10 PPh Pasal 25 15 PPh

Pasal 22 atas Impor

Dalam hal Bea Masuk ditunda/ dibebaskan

pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor.

Dipungut oleh Ditjen Bea dan Cukai

harus disetor dalam jangka waktu 1 hari kerja setelah dilakukan pemungutan pajak.

wajib melaporkan hasil pemungutannya secara mingguan paling lama pada hari kerja terakhir minggu berikutnya

PPh Pasal 22

Dipungut oleh bendahara

harus disetor pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang yang dibiayai dari belanja

wajib melaporkan hasil pemungutannya paling lama 14 hari setelah Masa Pajak berakhir.


(14)

13

Negara atau belanja Daerah, dengan menggunakan SSP atas nama rekanan dan ditandatangani oleh bendahara.

Penyerahan BBM, gas, dan pelumas kepada penyalur/agen atau industri p a lin g la m a ta n g g a l

10 bu

lan b e rikut n ya se te lah M a sa P a jak b e ra kh ir

Wajib menyampaikan SPT Masa paling lama 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.

Pemungutannya

dilakukan oleh WP badan tertentu

10

Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran/penyetoran pajak dan batas akhir pelaporan bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional1,

pembayaran/penyetoran pajak dan pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. 1. Pembayaran dan penyetoran pajak dilakukan di Kantor Pos atau bank yang

ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

2. Pembayaran dan penyetoran pajak harus dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.

3. Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi.

4. Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain dianggap sah apabila telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Pajak (NTPN).

5. Pemotong atau Pemungut PPh memberikan tanda bukti pemotongan atau tanda bukti pemungutan kepada orang pribadi atau badan yang dipotong atau dipungut PPh setiap melakukan pemotongan atau pemungutan.


(15)

14

BAB

PPh PASAL 21

PPh Pasal 21 merupakan cara pelunasan PPh dalam tahun berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan.

Menurut (Mansury, 1999) penghasilan dari pekerjaan (income from employment

atau employment income) mencakup semua penghasilan yang merupakan imbalan atas pekerjaan (employment). Employment income merupakan bagian dari penghasilan orang pribadi yang didapat dari melakukan kegiatan, yaitu earned income. Earned income yang diperoleh karena melakukan kegiatan dibagi 2, yaitu penghasilan dari melakukan kegiatan pekerjaan dan penghasilan dari melakukan kegiatan usaha (business income). Penghasilan dari pekerjaan hanya dapat diperoleh oleh orang pribadi.

Penghasilan dari pekerjaan dalam arti luas lazimnya dibagi menjadi 2 jenis penghasilan lagi, yaitu:

a. Penghasilan yang diperoleh sebagai karyawan (labor income) dalam hubungan kerja dengan pemberi kerja.

2

Tujuan Instruksional Khusus:

1. Mampu menguraikan konsep PPh Pasal 21.

2. Mampu menjelaskan tentang Pemotong PPh Pasal 21 dan kewajiban Pemotong PPh Pasal 21.

3. Mampu menjelaskan tentang Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21. 4. Mampu menjelaskan tentang Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21.

5. Mampu menguraikan tentang Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dalam Penghitungan PPh Pasal 21.

6. Mampu menguraikan tentang Tarif PPh Pasal 21.

7. Mampu menguraikan tentang Dasar Pengenaan dan Pemotongan PPh Pasal 21. 8. Mampu menjelaskan tentang Saat Terutang PPh Pasal 21.

9. Mampu menjelaskan tentang sifat pemotongan PPh Pasal 21.


(16)

15

b. Penghasilan dari pekerjaan bebas (self-employed income atau professional income).

Gambar 4. Peta Konsep Pemotongan PPh Pasal 21

A. Peta Konsep PPh Pasal 21

PENERIMA UANG MANFAAT PENSIUN, THT, atau JHT

PESERTA KEGIATAN

SEKALIGUS

Penghasilan Bruto, Kumulatif

Penghasilan Bruto

Penghasilan Bruto KOMISARIS, Mantan PEG,

Penarikan Dana Pensiun oleh PEG

PENERIMA

PENSIUN BERKALA Penghasilan Neto – PTKP

PEGAWAI TETAP TIDAK TETAP BULANAN HARIAN

Penghasilan Neto – PTKP

Penghasilan Bruto – PTKP

Penghasilan Bruto – Rp150.000

Penghasilan Bruto – PTKP Sehari

( Rp1.320.000 < Ph Bruto < Rp6.000.000)

Penghasilan Bruto – PTKP

(Ph Bruto > Rp6.000.000)

BUKAN PEGAWAI

BERKESINAMBUNGAN (TIDAK mempunyai penghasilan

lain) BERKESINAMBUNGAN (MEMPUNYAI penghasilan lain)

TIDAK BERKESINAMBUNGAN

(50% x Penghasilan Bruto – PTKP per

Bulan), Kumulatif

(50% x Penghasilan Bruto), Kumulatif

50% x Penghasilan Bruto Penghasilan dari

Kegiatan (Earned Income)

Penghasilan dari KEGIATAN USAHA (Business Income)

Penghasilan dari PEKERJAAN (Employment Income)

Penghasilan sebagai PEGAWAI (Labor Income)

Penghasilan dari PEKERJAAN BEBAS (Self-employed Income)


(17)

16

Ketentuan mengenai pemotongan PPh Pasal 21 diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ/2009.

B. Pemotong PPh Pasal 21 1. Pemotong PPh Pasal 21

Pemotong PPh Pasal 21 adalah WP orang pribadi atau WP badan, termasuk bentuk usaha tetap, yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang PPh.

Pemotong PPh Pasal 21, meliputi:

a. Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat maupun cabang, perwakilan atau unit yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai.

Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan PPh Pasal 21 adalah:

1) Kantor perwakilan negara asing.

2) Organisasi-organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang PPh, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan2.

3) Pemberi kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang semata-mata mempekerjakan orang pribadi untuk melakukan pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan bukan dalam rangka melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

b. Bendahara atau pemegang kas pemerintah, termasuk bendahara atau pemegang kas pada Pemerintah Pusat termasuk institusi TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya, dan Kedutaan Besar RI di luar negeri, yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan.


(18)

17

c. Dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua.

d. Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar:

1) Honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadai dengan status Subjek Pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya.

2) Honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri.

3) Honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan magang.

e. Penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan.

2. Kewajiban Pemotong PPh Pasal 21

a. Wajib mendaftarkan diri ke KPP sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Menurut (Mansury, 1999) kewajiban mendaftarkan diri tersebut berlaku juga bagi organisasi internasional yang tidak dikecualikan oleh Menteri Keuangan. b. Wajib menghitung, memotong, menyetorkan dan melaporkan PPh Pasal 21 yang

terutang untuk setiap bulan kalender.

c. PPh Pasal 21 yang dipotong wajib disetor ke kas negara paling lama 10 hari setelah Masa Pajak berakhir.

d. Kewajiban untuk melaporkan pemotongan PPh Pasal 21 untuk setiap bulan kalender tetap berlaku, dalam hal jumlah pajak yang dipotong pada bulan yang bersangkutan nihil.

e. Wajib membuat catatan atau kertas kerja perhitungan PPh Pasal 21 untuk masing-masing penerima penghasilan, yang menjadi dasar pelaporan PPh Pasal 21 yang


(19)

18

terutang untuk setiap masa pajak dan wajib menyimpan catatan atau kertas kerja perhitungan tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

f. Wajib membuat bukti pemotongan PPh Pasal 21 dan memberikannya kepada penerima penghasilan.

Bukti pemotongan PPh Pasal 21:

1) Untuk Pegawai Tetap atau Penerima Pensiun Berkala (Form 1721-A1 atau 1721-A2):

a) Diberikan paling lama 1 bulan setelah tahun kalender berakhir.

b) Dalam hal pegawai tetap berhenti bekerja sebelum bulan Desember, bukti pemotongan PPh Pasal 21 harus diberikan paling lama 1 bulan setelah yang bersangkutan berhenti bekerja.

2) Untuk selain Pegawai Tetap atau Penerima Pensiun Berkala:

a) Pemotong PPh Pasal 21 harus memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 atas pemotongan PPh Pasal 21 selain pegawai tetap dan penerima pensiun berkala setiap kali melakukan pemotongan PPh Pasal 21.

b) Dalam hal dalam 1 bulan kalender, kepada satu penerima penghasilan dilakukan lebih dari 1 kali pembayaran penghasilan, bukti pemotongan PPh Pasal 21 dapat dibuat sekali untuk 1 bulan kalender.

C. Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 1. Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21

Penerima Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah orang pribadi dengan status sebagai Subjek Pajak dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari Pemotong PPh Pasal 21 sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan yang dilakukan baik dalam hubungannya sebagai pegawai maupun bukan pegawai, termasuk penerima pensiun.

Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah orang pribadi yang merupakan:

a. Pegawai.

b. Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya.

c. Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain meliputi :


(20)

19

1) Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris.

2) Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya.

3) Olahragawan.

4) Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator. 5) Pengarang, peneliti, dan penerjemah.

6) Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan.

7) Agen iklan.

8) Pengawas atau pengelola proyek.

9) Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara.

10) Petugas penjaja barang dagangan. 11) Petugas dinas luar asuransi.

12) Distributor perusahaan multilevel marketing (MLM) atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya.

d. Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain meliputi:

1) Peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olahraga, seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya. 2) Peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja.

3) Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu.

4) Peserta pendidikan, pelatihan, dan magang. 5) Peserta kegiatan lainnya.

2. Tidak termasuk dalam pengertian Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21

Tidak termasuk dalam pengertian penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah:


(21)

20

a. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat:

1) Bukan warga negara Indonesia.

2) Di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut.

3) Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.

b. Pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang PPh, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan syarat:

1) Bukan warga negara Indonesia.

2) Tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

3. Kewajiban Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21

a. Wajib mendaftarkan diri ke KPP sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

b. Pegawai, penerima pensiun berkala, serta bukan pegawai wajib membuat surat pernyataan yang berisi jumlah tanggungan keluarga pada awal tahun kalender atau pada saat mulai menjadi Subjek Pajak dalam negeri sebagai dasar penentuan PTKP dan wajib menyerahkannya kepada Pemotong PPh Pasal 21 pada saat mulai bekerja atau mulai pensiun.

c. Dalam hal terjadi perubahan tanggungan keluarga bagi pegawai, penerima pensiun berkala dan bukan pegawai wajib membuat surat pernyataan baru dan menyerahkannya kepada Pemotong PPh Pasal 21 paling lama sebelum mulai tahun kalender berikutnya.

d. Melaporkan pemotongan PPh Pasal 21 dalam SPT Tahunan PPh Wajib Pajak orang pribadi.

4. Perlakuan PPh atas WNI yang Bekerja Sebagai Official pada Badan-Badan Internasional PBB

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-57/PJ/2009 menegaskan hal-hal sebagai berikut:

a. Berdasarkan Section 18 (b) Convention on the Privileges and Immunities of the United Nations, 1946, diatur bahwa official of the United Nations shall be exempt from taxation on the salaries and emoluments paid to them by the United Nations.


(22)

21

b. Berdasarkan Convention on the Privileges and Immunities of the Specialized Agencies, 1947, antara lain mengatur:

1) Section 1, the words "special agencies" mean: a) The International Labour Organization;

b) The Food and Agriculture Organization of the United Nations;

c) The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization;

d) The International Civil Aviation Organization;

e) The International Monetary Fund;

f) The International Bank for Reconstruction and Development;

g) The World Health Organization;

h) The International Telecomunications Union; and

i) Any other agencies in any relation with the United Nations in accordance with Articles 57 and 63 of the Charter.

2) Section 19 (b), official of the special agencies enjoy the same exemption from taxation in respect of salaries and emoluments paid to them by specialized agencies and on the same condition as are enjoyed by official of the United Nations.

c. Indonesia sudah mengesahkan Convention on the Privileges and Immunities of the United Nations, 1946 dan Convention on the Privileges and Immunities of the Specialized Agencies, 1947 dengan Keputusan Presiden Nomor 51 Tahun 1969 tentang Pengesahan Convention on the Privileges and Immunities of the United Nations, 1946; Convention on the Privileges and Immunities of the Specialized Agencies, 1947; Agreement on the Privileges and Immunities of the International Atomic Energy Agencies, 1959.

d. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas ditegaskan bahwa Warga Negara Indonesia yang bekerja sebagai official pada dan hanya memperoleh penghasilan dari badan-badan internasional dari Perserikatan Bangsa-Bangsa mendapat perlakuan perpajakan yang sama sebagaimana dinikmati oleh official dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu atas penghasilan yang diterima bukan merupakan objek pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan.

D. Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 1. Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21


(23)

22

a. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur.

b. Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya.

c. Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan dengan pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lain sejenis.

d. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan.

e. Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan.

f. Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun.

g. Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh:

1) Bukan Wajib pajak.

2) Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.

3) Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit).

2. Penghasilan yang Tidak Dipotong PPh Pasal 21

Tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah:

a. Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa.

b. Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah.

c. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari


(24)

23

tua kepada badan penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang dibayar oleh pemberi kerja.

d. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.

e. Beasiswa yang dikecualikan dari objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf l Undang-Undang PPh.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 246/PMK.03/2008 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2009, mengatur antara lain: 1) Atas penghasilan berupa beasiswa yang diterima atau diperoleh Warga Negara Indonesia dari Wajib Pajak pemberi beasiswa dalam rangka mengikuti pendidikan formal3 dan/atau pendididikan nonformal4 yang dilaksanakan di

dalam negeri dan/atau di luar negeri dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan.

2) Komponen beasiswa yang dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan terdiri dari biaya pendidikan yang dibayarkan ke sekolah (tuition fee), biaya ujian, biaya penelitian yang berkaitan dengan bidang studi yang diambil, biaya untuk pembelian buku, dan/atau biaya hidup yang wajar sesuai dengan daerah lokasi tempat belajar.

3) Ketentuan tentang beasiswa yang dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan tidak berlaku apabila penerima beasiswa mempunyai hubungan istimewa dengan pemilik, komisaris, direksi, atau pengurus dari Wajib Pajak pemberi beasiswa.


(25)

24

Gambar 5: Peta Konsep Perlakuan Perpajakan atas Natura/Kenikmatan

4. Premi Asuransi dan Iuran Pensiun/THT/JHT yang Dibayar oleh Pemberi Kerja Gambar 6: Peta Konsep Perlakuan Perpajakan atas Premi Asuransi dan Iuran

Pensiun/THT/JHT yang Dibayar oleh Pemberi Kerja NATURA

dan/atau KENIKMATAN

Diberikan oleh:

- BUKAN Wajib Pajak

- WP yang dikenai PPh yang bersifat FINAL - WP yang dikenai PPh berdasarkan Norma Penghitungan Khusus (deemed profit) Pasal 15 UU PPh

- Wajib Pajak - Pemerintah

Merupakan Penghasilan yang

DIPOTONG PPh Pasal 21

DIKECUALIKAN dari OBJEK PPh sehingga TIDAK DIPOTONG PPh

Pasal 21

IURAN PENSIUN, THT, dan/atau JHT

DIBAYAR oleh PEMBERI KERJA DIBAYAR oleh PEGAWAI TETAP BUKAN PENGHASILAN bagi PEGAWAI TETAP PENGURANGAN dalam Penghitungan

PPh Pasal 21 PREMI ASURANSI DIBAYAR oleh PEMBERI KERJA DIBAYAR oleh PEGAWAI TETAP PENGHASILAN bagi PEGAWAI TETAP

BUKAN sebagai PENGURANGAN

dalam Penghitungan

PPh Pasal 21 PROGRAM JAMSOSTEK

- JKK (Jaminan Kecelakaan Kerja)

- JKM (Jaminan Kematian)

- JPK (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan)

Premi Asuransi: KESEHATAN, KECELAKAAN, JIWA,


(26)

25

5. PPh Pasal 21 Ditanggung/Dibayar Pemberi Kerja dan Tunjangan PPh Pasal 21 Gambar 7: Peta Konsep Perlakuan Perpajakan PPh Pasal 21 Ditanggung/Dibayar Pemberi

Kerja dan Tunjangan PPh Pasal 21

Menurut (Mansury, 1999) apabila PPh Pasal 21 atas gaji pegawai ditanggung oleh pemberi kerja, maka pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja tersebut dalam dunia perpajakan lazim disebut kenikmatan atau fringe benefits atau benefit in kind. Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf d dan Pasal 9 ayat (1) huruf e Undang-Undang PPh, fringe benefit semacam itu merupakan penghasilan yang dikecualikan dari objek PPh, jadi tidak dikenakan pajak kepada yang memperoleh kenikmatan tersebut, melainkan dikenakan pajak kepada pemberi kerja, melalui mekanisme yang tidak memperbolehkan pemberi kerja untuk mengurangkannya sebagai biaya untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak.

Menurut (Mansury, 1999) dalam hal kepada seorang pegawai diberikan tunjangan pajak, agar pegawai yang bersangkutan tetap menerima gajinya sepenuhnya, maka tunjangan pajak tersebut merupakan penghasilan bagi pegawai yang bersangkutan yang dikenakan pajak. Oleh karena itu, dalam menghitung PPh Pasal 21-nya, besarnya tunjangan pajak ditambahkan kepada gaji pegawai tersebut untuk mendapatkan penghasilan bruto.

E. Penghasilan Tidak Kena Pajak

Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang PPh mengatur bahwa untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, penghasilan netonya dikurangi dengan jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang PPh mengatur bahwa PTKP per tahun diberikan

paling sedikit sebesar: PPh Pasal

21

PPh Pasal 21 DITANGGUN G PEMBERI

KERJA

TUNJANGAN PPh Pasal 21

Penghasilan yang DIPOTONG PPh

Pasal 21 BUKAN Penghasilan

yang DIPOTONG PPh


(27)

26

Contoh penerapan PTKP:

Wajib Pajak Sam Yanuardi mempunyai seorang isteri dengan tanggungan 4 orang anak. Apabila isterinya memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja yang sudah dipotong PPh Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya, besarnya PTKP yang diberikan kepada Sam Yanuardi adalah sebesar:

 untuk diri WP OP Rp15.840.000,00

 tambahan – Wajib Pajak yang kawin Rp 1.320.000,00  tambahan – 3 anak yang menjadi tanggungan sepenuhnya

3 x Rp 1.320.000,00 Rp 3.960.000,00

PTKP Rp21.120.000,00

Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang PPh mengatur bahwa penghitungan besarnya PTKP ditentukan menurut keadaan Wajib Pajak pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak. Misalnya, pada tanggal 1 Januari 2009 Wajib Pajak Feri Wahyudi berstatus kawin dengan tanggungan 1 orang anak. Apabila anak yang kedua lahir setelah tanggal 1 Januari 2009, besarnya PTKP yang diberikan kepada Wajib Pajak Feri Wahyudi untuk tahun pajak 2009 tetap dihitung berdasarkan status kawin dengan 1 anak.

Rp15.840.000,00 Untuk diri Wajib Pajak orang pribadi PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP)

Rp1.320.000,00 Tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin

Tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami

Rp15.840.000,00

Rp1.320.000,00

Tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan

sepenuhnya, paling banyak 3 orang untuk setiap keluarga

TK/… Tidak Kawin, ditambah dengan banyaknya tanggungan yang mendapat pengurangan PTKP

STATUS PTKP

K/… Kawin, ditambah dengan banyaknya tanggungan yang mendapat pengurangan PTKP K/I/… Kawin, isteri mempunyai penghasilan yang digabungkan dengan penghasilan suami,


(28)

27

F. Tarif PPh Pasal 21

1. Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang PPh diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak dari:

a. Pegawai tetap.

b. Penerima pensiun berkala yang dibayarkan secara bulanan.

c. Pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang dibayarkan secara bulanan. 2. Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang PPh diterapkan atas

jumlah kumulatif dalam satu tahun kalender dari:

TARIF Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh

Lapisan PENGHASILAN KENA PAJAK

s.d. Rp50.000.000,00

diatas Rp50.000.000,00 s.d. Rp250.000.000,00

diatas Rp250.000.000,00 s.d. Rp500.000.000,00

diatas Rp500.000.000,00

TARIF PAJAK

5%

15%

25%

30%


(29)

28

a. Penghasilan Kena Pajak bagi bukan pegawai yang menerima imbalan yang bersifat berkesinambungan yang memenuhi ketentuan sebagai berikut:

1) Hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan Pemotong PPh Pasal 21.

2) Tidak memperoleh penghasilan lainnya.

b. 50% dari jumlah penghasilan bruto untuk setiap pembayaran imbalan bagi bukan pegawai yang bersifat berkesinambungan yang tidak memenuhi ketentuan. c. Jumlah penghasilan bruto berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak

teratur yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama.

d. Jumlah penghasilan bruto berupa jasa produksi , tantiem, gratifikasi, bonus atau imbalan lain yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan pegawai.

e. Jumlah penghasilan bruto berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.

3. Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang PPh diterapkan atas: a. 50% dari jumlah penghasilan bruto untuk setiap pembayaran imbalan kepada

bukan pegawai yang tidak bersifat berkesinambungan.

b. Jumlah penghasilan bruto untuk setiap kali pembayaran yang bersifat utuh dan tidak dipecah, yang diterima oleh peserta kegiatan.

Peta konsep Tarif PPh Pasal 21

TARIF PPh Pasal 21

Diterapkan atas

Penghasilan

Kena Pajak

(PhKP)

Bagi

PEGAWAI TETAP

U

U

P

P

h

PENERIMA PENSIUN BERKALA yang Dibayarkan secara Bulanan

PEGAWAI TIDAK TETAP/Tenaga Kerja Lepas yang Dibayarkan secara Bulanan


(30)

29

G. Dasar Pengenaan dan Pemotongan P Ph Pasal 21 1. PPh Pasal 21 bagi Pegawai Tetap

a. Peta Konsep PPh Pasal 21 bagi Pegawai Tetap dan Penerima Pensiun Berkala

Gambar 8: Peta Konsep PPh Pasal 21 bagi Pegawai Tetap dan Penerima Pensiun Berkala

PEGAWAI TETAP PENERIMA PENSIUN BERKALA PENGHASILAN BRUTO

- GAJI

- TUNJANGAN dan Pembayaran Teratur Lainnya, termasuk Uang Lembur (overtime) dan pembayaran sejenisnya

- PREMI ASURANSI yang DIBAYAR oleh PEMBERI KERJA

PENGHASILAN BRUTO


(31)

30

b. Pengertian Pegawai Tetap dan Penerima Pensiun Berkala

Pegawai tetap adalah pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas yang secara teratur terus menerus ikut mengelola kegiatan perusahaan secara langsung, serta pegawai yang bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu sepanjang pegawai yang bersangkutan bekerja penuh (full time) dalam pekerjaan tersebut.

Penerima pensiun adalah orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima atau memperoleh imbalan untuk pekerjaan yang dilakukan di masa lalu, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima tunjangan hari tua atau jaminan hari tua. c. Pengurangan yang Diperbolehkan


(32)

31

Gambar 9: Peta Konsep Biaya Jabatan/Biaya Pensiun

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.03/2008, mengatur antara lain: a) Besarnya biaya jabatan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk penghitungan pemotongan Pajak Penghasilan bagi pegawai tetap ditetapkan sebesar 5% dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp6.000.000,00 setahun atau Rp500.000,00 sebulan.

b) Besarnya biaya pensiun yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk penghitungan pemotongan Pajak Penghasilan bagi pensiunan ditetapkan sebesar 5% dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp2.400.000,00 setahun atau Rp200.000,00 sebulan.

2) Iuran yang Terkait dengan Gaji

Iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh Pegawai: a) Iuran Pensiun

Iuran pensiun yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.

b) Iuran THT/JHT (Tunjangan Hari Tua/Jaminan Hari Tua)

Iuran THT/JHT yang dibayar oleh pegawai kepada badan penyelenggara tunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.

PEGAWAI TETAP

PENERIMA PENSIUN BERKALA

BIAYA JABATAN

BIAYA PENSIUN

5% x Penghasilan BRUTO Maksimal Rp6.000.000,00 setahun

atau Rp500.000,00 sebulan

Maksimal Rp2.400.000,00 setahun

atau Rp200.000,00 sebulan


(33)

32

3) PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) a) Besarnya PTKP per tahun adalah:

 Rp15.840.000,00 untuk diri Wajib Pajak orang pribadi.

 Rp1.320.000,00 tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin.

 Rp1.320.000,00 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya5, paling banyak 3 orang untuk setiap

keluarga.

b) Besarnya PTKP bagi karyawati berlaku ketentuan sebagai berikut:

 Bagi karyawati kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri.

Dalam hal karyawati kawin dapat menunjukkan keterangan tertulis dari Pemerintah Daerah setempat serendah-rendahnya kecamatan yang menyatakan bahwa suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan, besarnya PTKP adalah PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP untuk status kawin dan PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.

 Bagi karyawati tidak kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.

Gambar 10: Peta Konsep PTKP untuk Karyawati

c) Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun kalender, kecuali besarnya PTKP untuk pegawai yang baru datang dan

PTKP untuk KARYAWATI

KARYAWATI KAWIN KARYAWATI TIDAK KAWIN

Suami TIDAK menerima/ memperoleh Penghasilan

HANYA untuk dirinya sendiri

Untuk dirinya sendiri

Status Kawin

Tanggungan, Maks 3 orang

Untuk dirinya sendiri


(34)

33

menetap di Indonesia dalam bagian tahun kalender ditentukan berdasarkan keadaan pada awal bulan dari bagian tahun kalender yang bersangkutan.

d. Peta Konsep Penghitungan PPh Pasal 21 yang Harus Dipotong Setiap Bulan Gambar 11: Peta Konsep Penghitungan PPh Pasal 21 yang Harus Dipotong Setiap

Bulan

e. Penghitungan Masa/Bulanan Selain Masa Pajak Desember/Masa Pajak Dimana Pegawai Tetap Berhenti Bekerja

1) Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Teratur

a) Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Teratur bagi Pegawai Tetap

 Penghitungan PPh Pasal 21 Pegawai Tetap dengan Gaji Bulanan Contoh:

Dhio Oktoviano Dwi Koska pada tahun 2009 bekerja pada PT Zamrud Abadi dengan memperoleh gaji sebulan Rp2.500.000,00 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp100.000,00. Dhio Oktoviano Dwi Koska menikah tetapi belum mempunyai anak.

PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 yang HARUS DIPOTONG SETIAP BULAN

SETIAP MASA PAJAK, kecuali

Masa Pajak Terakhir MASA PAJAK TERAKHIR

DIHITUNG dari

Perkiraan PENGHASILAN NETO yang akan diperoleh selama SETAHUN

Penghasilan Teratur sebulan dikali 12

Selisih antara PPh Pasal 21 yang terutang atas SELURUH PENGHASILAN KENA PAJAK selama SETAHUN dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong masa sebelumnya


(35)

34

Penghitungan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut:

Gaji sebulan Rp 2.500.000,00

Pengurangan : 1. Biaya Jabatan6

5% x Rp2.500.000,00 Rp 125.000,00

2. Iuran pensiun Rp 100.000,00 Rp 225.000,00

Penghasilan neto sebulan Rp 2.275.000,00

Penghasilan neto setahun

12 x Rp2.275.000,00 Rp27.300.000,00

PTKP

a. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00

b. tambahan WP kawin Rp 1.320.000,00 Rp17.160.000,00

PhKP setahun Rp10.140.000,00

PPh Pasal 21 terutang

5% x Rp10.140.000,00 Rp 507.000,00

PPh Pasal 21 sebulan

Rp507.000,00 : 12 Rp 42.250,007

Contoh:

Erlangga Gilang Pradana pegawai pada PT Yasa Buana, menikah tetapi belum mempunyai anak, memperoleh gaji sebulan Rp2.000.000,00. PT Yasa Buana mengikuti program Jamsostek, premi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Premi Jaminan Kematian (JKM) dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing 0,50% dan 0,30% dari gaji. PT Yasa Buana menanggung iuran Jaminan Hari Tua (JHT) setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji sedangkan Erlangga Gilang Pradana membayar iuran JHT sebesar 2,00% dari gaji setiap bulan.

PT Yasa Buana membayar iuran pensiun untuk Erlangga Gilang Pradana ke dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, setiap bulan sebesar Rp100.000,00, sedangkan Erlangga Gilang Pradana membayar iuran pensiun sebesar Rp50.000,00.


(36)

35

Penghitungan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut:

Gaji sebulan Rp 2.000.000,00

Premi JKK Rp 10.000,00

Premi JKM Rp 6.000,00

Penghasilan bruto Rp 2.016.000,00

Pengurangan : 1. Biaya Jabatan

5% x Rp2.016.000,00 Rp 100.800,00 2. Iuran pensiun Rp 50.000,00

3. Iuran Jaminan Hari Tua Rp 40.000,00 Rp 190.800,00

Penghasilan neto sebulan Rp 1.825.200,00

Penghasilan neto setahun

12 x Rp1.825.200,00 Rp21.902.400,00

PTKP

c. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00

d. tambahan WP kawin Rp 1.320.000,00 Rp17.160.000,00

PhKP setahun Rp 4.742.400,00

Pembulatan8 Rp 4.742.000,00

PPh Pasal 21 terutang

5% x Rp4.742.000,00 Rp 237.100,00

PPh Pasal 21 sebulan

Rp237.100,00 : 12 Rp 19.758,00

Contoh:

Endang Vidyawati adalah seorang karyawati dengan status menikah tetapi belum mempunyai anak, bekerja pada PT Ventura Entiti dengan gaji sebulan sebesar Rp2.500.000,00. Endang Vidyawati membayar iuran pensiun ke dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan sebesar Rp50.000,00 sebulan. Berdasarkan surat keterangan dari Pemda tempat Endang Vidyawati berdomisili yang diserahkan kepada pemberi kerja, diketahui bahwa suaminya tidak mempunyai penghasilan apapun.


(37)

36

Penghitungan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut:

Gaji sebulan Rp 2.500.000,00

Pengurangan: 1. Biaya Jabatan

5% x Rp2.500.000,00 Rp 125.000,00

2. Iuran pensiun Rp 50.000,00 Rp 175.000,00

Penghasilan neto sebulan Rp 2.325.000,00

Penghasilan neto setahun

12 x Rp2.325.000,00 Rp27.900.000,00

PTKP

e. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00

f. tambahan WP kawin Rp 1.320.000,00 Rp17.160.000,00

PhKP setahun Rp10.740.000,00

PPh Pasal 21 terutang

5% x Rp10.740.000,00 Rp 537.000,00

PPh Pasal 21 sebulan

Rp537.000,00 : 12 Rp 44.750,00

Contoh:

Firma Utami karyawati dengan status menikah tetapi belum mempunyai anak bekerja pada PT Unggul Farmindo. Firma Utami menerima gaji Rp3.000.000,00 sebulan. PT Unggul Farmindo mengikuti program pensiun dan jamsostek. Perusahaan membayar iuran pensiun kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, sebesar Rp40.000,00 sebulan.

Firma Utami juga membayar iuran pensiun sebesar Rp30.000,00 sebulan, disamping itu perusahaan membayarkan iuran JHT karyawannya setiap bulan sebesar 3,70% dar gaji, sedangkan Firma Utami membayar iuran JHT setiap bulan sebasar 2,00% dari gaji. Berdasarkan surat keterangan Pemda tempat Firma Utami bertempat tinggal diketahui bahwa suami Firma Utami tidak mempunyai penghasilan apapun. Premi JKK dan JKM dibayar oleh pemberi kerja masing-masing sebesar 1,00% dan 0,30% dari gaji.


(38)

37

Penghitungan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut:

Gaji sebulan Rp 3.000.000,00

Premi JKK Rp 30.000,00

Premi JKM Rp 9.000,00

Penghasilan bruto Rp 3.039.000,00

Pengurangan : 1. Biaya Jabatan

5% x Rp3.039.000,00 Rp 151.950,00 2. Iuran pensiun Rp 30.000,00

3. Iuran Jaminan Hari Tua Rp 60.000,00 Rp 241.950,00

Penghasilan neto sebulan Rp 2.797.050,00

Penghasilan neto setahun

12 x Rp2.797.050,00 Rp33.564.600,00

PTKP

g. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00

h. tambahan WP kawin9 Rp 1.320.000,00 Rp17.160.000,00

Penghasilan Kena Pajak Rp16.404.600,00

Pembulatan Rp16.404.000,00

PPh Pasal 21 terutang

5% x Rp16.404.000,00 Rp 820.200,00

PPh Pasal 21 sebulan

Rp820.200,00 : 12 Rp 68.350,00

 Penghitungan PPh Pasal 21 Pegawai Tetap dengan Gaji Mingguan atau Gaji Harian10

Contoh:

Catur Sugiarto, menikah dengan satu anak, bekerja sebagai pegawai tetap pada PT Teguh Gemilang menerima gaji yang dibayar mingguan sebesar Rp600.000,00.

Penghitungan PPh Pasal 21: Gaji sebulan

4 x Rp600.000,00 Rp 2.400.000,00

Pengurangan : 1. Biaya Jabatan


(39)

38

Penghasilan neto sebulan Rp 2.280.000,00

Penghasilan neto setahun

12 x Rp2.280.000,00 Rp27.360.000,00

PTKP

i. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00 j. tambahan WP kawin Rp 1.320.000,00

k. tambahan untuk 1 anak Rp 1.320.000,00 Rp18.480.000,00

Penghasilan Kena Pajak Rp 8.880.000,00

PPh Pasal 21 setahun

5% x Rp8.880.000,00 Rp 444.000,00

PPh Pasal 21 sebulan

Rp444.000,00 : 12 Rp 37.000,00

PPh 21 atas gaji mingguan

Rp37.000,00 : 4 Rp 9.250,00

Contoh:

Sunoto Adi Prasetyo pegawai pada PT Segara Hurip dengan memperoleh gaji mingguan sebesar Rp500.000,00. Sunoto Adi Prasetyo kawin dan mempunyai seorang anak. PT Segara Hurip masuk program Jamsostek, premi JKK dan premi JKM dibayar oleh pemberi kerja masing-masing sebesar 1,00% dan 0,30% dari gaji setiap bulan. PT Segara Hurip membayar iuran JHT setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji dan Sunoto Adi Prasetyo membayar iuran pensiun Rp10.000,00 dan JHT sebesar 2,00% dari gaji.

Penghitungan PPh Pasal 21: Gaji sebulan

4 x Rp500.000,00 Rp 2.000.000,00

Premi JKK Rp 20.000,00

Premi JKM Rp 6.000,00

Penghasilan bruto Rp 2.026.000,00

Pengurangan : 1. Biaya Jabatan

5% x Rp2.026.000,00 Rp 101.300,00 2. Iuran pensiun Rp 10.000,00


(40)

39

3. Iuran JHT Rp 40.000,00 Rp 151.300,00

Penghasilan neto sebulan Rp 1.874.700,00

Penghasilan neto setahun

12 x Rp1.874.700,00 Rp22.496.400,00

PTKP

l. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00 m. tambahan WP kawin Rp 1.320.000,00

n. tambahan untuk 1 anak Rp 1.320.000,00 Rp18.480.000,00

Penghasilan Kena Pajak Rp 4.016.400,00

Pembulatan Rp 4.016.000,00

PPh Pasal 21 setahun

5% x Rp4.016.000,00 Rp 200.800,00

PPh Pasal 21 sebulan

Rp200.800,00 : 12 Rp 16.733,00

PPh 21 atas gaji mingguan

Rp16.733,00 : 4 Rp 4.183,00

Contoh:

Candra Ady Pamungkas pegawai tetap pada PT Rejo Indonusa dengan memperoleh gaji yang dibayar harian sebesar Rp80.000,00. Candra Ady Pamungkas kawin dan mempunyai seorang anak. PT Rejo Indonusa masuk program Jamsostek, premi JKK dan premi JKM dibayar oleh pemberi kerja sebesar 1,00% dan 0,30% dari gaji setiap bulan. PT Rejo Indonusa membayar iuran JHT setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji dan Candra Ady Pamungkas membayar iuran pensiun Rp15.000,00 dan JHT sebesar 2,00% dari gaji.

Penghitungan PPh Pasal 21: Gaji sebulan

26 x Rp80.000,00 Rp 2.080.000,00

Premi JKK Rp 20.800,00

Premi JKM Rp 6.240,00

Penghasilan bruto Rp 2.107.040,00

Pengurangan : 1. Biaya Jabatan


(41)

40

5% x Rp2.107.040,00 Rp 105.352,00 2. Iuran pensiun Rp 15.000,00

3. Iuran Jaminan Hari Tua Rp 41.600,00 Rp 161.952,00

Penghasilan neto sebulan Rp 1.945.088,00

Penghasilan neto setahun

12 x Rp1.945.088,00 Rp23.341.056,00

PTKP

o. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00 p. tambahan WP kawin Rp 1.320.000,00

q. tambahan untuk 1 anak Rp 1.320.000,00 Rp18.480.000,00

Penghasilan Kena Pajak Rp 4.861.056,00

Pembulatan Rp 4.861.000,00

PPh Pasal 21 setahun

5% x Rp4.861.000,00 Rp 243.050,00

PPh Pasal 21 sebulan

Rp243.050,00 : 12 Rp 20.254,00

PPh Pasal 21 sehari

Rp20.254,00 : 26 Rp 779,00

b) Penghitungan PPh Pasal 21 atas Pembayaran Uang Rapel Contoh:

Dhio Oktoviano Dwi Koska sebagaimana dimaksud dalam Contoh 1, pada bulan Juni 2009 menerima kenaikan gaji menjadi Rp3.500.000,00 sebulan dan berlaku surut sejak 1 Januari 2009.

Dengan adanya kenaikan gaji yang berlaku surut tersebut maka Dhio Oktoviano Dwi Koska menerima rapel sejumlah Rp5.000.000,00 (kekurangan gaji untuk masa Januari s.d. Mei 2009). Untuk menghitung PPh Pasal 21 atas uang rapel tersebut, terlebih dahulu dihitung kembali PPh Pasal 21 untuk masa Januari s.d. Mei 2009 atas dasar penghasilan setelah ada kenaikan gaji.

Dengan demikian penghitungan PPh Pasal 21 terutangnya adalah sebagai berikut:

Gaji sebulan Rp 3.500.000,00

Pengurangan : 1. Biaya Jabatan


(42)

41

2. Iuran pensiun Rp 100.000,00 Rp 275.000,00

Penghasilan neto sebulan Rp 3.225.000,00

Penghasilan neto setahun

12 x Rp3.225.000,00 Rp38.700.000,00

PTKP

r. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00

s. tambahan WP kawin Rp 1.320.000,00 Rp17.160.000,00

PhKP setahun Rp21.540.000,00

PPh Pasal 21 setahun

5% x Rp21.540.000,00 Rp 1.077.000,00

PPh Pasal 21 sebulan

Rp1.077.000,00 : 12 Rp 89.750,00

PPh Pasal 21 Jan s.d. Mei 2009 seharusnya

5 x Rp89.750,00 Rp 448.750,00

PPh Pasal 21 sudah dipotong Jan s.d. Mei 200911

5 x Rp42.250,00 Rp 211.250,00

PPh Pasal 21 – Uang Rapel Rp 237.500,00 c) Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Pegawai yang

Dipindahtugaskan12 dalam Tahun Berjalan

Contoh:

Reza Krishnawardana yang berstatus belum menikah adalah pegawai PT Nusantara Mandiri di Jakarta. Sejak 1 Juni 2009 dipindahtugaskan ke kantor cabang di Bandung dan pada 1 Oktober 2009 dipindahtugaskan lagi ke kantor cabang di Purwokerto. Gaji Reza Krishnawardana sebesar Rp3.500.000,00 dan pembayaran iuran pensiun yang dibayar sendiri sebulan sejumlah Rp100.000,00.

Penghitungan PPh Pasal 21: KantorPusat Jakarta

Gaji sebulan Rp 3.500.000,00

Pengurangan : 1. Biaya Jabatan

5% x Rp3.500.000,00 Rp 175.000,00

2. Iuran pensiun Rp 100.000,00 Rp 275.000,00


(43)

42

Penghasilan neto setahun

12 x Rp3.225.000,00 Rp38.700.000,00

PTKP

t. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00

Penghasilan Kena Pajak Rp22.860.000,00

PPh Pasal 21 setahun

5% x Rp22.860.000,00 Rp 1.143.000,00

PPh Pasal 21 sebulan

Rp1.143.000,00 : 12 Rp 95.250,00

PPh 21 terutang & harus dipotong Jan – Mei 2009:

5/12 x Rp1.143.000,00 Rp 476.250,00

PPh 21 sudah dipotong masa Jan s.d. Mei 2009:

5 x Rp95.250,00 Rp 476.250,00

PPh Pasal 21 kurang (lebih) dipotong N I H I L Pengisian Formulir 1721-A1 di Kantor Pusat Jakarta

Gaji Jan s.d. Mei 2009

5 x Rp3.500.000,00 Rp 17.500.000,00

Pengurangan : 1. Biaya Jabatan

5% x Rp17.500.000,00 Rp875.000,00 2. Iuran pensiun

5 x Rp100.000,00 Rp500.000,00 Rp 1.375.000,00

Penghasilan neto 5 bulan Rp16.125.000,00

Penghasilan neto disetahunkan

12/5 x Rp16.125.000,00 Rp38.700.000,00

PTKP

u. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00

Penghasilan Kena Pajak Rp22.860.000,00

PPh Pasal 21 disetahunkan

5% x Rp22.860.000,00 Rp 1.143.000,00

PPh Pasal 21 terutang

5/12 x Rp1.143.000,00 Rp 476.250,00

PPh Pasal 21 sudah dipotong Jan s.d. Mei 2009:

5 x Rp95.250,00 Rp 476.250,00


(44)

43

Kantor Cabang Bandung

a. Penghasilan Neto di Bandung Gaji Juni s.d. Sept 2009

4 x Rp3.500.000,00 Rp14.000.000,00

Pengurangan : 1. Biaya Jabatan

5% x Rp14.000.000,00 Rp700.000,00 2. Iuran pensiun

4 x Rp100.000,00 Rp400.000,00 Rp 1.100.000,00 Penghasilan neto di Bandung Rp12.900.000,00

b. Penghasilan Neto di Jakarta Rp16.125.000,00

Jumlah Penghasilan Neto 9 bulan Rp29.025.000,00 Penghasilan neto disetahunkan

12/9 x Rp29.025.000,00 Rp38.700.000,00

PTKP

v. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00

Penghasilan Kena Pajak disetahunkan Rp22.860.000,00 PPh Pasal 21 disetahunkan

5% x Rp22.860.000,00 Rp 1.143.000,00

PPh Pasal 21 sebulan

Rp1.143.000,00 : 12 Rp 95.250,00

PPh Pasal 21 terutang & harus dipotong Jan s.d. Sept 2009

9/12 x Rp1.143.000,00 Rp 857.250,00

PPh 21 terutang di Jakarta sesuai Form 1721 - A1 Rp 476.250,00 PPh 21 dipotong Juni s.d. Sept 2009 di Bandung:

4 x Rp95.250,00 Rp 381.000,00

PPh Pasal 21 kurang (lebih) dipotong N I H I L Pengisian Formulir 1721-A1 di Kantor Cabang Bandung

Penghasilan neto di Bandung Gaji Juni s.d. Sept 2009

4 x Rp3.500.000,00 Rp 14.000.000,00

Pengurangan : 1. Biaya Jabatan

5% x Rp14.000.000,00 Rp700.000,00 2. Iuran pensiun


(45)

44

4 x Rp100.000,00 Rp400.000,00 Rp 1.100.000,00

Penghasilan neto di Bandung Rp12.900.000,00

Penghasilan neto di Jakarta Rp16.125.000,00

Jumlah Penghasilan Neto 9 bulan Rp29.025.000,00 Penghasilan neto disetahunkan

12/9 x Rp29.025.000,00 Rp38.700.000,00

PTKP

w. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00

Penghasilan Kena Pajak Rp22.860.000,00

PPh Pasal 21 disetahunkan

5% x Rp22.860.000,00 Rp 1.143.000,00

PPh Pasal 21 terutang

9/12 x Rp1.143.000,00 Rp 857.250,00

PPh Pasal 21 yang sudah dipotong dan dilunasi

Di Jakarta (sesuai Form 1721-A1) Rp 476.250,00 Di Bandung (4 x Rp95.250,00) Rp 381.000,00 PPh Pasal 21 kurang (lebih) dipotong N I H I L

Kantor Cabang Purwokerto

a. Penghasilan Neto di Purwokerto Gaji Okt s.d. Des 2009

3 x Rp3.500.000,00 Rp10.500.000,00

Pengurangan: 1. Biaya Jabatan

5% x Rp10.500.000,00 Rp 525.000,00 2. Iuran pensiun

3 x Rp100.000,00 Rp300.000,00 Rp 825.000,00 Penghasilan neto di Purwokerto Rp 9.675.000,00

b. Penghasilan Neto di Jakarta Rp16.125.000,00

c. Penghasilan Neto di Bandung Rp12.900.000,00

Jumlah Penghasilan Neto Setahun Rp38.700.000,00 PTKP

x. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00

Penghasilan Kena Pajak disetahunkan Rp22.860.000,00 PPh Pasal 21 terutang setahun

5% x Rp22.860.000,00 Rp 1.143.000,00


(46)

45

PPh Pasal 21 terutang di Purwokerto Rp 285.750,00 PPh Pasal 21 sebulan yang harus dipotong di Purwokerto

Rp285.750,00 : 3 Rp 95.250,00

Pengisian Formulir 1721-A1 di Kantor Cabang Purwokerto Penghasilan neto di Purwokerto

Gaji Okt s.d. Des 2009

3 x Rp3.500.000,00 Rp 10.500.000,00

Pengurangan : 1. Biaya Jabatan

5% x Rp10.500.000,00 Rp525.000,00 2. Iuran pensiun

3 x Rp100.000,00 Rp300.000,00 Rp 825.000,00 Penghasilan neto di Purwokerto Rp 9.675.000,00

Penghasilan neto di Jakarta Rp16.125.000,00

Penghasilan neto di Bandung Rp12.900.000,00

Penghasilan neto setahun Rp38.700.000,00

PTKP

y. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00

Penghasilan Kena Pajak Rp22.860.000,00

PPh Pasal 21 setahun

5% x Rp22.860.000,00 Rp 1.143.000,00

PPh 21 Jakarta & Bandung (sesuai form 1721-A1) Rp 857.250,00 PPh Pasal 21 terutang di Purwokerto Rp 285.750,00 PPh Pasal 21 telah dipotong (3xRp 95.250,00) Rp 285.750,00 PPh Pasal 21 kurang (lebih) dipotong N I H I L d) PPh Pasal 21 Sebagian atau Seluruh Ditanggung Pemberi Kerja

Dalam hal PPh Pasal 21 atas gaji pegawai ditanggung oleh pemberi kerja, pajak yang ditanggung pemberi kerja tersebut termasuk dalam pengertian kenikmatan dan bukan merupakan penghasilan pegawai yang bersangkutan.

Contoh:

Sam Wahyudi Junaib adalah pegawai PT Lautan Otomata dengan status menikah dan mempunyai 3 orang anak. Sam Wahyudi Junaib menerima gaji Rp4.000.000,00 sebulan dan PPh ditanggung oleh pemberi kerja. Tiap bulan Sam Wahyudi Junaib membayar iuran pensiun ke dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan sebesar Rp150.000,00.


(47)

46

Penghitungan PPh Pasal 21:

Gaji sebulan Rp 4.000.000,00

Pengurangan : 1. Biaya Jabatan

5% x Rp4.000.000,00 Rp 200.000,00

2. Iuran pensiun Rp 150.000,00 Rp 350.000,00

Penghasilan neto sebulan Rp 3.650.000,00

Penghasilan neto setahun

12 x Rp3.650.000,00 Rp43.800.000,00

PTKP

z. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00 aa. tambahan karena

menikah

Rp 1.320.000,00

bb. tambahan 3 orang anak Rp 3.960.000,00 Rp 21.120.000,00

Penghasilan Kena Pajak Rp22.680.000,00

PPh Pasal 21 setahun

5% x Rp22.680.000,00 Rp 1.134.000,00

PPh Pasal 21 sebulan

Rp1.134.000,00 : 12 Rp 94.500,00

PPh Pasal 21 sebesar Rp 94.500,00 ini ditanggung dan dibayar oleh pemberi kerja. Jumlah sebesar Rp94.500,00 tidak dapat dikurangkan dari Penghasilan Bruto pemberi kerja dan bukan merupakan penghasilan yang dikenakan pajak kepada Sam Wahyudi Junaib.

Namun apabila pemberi kerja adalah bukan Wajib Pajak selain pemerintah atau Wajib Pajak yang pengenaan pajaknya berdasarkan PPh Final atau berdasarkan norma penghitungan khusus (demeed profit), maka kenikmatan berupa pajak yang ditanggung pemberi kerja ditambahkan ke dalam penghasilan dari pegawai yang bersangkutan, dan penghitungan pajaknya dilakukan sesuai Contoh 11.

e) Penghitungan PPh Pasal 21 Pegawai Tetap yang Menerima Tunjangan Pajak

Dalam hal kepada pegawai diberikan tunjangan pajak, maka tunjangan pajak tersebut merupakan penghasilan pegawai yang bersangkutan dan ditambahkan pada penghasilan yang diterimanya.

Contoh:

Feri Safiqul Awab (status kawin dengan 3 orang anak) bekerja pada PT Kartika Kawashima Pionirindo dengan memperoleh gaji Rp2.500.000,00 sebulan. Kepada Feri Safiqul Awab diberikan tunjangan pajak sebesar


(48)

47

Rp25.000,00. Iuran pensiun yang dibayar oleh Feri Safiqul Awab adalah sebesar Rp25.000,00 sebulan.

Gaji sebulan Rp 2.500.000,00

Tunjangan Pajak Rp 25.000,00

Penghasilan bruto sebulan Rp 2.525.000,00

Pengurangan : 1. Biaya Jabatan

5% x Rp2.525.000,00 Rp 126.250,00

2. Iuran pensiun Rp 25.000,00 Rp 151.250,00

Penghasilan neto sebulan Rp 2.373.750,00

Penghasilan neto setahun

12 x Rp2.373.250,00 Rp28.485.000,00

PTKP

cc. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00 dd. tambahan karena

menikah

Rp 1.320.000,00

ee. tambahan 3 orang anak Rp 3.960.000,00 Rp 21.120.000,00

Penghasilan Kena Pajak Rp 7.365.000,00

PPh Pasal 21 setahun

5% x Rp7.365.000,00 Rp 368.250,00

PPh Pasal 21 sebulan

Rp368.250,00 : 12 Rp 30.688,00

Selisih pajak terutang dengan tunjangan pajak adalah Rp30.688,00 - Rp25.000,00 = Rp5.688,00 dapat ditanggung oleh Feri Safiqul Awab yaitu dengan dipotongkan dari penghasilan bulan yang bersangkutan atau ditanggung oleh pemberi kerja/ pemotong pajak.

Apabila selisih sebesar Rp5.688,00 tersebut ditanggung oleh pemberi kerja/pemotong pajak maka jumlah tersebut bukan merupakan biaya yang dapat dikurangkan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak pemberi kerja/pemotong pajak.

f) Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penerimaan dalam Bentuk Natura/ Kenikmatan yang Diberikan oleh Wajib Pajak yang Pengenaan Pajak Penghasilannya Bersifat Final atau Berdasarkan Norma Penghitungan Khusus (Deemed Profit)


(49)

48

Contoh:

Brian Yanuardi adalah WNI yang bekerja pada suatu perwakilan dagang asing yang pengenaan pajaknya menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit), memperoleh gaji sebesar Rp1.500.000,00 sebulan beserta beras 30kg dan gula 10kg. Brian Yanuardi berstatus menikah dengan 1 orang anak. Nilai uang dihitung berdasarkan harga pasar yaitu harga beras Rp10.000,00 per kg, sedangkan harga gula Rp8.000,00 per kg.

Penghitungan PPh Pasal 21:

Gaji sebulan Rp 1.500.000,00

Beras : 30 x Rp10.000,00 Rp 300.000,00

Gula : 10 x Rp 8.000,00 Rp 80.000,00

Penghasilan bruto sebulan Rp 1.880.000,00

Pengurangan :

1. Biaya Jabatan: 5% x Rp1.880.000,00 Rp 94.000,00

Penghasilan neto sebulan Rp 1.786.000,00

Penghasilan neto setahun: 12 x Rp1.786.000,00 Rp21.432.000,00 PTKP

ff. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00 gg. tambahan karena

menikah

Rp 1.320.000,00

hh. tambahan 1 orang anak Rp 1.320.000,00 Rp 18.480.000,00

Penghasilan Kena Pajak Rp 2.952.000,00

PPh Pasal 21 setahun: 5% x Rp2.952.000,00 Rp 147.600,00 PPh Pasal 21 sebulan: Rp147.600,00 : 12 Rp 12.300,00 g) Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Teratur bagi Penerima

Pensiun Berkala

 Penghitungan PPh Pasal 21 pada Tahun Pertama Dibayarkannya Uang Pensiun Secara Bulanan

 Penghitungan PPh Pasal 21 di Tempat Pemberi Kerja Sebelum Pensiun

Apabila waktu pensiun sudah dapat diketahui dengan pasti pada awal tahun, misalnya berdasarkan ketentuan yang berlaku di tempat pemberi kerja yang dikaitkan dengan usia pegawai yang bersangkutan, maka penghitungan PPh Pasal 21 terutang sebulan dihitung


(50)

49

berdasarkan penghasilan kena pajak yang akan diperoleh dalam periode dimana pegawai yang bersangkutan akan bekerja dalam tahun berjalan sebelum memasuki masa pensiun.

Namun, apabila waktu pensiun belum dapat diketahui dengan pasti pada waktu menghitung PPh Pasal 21 yang terutang untuk setiap bulan, maka penghitungan PPh Pasal 21 didasarkan pada perkiraan penghasilan neto setahun seperti pada Contoh I.6.2.1. Penghitungan Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Pegawai yang Masih Memiliki Kewajiban Pajak Subjektif Berhenti Bekerja pada Tahun Berjalan.

Contoh:

Raden Suryaman, berstatus kawin dengan 2 orang anak yang masih menjadi tanggungan, bekerja sebagai pegawai tetap pada PT Indo Rejo Abadi dengan gaji sebulan Rp5.000.000,00. Raden Suryaman setiap bulan membayar iuran pensiun Rp250.000,00 ke Dana Pensiun “Swadhana Utama” yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. Terhitung mulai 1 Juli 2009, Raden Suryawan akan memasuki masa pensiun.

Penghitungan PPh Pasal 21 sebulan:

Gaji sebulan Rp 5.000.000,00

Pengurangan : 1. Biaya Jabatan

5% x Rp5.000.000,00 Rp 250.000,00

2. Iuran Pensiun Rp 250.000,00 Rp 500.000,00

Penghasilan neto sebulan Rp 4.500.000,00

Penghasilan neto 6 bulan (Jan-Juni 2009)

6 x Rp4.500.000 Rp27.000.000,00

PTKP

ii. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00 jj. tambahan krn menikah Rp 1.320.000,00 kk. tambahan 2 orang

anak

Rp 2.640.000,00 Rp19.800.000,00

Penghasilan Kena Pajak Rp 7.200.000,00

PPh Pasal 21 terutang

5% x Rp7.200.000,00 Rp 360.000,00

PPh Pasal 21 sebulan


(51)

50

 Pada saat Raden Suryaman berhenti bekerja dan memasuki masa

pensiun, maka pemberi kerja memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 (Form 1721-A1) dengan data sebagai berikut:

Gaji 6 bulan: 6 x Rp5.000.000,00 Rp30.000.000,00 Pengurangan :

1. Biaya Jabatan

5% x Rp30.000.000,00 Rp 1.500.000,00 2. Iuran Pensiun

6 x Rp250.000,00 Rp 1.500.000,00 Rp 3.000.000,00

Penghasilan neto 6 bulan Rp27.000.000,00

PTKP

ll. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00 mm. tambahan krn

menikah

Rp 1.320.000,00

nn. tambahan 2 anak Rp 2.640.000,00 Rp19.800.000,00

Penghasilan Kena Pajak Rp 7.200.000,00

PPh Pasal 21 terutang

5% x Rp7.200.000,00 Rp 360.000,00

PPh 21 telah dipotong

6 x Rp60.000,00 Rp 360.000,00

PPh Pasal 21 kurang (lebih) dipotong N I H I L Apabila pemotongan PPh Pasal 21 setiap bulan didasarkan pada penghasilan yang disetahunkan, karena pada saat perhitungan belum diketahui secara pasti saat pensiun atau berhenti bekerja, maka pada saat penghitungan PPh Pasal 21 terutang untuk masa terakhir (saat pensiun atau berhenti bekerja), akan terjadi kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan pegawai yang bersangkutan, yang harus dikembalikan oleh pemotong pajak kepada pegawai yang bersangkutan.

 Penghitungan PPh Pasal 21 oleh Dana Pensiun yang Membayarkan Uang Pensiun Bulanan.

Untuk kemudahan dan kesederhanaan bagi pegawai yang pensiun dalam hal yang bersangkutan tidak mempunyai penghasilan selain dari pekerjaan dari satu pemberi kerja dan uang pensiun, Dana Pensiun


(52)

51

menghitung pemotongan PPh Pasal 21 atas uang pensiun pada tahun pertama pegawai menerima uang pensiun dengan berdasarkan pada gunggungan penghasilan neto dari pemberi kerja sampai dengan pensiun dan perkiraan uang pensiun yang akan diterima dalam tahun kalender yang bersangkutan. Agar Dana Pensiun dapat melakukan pemotongan PPh Pasal 21 seperti itu, maka penerima pensiun harus segera menyerahkan bukti pemotongan PPh Pasal 21 (Formulir 1721 A-1/1721 A-2) dari pemberi kerja sebelumnya.

Melanjutkan contoh sebelumnya:

Selanjutnya, mulai bulan Juli 2009 Raden Suryaman memperoleh uang pensiun dari Dana Pensiun Swadhana Utama sebesar Rp3.000.000,00 sebulan. Penghitungan PPh Pasal 21 terutang atas uang pensiun adalah sebagai berikut:

Pensiun sebulan Rp 3.000.000,00

Pengurangan : 1. Biaya Pensiun

5% x Rp3.000.000,00 Rp 150.000,00

Penghasilan neto sebulan Rp 2.850.000,00

Penghasilan neto Juli s.d. Des 2009: 6 x Rp2.850.000

Rp17.100.000,00 Penghasilan neto dari PT Indo Rejo Abadi sesuai form

1721-A1 Rp27.000.000,00

Jumlah penghasilan neto tahun 2009 Rp44.100.000,00

PTKP Rp19.800.000,00

Penghasilan Kena Pajak Rp24.300.000,00

PPh Pasal 21 terutang:

5% x Rp24.300.000,00 Rp 1.215.000,00

PPh 21 terutang di PT Indo Rejo Abadi sesuai Form

1721-A1 Rp 360.000,00

PPh Pasal 21 terutang pada Dana Pensiun “Swadhana

Utama”, selama 6 bulan Rp 855.000,00 PPh Pasal 21 atas uang pensiun yang harus dipotong


(53)

52

 Penghitungan kembali PPh Pasal 21 oleh Dana Pensiun Swadhana

Utama untuk dicantumkan dalam Form 1721-A1: Pensiun 6 bulan

6 x Rp3.000.000,00 Rp18.000.000,00

Pengurangan : 1. Biaya Pensiun

5% x Rp18.000.000,00 Rp 900.000,00

Penghasilan neto 6 bulan Rp17.100.000,00

Penghasilan neto dari PT Indo Rejo Abadi sesuai

Form 1721 A1 Rp27.000.000,00

Jumlah penghasilan neto tahun 2009 Rp44.100.000,00

PTKP Rp19.800.000,00

Penghasilan Kena Pajak Rp24.300.000,00

PPh Pasal 21 terutang:

5% x Rp24.300.000,00 Rp 1.215.000,00

PPh Pasal 21 terutang di PT Indo Rejo Abadi sesuai

Form 1721-A1 Rp 360.000,00

PPh Pasal 21 terutang pada Dana Pensiun Swadhana

Utama, selama 6 bulan adalah Rp 855.000,00 PPh Pasal 21 yang telah dipotong

6 x Rp142.500,00 Rp 855.000,00

PPh Pasal 21 kurang (lebih) dipotong N I H I L  Penghitungan PPh Pasal 21 atas Pembayaran Uang Pensiun Secara

Bulanan pada Tahun Kedua dan Seterusnya

Dengan menggunakan contoh sebelumnya, penghitungan PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan mulai Januari 2010 (tahun kedua yang bersangkutan pensiun) adalah sebagai berikut:

Pensiun sebulan Rp 3.000.000,00

Pengurangan : 1. Biaya Pensiun

5% x Rp3.000.000,00 Rp 150.000,00

Penghasilan neto sebulan Rp 2.850.000,00

Penghasilan neto disetahunkan

12 x Rp2.850.000,00 Rp34.200.000,00


(54)

53

oo. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00 pp. tambahan krn

menikah

Rp 1.320.000,00 qq. tambahan 2 orang

anak

Rp 2.640.000,00 Rp19.800.000,00

Penghasilan Kena Pajak Rp14.400.000,00

PPh Pasal 21 terutang:

5% x Rp14.400.000,00 Rp 720.000,00

PPh Pasal 21 sebulan

Rp720.000,00 : 12 Rp 60.000,00

2) Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Tidak Teratur13 bagi Pegawai

Tetap Contoh:

Joko Qurnain (tidak kawin) bekerja pada PT Qolbu Jaya dengan memperoleh gaji Rp2.000.000,00 sebulan. Dalam tahun yang bersangkutan Joko menerima bonus sebesar Rp5.000.000,00. Setiap bulannya Joko membayar iuran pensiun ke dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan sebesar Rp60.000,00.

Cara menghitung PPh Pasal 21 atas bonus adalah: a) PPh Pasal 21 atas Gaji dan Bonus (Penghasilan Setahun)

Gaji setahun

12 x Rp2.000.000,00 Rp24.000.000,00

Bonus Rp 5.000.000,00

Penghasilan bruto setahun Rp29.000.000,00

Pengurangan : 1. Biaya Jabatan

5% x Rp29.000.000,00 Rp1.450.000,00 2. Iuran Pensiun

12 x Rp60.000,00 Rp 720.000,00 Rp 2.170.000,00

Penghasilan neto setahun Rp26.830.000,00

PTKP

rr. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00

Penghasilan Kena Pajak Rp10.990.000,00

PPh Pasal 21 terutang atas Gaji dan Bonus

5% x Rp10.990.000,00 Rp 549.500,00

b) PPh Pasal 21 atas Gaji Setahun Gaji setahun


(55)

54

Pengurangan : 1. Biaya Jabatan

5% x Rp24.000.000,00 Rp1.200.000,00 2. Iuran Pensiun

12 x Rp60.000,00 Rp 720.000,00 Rp 1.920.000,00

Penghasilan neto setahun Rp22.080.000,00

PTKP

ss. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00

Penghasilan Kena Pajak Rp 6.240.000,00

PPh Pasal 21 terutang atas Gaji

5% x Rp6.240.000,00 Rp 312.000,00

c) PPh Pasal 21 atas Bonus

PPh 21 terutang atas Gaji Setahun & Bonus Rp 549.500,00 PPh Pasal 21 terutang atas Gaji Setahun Rp 312.000,00 PPh Pasal 21 terutang atas Bonus Rp 237.500,00 Contoh:

Ken Prameswari (tidak kawin) bekerja pada PT Prabu Kedaton dengan memperoleh gaji Rp2.750.000,00 sebulan. Perusahaan ikut dalam program jamsostek. Premi JKK dan premi JKM dan Iuran JHT dibayar oleh pemberi kerja setiap bulan masing-masing sebesar 1,00%, 0,30% dan 3,70% dari gaji. Prameswari membayar iuran Pensiun Rp50.000,00 dan iuran JHT sebesar 2,00% dari gaji untuk setiap bulan. Dalam tahun berjalan dia juga menerima bonus sebesar Rp4.000.000,00

Cara menghitung PPh Pasal 21 atas bonus adalah sebagai berikut: d) PPh Pasal 21 atas Gaji dan Bonus (penghasilan setahun)

Gaji setahun

12 x Rp2.750.000,00 Rp33.000.000,00 Premi Jaminan Kecelakaan Kerja

12 x Rp 27.500,00 Rp 330.000,00 Premi Jaminan Kematian

12 x Rp 8.250,00 Rp 99.000,00

Jumlah Penghasilan Teratur Rp33.429.000,00

Bonus Rp 4.000.000,00

Penghasilan bruto setahun Rp37.429.000,00

Pengurangan : 1. Biaya Jabatan


(56)

55

2. Iuran Pensiun

12 x Rp50.000,00 Rp 600.000,00 3. Iuran Jaminan Hari Tua

12 x Rp55.000,00 Rp 660.000,00 Rp 3.131.450,00

Penghasilan neto setahun Rp34.297.550,00

PTKP

tt. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00

Penghasilan Kena Pajak Rp18.457.550,00

Dibulatkan Rp18.457.000,00

PPh Pasal 21 terutang atas Gaji dan Bonus

5% x Rp18.457.000,00 Rp 922.850,00

e) PPh Pasal 21 atas Gaji Setahun Gaji setahun

12 x Rp2.750.000,00 Rp33.000.000,00 Premi Jaminan Kecelakaan Kerja

12 x Rp 27.500,00 Rp 330.000,00 Premi Jaminan Kematian

12 x Rp 8.250,00 Rp 99.000,00

Penghasilan bruto setahun Rp33.429.000,00

Pengurangan : 1. Biaya Jabatan

5% x Rp33.429.000,00 Rp 1.671.450,00 2. Iuran Pensiun

12 x Rp50.000,00 Rp 600.000,00 3. Iuran Jaminan Hari Tua

12 x Rp55.000,00 Rp 660.000,00 Rp 2.931.450,00

Penghasilan neto setahun Rp30.497.550,00

PTKP

uu. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00

Penghasilan Kena Pajak Rp14.657.550,00

Dibulatkan Rp14.657.000,00

PPh Pasal 21 terutang atas Gaji Setahun

5% x Rp14.657.000,00 Rp 732.850,00

f) PPh Pasal 21 atas Bonus

PPh 21 terutang atas Gaji Setahun dan Bonus Rp 922.850,00 PPh Pasal 21 terutang atas Gaji Setahun Rp 732.850,00 PPh Pasal 21 terutang atas Bonus Rp 190.000,00


(57)

56

3) Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Pegawai yang Berhenti Bekerja atau Mulai Bekerja dalam Tahun Berjalan

a) Pegawai Baru Mulai Bekerja pada Tahun Berjalan

Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan pegawai yang kewajiban pajak subjektifnya sebagai Subjek Pajak dalam negeri sudah ada sejak awal tahun kalender tetapi baru bekerja pada pertengahan tahun

Contoh:

Budiyanta bekerja pada PT Xiang Malam sebagai pegawai tetap sejak 1 September 2009. Catur menikah tetapi belum punya anak. Gaji sebulan adalah sebesar Rp6.000.000,00 dan iuran pensiun yang dibayar tiap bulan sebesar Rp150.000,00.

Penghitungan PPh Pasal 21 tahun 2009 adalah sebagai berikut:

Gaji sebulan Rp 6.000.000,00

Pengurangan : 1. Biaya Jabatan

5% x Rp6.000.000,00 Rp 300.000,00

2. Iuran Pensiun Rp 150.000,00 Rp 450.000,00

Penghasilan neto sebulan Rp 5.550.000,00

Penghasilan neto setahun

4 x Rp5.550.000,00 Rp22.200.000,00

PTKP

vv. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00

ww. tambahan karena menikah Rp 1.320.000,00 Rp 17.160.000,00

Penghasilan Kena Pajak Rp 5.040.000,00

PPh Pasal 21 terutang

5% x Rp5.040.000,00 Rp 252.000,00

PPh Pasal 21 sebulan

Rp252.000,00 : 4 Rp 63.000,00

MASA PEROLEHAN PENGHASILAN < 12 BULAN

DISETAHUNKAN TIDAK DISETAHUNKAN

WP OP DN Meninggal Dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya di pertengahan tahun.

Orang Asing mulai bekerja di Indonesia di pertengahan tahun untuk jangka waktu > 6 bulan.

Pegawai tetap pindah cabang.

WP OP DN mulai bekerja di pertengahan tahun.

WP OP DN pindah kerja ke pemberi kerja lain.


(58)

57

Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan pegawai yang kewajiban pajak subjektifnya sebagai Subjek Pajak dalam negeri dimulai setelah permulaan tahun pajak, dan mulai bekerja pada tahun berjalan.

Contoh:

David Raisita (K/3) mulai bekerja 1 September 2009. Ia bekerja di Indonesia s.d. Agustus 2012. Selama Tahun 2009 menerima gaji per bulan Rp20.000.000,00. Penghitungan PPh Pasal 21 Tahun 2009 adalah sebagai berikut:

Gaji sebulan Rp 20.000.000,00

Pengurangan : 1. Biaya Jabatan

5% x Rp20.000.000,00 Rp 1.000.000,00

Maksimum Diperkenankan Rp 500.000,00

Penghasilan neto sebulan Rp 19.500.000,00

Penghasilan neto 4 bulan

4 x Rp19.500.000 Rp 78.000.000,00

Penghasilan Neto Disetahunkan

12/4 x Rp78.000.000,00 Rp234.000.000,00

PTKP

xx. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00 yy. tambahan karena menikah Rp 1.320.000,00

zz. tambahan 3 orang anak Rp 3.960.000,00 Rp 21.120.000,00 Penghasilan Kena Pajak Disetahunkan Rp212.880.000,00 PPh Pasal 21 Disetahunkan

5% x Rp 50.000.000,00 Rp 2.500.000,00

15% x Rp162.880.000,00 Rp24.432.000,00 Rp 26.932.000,00 PPh Pasal 21 Terutang untuk tahun 2009

4/12 x Rp26.932.000,00 Rp 8.977.333,00

PPh Pasal 21 terutang sebulan

Rp8.977.333,00 : 4 Rp 2.244.333,00

b) Pegawai Berhenti Bekerja pada Tahun Berjalan

 Pegawai Yang Masih Memiliki Kewajiban Pajak Subjektif Berhenti Bekerja Pada Tahun Berjalan

Contoh:

Arip Marwanto yang berstatus belum menikah adalah pegawai PT Mahakam Utama di Yogyakarta. Sejak 1 Oktober 2009, Arip Marwanto berhenti bekerja di PT Mahakam Utama. Gaji Arip Marwanto setiap bulan sebesar Rp3.500.000,00 dan yang bersangkutan membayar iuran pensiun kepada Dana Pensiun yang pendiriannya telah mendapat persetujuan Menteri Keuangan sejumlah Rp100.000,00 setiap bulan.


(59)

58

Penghitungan PPh Pasal 21 yang dipotong setiap bulan:

Gaji sebulan Rp 3.500.000,00

Pengurangan : 1. Biaya Jabatan

5% x Rp3.500.000,00 Rp175.000,00

2. Iuran Pensiun Rp100.000,00 Rp 275.000,00

Penghasilan neto sebulan Rp 3.225.000,00

Penghasilan neto setahun

12 x Rp3.225.000,00 Rp38.700.000,00

PTKP

aaa. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00

Penghasilan Kena Pajak Rp22.860.000,00

PPh Pasal 21 terutang

5% x Rp22.860.000,00 Rp 1.143.000,00

PPh Pasal 21 sebulan

Rp1.143.000,00 : 12 Rp 95.250,00

Penghitungan PPh Pasal 21 yang terutang selama bekerja pada PT Mahakam Utama dalam tahun kalender 2009 (s.d. September 2009) dilakukan pada saat berhenti bekerja:

Gaji 9 bulan (Jan s.d. Sept 2009) 9 x Rp3.500.000,00

Rp31.500.000,00 Pengurangan :

1. Biaya Jabatan

5% x Rp31.500.000,00 Rp1.575.000,00 2. Iuran Pensiun

9 x Rp100.000,00 Rp 900.000,00 Rp 2.475.000,00

Penghasilan neto 9 bulan Rp29.025.000,00

PTKP

bbb. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00

Penghasilan Kena Pajak Rp13.185.000,00

PPh Pasal 21 terutang

5% x Rp13.185.000,00 Rp 659.250,00

PPh Pasal 21 terutang masa Jan s.d. Sept 2009 Rp 659.250,00 PPh Pasal 21 sudah dipotong s.d. Agustus 2009

8 x Rp95.250,00 Rp 762.000,00

PPh Pasal 21 lebih dipotong Rp 102.750,00

Catatan:

Kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 sebesar Rp102.750,00 dikembalikan oleh PT Mahakam Utama kepada yang bersangkutan pada saat pemberian bukti pemotongan PPh Pasal 21.

c) Pegawai Berhenti Bekerja Pada Tahun Berjalan dan Sekaligus Kehilangan Kewajiban Pajak Subjektif


(60)

59

Contoh:

Lewis Oshea (K/3) mulai bekerja Mei 2004 dan berhenti bekerja sejak 1 Juni 2009 dan meninggalkan Indonesia ke negara asalnya (kehilangan kewajiban pajak subjektif). Selama tahun 2009 menerima gaji perbulan sebesar Rp15.000.000,00 dan pada bulan April 2009 menerima bonus sebesar Rp20.000.000,00.

 Penghitungan PPh Pasal 21 atas gaji adalah:

Gaji sebulan Rp 15.000.000,00

Pengurangan : 1. Biaya Jabatan

5% x Rp15.000.000,00 Rp 750.000,00

Maksimum Diperkenankan Rp 500.000,00

Penghasilan neto sebulan Rp 14.500.000,00

Penghasilan neto setahun

12 x Rp14.500.000,00 Rp174.000.000,00

PTKP

ccc. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00 ddd. tambahan WP kawin Rp 1.320.000,00

eee. tambahan 3 orang anak Rp 3.960.000,00 Rp 21.120.000,00

Penghasilan Kena Pajak Rp152.880.000,00

PPh Pasal 21 terutang atas gaji

5% x Rp50.000.000,00 Rp 2.500.000,00

15% x Rp102.880.000,00 Rp15.432.000,00 Rp 17.932.000,00 PPh Pasal 21 atas gaji sebulan

Rp17.932.000,00 : 12 Rp 1.494.333,00

 Penghitungan PPh Pasal 21 atas gaji dan bonus: Gaji disetahunkan

12 x Rp15.000.000,00 Rp180.000.000,00

Bonus Rp 20.000.000,00

Jumlah Penghasilan Bruto Rp200.000.000,00

Pengurangan : 1. Biaya Jabatan

5% x Rp200.000.000,00 Rp10.000.000,00

Maks. Diperkenankan Rp 6.000.000,00

Penghasilan neto atas gaji setahun dan bonus Rp194.000.000,00 PTKP

fff. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00 ggg. tambahan WP kawin Rp 1.320.000,00

hhh. tambahan 3 orang anak Rp 3.960.000,00 Rp 21.120.000,00

Penghasilan Kena Pajak Rp172.880.000,00

PPh Pasal 21 atas gaji dan bonus

5% x Rp50.000.000,00 Rp 2.500.000,00


(61)

60

 Penghitungan PPh Pasal 21 atas Bonus:

PPh Psl 21 terutang atas Gaji Setahun & Bonus Rp 20.932.000,00 PPh Pasal 21 terutang atas Gaji Setahun Rp 17.932.000,00 PPh Pasal 21 terutang atas Bonus Rp 3.000.000,00  Penghitungan kembali PPh Pasal 21 terutang pada saat pegawai yang

bersangkutan berhenti dan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, yang dicantumkan dalam Form 1721-A1:

Gaji 5 bulan

5 x Rp15.000.000,00 Rp 75.000.000,00

Bonus Rp 20.000.000,00

Jumlah Penghasilan 5 bulan Rp 95.000.000,00

Pengurangan : 1. Biaya Jabatan

5% x Rp95.000.000,00 Rp4.750.000,00 Maks. Diperkenankan

5 x Rp500.000,00 Rp 2.500.000,00

Penghasilan neto selama 5 bulan Rp 92.500.000,00 Jumlah seluruh penghasilan neto disetahunkan

12/5 x Rp 92.500.000,00 Rp222.000.000,00

PTKP

iii. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00 jjj. tambahan WP kawin Rp 1.320.000,00

kkk. tambahan 3 orang anak Rp 3.960.000,00 Rp 21.120.000,00

Penghasilan Kena Pajak Rp200.880.000,00

PPh 21 atas gaji dan bonus

5% x Rp50.000.000,00 Rp 2.500.000,00

15% x Rp150.880.000,00 Rp22.632.000,00 Rp 25.132.000,00 PPh Pasal 21 terutang atas penghasilan 5 bulan:

5/12 x Rp 25.132.000,00 Rp 10.471.667,00

PPh Pasal 21 dipotong s.d. April 2009 atas gaji & bonus:

(4 x Rp1.494.333,00) + Rp 3.000.000,00 Rp 8.977.333,00 PPh 21 terutang dan harus dipotong Mei 2009 Rp 1.494.333,00 Catatan:

Cara penghitungan di atas berlaku juga bagi pegawai yang kehilangan kewajiban subjektifnya pada tahun berjalan karena meninggal dunia.

4) Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan yang Sebagian atau Seluruhnya Diperoleh dalam Mata Uang Asing

Contoh:

Neill Mc Leary adalah seorang karyawan memperoleh gaji pada bulan Januari 2009 dalam mata uang asing sebesar US$2,000 sebulan. Kurs yang berlaku untuk bulan Januari 2009 berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan adalah Rp11.250,00 per US$1.00. Neill Mc Leary berstatus menikah dengan 1 anak.


(62)

61

Penghitungan PPh Pasal 21 adalah: Gaji sebulan

US$2,000 x Rp11.250,00 Rp 22.500.000,00

Pengurangan : 1. Biaya Jabatan

5% x Rp22.500.000,00 Rp 1.125.000,00

Maksimum Diperkenankan Rp 500.000,00

Penghasilan neto sebulan Rp 22.000.000,00

Penghasilan neto setahun

12 x Rp22.000.000,00 Rp264.000.000,00

PTKP

lll. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00 mmm. tambahan WP kawin Rp 1.320.000,00

nnn. tambahan 1 orang anak Rp 1.320.000,00 Rp 18.480.000,00

Penghasilan Kena Pajak Rp245.520.000,00

PPh Pasal 21 terutang atas gaji

5% x Rp50.000.000,00 Rp 2.500.000,00

15% x Rp195.520.000,00 Rp29.328.000,00 Rp 31.828.000,00 PPh Pasal 21 atas gaji sebulan

Rp31.828.000,00 : 12 Rp 2.652.333,00

5) Penghitungan PPh Pasal 21 bagi Pegawai Tetap yang Baru Memiliki NPWP pada Tahun Berjalan

Contoh:

Wahyu Santosa, status belum menikah dan tidak memiliki tanggungan keluarga, bekerja pada PT Fajar Sejahtera dengan memperoleh gaji dan tunjangan setiap bulan sebesar Rp5.500.000,00, dan yang bersangkutan membayar iuran pensiun kepada perusahaan Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan setiap bulan sebesar Rp200.000,00. Wahyu Santosa baru memiliki NPWP pada bulan Juni 2009 dan menyerahkan fotokopi kartu NPWP kepada PT Fajar Sejahtera untuk digunakan sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 21 bulan Juni.

Perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap bulan Januari - Mei 2009 adalah sebagai berikut:

Gaji dan tunjangan sebulan Rp 5.500.000,00

Pengurangan : 1. Biaya Jabatan

5% x Rp5.500.000,00 Rp 275.000,00

2. Iuran Pensiun Rp 200.000,00 Rp 475.000,00

Penghasilan neto sebulan Rp 5.025.000,00

Penghasilan neto setahun


(63)

62

PTKP (TK/0)

ooo. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00

Penghasilan Kena Pajak Rp44.460.000,00

PPh Pasal 21 terutang atas gaji

5% x Rp44.460.000,00 Rp 2.223.000,00

PPh Pasal 21 atas gaji sebulan

Rp2.223.000,00 : 12 Rp 185.250,00

PPh Pasal 21 yang harus dipotong karena belum ber-NPWP:

120% x Rp 185.250,00 Rp 222.300,00

PPh Pasal 21 yang dipotong dari Jan s.d. Mei 2009

5 x Rp222.300,00 Rp 1.111.500,00

PPh Pasal 21 terutang apabila yang bersangkutan ber- NPWP

5 x Rp185.250,00 Rp 926.250,00

Selisih

20% x 5 x Rp185.250,00 Rp 185.250,00

Penghitungan PPh Pasal 21 terutang dan yang harus dipotong untuk bulan Juni 2009, setelah yang bersangkutan memiliki NPWP dan menyerahkan fotokopi kartu NPWP kepada pemberi kerja, dengan catatan gaji dan tunjangan untuk bulan Juni 2009 tidak berubah, adalah sebagai berikut:

PPh Pasal 21 terutang sebulan (perhitungan sebelumnya)

Rp185.250,00 Diperhitungkan dengan pemotongan atas tambahan

20% sebelum memiliki NPWP (Jan s.d. Mei 2009)

20% x 5 x Rp185.250,00 Rp185.250,00

PPh Pasal 21 yang harus dipotong bulan Juni 2009 N I H I L

Apabila Wahyu Santosa baru memiliki NPWP pada akhir November 2009 dan menyerahkan fotokopi kartu NPWP sebelum pemotongan PPh Pasal 21 untuk bulan Desember 2009, dengan asumsi penghasilan setiap bulan besarnya sama dan tidak ada penghasilan lain selain penghasilan tetap dan teratur setiap bulan tersebut, maka perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada bulan Desember 2009 adalah sebagai berikut:

PPh Pasal 21 terutang sebulan (perhitungan sebelumnya)

Rp185.250,00 Diperhitungkan dengan pemotongan atas tambahan

20% sebelum memiliki NPWP (Jan s.d. Nov 2009)

20% x 11 x Rp185.250,00 (Rp407.550,00)

PPh Pasal 21 yang harus dipotong bulan Desember 2009

(Rp222.300,00) Karena jumlah yang diperhitungkan lebih besar daripada jumlah PPh Pasal 21 terutang untuk bulan Desember 2009, maka jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk bulan tersebut adalah Nihil. Jumlah sebesar Rp 222.300,00 dapat


(64)

63

diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 untuk bulan-bulan selanjutnya dalam tahun kalender berikutnya. Karena jumlah tersebut sudah diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 terutang untuk bulan-bulan berikutnya, jumlah tersebut tidak termasuk dalam kredit pajak yang dapat diperhitungkan oleh pegawai tetap dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi yang bersangkutan.

Perhitungan PPh Pasal 21 terutang untuk tahun 2009, dimana Wahyu Santosa sudah memiliki NPWP pada akhir bulan November 2009 sebelum pemotongan PPh Pasal 21 bulan Desember 2009 adalah sebagai berikut:

Gaji dan tunjangan setahun

12 x Rp5.500.000,00 Rp 66.000.000,00

Pengurangan : 1. Biaya Jabatan

5% x Rp66.000.000,00 Rp3.300.000,00 2. Iuran Pensiun

12 x Rp200.000,00 Rp2.400.000,00 Rp 5.700.000,00

Penghasilan neto setahun Rp60.300.000,00

PTKP (TK/0)

ppp. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00

Penghasilan Kena Pajak Rp44.460.000,00

PPh Pasal 21 terutang atas gaji

5% x Rp44.460.000,00 Rp 2.223.000,00

PPh 21 telah dipotong Jan-Nov 2009

11 x Rp222.300,00 Rp2.445.300,00

Desember 2009 Rp 0,00 Rp 2.445.300,00 PPh Pasal 21 lebih dipotong untuk diperhitungkan pada

bulan selanjutnya dalam tahun kalender berikutnya (Rp 222.300,00) Karena jumlah sebesar Rp222.300,00 sudah diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 terutang bulan berikutnya oleh Pemotong PPh Pasal 21, maka jumlah yang dapat dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi pegawai yang bersangkutan sebesar Rp 2.223.000,00

f. Penghitungan PPh Pasal 21 Yang Harus Dipotong Pada Masa Pajak Terakhir a) Bulan Desember untuk Pegawai Tetap yang Bekerja sampai dengan akhir

tahun kalender.

 Dalam Hal Penghasilan Tetap dan Teratur Setiap Bulan Sama/Tidak Berubah

Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada bulan Desember besarnya sama dengan yang dipotong pada bulan-bulan sebelumnya.


(65)

64

 Dalam Hal Besarnya Penghasilan Tetap dan Teratur Setiap Bulan

Mengalami Perubahan. Contoh:

Jaka Lelana, status belum menikah dan tidak memiliki tanggungan keluarga, bekerja pada PT Lazuardi Internusa dengan memperoleh gaji dan tunjangan setiap bulan sebesar Rp5.500.000,00, dan yang bersangkutan membayar iuran pensiun kepada perusahaan Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan setiap bulan sebesar Rp200.000,00. Mulai bulan Juli 2009, Jaka Lelana memperoleh kenaikan penghasilan tetap setiap bulan menjadi sebesar Rp7.000.000,00

 Perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap bulan untuk bulan Januari-Juni 2009

Gaji dan tunjangan sebulan Rp 5.500.000,00 Pengurangan :

1. Biaya Jabatan

5% x Rp5.500.000,00 Rp 275.000,00

2. Iuran Pensiun Rp 200.000,00 Rp 475.000,00 Penghasilan neto sebulan Rp 5.025.000,00 Penghasilan neto setahun

12 x Rp5.025.000,00 Rp60.300.000,00

PTKP (TK/0)

qqq. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00

Penghasilan Kena Pajak Rp44.460.000,00

PPh Pasal 21 terutang atas gaji

5% x Rp44.460.000,00 Rp 2.223.000,00

PPh Pasal 21 atas gaji sebulan

Rp2.223.000,00 : 12 Rp 185.250,00

 Perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap bulan untuk bulan Juli-November 2009

Gaji dan tunjangan sebulan Rp 7.000.000,00 Pengurangan :

1. Biaya Jabatan

5% x Rp7.000.000,00 Rp 350.000,00

2. Iuran Pensiun Rp 200.000,00 Rp 550.000,00

Penghasilan neto sebulan Rp 6.450.000,00

Penghasilan neto setahun

12 x Rp6.450.000,00 Rp77.400.000,00

PTKP (TK/0)

rrr. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00

Penghasilan Kena Pajak Rp61.560.000,00


(66)

65

5% x Rp50.000.000,00 Rp2.500.000,00

15% x Rp11.560.000,00 Rp1.734.000,00 Rp 4.234.000,00 PPh Pasal 21 atas gaji sebulan

Rp4.234.000,00 : 12 Rp 352.833,00

 Perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada bulan Desember 2009

Penghasilan selama setahun

(6 x Rp5.500.000,00) + (6 x Rp7.000.000,00) Rp 75.000.000,00 Pengurangan :

1. Biaya Jabatan

5% x Rp75.000.000,00 Rp3.750.000,00 2. Iuran Pensiun

12 x Rp200.000,00 Rp2.400.000,00 Rp 6.150.000,00

Penghasilan neto setahun Rp68.850.000,00

PTKP (TK/0)

sss. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00

Penghasilan Kena Pajak Rp53.010.000,00

PPh Pasal 21 terutang atas gaji

5% x Rp50.000.000,00 Rp2.500.000,00

15% x Rp3.010.000,00 Rp 451.500,00 Rp 2.951.500,00 PPh Pasal 21 yang telah dipotong s.d. Nov 2009:

(6 x Rp185.250,00) + ( 5 x Rp352.833,00) Rp 2.875.365,00 PPh Pasal 21 harus dipotong pada Des 2009 Rp 76.135,00 b) Bulan Terakhir Memperoleh Gaji atau Penghasilan Tetap dan Teratur karena

yang Bersangkutan Berhenti Bekerja.

Lihat Contoh Pegawai Berhenti Bekerja Pada Tahun Berjalan. 2. PPh Pasal 21 bagi Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas

Ph Bruto Sehari ≤ Rp150.000,00

Ph Bruto Sehari > Rp150.000,00

Tidak Dipotong PPh 21 Dikurangi Rp150.000,00

Dipotong PPh Pasal 21 = 5%

UPAH HARIAN/MINGGUAN/SATUAN/BORONGAN dan UANG SAKU HARIAN

TIDAK DIBAYARKAN secara BULANAN

DIBAYARKAN secara BULANAN atau Penghasilan KUMULATIF dalam 1 Bulan Kalender telah melebihi

Rp6.000.000,00

UPAH BRUTO dalam 1 Bulan DIKALI 12

DIKURANGI PTKP SETAHUN

PENGHASILAN KENA PAJAK

Ph Kumulatif dalam 1 bulan > Rp1.320.000,00

Upah Sehari DIKURANGI PTKP Sehari

Tarif PPh Pasal 21 = 5%

TARIF Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh

PPh Pasal 21 SETAHUN DIBAGI 12


(67)

66

a. Dengan Upah Harian Contoh:

Sentot dengan status belum menikah pada bulan Januari 2009 bekerja sebagai buruh harian PT Harapan Sentosa. Ia bekerja selama 10 hari dan menerima upah harian sebesar Rp 150.000,00.

Penghitungan PPh Pasal 21 terutang:

Upah Sehari Rp150.000,00

Dikurangi batas upah harian tidak dilakukan pemotongan PPh

Rp150.000,00

Penghasilan Kena Pajak sehari Rp 0,00

PPh Pasal 21 dipotong atas Upah sehari Rp 0,00 Sampai dengan hari ke-8, karena jumlah kumulatif upah yang diterima belum melebihi Rp1.320.000,00, maka tidak ada PPh Pasal 21 yang dipotong.

Pada hari ke-9 jumlah kumulatif upah yang diterima melebihi Rp 1.320.000,00, maka PPh Pasal 21 terutang dihitung berdasarkan upah setelah dikurangi PTKP yang sebenarnya.

Upah s.d hari ke-9

9 x Rp150.000,00 Rp1.350.000,00

PTKP sebenarnya:

9 x (Rp15.840.000,00 / 360) Rp 396.000,00

Penghasilan Kena Pajak s.d hari ke-9 Rp 954.000,00 PPh Pasal 21 terutang s.d hari ke-9

5% x Rp954.000,00 Rp 47.700,00

PPh Pasal 21 yang telah dipotong s.d hari ke-8 Rp 0,00 PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada hari ke-9 Rp 47.700,00 Sehingga pada hari ke-9, upah bersih yang diterima Sentot sebesar:

Rp150.000,00 - Rp47.700,00 = Rp102.300,00

Misalkan Sentot bekerja selama 10 hari, maka penghitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada hari ke - 10 adalah sebagai berikut:

Pada hari kerja ke-10, jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong adalah:

Upah sehari Rp150.000,00

PTKP sehari

ttt. untuk WP sendiri (Rp15.840.000,00 : 360) Rp 44.000,00

Penghasilan Kena Pajak Rp106.000,00

PPh Pasal 21 terutang

5% x Rp106.000,00 Rp 5.300,00

Sehingga pada hari ke-10, Sentot menerima upah bersih sebesar: Rp150.000,00 - Rp5.300,00 = Rp144.700,00


(68)

67

Contoh:

Teguh Gunanto (belum menikah) pada bulan Maret 2009 bekerja pada PT Gerbang Transindo, menerima upah sebesar Rp200.000,00 per hari.

Upah Sehari Rp200.000,00

Dikurangi batas upah harian tidak dilakukan pemotongan PPh

Rp150.000,00

Upah sehari di atas Rp150.000,00 Rp 50.000,00

PPh Pasal 21 dipotong atas Upah sehari

5% x Rp50.000,00 Rp 2.500,00

Pada hari ke-7 dalam bulan kalender yang bersangkutan, Teguh Gunanto telah menerima penghasilan sebesar Rp1.400.000,00, sehingga telah melebihi Rp1.320.000,00. Dengan demikian PPh Pasal 21 atas penghasilan Teguh Gunanto pada bulan Maret 2009 dihitung sebagai berikut:

Upah s.d hari ke-7

7 x Rp200.000,00 Rp1.400.000,00

PTKP sebenarnya:

7 x (Rp15.840.000,00 / 360) Rp 308.000,00

Penghasilan Kena Pajak s.d hari ke-7 Rp1.092.000,00 PPh Pasal 21 terutang s.d hari ke-7

5% x Rp1.092.000,00 Rp 54.600,00

PPh Pasal 21 yang telah dipotong s.d hari ke-6

6 x Rp2.500,00 Rp 15.000,00

PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada hari ke-7 Rp 39.600,00 Sehingga pada hari ke-7, upah bersih yang diterima Teguh Gunanto sebesar:

Rp200.000,00 – Rp39.600,00 = Rp160.400,00

Pada hari kerja ke-8 dan seterusnya dalam bulan kalender yang bersangkutan, jumlah PPh Pasal 21 per hari yang dipotong adalah:

Upah sehari Rp200.000,00

PTKP sehari

uuu. untuk WP sendiri (Rp15.840.000,00 : 360) Rp 44.000,00

Penghasilan Kena Pajak Rp156.000,00

PPh Pasal 21 terutang

5% x Rp156.000,00 Rp 7.800,00

b. Dengan Upah Satuan Contoh:

Urip Firmanto (belum menikah) adalah seorang karyawan yang bekerja sebagai perakit TV pada suatu perusahaan elektronika. Upah yang dibayar berdasarkan atas jumlah unit/satuan yang diselesaikan yaitu Rp50.000,00 per buah TV dan dibayarkan tiap minggu. Dalam waktu 1 minggu (6 hari kerja) dihasilkan sebanyak 24 buah TV dengan upah Rp1.200.000,00.


(69)

68

Penghitungan PPh Pasal 21: Upah sehari

Rp1.200.000,00 : 6 Rp200.000,00

Upah diatas Rp 150.000,00 sehari

Rp200.000,00 - Rp150.000,00 Rp 50.000,00

Upah seminggu terutang pajak

6 x Rp50.000,00 Rp300.000,00

PPh Pasal 21 terutang

5% x Rp300.000,00 Rp 15.000,00

c. Dengan Upah Borongan Contoh:

Viko mengerjakan dekorasi sebuah rumah dengan upah borongan sebesar Rp350.000,00, pekerjaan diselesaikan dalam 2 hari.

Upah borongan sehari

Rp350.000,00 : 2 Rp175.000,00

Upah sehari diatas Rp 150.000,00

Rp175.000,00 - Rp150.000,00 Rp 25.000,00

Upah borongan terutang pajak

2 x Rp25.000,00 Rp 50.000,00

PPh Pasal 21 terutang

5% x Rp50.000,00 Rp 2.500,00

d. Upah Harian/Satuan/Borongan/Honorarium yang Diterima Tenaga Harian Lepas tapi Dibayarkan Secara Bulanan

Contoh:

Wardi bekerja pada perusahaan elektronik dengan dasar upah harian yang dibayarkan bulanan. Dalam bulan Januari 2009 Wardi hanya bekerja 20 hari kerja dan upah sehari adalah Rp120.000,00. Wardi menikah tetapi belum memiliki anak.

Penghitungan PPh Pasal 21 Upah Januari 2009

20 x Rp120.000,00 Rp 2.400.000,00

Penghasilan neto setahun

12 x Rp2.400.000,00 Rp28.800,000,00

PTKP sehari

vvv. untuk WP sendiri Rp15.840,000,00

www. tambahan WP menikah Rp 1.320.000,00 Rp17.160.000,00

Penghasilan Kena Pajak Rp11.640.000,00

PPh Pasal 21 terutang setahun

5% x Rp11.640.000,00 Rp 582.000,00

PPh Pasal 21 terutang sebulan


(70)

69

3. PPh Pasal 21 bagi Bukan Pegawai

a. Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan yang Diterima oleh Tenaga Ahli yang Melakukan Pekerjaan Bebas

b. Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan yang Diterima oleh Bukan Pegawai yang Menerima Penghasilan yang Bersifat Berkesinambungan

1) Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas jasa dokter yang praktik di rumah sakit dan/atau klinik

dr. Dhio Dwi Koska, Sp.JP merupakan dokter spesialis jantung yang melakukan praktik di Rumah Sakit “Harapan Jantung Sehat” dengan perjanjian bahwa atas setiap jasa dokter yang dibayarkan oleh pasien akan dipotong 20% oleh pihak rumah sakit sebagai bagian penghasilan rumah sakit dan sisanya sebesar 80% akan dibayarkan kepada dr. Dhio Dwi Koska, Sp.JP pada setiap akhir bulan. Selain praktik di Rumah Sakit “Harapan Jantung Sehat” dr. Dhio Dwi Koska, Sp.JP juga melakukan praktik sendiri di klinik pribadinya. dr. Dhio Dwi Koska, Sp.JP telah memiliki NPWP dan pada tahun 2009.

Jasa dokter yang dibayarkan pasien dari praktik dr. Dhio Dwi Koska, Sp.JP di Rumah Sakit “Harapan Jantung Sehat” adalah sebagai berikut:

Bulan Jasa Dokter yang Dibayar Pasien Bulan Jasa Dokter yang Dibayar Pasien Januari Rp45.000.000,00 Juli Rp40.000.000,00 Februari Rp49.000.000,00 Agustus Rp35.000.000,00 Maret Rp47.000.000,00 September Rp45.000.000,00 April Rp40.000.000,00 Oktober Rp44.000.000,00 Mei Rp44.000.000,00 November Rp43.000.000,00 Juni Rp52.000.000,00 Desember Rp40.000.000,00 Penghitungan PPh Pasal 21 untuk bulan Januari sampai dengan Desember 2009:

Bulan

Jasa Dokter yang Dibayar

Pasien (Rupiah)

Dasar Pemotongan PPh Pasal 21

(Rupiah)

Dasar Pemotongan PPh Pasal 21

Kumulatif (Rupiah)

Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh

PPh Pasal 21 Terutang (Rupiah)

(1) (2) (3) =

50%x(2) (4) (5) (6) = (3)x(5)

Januari 45.000.000 22.500.000 22.500.000 5% 1.125.000 Februari 49.000.000 24.500.000 47.000.000 5% 1.225.000


(71)

70

Maret 47.000.000 20.500.000 3.000.000 50.000.000 70.500.000 15% 5% 3.075.000 150.000 April 40.000.000 20.000.000 90.500.000 15% 3.000.000 Mei 44.000.000 22.000.000 112.500.000 15% 3.300.000 Juni 52.000.000 26.000.000 138.500.000 15% 3.900.000 Juli 40.000.000 20.000.000 158.500.000 15% 3.000.000 Agustus 35.000.000 17.500.000 176.000.000 15% 2.625.000 September 45.000.000 22.500.000 198.500.000 15% 3.375.000 Oktober 44.000.000 22.000.000 220.500.000 15% 3.300.000 November 43.000.000 21.500.000 242.000.000 15% 3.225.000 Desember 40.000.000 12.000.000 8.000.000 250.000.000 262.000.000 15% 25% 1.200.000 3.000.000

Jumlah 524.000.000 262.000.000 35.500.000

Apabila dr. Dhio Dwi Koska Sp.JP tidak memiliki NPWP, maka PPh Pasal 21 terutang adalah sebesar 120% dari PPh Pasal 21 terutang.

2) Contoh perhitungan PPh Pasal 21 atas komisi yang dibayarkan kepada petugas dinas luar asuransi (bukan sebagai pegawai perusahaan asuransi)

Neneng Hasanah adalah petugas dinas luar asuransi dari PT Tabarru Life. Suami Neneng Hasanah telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dan mempunyai NPWP,dan yang bersangkutan bekerja pada PT Kersamanah. Neneng Hasanah telah menyampaikan fotokopi kartu NPWP suami, fotokopi surat nikah dan fotokopi kartu keluarga kepada pemotong pajak. Neneng Hasanah hanya memperoleh penghasilan dari kegiatannya sebagai petugas dinas luar asuransi, dan telah menyampaikan surat pernyataan yang menerangkan hal tersebut kepada PT Tabarru Life. Pada tahun 2009, penghasilan yang diterima oleh Neneng Hasanah sebagai petugas dinas luar asuransi dari PT. Tabarru Life adalah sebagai berikut:

Bulan Komisi Agen Bulan Komisi Agen

Januari Rp38.000.000,00 Juli Rp45.000.000,00 Februari Rp38.000.000,00 Agustus Rp48.000.000,00 Maret Rp41.000.000,00 September Rp50.000.000,00 April Rp42.000.000,00 Oktober Rp52.000.000,00 Mei Rp44.000.000,00 November Rp55.000.000,00 Juni Rp45.000.000,00 Desember Rp56.000.000,00


(72)

71

Penghitungan PPh Pasal 21 untuk bulan Januari s.d. Desember 2009 adalah:

Bulan Penghasilan Bruto (Rupiah) 50% dari Penghasilan Bruto (Rupiah) PTKP (Rupiah) Penghasila n Kena Pajak (Rupiah) Penghasilan Kena Pajak Kumulatif (Rupiah) Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh PPh Pasal 21 Terutang

(1) (2) (3)=50%x2 (4) (5)=(3)-(4) (6) (7) (8)=(5)x(7)

Jan 38.000.000 19.000.000 1.320.000 17.680.000 17.680.000 5% 884.000 Feb 38.000.000 19.000.000 1.320.000 17.680.000 35.360.000 5% 884.000 Mar 41.000.000 20.500.000 1.320.000 14.640.000

4.540.000 50.000.000 54.540.000 5% 15% 732.000 681.000 Apr 42.000.000 21.000.000 1.320.000 19.680.000 74.220.000 15% 2.952.000 Mei 44.000.000 22.000.000 1.320.000 20.680.000 94.900.000 15% 3.102.000 Jun 45.000.000 22.500.000 1.320.000 21.180.000 116.080.000 15% 3.177.000 Jul 45.000.000 22.500.000 1.320.000 21.180.000 137.260.000 15% 3.177.000 Ags 48.000.000 24.000.000 1.320.000 22.680.000 159.940.000 15% 3.402.000 Sep 50.000.000 25.000.000 1.320.000 23.680.000 183.620.000 15% 3.552.000 Okt 52.000.000 26.000.000 1.320.000 24.680.000 208.300.000 15% 3.702.000 Nov 55.000.000 27.500.000 1.320.000 26.180.000 234.480.000 15% 3.927.000 Des 56.000.000 28.000.000 1.320.000 15.520.000

11.160.000 250.000.000 261.160.000 15% 25% 2.328.000 2.790.000

554.000.000 277.000.000 35.290.000

Dalam hal Neneng Hasanah tidak dapat menunjukkan fotokopi kartu NPWP suami, fotokopi surat nikah dan fotokopi kartu keluarga dan Neneng Hasanah sendiri tidak memiliki NPWP, maka perhitungan PPh Pasal 21 dilakukan sebagaimana contoh di atas namun tidak memperoleh pengurangan PTKP setiap bulan, dan jumlah PPh Pasal 21 yang terutang adalah sebesar 120% dari PPh Pasal 21 yang seharusnya terutang dari yang memiliki NPWP sebagaimana penghitungan berikut ini:

Bulan Penghasilan Bruto (Rupiah) Dasar Pemotongan PPh Pasal 21

= 50% dari Penghasilan

Bruto (Rupiah)

Dasar Pemotongan PPh Pasal 21

Kumulatif (Rupiah) Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh Tarif Tidak Memiliki NPWP PPh Pasal 21 Terutang

(1) (2) (3)=50%x2 (4) (5) (6) (7)=(3)x(5)x(6)

Jan 38.000.000 19.000.000 19.000.000 5% 120% 1.140.000


(73)

72

Mar 41.000.000 12.000.000

8.500.000

50.000.000 58.500.000

5% 15%

120% 120%

720.000 510.000

Apr 42.000.000 21.000.000 79.500.000 15% 120% 1.260.000

Mei 44.000.000 22.000.000 101.500.000 15% 120% 3.960.000

Jun 45.000.000 22.500.000 124.000.000 15% 120% 4.050.000

Jul 45.000.000 22.500.000 146.500.000 15% 120% 4.050.000

Ags 48.000.000 24.000.000 170.500.000 15% 120% 4.320.000

Sep 50.000.000 25.000.000 195.500.000 15% 120% 4.500.000

Okt 52.000.000 26.000.000 221.500.000 15% 120% 4.680.000

Nov 55.000.000 27.500.000 249.000.000 15% 120% 4.950.000

Des 56.000.000 1.000.000

27.000.000

250.000.000 277.000.000

15% 25%

120% 120%

180.000 8.100.000

554.000.000 277.000.000 43.560.000 Dalam hal suami Neneng Hasanah atau Neneng Hasanah sendiri telah memiliki NPWP, tetapi Neneng Hasanah mempunyai penghasilan lain di luar kegiatannya sebagai petugas dinas luar asuransi, maka perhitungan PPh Pasal 21 terutang adalah sebagaimana contoh di atas, namun tidak dikenakan tarif 20% lebih tinggi karena yang bersangkutan atau suaminya telah memiliki NPWP.

3) Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan yang Diterima oleh Bukan Pegawai yang Menerima Penghasilan yang Tidak Bersifat Berkesinambungan Nashrun Berlianto melakukan jasa perbaikan komputer kepada PT Cahaya Kurnia dengan fee sebesar Rp5.000,000,00.

Besarnya PPh Pasal 21 yang terutang adalah sebesar: 5% x 50% Rp5.000.000,00 = Rp125.000,00

Dalam hal Nashrun Barlianto tidak memiliki NPWP maka besarnya PPh Pasal 21 yang terutang menjadi sebesar:

5% x 120% x 50% Rp5.000.000,00 = Rp150.000,00 4. PPh Pasal 21 lainnya

Contoh Penghitungan Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan yang Diterima oleh Bukan Pegawai, Sehubungan dengan Pemberian Jasa yang dalam Pemberian Jasanya Mempekerjakan Orang Lain Sebagai Pegawainya dan/atau Melakukan Penyerahan Material/Bahan


(74)

73

Arip Nugraha melakukan jasa perawatan AC kepada PT Wahana Jaya dengan imbalan Rp10.000.000,00. Arip Nugraha mempergunakan tenaga 5 orang pekerja dengan membayarkan upah harian masing-masing sebesar Rp180.000,00. Upah harian yang dibayarkan untuk 5 orang selama melakukan pekerjaan sebesar Rp4.500.000,00. selain itu, Arip Nugraha membeli spare part AC yang dipakai untuk perawatan AC sebesar Rp1.000.000,00.

Penghitungan PPh Pasal 21 terutang adalah sebagai berikut:

a. Dalam hal berdasarkan perjanjian serta dokumen yang diberikan Arip Nugraha, dapat diketahui bagian imbalan bruto yang merupakan upah yang harus dibayarkan kepada pekerja harian yang dipekerjakan oleh Arip Nugraha dan biaya untuk membeli spare part AC, maka jumlah imbalan bruto sebagai dasar perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh PT Wahana Jaya atas imbalan yang diberikan kepada Arip Nugraha adalah sebesar imbalan bruto dikurangi bagian upah tenaga kerja harian yang dipekerjakan Arip Nugraha dan biaya spare part AC, sebagaimana dalam contoh adalah sebesar:

Rp10.000.000,00 - Rp4.500.000,00 - Rp1.000.000,00 = Rp4.500.000,00

PPh Pasal 21 yang harus dipotong PT Wahana Jaya atas penghasilan yang diterima Arip Nugraha adalah sebesar:

5% x 50% x Rp4.500.000,00 = Rp112.500,00

Dalam hal Arip Nugraha tidak memiliki NPWP maka PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh PT Wahana Jaya menjadi:

5% x 120% x 50% x Rp4.500.000,00 = Rp135.000,00

b. Dalam hal PT Wahana Jaya tidak memperoleh informasi berdasarkan perjanjian yang dilakukan atau dokumen yang diberikan oleh Arip Nugraha mengenai upah yang harus dikeluarkan Arip Nugraha atau pembelian material/bahan, PPh Pasal 21 yang harus dipotong PT Wahana Jaya adalah jumlah sebesar:

5% x 50% x Rp 10.000.000,00 = Rp250.000,00

Dalam hal Arip Nugraha tidak memiliki NPWP maka PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh PT Wahana Jaya menjadi:


(75)

74

Catatan:

Untuk pembayaran upah harian kepada masing-masing pekerja wajib dipotong PPh Pasal 21 oleh Arip Nugraha.

1) Penghitungan Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan yang Diterima Peserta Kegiatan.

Contoh Penghitungan PPh Pasal 21

Taufik Aprianto adalah seorang pemain bulutangkis professional yang bertempat tinggal di Indonesia. Ia menjuarai turnamen Indonesia Terbuka dan memperoleh hadiah sebesar Rp200.000.000,00.

PPh Pasal 21 yang terutang adalah:

5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00 15% x Rp150.000.000,00 = Rp 22.500.000,00 PPh Pasal 21 = Rp 25.000.000,00

2) Penghitungan Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Pegawai dengan Status Wajib Pajak Luar Negeri yang Memperoleh Gaji Sebagian/Seluruhnya dalam Mata Uang Asing

a) Dalam hal pegawai dengan status Wajib Pajak luar negeri memperoleh gaji sebagian atau seluruhnya dalam mata uang asing sebelum PPh dihitung terlebih dahulu harus dikonversi dalam mata uang rupiah.

b) PPh Pasal 26 yang terutang dihitung berdasarkan jumlah penghasilan bruto, dan tidak boleh diperhitungkan pengurangan-pengurangan seperti biaya jabatan dan PTKP.

Contoh:

William Bentley adalah pegawai asing yang berada di Indonesia kurang dari 183 hari. Dia berstatus menikah dan mempunyai 2 orang anak. Ia memperoleh gaji pada bulan Maret 2009 sebesar US$2,500 sebulan. Kurs Menteri Keuangan pada saat pemotongan adalah Rp11.500,00 untuk US$ 1.00

Penghitungan PPh Pasal 26:

Penghasilan bruto berupa gaji sebulan adalah:

US$ 2,500 x Rp11.500,00 = Rp28.750.000,00 PPh Pasal 26 terutang adalah:


(76)

75

Penghitungan Pemotongan PPh Pasal 21 atas Jasa Produksi, Tantiem, Gratifikasi yang Diterima Mantan Pegawai, Honorarium Komisaris yang Bukan Sebagai Pegawai Tetap dan Penarikan Dana Pensiun oleh Peserta Program Pensiun yang Masih Berstatus sebagai Pegawai

 Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas pembayaran penghasilan kepada mantan pegawai.

Victoria Endah bekerja pada PT Fajar Wisesa. Pada tanggal 1 Januari 2009 telah berhenti bekerja pada PT Fajar Wisesa karena pensiun. Pada bulan Maret 2009 Victoria Endah menerima jasa produksi tahun 2008 dari PT Fajar Wisesa sebesar Rp 55.000.000,00.

PPh Pasal 21 yang terutang adalah:

5% x Rp50.000.000,00 = Rp2.500.000,00

15% x Rp 5.000.000,00 = Rp 750.000,00

PPh Pasal 21 yang harus dipotong = Rp3.250.000,00 Apabila dalam tahun kalender yang bersangkutan, dibayarkan penghasilan kepada mantan pegawai lebih dari 1 kali, maka PPh Pasal 21 atas pembayaran penghasilan yang berikutnya dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang PPh atas jumlah penghasilan bruto kumulatif yang diterima dengan memperhitungkan penghasilan yang telah diterima sebelumnya.

 Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas honorarium komisaris yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap

Pandaya adalah seorang komisaris di PT Wahana Sejahtera, yang bukan sebagai pegawai tetap. Dalam tahun 2009, yaitu bulan Desember 2009 menerima honorarium sebesar Rp60.000.000,00

PPh Pasal 21 yang terutang adalah:

5% x Rp50.000.000,00 = Rp2.500.000,00

15% x Rp10.000.000,00 = Rp1.500.000,00

PPh Pasal 21 yang harus dipotong = Rp4.000.000,00 Apabila dalam tahun kalender yang bersangkutan, dibayarkan penghasilan kepada yang bersangkutan lebih dari 1 kali, maka PPh Pasal 21 atas pembayaran penghasilan yang berikutnya dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang PPh atas


(77)

76

jumlah penghasilan bruto kumulatif yang diterima dengan memperhitungkan penghasilan yang telah diterima sebelumnya.

 Contoh penghitungan PPh Pasal 21 penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai Zakarias Safaat adalah pegawai PT Sampurna Sejati menerima gaji Rp2.000.000,00 sebulan. PT Sampurna Sejati mengikuti program pensiun untuk para pegawainya. PT Sampurna Sejati membayar iuran dana pensiun untuk Zakarias Safaat sebesar Rp100.000,00 sebulan ke Dana Pensiun Manfaat Sejahtera, yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. Zakarias Safaat membayar iuran serupa ke dana pensiun yang sama sebesar Rp50.000,00 sebulan.

Bulan April 2009 Zakarias Safaat memerlukan biaya untuk perbaikan rumahnya maka ia mengambil iuran dana pensiun yang telah dibayar sendiri sebesar Rp20.000.000,00. Kemudian pada bulan Juni 2009 ia menarik lagi dana sebesar Rp15.000.000,00. Kemudian bulan Oktober 2009 untuk keperluan lainnya ia menarik lagi dana sebesar Rp25.000.000,00.

PPh Pasal 21 yang terutang adalah:

Bulan Penarikan Dana PPh Pasal 21 Terutang

April Rp20.000.000,00 5% x Rp20.000.000,00 = Rp1.000.000,00 Juni Rp15.000.000,00 5% x Rp15.000.000,00 = Rp 750.000,00 Oktober Rp25.000.000,00 5% x Rp15.000.000,00 =

15% x Rp10.000.000,00 =

Rp 750.000,00 Rp1.500.000,00 Rp2.250.000,00 H. Saat Terutang PPh Pasal 21

1. PPh Pasal 21 terutang bagi Penerima Penghasilan pada saat dilakukan pembayaran atau pada saat terutangnya penghasilan yang bersangkutan.

2. PPh Pasal 21 terutang bagi Pemotong PPh Pasal 21 untuk setiap masa pajak. 3. Saat terutang untuk setiap masa pajak adalah akhir bulan dilakukannya

pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan. I. Sifat Pemotongan PPh Pasal 21


(78)

77

a. Jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong merupakan kredit pajak bagi penerima penghasilan yang dikenakan pemotongan untuk tahun pajak yang bersangkutan,

kecuali PPh Pasal 21 yang bersifat final.

b. Jumlah pemotongan PPh Pasal 21 atas selisih penerapan tarif sebesar 20% lebih tinggi bagi pegawai tetap atau penerima pensiun berkala sebelum memiliki NPWP yang telah diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 terutang untuk bulan-bulan selanjutnya pada tahun kalender berikutnya tidak termasuk kredit pajak.

c. Dalam hal Wajib Pajak yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP maka PPh Pasal 21 yang telah dipotong tersebut dapat dikreditkan dalam SPT Tahunan PPh WP Orang Pribadi untuk tahun pajak yang bersangkutan.

2. PPh Pasal 21 bersifat Final

Pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat final adalah PPh Pasal 21 atas uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus dan PPh Pasal 21 atas honorarium atau imbalan lain dengan nama apapun yang menjadi beban APBN atau APBD yang diterima atau diperoleh Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil (PNS), anggota TNI/POLRI dan pensiunannya. a. PPh Pasal 21 atas Uang Pesangon14, Uang Manfaat Pensiun15, Tunjangan Hari

Tua16, atau Jaminan Hari Tua17 yang dibayarkan sekaligus

Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2010, mengatur antara lain:

1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua (THT), atau Jaminan Hari Tua (JHT) yang dibayarkan sekaligus dikenai pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat final.

2) Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, THT, atau JHT dianggap dibayarkan sekaligus dalam hal sebagian atau seluruh pembayarannya dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun kalender. 3) Tarif PPh Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon adalah:


(79)

78

4) Tarif PPh Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun, THT, atau JHT adalah:

5) Dalam hal terdapat bagian penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, THT, atau JHT yang terutang atau dibayarkan pada tahun ketiga dan tahun-tahun berikutnya, pemotongan PPh Pasal 21 dilakukan dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang PPh atas jumlah bruto seluruh penghasilan yang terutang atau dibayarkan kepada Pegawai pada masing-masing tahun kalender yang bersangkutan, dan PPh Pasal 21 yang dipotong tersebut tidak bersifat final dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran pajak pendahuluan atau kredit pajak.

Contoh:

Rizaldi dan Sofyan Maliki merupakan pegawai PT Sabar Abadi. Pada akhir tahun 2010, perusahaan mengalami kesulitan keuangan dan melakukan pengurangan pegawai. Pada 15 Januari 2011, Rizaldi dan Sofyan Maliki terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh PT Sabar Abadi.

TARIF PPh Pasal 21

UANG PESANGON

Lapisan PENGHASILAN

s.d. Rp50.000.000,00

diatas Rp50.000.000,00 s.d. Rp100.000.000,00

diatas Rp100.000.000,00 s.d. Rp500.000.000,00

diatas Rp500.000.000,00

TARIF

0%

5%

15%

25%

TARIF PPh Pasal 21

UANG MANFAAT PENSIUN, THT, JHT

Lapisan PENGHASILAN

s.d. Rp50.000.000,00

diatas Rp50.000.000,00

TARIF

0%

5%


(80)

79

Rizaldi memperoleh uang pesangon Rp40.000.000,00, sedangkan Sofyan Maliki menerima uang pesangon Rp300.000.000,00. Pesangon tersebut dibayarkan secara sekaligus kepada Rizaldi dan Sofyan Maliki pada 15 Januari 2011.

Bagaimana kewajiban pemotongan/pemungutan PPh Pasal 21 atas pembayaran uang pesangon tersebut?

Penghitungan PPh Pasal 21 yang terutang atas Uang Pesangon yang dibayarkan sekaligus yang diterima Rizaldi:

0% x Rp40.000.000,00 = Rp0,00

Penghitungan PPh Pasal 21 yang terutang atas Uang Pesangon yang dibayarkan sekaligus yang diterima Sofyan Maliki:

0% x Rp 50.000.000,00 = Rp 0,00 5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00 15% x Rp200.000.000,00 = Rp30.500.000,00 Rp32.500.000,00

Kewajiban PT Sabar Abadi atas pembayaran uang pesangon yang dibayarkan sekaligus tersebut:

 Melakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas pembayaran uang pesangon yang dibayarkan sekaligus tersebut sebesar Rp32.500.000,00 dan memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 (final) atas uang pesangon kepada Rizaldi meskipun dikenai tarif pemotongan 0% serta kepada Sofyan Maliki.

 Menyetorkan ke kas negara paling lambat tanggal 10 Februari 2011.

 Melaporkan pemotongan PPh Pasal 21 tesebut dalam SPT Masa PPh Pasal 21 Masa Pajak Januari paling lambat tanggal 21 Februari 2010. Contoh:

Said Rahmanto telah bekerja sejak tahun 1981 sebagai pegawai tetap pada PT Pasifik Jaya. Pada bulan Januari 2010, Said Rahmanto terkena PHK. Ia berhak menerima pembayaran Uang Pesangon sebesar Rp600.000.000,00 yang dibayarkan secara bertahap oleh PT Pasifik Jaya dengan jadwal pembayaran sebagai berikut:

 Bulan Januari 2010 Rp 240.000.000,00


(81)

80

 Bulan Juli 2011 Rp 120.000.000,00

 Bulan Januari 2012 Rp 120.000.000,00

Bagaimana kewajiban pemotongan/pemungutan PPh Pasal 21 atas pembayaran uang pesangon tersebut?

Penghasilan berupa Uang Pesangon dianggap dibayarkan sekaligus dalam hal sebagian atau seluruh pembayarannya dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun kalender.

Penghitungan PPh Pasal 21 atas uang pesangon yang diterima Said Rahmanto:

 Bulan Januari 2010:

0% x Rp 50.000.000,00 = Rp 0,00 5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00 15% x Rp140.000.000,00 = Rp21.000.000,00 Rp23.500.000,00  Bulan Januari 2011:

15% x Rp120.000.000,00 = Rp 18.000.000,00  Bulan Juli 2011:

15% x Rp120.000.000,00 = Rp 18.000.000,00  Bulan Januari 2012:

Oleh karena pembayaran Uang Pesangon sudah melebihi 2 tahun kalender maka tarif PPh Pasal 21 untuk Uang Pesangon yang dibayarkan pada bulan Januari 2012 adalah Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang PPh dan PPh 21 yang dipotong tidak bersifat final dan dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak.

Penghitungan PPh Pasal 21 untuk Bulan Januari 2012: 5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00 15% x Rp 70.000.000,00 = Rp10.500.000,00

Jumlah Rp13.000.000,00

Kewajiban PT Pasifik Jaya atas pembayaran uang pesangon tersebut:

 Melakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas pembayaran uang pesangon sebagai berikut:

 Bulan Januari 2010 sebesar Rp23.500.000,00


(82)

81

 Bulan Juli 2011 sebesar Rp18.000.000,00

 Bulan Januari 2012 sebesar Rp13.000.000,00

 Memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 atas uang pesangon kepada Said Rahmanto setiap kali melakukan pembayaran uang pesangon, sebagai berikut;

 Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 (Final) atas pembayaran uang pesangon Bulan Januari 2010 sebesar Rp23.500.000,00.

 Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 (Final) atas pembayaran uang pesangon Bulan Januari 2011 sebesar Rp18.000.000,00.

 Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 (Final) atas pembayaran uang pesangon Bulan Juli 2011 sebesar Rp18.000.000,00.

 Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 atas pembayaran uang pesangon Bulan Januari 2012 sebesar Rp13.000.000,00.

 Menyetorkan PPh Pasal 21 yang telah dipotong ke kas negara sebagai berikut:

 Bulan Januari 2010, paling lambat tanggal 10 Februari 2010

 Bulan Januari 2011 paling lambat tanggal 10 Februari 2011

 Bulan Juli 2011 paling lambat tanggal 10 Agustus 2011

 Bulan Januari 2012 paling lambat tanggal 10 Februari 2012;

 melaporkan pemotongan PPh Pasal 21 tesebut dalam SPT Masa PPh Pasal 21:

 Masa Pajak Januari 2010, paling lambat tanggal 22 Februari 2010.

 Masa Pajak Januari 2011, paling lambat tanggal 21 Februari 2011.

 Masa Pajak Juli 2011, paling lambat tanggal 22 Agustus 2011.

 Masa Pajak Januari 2012, paling lambat tanggal 20 Februari 2012. b. PPh Pasal 21 atas Penghasilan yang Menjadi Beban APBN/APBD.

Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010, mengatur antara lain:

1) PPh Pasal 21 yang terutang atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD ditanggung oleh pemerintah atas beban APBN atau APBD.

2) Penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD meliputi penghasilan tetap dan teratur bagi:


(83)

82

a) Pejabat Negara, untuk:

 Gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan; ata

 imbalan tetap sejenisnya; yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

b) PNS, Anggota TNI, dan Anggota POLRI, untuk gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

c) Pensiunan, untuk uang pensiun dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3) Besarnya PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang PPh atas jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya pensiun, iuran pensiun, dan PTKP.

4) PPh Pasal 21 yang terutang atas penghasilan berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apapun yang menjadi beban APBN atau APBD, dipotong oleh bendahara pemerintah yang membayarkan honorarium atau imbalan lain tersebut.

5) PPh Pasal 21 atas penghasilan berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apapun yang menjadi beban APBN atau APBD bersifat final dengan tarif:

 sebesar 0% dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi PNS Golongan I dan Golongan II, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Tamtama dan Bintara, dan Pensiunannya;

 sebesar 5% dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi PNS Golongan III, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira Pertama, dan pensiunannya;

 sebesar 15% dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi pejabat Negara, PNS Golongan IV, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat perwira Menengah dan perwira Tinggi, dan Pensiunannya.


(84)

83

6) Dalam hal PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya diangkat sebagai pimpinan dan/atau anggota pada lernbaga yang tidak termasuk sebagai pejabat Negara, atas penghasilan yang menjadi beban APBN atau APBD terkait dengan kedudukannya sebagai pimpinan dan/atau anggota pada lembaga tersebut dikenai pemotongan PPh Pasal 21 sesuai dengan Undang-Undang PPh dan tidak ditanggung oleh Pemerintah.

7) Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI Anggota POLRI, dan Pensiunannya, menerima atau memperoleh penghasilan lain yang tidak dikenai Pajak penghasilan bersifat final di luar penghasilan tetap dan teratur yang menjadi beban APBN atau APBD, penghasilan lain tersebut digunggungkan dengan penghasilan tetap dan teratur setiap bulan dalam SPT Tahunan PPh WP orang pribadi yang bersangkutan.

8) PPh Pasal 21 yang ditanggung oleh Pemerintah dapat dikreditkan dengan PPh yang terutang atas seluruh penghasilan yang telah dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh WP orang pribadi.

TARIF PPh PASAL 21

PNS, ANGGOTA TNI/POLRI dan PENSIUNANNYA

OBJEK PAJAK

Penghasilan

Tetap dan

Teratur Setiap

Bulan yang

Menjadi Beban

APBN/APBD

TARIF

Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah penghasilan bruto setelah

dikurangi dengan biaya jabatan/biaya pensiun, iuran pensiun, dan PTKP

SUBJEK

PAJAK

Pejabat Negara PNS, Anggota TNI/POLRI Pensiunan

Honorarium

atau Imbalan

Lain dengan

Nama Apapun

yang Menjadi

Beban

APBN/APBD

PNS Gol. I dan II, Anggota TNI/POLRI Pangkat Tamtama dan Bintara, dan Pensiunannya

PNS Gol. III, Anggota TNI/POLRI Pangkat Perwira Pertama, dan Pensiunannya

Pejabat Negara, PNS Gol. IV, Anggota TNI/POLRI Pangkat Perwira Menengah dan Tinggi, dan Pensiunannya

0% 5% 15 % F I N A L D A P A T D IK RE D IT K A N


(85)

84

J. Studi Kasus PPh Pasal 21 Contoh

Sebuah stasiun televisi swasta nasional “Gemilang TV” yang dimiliki oleh PT Gemilang Corp menyelenggarakan kuis berhadiah “Jadi Milyader”, sebuah kuis yang

menuntut pesertanya memiliki wawasan yang luas seputar pengetahuan umu. Sebagai pemenang pada episode pertama pada 16 Juli 2011 adalah Rina Mulyani yang meraih uang Rp185.000.000,00 dan sepeda motor senilai Rp15.000.000,00 (sesuai dengan harga pasar). Rina Mulyani belum memiliki NPWP.

Bagaimana kewajiban pemotongan/pemungutan PPh atas pemberian hadiah tersebut?

Hadiah yang diterima oleh Rina Mulyani merupakan objek PPh Pasal 21 yang wajib dilakukan pemotongan/pemungutan PPh Pasal 21 oleh penyelenggara kegiatan. PPh Pasal 21 atas hadiah yang diterima peserta kuis berhadiah adalah jumlah penghasilan bruto dikalikan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang PPh untuk setiap kali pembayaran bersifat utuh dan tidak dipecah.

Nilai nominal hadiah uang = Rp185.000.000,00 Nilai pasar sepeda motor = Rp 15.000.000,00 Nilai total hadiah yang diterima = Rp200.000.000,00

Mengingat Rina Mulyani belum memiliki NPWP, maka PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar:

5% x 120% x Rp50.000.000,00 = Rp 3.000.000,00 15% x 120% x Rp150.000.000,00 = Rp27.000.000,00 PPh Pasal 21 Rp30.000.000,00 Kewajiban PT Gemilang Corp selaku penyelenggara kegiatan:

1. Melakukan pemotongan PPh Pasal 21 sebesar Rp30.000.000,00 dan memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 kepada Rina Mulyani.

2. Menyetorkan ke kas Negara paling lambat tanggal 10 Agustus 2011.

3. Melaporkan pemotongan PPh Pasal 21 tersebut dalam SPT Masa PPh Pasal 21 Masa Pajak Juli 2011 paling lambat tanggal 22 Agustus 2011.

Contoh

PT Yummy Food yang merupakan perusahaan industry makanan ringan


(86)

85

pertandingan final yang dilaksanakan pada tanggal 30 Desember 2010 adalah Dewi Arianti, dengan memperoleh hadiah berupa uang tunai Rp100.000.000,00.

Bagaimana kewajiban pemotongan/pemungutan PPh atas transaksi tersebut? Hadiah yang diterima oleh Dewi Arianti dari PT Yummy Food merupakan penghasilan yang diterima sehubungan dengan keikutsertaan sebagai peserta perlombaan, sehingga atas hadiah tersebut wajib dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 oleh PT Yummy Food selaku penyelenggara kegiatan.

PPh Pasal 21 yang wajib dipotong adalah:

5% x Rp50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00 15% x Rp50.000.000,00 = Rp 7.500.000,00 PPh Pasal 21 Rp10.000.000,00

Kewajiban PT Yummy Food selaku penyelenggara kegiatan:

1. Melakukan pemotongan PPh Pasal 21 sebesar Rp10.000.000,00 dan memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 kepada Dewi Arianti.

2. Menyetorkan ke kas negara paling lambat tanggal 10 Januari 2011.

3. Melaporkan pemotongan PPh Pasal 21 tersebut dalam SPT Masa PPh Pasal 21 Masa Pajak Desember 2010 paling lambat 20 Januari 2011

K. Penyetoran dan Pelaporan Pemotongan PPh Pasal 21

Penyetoran dan Pelaporan Pemotongan PPh Pasal 21

PPh Pasal 21

Tanggal Jatuh Tempo Penyetoran Paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah Masa Pajak

berakhir

Batas Akhir Pelaporan Wajib menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21/26 paling lama 20 hari


(87)

86

BAB

PPh PASAL 22

PPh Pasal 22 merupakan cara pelunasan pembayaran pajak dalam tahun berjalan oleh Wajib Pajak atas penghasilan sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang, kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain (seperti kegiatan usaha produksi barang tertentu antara lain otomotif dan semen), dan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

A. Peta Konsep PPh Pasal 22

Gambar 12: Peta Konsep Pemungutan PPh Pasal 22

3

Tujuan Instruksional Khusus:

1. Mampu menguraikan tentang konsep PPh Pasal 22. 2. Mampu menjelaskan tentang Pemungut PPh Pasal 22.

3. Mampu menjelaskan tentang yang dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22. 4. Mampu menjelaskan tentang saat terutang PPh Pasal 22.

5. Mampu menjelaskan tentang cara pemungutan PPh Pasal 22. 6. Mampu menjelaskan tentang sifat pemungutan PPh Pasal 22.

PPh PASAL

22

IMPOR

BENDAHARA Pemerintah, KPA, Pejabat Penerbit SPM,

Bendahara Pengeluaran

PEDAGANG PENGUMPUL

BAHAN BAKAR MINYAK, GAS, dan PELUMAS

Industri SEMEN, KERTAS, BAJA, dan OTOMOTIF

BARANG SANGAT MEWAH

2,5% - dengan API 7,5% - tanpa API

0,5% - KEDELAI, GANDUM, TEPUNG TERIGU

7,5% - YANG TIDAK DIKUASAI

1,5%

0,25%

0,25% - BBM SPBU Pertamina 0,3% - BBM SPBU Non Pertamina 0,3% - BBG

0,3% - PELUMAS

0,25% - SEMEN 0,1% - KERTAS 0,3% - BAJA 0,45% - OTOMOTIF

5%

NILAI IMPOR

HARGA PEMBELIAN HARGA JUAL LELANG

PENJUALAN, Tidak Termasuk PPN

Dasar Pengenaan Pajak PPN

HARGA JUAL, Tidak Termasuk PPN


(88)

87

B. Pemungut PPh Pasal 22

Pemungut PPh Pasal 22

Objek Pemungutan

1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Impor barang

2. Bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga Pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya

Pembayaran atas pembelian barang

3. Bendahara pengeluaran Pembayaran atas

pembelian barang yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP)

4. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh KPA

Pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS)

5. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak

Penjualan hasil produksinya di dalam negeri

6. Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas

Penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas 7. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor

kehutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak

Pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul 8. WP Badan yang melakukan penjualan barang

sangat mewah:

a. pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp20.000.000.000,00.

b. kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp10.000.000.000,00.

Penjualan barang sangat mewah


(89)

88

c. rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000,00 dan luas bangunan lebih dari 500m2.

d. apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000,00 dan/atau luas bangunan lebih dari 400m2 .

e. kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan, jeep,

sport utility vehicle (suv), multi purpose vehicle

(mpv), minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp5.000.000.000,00 dan dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc.

C. Dikecualikan dari Pemungutan PPh Pasal 22

Yang dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22 sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 adalah:

1. Diberikan dengan Surat Keterangan Bebas:

a. Impor barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan.

b. Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor.

2. Dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai:

a. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk18 dan/atau Pajak

Pertambahan Nilai:

a) Barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik;

b) Barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia dan tidak memegang paspor Indonesia yang diakui dan terdaftar dalam peraturan menteri keuangan yang mengatur tentang tata cara pemberian pembebasan bea masuk dan cukai atas impor barang untuk keperluan badan internasional beserta para pejabatanya yang bertugas di Indonesia;


(90)

89

c) Barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, kebudayaan atau untuk kepentingan penanggulangan bencana;

d) Barang untuk keperluan museum, kebun binatang, konservasi alam dan tempat lain semacam itu yang terbuka untuk umum;

e) Barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan; f) Barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat

lainnya;

g) Peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah; h) Barang pindahan;

i) Barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman sampai batas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan kepabeanan;

j) Barang yang diimpor oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang ditujukan untuk kepentingan umum;

k) Persenjataan, amunisi, dan perlengkapan militer, termasuk suku cadang yang diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;

l) Barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;

m) Vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan Imunisasi Nasional (PIN);

n) Buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama; o) Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau, kapal angkutan

penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang, dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran atau alat keselamatan manusia yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional atau perusahaan penangkapan ikan nasional; p) Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau

alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional; q) Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau

pemeliharaan serta prasarana yang diimpor dan digunakan oleh PT Kereta Api Indonesia;


(91)

90

r) Peralatan yang digunakan untuk penyediaan data batas dan foto udara wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia; s) Barang untuk kegiatan hulu Minyak dan Gas Bumi yang importasinya dilakukan

oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama.

b. Impor sementara, jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali.

3. Dilaksanakan tanpa Surat Keterangan Bebas:

a. Pembayaran atas pembelian barang yang jumlahnya paling banyak Rp 2.000.000,00 dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah.

b. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, pelumas, air minum/PDAM dan benda-benda pos.

c. Pembayaran untuk pembelian gabah dan/atau beras oleh Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (BULOG).

d. Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

e. Pembayaran/pencairan dana Jaring Pengaman Sosial oleh Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara.

c. Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. D. Saat Terutang PPh Pasal 22

PPh Pasal 22 Saat Terutang

1

.

Impor barang  Terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk.

 Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, maka PPh Pasal 22 terutang dan dilunasi pada saat penyelesaian dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB).

2.

Pembelian barang oleh: Terutang dan dipungut pada saat pembayaran


(92)

91

a. Bendahara Pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).

b. Bendahara pengeluaran. c. KPA atau pejabat penerbit

Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh KPA.

3.

Penjualan hasil produksi: a. Industri semen, b. Industri kertas, c. Industri baja, dan d. Industri otomotif

Terutang dan dipungut pada saat penjualan

4.

Penjualan hasil bahan bakar minyak, gas dan pelumas

Terutang dan dipungut pada saat penerbitan Surat Perintah Pengeluaran Barang (delivery order)

5.

Pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul

Terutang dan dipungut pada saat pembelian

6.

Penjualan barang sangat mewah

Terutang dan dipungut pada saat melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah

E. Cara Pemungutan PPh Pasal 22

PPh Pasal 22 Cara Pemungutan Bukti Pemungutan

1.

Impor barang Dilaksanakan dengan cara penyetoran oleh:

a. importir yang bersangkutan; atau b. Direktorat Jenderal

Bea dan Cukai,

ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

Penyetoran PPh Pasal 22 menggunakan formulir Surat Setoran Pajak yang berlaku sebagai Bukti Pemungutan Pajak.

2.

Pembelian barang oleh: Disetor oleh pemungut ke kas negara melalui Kantor


(93)

92

a. Bendahara

Pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). b. Bendahara

pengeluaran.

c. KPA atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh KPA.

Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang telah diisi atas nama rekanan serta ditandatangani oleh pemungut pajak.

3.

Penjualan hasil produksi: a. Industri semen, b. Industri kertas, c. Industri baja, dan d. Industri otomotif

Disetor oleh pemungut ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak.

Pemungut pajak wajib menerbitkan Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 dalam rangkap 3, yaitu :

a. lembar kesatu untuk WP (pembeli/ pedagang

pengumpul);

b. lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada KPP (dilampirkan pada SPT Masa PPh Pasal 22); dan c. lembar ketiga

sebagai arsip pemungut pajak.

4.

Penjualan hasil bahan bakar minyak, gas dan pelumas

5.

Pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul

6.

Penjualan barang sangat mewah

F. Sifat Pemungutan PPh Pasal 22

PPh Pasal 22 Sifat Pemungutan

1.

Impor barang  Bersifat tidak final

(kredit pajak)


(94)

93

a. Bendahara Pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).

b. Bendahara pengeluaran.

c. KPA atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh KPA.

 Dapat

diperhitungkan sebagai

pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan bagi Wajib Pajak yang dipungut.

3.

Penjualan hasil produksi: a. Industri semen, b. Industri kertas, c. Industri baja, dan d. Industri otomotif

4.

Pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul

5.

Penjualan barang sangat mewah

4.

Penjualan hasil bahan bakar minyak, gas dan pelumas kepada:

a. Penyalur/agen

b. Selain penyalur/agen Bersifat final G. Studi Kasus PPh Pasal 22

Contoh:

PT Rubber Jaya, eksportir karet yang telah ditunjuk oleh KPP sebagai pemungut PPh Pasal 22, melakukan transaksi sebagai berikut:

Tanggal Transaksi

Feb 2011

9 Membeli bahan olah karet dari PT Perkebunan Nusantara yang menjual bahan olah karet hasil perkebunan sendiri senilai Rp600.000.000,00.

17 Membeli bahan olah karet dari Tn. Eko, seorang pedagang besar yang membeli hasil karet dari petani karet di sekitar daerahnya, senilai Rp100.000.000,00.

Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh terkait transaksi tersebut?

PT Rubber Jaya melakukan pemungutan PPh Pasal 22 hanya atas transaksi dengan Tn. Eko, karena PT Perkebunan Nusantara tidak termasuk dalam pengertian pedagang pengumpul.

PPh Pasal 22 yang harus dipungut oleh PT Rubber Jaya adalah: 0,25% x Rp100.000.000,00 = Rp250.000,00


(95)

94

PT Rubber Jaya wajib:

1. Memungut PPh Pasal 22 sebesar Rp250.000,00 pada saat pembelian yaitu tanggal 17 Februari 2011 dan membuat bukti pemungutan PPh Pasal 22;

2. Menyetor PPh Pasal 22 yang telah dipungut atas pembelian dari pedagang pengumpul selama bulan Februari 2011 paling lambat tanggal 10 Maret 2011; 3. Melaporkan pemungutan PPh Pasal 22 tersebut menggunakan SPT Masa PPh

Pasal 22 Masa Pajak Februari 2011 paling lambat tanggal 21 Maret 2011. Contoh:

PT Aviasi Tetuko yang merupakan Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional pada bulan Juni 2011 melakukan impor peralatan simulasi penerbangan pesawat terbaru untuk keperluan para pilotnya. Nilai impor (termasuk Bea Masuk dan pungutan pabean lainnya) peralatan simulasi penerbangan tersebut adalah Rp1.200.000.000,00. PT Aviasi Tetuko telah memiliki Angka Pengenal Impor (API).

Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh terkait transaksi tersebut?

Peralatan simulasi penerbangan yang diimpor oleh PT Aviasi Tetuko tidak termasuk dalam 19 kelompok barang yang atas impornya dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22. PPh Pasal 22 impor disetor sendiri oleh PT Aviasi Tetuko sebesar 2,5% dari nilai impor.

Dengan demikian, PPh Pasal 22 yang wajib disetor oleh PT Aviasi Tetuko adalah: 2,5% x Rp1.200.000.000,00 = Rp30.000.000,00

PT Aviasi Tetuko wajib:

1. Menyetor PPh Pasal 22 sebesar Rp30.000.000,00 bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk.

2. SSP/SSPCP penyetoran PPh Pasal 22 impor tersebut berfungsi sebagai bukti pemungutan PPh Pasal 22 impor bagi PT Aviasi Tetuko.

Contoh:

PT Aviasi Tetuko juga melakukan impor pesawat terbang terbaru yang akan digunakan sendiri untuk melayani pengangkutan penumpang rute domestik.

Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh terkait transaksi tersebut?

Pesawat udara yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22. Dengan demikian, atas


(96)

95

impor pesawat yang akan digunakan oleh PT Aviasi Tetuko tidak dipungut PPh Pasal 22.

Pengecualian pemungutan PPh Pasal 22 tersebut tidak memerlukan Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 dari Direktorat Jenderal Pajak, teknis pelaksanaan ketentuan pengecualian dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Contoh:

PT Petro Industri, bergerak dalam bidang perdagangan umum berupa penjualan bahan bakar minyak (BBM) dan gas. Sejak tahun 2009 resmi menjadi penyalur BBM non SPBU Pertamina. Selama bulan Juli 2011 melakukan transaksi sebagai berikut:

Tanggal Transaksi

Juli 2011

4 Membeli BBM Pertamina senilai Rp300.000.000 (Surat Perintah Pengeluaran Barang atau delivery order tanggal 4 Juli 2011.

6 Mengimpor BBM senilai Rp200.000.000,00

11 Menjual BBM yang dibeli dari Pertamina kepada PT Fosil Fuel senilai Rp60.000.000,00 (delivery order tanggal 11 Juli 2011)

13 Menjual BBM yang berasal dari impor sendiri kepada PT Daya Motor, perusahaan otomotif, senilai Rp25.000.000,00 (delivery order tanggal 13 Juli 2011)

Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh terkait transaksi tersebut?

1. PT Petro Industri tidak memungut PPh Pasal 22 atas penjualan BBM kepada PT Fosil Fuel karena dalam transaksi ini PT Petro Industri bukan bertindak sebagai produsen atau importir BBM yang dijual.

2. Sebaliknya, PT Petro Industri pada saat membeli BBM dari Pertamina dipungut PPh Pasal 22 oleh Pertamina sebesar:

PPh Pasal 22 = 0,3% x Rp300.000.000,00 = Rp900.000,00

PPh Pasal 22 tersebut bersifat final karena PT Petro Industri adalah penyalur. PPh Pasal 22 dipungut oleh Pertamina menggunakan bukti pemungutan pada tanggal 4 Juli 2011 yaitu pada saat penerbitan delivery order.

3. PT Petro Industri sebagai importir BBM memungut PPh Pasal 22 atas penjualan BBM kepada PT Daya Motor sebesar:


(97)

96

Kewajiban PT Petro Industri dalam melakukan pemungutan PPh Pasal 22 atas penjualan BBM adalah:

1. Memungut PPh Pasal 22 sebesar Rp75.000,00 pada saat penerbitan delivery order yaitu tanggal 13 Juli 2011 dan membuat bukti pemungutan PPh Pasal 22. 2. Menyetor PPh Pasal 22 yang telah dipungut atas penjualan BBM selama bulan Juli

2011 paling lambat 10 Agustus 2011;

3. Melaporkan PPh Pasal 22 menggunakan SPT Masa PPh Pasal 22 Masa Pajak Juli 2011 paling lambat tanggal 22 Agustus 2011.

Contoh

PT Metal Solid adalah perusahaan yang memproduksi baja baik dalam bentuk produk hulu maupun hilir. Pada tanggal 27 Juni 2011, PT Metal Solid menjual tiang baja kepada PT Karya Konstruktindo dalam rangka pembangunan jembatan antar pulau di Kepulauan Riau senilai Rp30.000.000.000,00.

Pada bulan September 2011 ternyata ditemukan ada sebagian tiang baja yang tidak memenuhi spesifikasi yang diminta, sehingga PT Karya Konstruktindo mengembalikan (retur) tiang-tiang baja tersebut senilai Rp5.000.000.000,00. PT Metal Solid telah ditunjuk oleh KPP sebagai pemungut PPh Pasal 22.

Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh terkait transaksi tersebut?

PT Metal Solid memungut PPh Pasal 22 atas penjualan baja tersebut sebagai berikut:

PPh Pasal 22 = 0,3% x Rp30.000.000.000,00 = Rp90.000.000,00

Kewajiban PT Metal Solid dalam melakukan pemungutan PPh Pasal 22 adalah: 1. Memungut PPh Pasal 22 sebesar Rp90.000.000,00 pada saat penjualan yaitu

tanggal 27 Juni 2011 dan membuat bukti pemungutan PPh Pasal 22.

2. Menyetor PPh Pasal 22 yang telah dipungut atas penjualan baja selama bulan Juni 2011 paling lambat 11 Juli 2011.

3. Melaporkan PPh Pasal 22 menggunakan SPT Masa PPh Pasal 22 Masa Pajak Juni 2011 paling lambat tanggal 20 Juli 2011.

Pada saat terjadi pengembalian barang hasil produksi yang dibeli dari PT Metal Solid setelah bulan terjadinya pembelian, PT Karya Konstruktindo selaku pembeli membuat dan menyampaikan nota retur kepada PT Metal Solid. Nota retur tersebut harus dibuat dalam masa pajak terjadinya pengembalian barang hasil produksi.


(98)

97

Kewajiban PT Metal Solid atas retur tersebut adalah:

1. Mengurangkan PPh Pasal 22 yang harus dipungutnya dari total transaksi penjualan baja di bulan September 2011 sebesar:

PPh Pasal 22 = 0,3% x Rp5.000.000.000,00 = Rp15.000.000,00

2. Dengan demikian, apabila total PPh Pasal 22 yang harus dipungut atas transaksi selama bulan September 2011 adalah Rp700.000.000,00, maka PPh Pasal 22 yang wajib disetor oleh PT Metal Solid untuk masa pajak September 2011 adalah Rp685.000.000,00 (Rp700.000.000,00 – Rp15.000.000,00).

Contoh

PT Ageng Padajaya adalah perusahaan pengembang properti. Pada tanggal 23 Mei 2011, PT Ageng Padajaya menjual 1 unit apartemen senilai Rp10.500.000.000,00 (tidak termasuk PPN dan PPnBM) kepada Tn. Nafis.

Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh atas transaksi tersebut?

PT Ageng Padajaya memungut PPh Pasal 22 atas penjualan apartemen tersebut sebesar:

PPh Pasal 22 = 5% x Rp10.500.000.000,00 = Rp525.000.000,00

Kewajiban PT Ageng Padajaya dalam melakukan pemungutan PPh Pasal 22 adalah:

1. Memungut PPh Pasal 22 sebesar Rp525.000.000,00 pada saat penjualan yaitu tanggal 23 Mei 2011 dan membuat bukti pemungutan PPh Pasal 22.

2. Menyetor PPh Pasal 22 yang telah dipungut atas penjualan apartemen sangat mewah selama bulan Mei 2011 paling lambat 10 Juni 2011.

3. Melaporkan PPh Pasal 22 menggunakan SPT Masa PPh Pasal 22 Masa Pajak Mei 2011 paling lambat tanggal 20 Juni 2011.

H. Studi Kasus PPh Pasal 22 Bendahara Pemerintah atas Belanja Barang, Modal, dan Jasa

Contoh:

Taufik Hidayat yang merupakan bendahara satker Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Purbalingga yang beralamatkan di Jl. Letnan Jenderal S. Parman, Purbalingga dengan NPWP 00.321.675.3-529.000 melakukan transaksi sebagai berikut:


(99)

98

Tanggal Transaksi

Feb 2011

2 Membeli secara tunai makanan siap saji dari sebuah restoran untuk keperluan rapat seharga Rp800.000,00.

4 Membeli secara tunai alat tulis kantor Rp1.100.000,00 dan buku pelajaran

umum Rp1.500.000,00 dari toko buku “Perwira” yang dimiliki oleh Tn.

Joko yang mempunyai NPWP/NPPKP 06.325.456.3-529.000.

15 Membeli bensin dari SPBU Pertamina untuk keperluan kendaraan dinas seharga Rp500.000,00, membayar tagihan rekening listrik sebesar Rp1.000.000,00 kepada PLN, serta membeli benda-benda pos Rp500.000,00 di kantor pos.

18 Membeli secara tunai buku pelajaran umum Rp2.500.000,00, pakaian seragam jadi Rp3.000.000,00, pengadaan formulir dan kertas untuk ujian sekolah Rp2.000.000,00 dari sebuah toko pedagang eceran milik Tn. Bagus yang mempunyai NPWP/NPPKP 06.456.321.2-529.000.

Pembelian tersebut dananya bersumber dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS)

21 Membeli 4 buah printerdari CV “Susanto” (NPWP/NPPKP 01.222.355.5 -529.000) seharga Rp20.000.000,00. SP2D diterbitkan KPPN pada tanggal 23 Februari 2011.

22 Membeli komputer dari CV “Wijaya” (NPWP/NPPKP 01.562.358.3

-529.000) dengan harga pembelian Rp11.000.000,00 (sudah termasuk PPN). SP2D diterbitkan oleh KPPN pada tanggal 28 Februari 2011. Pembahasan:

Tanggal Pemungutan PPh Pasal 22

Feb 2011

2 Pembelian makanan siap saji di restoran pada dasarnya harus dipungut PPh Pasal 22. Namun, karena nilai pembeliannya di bawah Rp2.000.000,00 maka atas pembelian tersebut tidak dipungut PPh Pasal 22.

4 Pembelian alat-alat tulis kantor Rp1.100.000,00 dan buku pelajaran

umum Rp1.500.000,00 dari toko “Perwira” dipungut PPh Pasal 22 karena

total pembelian tersebut telah melebihi nilai Rp2.000.000,00. PPh Pasal 22 = 1,5% x Rp2.600.000,00 = Rp39.000,00

Kewajiban selanjutnya yang harus dilakukan oleh Taufik Hidayat sebagai Bendahara MAN Purbalingga adalah:

a. Menyetorkan PPh Pasal 22 tersebut pada tanggal 4 Februari 2011 dengan menggunakan SSP atas nama Tn. Joko dan ditandatangani oleh Bendahara ke kas Negara melalui Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro.

b. Melaporkan SPT Masa PPh Pasal 22 selambat-lambatnya tanggal 14 Maret 2011 ke KPP Pratama Purbalingga.

c. Memberikan SSP PPh Pasal 22 kepada Tn. Joko (Toko “Perwira”)

15 Atas pembelian bahan bakar minyak, listrik, dan benda-benda pos tidak dipungut PPh Pasal 22.

18 Atas pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) tidak dilakukan pemungutan PPh Pasal 22.


(100)

99

21 Atas pembayaran printerkepada CV “Susanto” sebesar Rp20.000.000,00

dipungut PPh Pasal 22 sebagai berikut:

PPh Pasal 22 = 1,5% x Rp20.000.000,00 = Rp300.000,00 22 Atas pembayaran komputer kepada CV “Wijaya” dipungut PPh Pasal 22

sebagai berikut:

PPh Pasal 22 = 1,5% x (100/110 x Rp11.000.000,00) = Rp150.000,00 I. Pembayaran/Penyetoran dan Pelaporan Pemungutan PPh Pasal 22

Pembayaran/Penyetoran dan Pelaporan Pemungutan PPh Pasal 22

I M P O R

Tanggal Jatuh Tempo Penyetoran

Batas Akhir Pelaporan

Dalam hal Bea Masuk ditunda/dibebaska

PPh Pasal 22

Dipungut oleh Ditjen Bea dan

Cukai PPh Pasal 22

atas Impor Harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk

Harus dilunasi pada saat

penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor

1 hari kerja setelah dilakukan pemungutan pajak

Wajib melaporkan hasil pemungutannya secara MINGGUAN paling lama pada

hari kerja terakhir minggu berikutnya

BENDAHARA

Penyerahan BBM, gas, dan pelumas kepada

penyalur/agen atau industri Pemungutan dilakukan

oleh WP BADAN TERTENTU sebagai

Pemungut Pajak

Harus disetor pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang yang dibiayai dari belanja

Negara atau belanja Daerah, dengan menggunakan SSP atas

nama rekanan dan ditandatangani oleh bendahara.

Wajib melaporkan hasil pemungutannya paling lama

14 hari setelah Masa Pajak berakhir

Harus disetor paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir

Wajib menyampaikan SPT Masa paling lama 20 hari setelah Masa Pajak berakhir

Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran/penyetoran pajak dan batas akhir pelaporan bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pembayaran/penyetoran pajak dan pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.


(101)

100

BAB

PPh PASAL 23

PPh Pasal 23 merupakan cara pelunasan pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan pajak antara lain atas penghasilan berupa dividen, royalti, jasa manajemen, jasa teknik, dan jasa-jasa lainnya yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap.

A. Peta Konsep PPh Pasal 23

Gambar 13: Peta Konsep Pemotongan PPh Pasal 23

4

Tujuan Instruksional Khusus:

1. Mampu menguraikan tentang konsep PPh Pasal 23. 2. Mampu menjelaskan tentang Pemotong PPh Pasal 23. 3. Mampu menjelaskan tentang tarif pemotongan PPh Pasal 23.

4. Mampu menjelaskan tentang yang tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 23. 5. Mampu menjelaskan tentang perlakuan PPh atas dividen, sewa, bunga, dan hadiah. 6. Mampu menjelaskan tentang saat penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 23.

PPh Pasal 23

ROYALTI BUNGA DIVIDEN

HADIAH, PENGHARGAAN, BONUS, dan sejenisnya

SEWA dan Ph Lain sehubungan dengan

Penggunaan Harta

Imbalan JASA

15%

2% Jasa Teknik

Jasa Manajemen Jasa Konsultan JASA LAIN


(102)

101

B. Pemotong PPh Pasal 23 Pemotong PPh Pasal 23 adalah: 1. Badan pemerintah.

2. Subjek pajak badan dalam negeri. 3. Penyelenggara kegiatan.

4. Bentuk usaha tetap.

5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya C. Tarif Pemotongan PPh Pasal 23

Objek PPh Pasal 23

Tarif

1

.

Dividen

15% 2. Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan

pengembalian utang 3. Royalti

4. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong PPh Pasal 21

5. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta 2% 6. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa

konstruksi, jasa konsultan.

2% 7. Jasa lain:

a. Jasa penilai (appraisal); b. Jasa aktuaris;

c. Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan; d. Jasa perancang (design);

e. Jasa pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap (BUT); f. Jasa penunjang di bidang penambangan migas;

g. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas;

h. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara; i. Jasa penebangan hutan;

j. Jasa pengolahan limbah;

k. Jasa penyedia tenaga kerja (outsourcing services) l. Jasa perantara dan/atau keagenan;


(103)

102

m. Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan oleh Bursa Efek, KSEI dan KPEI;

n. Jasa kustodian/pemyimpanan /penitipan, kecuali yang dilakukan oleh KSEI;

o. Jasa pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara; p. Jasa mixing film;

q. Jasa sehubungan dengan software computer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan;

r. Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;

s. Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, TV kabel, alat transportasi/kendaraan dan/atau bangunan, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;

t. Jasa maklon;

u. Jasa penyelidikan dan keamanan;

v. Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer; w. Jasa pengepakan;

x. Jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media masa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi;

y. Jasa pembasmian hama;

z. Jasa kebersihan atau cleaning service; aa. Jasa catering atau tata boga.

D. Tidak Dilakukan Pemotongan PPh Pasal 23 Pemotongan PPh Pasal 23 tidak dilakukan atas: 1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;

2. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;

3. Dividen yang diterima oleh WP orang pribadi dalam negeri19.

4. Dividen yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai WP dalam negeri, koperasi, BUMN, atau BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:


(104)

103

a. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan

b. Bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor20.

5. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif21.

6. Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya. 7. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan

yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan22.

E. Dividen

Gambar 14: Pengenaan Pajak Penghasilan atas Dividen

Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi.

Termasuk dalam pengertian dividen adalah:

1. Pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

DIVID EN

OBJEK PPh

DIKECUALIKA N DARI OBJEK

PPh DITERI MA OLEH WP DALAM NEGERI WP LUAR NEGERI PPh PASAL 26 WP BADAN & BUT WP OP DALAM NEGERI PPh PASAL 23 PPh PASAL 17 ayat (2c) PT sebagai WP DALAM NEGERI

KOPERASI

BUMN/BUMD

PERSYARATAN:

1. DIVIDEN berasal dari

CADANGAN LABA

DITAHAN

2. Bagi PT, BUMN/BUMD yang menerima dividen,

KEPEMILIKAN SAHAM

pada badan yang

memberikan dividen

PALING RENDAH 25% DITERI MA OLEH DITERI MA OLEH


(105)

104

Pasal 6 PP Nomor 94 Tahun 2010 mengatur bahwa pembagian laba secara langsung dan/atau tidak langsung yang berasal dari saldo laba termasuk saldo laba berdasarkan proyeksi laba tahun berjalan merupakan objek pajak, kecuali bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f Undang-Undang Pajak Penghasilan.

2. Pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor. 3. Pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham

bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham23.

Apabila saham bonus diberikan kepada pemegang saham yang menjadikan jumlah nilai nominal seluruh saham termasuk saham bonus yang diperolehnya lebih besar dari jumlah setoran modalnya, pemberian saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham tersebut termasuk dalam pengertian pembagian laba atau dividen.

Namun demikian apabila saham bonus dimaksud diberikan kepada pemegang saham sehingga pemberian tersebut tidak menjadikan jumlah nilai seluruh saham (termasuk saham bonus) yang diperoleh atau dimilikinya lebih besar dari jumlah setoran modalnya, pemberian saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham tersebut tidak termasuk dalam pengertian pembagian laba atau dividen.

Pasal 2 PP 94 Tahun 2010 mengatur bahwa tidak termasuk pengertian dividen adalah pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran yang berasal dari: a. Kapitalisasi agio saham kepada pemegang saham yang telah menyetor modal

atau membeli saham di atas harga nominal, sepanjang jumlah nilai nominal saham yang dimilikinya setelah pembagian saham bonus tidak melebihi jumlah setoran modal; dan

b. Kapitalisasi selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan.

4. Pembagian laba dalam bentuk saham.

5. Pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran.

6. Jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan.

7. Pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran


(106)

105

kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah.

8. Pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut.

9. Bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi. 10. Bagian laba yang diterima oleh pemegang polis.

11. Pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi.

12. Pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan.

Dalam praktek sering dijumpai pembagian atau pembayaran dividen secara terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya dan memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi kewajaran. Apabila terjadi hal yang demikian maka selisih lebih antara bunga yang dibayarkan dan tingkat bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan sebagai dividen. Bagian bunga yang diperlakukan sebagai dividen tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan.

F. Sewa

Gambar 15: Peta Konsep Aspek Pajak Penghasilan atas Sewa

SEW

A

SEWA dan

Penghasilan Lain sehubungan dengan

PENGGUNAAN HARTA

SEWA TANAH dan/atau

BANGUNAN

OPERATING LEASE (Sewa Guna

Usaha FINANCE LEASE

(Sewa Guna Usaha DENGANHak

Dipotong PPh Pasal

23

TIDAK Dipotong PPh Pasal

23 Objek PPh Final Pasal 4 ayat (2)


(107)

106

G. Bunga

Gambar 16: Peta Konsep Aspek Pajak Penghasilan atas Bunga

H. Hadiah

Gambar 17: Peta Konsep Aspek Pajak Penghasilan atas Hadiah

BUNG

A

TIDAK Dipotong PPh Pasal 23

Objek PPh Final Pasal 4 ayat

Objek PPh Pasal 23

Bunga yang dibayar atau terutang kepada Bank Bunga yang dibayar atau terutang kepada badan

usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan

Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia

Bunga Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi Orang Pribadi

Bunga Obligasi

Diskonto Surat Perbendaharaan Negara Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan

karena jaminan pengembalian utang

HADIAH dan PENGHARGAA

N

HADIAH sehubungan dengan PEKERJAAN, JASA,

dan KEGIATAN HADIAH UNDIAN HADIAH atau PENGHARGAAN PERLOMBAAN PENGHARGAAN HADIAH LANGSUNG dalam PENJUALAN barang atau jasa, dengan syarat: Diberikan kepada

semua pembeli atau konsumen akhir tanpa diundi, dan Hadiah tersebut

diterima langsung oleh konsumen akhir pada saat pembelian

PPh FINAL Pasal 4 ayat

(2)

PPh Pasal 21

PPh Pasal 23

PPh Pasal 26

Dikecualikan dari Objek

PPh Penerima:

WP OP Dalam Negeri

Penerima:

WP BADAN dan BUT

Penerima: WP Luar Negeri


(108)

107

I. Penyetoran dan Pelaporan Pemotongan PPh Pasal 23

J. Studi Kasus PPh Pasal 23 Contoh:

Dalam rangka peningkatan pemahaman para pegawai tentang filosofi dan budaya perusahaan, PT Gajah Makmur mengadakan pelatihan yang diikuti oleh 50 orang pegawai dari bagian produksi selama 1 hari dengan menyewa meeting room Hotel Menara Jaya yang dimiliki oleh PT Tegal Arum dengan pola paket full board seharga Rp300.000,00 per paket. Paket full board di Hotel Menara Jaya tersebut terdiri dari:

1. Room for 1 night 7. Sound System

2. Meeting room 8. Candies

3. Overhead & Screen 9. 1x Breakfast

4. Flip Chart 10. 2x Coffe Break

5. White Board & Marker Board 11. 1x Lunch

6. Note Book & Ballpoint 12. 1x Dinner

Bagaimanakah kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh terkait transaksi tersebut?

Jasa perhotelan meliputi:

1. Jasa persewaan kamar termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap; dan

2. Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel; sehingga penyewaan ruangan hotel dengan pola paket full board sebagaimana tersebut di atas termasuk dalam pengertian jasa perhotelan.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008, jasa perhotelan tidak termasuk sebagai jenis jasa yang dikenai

Penyetoran dan Pelaporan Pemotongan PPh Pasal 23

PPh Pasal 23

Tanggal Jatuh Tempo Penyetoran Paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah Masa Pajak

berakhir

Batas Akhir Pelaporan Wajib menyampaikan SPT Masa

PPh Pasal 21/26 paling lama 20 hari setelah Masa Pajak berakhir


(109)

108

pemotongan PPh Pasal 23, sehingga atas pembayaran sebesar Rp15.000.000,00 (50 orang x Rp300.000,00) kepada PT Tegal Arum tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 23.

Contoh:

PT Bangun Pagi dalam rangka acara family gathering karyawannya di Malang, menyewa 3 buah bus dari PT Rahmat Lancar, sebuah perusahaan jasa transportasi darat untuk jangka waktu 3 hari mulai tanggal 16 Juli s.d.18 Juli 2011. PT Bangun Pagi membayar biaya sewa bus tersebut sebesar Rp20.000.000,00 pada tanggal 18 Juli 2011.

Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh terkait transaksi tersebut?

Besarnya pemotongan PPh Pasal 23 sebesar:

PPh Pasal 23 = 2% x Rp20.000.000,00 = Rp400.000,00 Kewajiban PT Bangun Pagi sebagai pemotong PPh Pasal 23 adalah:

a. Melakukan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar Rp400.000,00 dan memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 23 kepada PT Rahmat Lancar.

b. Melakukan penyetoran PPh Pasal 23 paling lambat tanggal 10 Agustus 2011. c. Melaporkan pemotongan PPh Pasal 23 atas transaksi tersebut dalam SPT Masa

PPh Pasal 23 Masa Pajak Juli 2011 paling lambat tanggal 22 Agustus 2011. Contoh:

PT Gedhe Toy yang bergerak di bidang produksi mainan anak-anak pada tanggal 1 November 2010 melakukan pinjaman kepada PT Berlian Adje yang bergerak di bidang usaha pengolahan limbah plastik (Wajib Pajak badan usaha bukan bank dan bukan penyalur pinjaman), sebesar Rp200.000.000,00 dan kepada Tn. Tarno Sutarno sebesar Rp100.000.000,00. Pinjaman tersebut direncanakan akan digunakan untuk melakukan ekspansi usaha. Berdasarkan perjanjian antara PT Gedhe Toy dengan kreditor disepakati bahwa bunga pinjaman masing-masing adalah sebesar Rp3.000.000,00 dan Rp1.500.000,00 per bulan (suku bunga 18%) dan harus dilunasi dalam jangka waktu 2 tahun. Pembayaran angsuran dilakukan mulai tanggal 1 Desember 2010 dan pembayaran selanjutnya dilakukan setiap tanggal 1 bulan berikutnya.

Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh terkait transaksi tersebut?


(110)

109

Atas penghasilan berupa bunga pinjaman yang dibayarkan setiap bulan oleh PT Gedhe Toy kepada PT Berlian Adje dan Tn. Tarno Sutarno merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 yang wajib dilakukan pemotongan PPh Pasal 23 oleh PT Gedhe Toy.

Besarnya pemotongan PPh Pasal 23 untuk: a. PT Berlian Adje adalah sebesar:

PPh Pasal 23 = 15% x Rp3.000.000,00 = Rp450.000,00 b. Tn. Tarno Sutarno adalah sebesar:

PPh Pasal 23 = 15% x Rp1.500.000,00 = Rp225.000,00 Kewajiban PT Gedhe Toy sebagai Pemotong PPh Pasal 23 adalah:

a. Melakukan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar Rp450.000,00 atas pembayaran bunga kepada PT Berlian Adje dan Rp225.000,00 atas pembayaran bunga kepada Tn. Tarno Sutarno dan memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 23 kepada PT Berlian Adje dan Tn. Tarno Sutarno.

b. Melakukan penyetoran atas pemotongan PPh Pasal 23 tersebut paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan dilakukannya pemotongan;

c. melaporkan pemotongan PPh Pasal 23 atas transaksi tersebut dalam SPT Masa PPh Pasal 23 masa pajak dilakukannya pemotongan paling lambat tanggal 20 bulan berikut setelah dilakukannya pemotongan.

Contoh:

PT Inyong Bae memiliki 100.000 lembar saham yang beredar dengan nilai nominal Rp5.000,00 per lembar saham. Pada tanggal 15 Nopember 2010, berdasarkan RUPS, direksi mengumumkan pembagian dividen dengan mekanisme sebagai berikut: 1. Pembagian dividen kas untuk pemegang saham dengan kepemilikan sampai

dengan 10% sebesar @Rp50,00 per saham.

2. Pembagian dividen saham sebesar 1% untuk pemegang saham dengan kepemilikan sampai dengan 20%.

3. Pembagian dividen dialokasikan dari cadangan laba yang ditahan yang dibentuk dari tahun-tahun sebelumnya.

4. Pembagian dividen akan didistribusikan pada tanggal 15 Januari 2011 kepada para pemegang saham yang tercatat pada tanggal 15 Desember 2010.


(111)

110

Komposisi pemegang saham yang tercatat pada tanggal 15 Desember 2010 adalah sebagai berikut:

a. PT Adja Kelalen dengan kepemilikan 70%. b. PT Ricca Kepribhen dengan kepemilikan 20%. c. PT Medhang Jahe dengan kepemilikan 10%.

Ikhtisar ekuitas perusahaan pada tanggal 15 Nopember 2010 adalah:

Saham Biasa, nominal @ Rp5.000,00 (100.000 lembar beredar) Rp500.000.000,00

Agio Saham Biasa Rp100.000.000,00

Laba Ditahan Rp650.000.000,00

Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh terkait transaksi tersebut?

a. Besarnya pemotongan PPh Pasal 23 adalah:

1) PT Adja Kelalen (kepemilikan saham sebesar 70%) tidak dipotong PPh Pasal 23 karena kepemilikan sahamnya di PT Inyong Bae diatas 25% dan dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan.

2) PT Ricca Kepribhen (kepemilikan saham sebesar 20%) dipotong PPh Pasal 23

walaupun dividen tersebut diberikan dalam bentuk saham. Kepemilikan saham PT Ricca Kepribhen adalah:

Kepemilikan Saham = 20% x 100.000 lembar = 20.000 lembar Nilai dividen saham adalah:

Dividen Saham = 1% x 20.000 lembar x Rp5.000,00 = Rp1.000.000,00 PPh Pasal 23 yang dipotong adalah:

PPh Pasal 23 = 15% x Rp1.000.000,00 = Rp150.000,00 3) PT Medhang Jahe (kepemilikan saham sebesar 10%) dipotong PPh Pasal 23.

Kepemilikan saham PT Medhang Jahe adalah:

Kepemilikan saham = 10% x 100.000 lembar = 10.000 lembar Nilai dividen kas adalah:

Dividen Kas = Rp50,00 x 10.000 lembar = Rp500.000,00 PPh Pasal 23 yang dipotong adalah:


(112)

111

b. Kewajiban PT Inyong Bae sebagai Pemotong PPh Pasal 23 adalah:

1) Melakukan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar Rp150.000,00 dan Rp75.000,00 dan memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 kepada PT Ricca Kepribhen dan PT Medhang Jahe.

2) Melakukan penyetoran atas pemotongan PPh Pasal 23 tersebut paling lambat tanggal tanggal 10 Januari 2011.

3) Melaporkan pemotongan PPh Pasal 23 atas transaksi tersebut dalam SPT Masa PPh Pasal 23 Masa Pajak Desember 2010 paling lambat tanggal 20 Januari 2011.

Contoh:

PT Sundays Mart menjadi pemenang pertama lomba pelayanan konsumen terbaik yang diadakan oleh Asosiasi Toko Retail Indonesia dengan hadiah sebesar Rp30.000.000,00 pada tanggal 23 Agustus 2011.

Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh terkait transaksi tersebut?

Hadiah perlombaan yang diterima oleh PT Sundays Mart merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 yang wajib dilakukan pemotongan oleh Asosiasi Toko Retail Indonesia.

Besarnya pemotongan PPh Pasal 23 adalah:

PPh Pasal 23 = 15% x Rp30.000.000,00 = Rp4.500.000,00

Kewajiban Asosiasi Toko Retail Indonesia sebagai Pemotong PPh Pasal 23 adalah:

a. Melakukan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar Rp4.500.000,00 dan memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 kepada PT Sundays Mart.

b. Melakukan penyetoran atas pemotongan PPh Pasal 23 tersebut paling lambat tanggal 12 September 2011.

c. Melaporkan pemotongan PPh Pasal 23 atas transaksi tersebut dalam SPT Masa PPh Pasal 23 Masa Pajak Agustus 2011 paling lambat tanggal 20 September 2011.


(113)

112

BAB

PPh PASAL 24

UU PPh menentukan bahwa WP dalam Negeri dikenakan Pajak Penghasilan atas seluruh penghasilan di manapun penghasilan tersebut diterima atau diperoleh, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia. Untuk menghindari pengenaan pajak ganda maka sesuai dengan ketentuan Pasal 24 Undang-Undang PPh, pajak yang dibayar atau yang terutang di luar negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia, tetapi tidak melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang Pajak penghasilan. Metode kredit pajak yang demikian disebut metode pengkreditan terbatas (ordinary credit Method).

A. Peta Konsep Kredit Pajak Luar Negeri

Gambar 18: Peta Konsep Kredit Pajak Luar Negeri

5

Tujuan Instruksional Khusus:

1. Mampu menguraikan tentang konsep Kredit Pajak Luar Negeri (KPLN). 2. Mampu menjelaskan tentang konsep world wide income.

3. Mampu menguraikan tentang tata cara penghitungan KPLN.

KREDIT PAJAK LUAR NEGERI

Pajak Dibayar/Terutang di LN Batas Maksimum KPLN

KPLN = Ph dari LN x PPh Terutang Ph Kena Pajak

Ordinary Credit per Country Basis

KERUGIAN yang diderita di LN TIDAK BOLEH DIGABUNGKAN dalam menghitung PhKP Mana yang Paling Kecil


(114)

113

B. Konsep Wo rld Wide Inco me

Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang PPh mengatur bahwa yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Menurut (Mansury, 2002) dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang PPh ditegaskan bahwa penghasilan yang dikenakan pajak mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: 1. Tambahan kemampuan ekonomis.

Bahwa yang termasuk penghasilan itu adalah setiap tambahan kemampuan untuk menguasai barang dan jasa yang didapat oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak yang berkenaan. Penghasilan diberi arti sebagai uang atau segala sesuatu yang lain yang bernilai uang yang mengalir menjadi hak seseorang yang dapat dipakainya untuk menguasai barang dan jasa guna dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan orang tersebut. Dengan memakai kata “tambahan”, maka dimaksudkan bahwa yang dikenakan pajak itu adalah jumlah neto, yaitu jumlah penerimaan atau perolehan bruto dikurangi dengan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan itu.

2. Yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak.

Unsur ini membatasi pengenaan pajak atas setiap tambahan kemampuan ekonomis itu, yaitu hanya kepada tambahan kemampuan ekonomis yang telah menjadi realisasi. Pengertian realisasi dalam hal ini mengambil alih konsep akuntansi, yaitu penghasilan yang telah dapat dibukukan, baik dengan memakai cash basis

maupun dengan yang memakai accrual basis. Dalam hal ini tambahan kemampuan yang dihitung sebagai penghasilan bukan hanya karena adanya kenaikan harga pasar, melainkan kenaikan harga itu sudah menjadi realisasi.

Mengenakan pajak hanya atas tambahan kemampuan ekonomis yang telah menjadi realisasi tidak berarti bahwa tambahan kemampuan ekonomis yang belum menjadi realisasi dibebaskan dari pajak. Hanya pengenaan pajaknya ditunda hingga saat yang kemudian, yaitu pada saat pemungutan pajak dapat dilakukan dengan mudah.


(115)

114

3. Baik yang berasal dari Indonesia maupun yang berasal dari luar Indonesia. Menunjukkan bahwa penghasilan yang dikenakan pajak itu meliputi penghasilan yang didapat dari manapun juga, baik yang berasal dari sumber-sumber di Indonesia maupun dari sumber-sumber di luar Indonesia.

Dari Pasal 26 Undang-Undang PPh kita mengetahui bahwa Subjek Pajak luar negeri mempunyai kewajiban pajak objektif yang terbatas. Dengan demikian, yang kewajiban pajak objektifnya meliputi world wide income adalah Subjek Pajak dalam negeri.

4. Yang dipakai untuk konsumsi maupun yang dipakai untuk membeli tambahan harta.

Merupakan cara menghitung atau mengukur besarnya penghasilan yang dikenakan pajak itu, yaitu sebagai hasil penjumlahan seluruh pengeluaran untuk kebutuhan konsumsi dan sisanya yang ditabung menjadi kekayaan Wajib Pajak, termasuk yang dipakai membeli harta sebagai investasi (investasi disini adalah penggunaan tabungan Wajib Pajak untuk mengembangkan harta Wajib Pajak, seperti dibelikan saham untuk memperoleh dividend an capital gains atau dibelikan tanah yang dapat memberikan sewa dan juga capital gains).

5. Dengan nama dan dalam bentuk apapun juga.

Unsur ini mensyaratkan, bahwa dalam penentuan ada tidaknya penghasilan yang dikenakan pajak dan kalau ada berapa besarnya penghasilan itu, maka yang menentukan bukan nama yang diberikan oleh Wajib Pajak dan juga bukan bergantung kepada bentuk yuridis yang dipakai oleh Wajib Pajak, melainkan yang paling menentukan adalah hakekat ekonomis yang sebenarnya (disebut the Substance-Over-Form Principle, yang berarti bahwa hakekat ekonomis adalah lebih penting daripada bentuk formal yang dipakai).

Menurut (Mansury, 2002) penghasilan yang dikenakan pajak adalah world wide income, meliputi penghasilan yang didapat di manapun juga, baik yang berasal dari sumber-sumber di Indonesia maupun dari sumber-sumber di luar Indonesia.

C. Tata Cara Penghitungan KPLN (Kredit Pajak Luar Negeri)

Pasal 24 Undang-Undang PPh dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 164/KMK.03/2002 tentang Kredit Pajak Luar Negeri, mengatur antara lain:


(116)

115

1. Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima/diperoleh WP dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-Undang PPh dalam tahun pajak yang sama. Pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia hanyalah pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak.

Contoh:

PT A di Indonesia merupakan pemegang saham tunggal dari Z Inc. di Negara X. Z Inc. tersebut dalam tahun 1995 memperoleh keuntungan sebesar US$100,000.00. Pajak Penghasilan yang berlaku di negara X adalah 48% dan Pajak Dividen adalah 38%.

Penghitungan pajak atas dividen tersebut adalah sebagai berikut:

Keuntungan Z Inc US$ 100,000.00

PPh (Corporate income tax) atas Z Inc. : (48%) US$ 48,000.00 (-) US$ 52,000.00

Pajak atas dividen (38%) US$ 19,760.00 (-)

Dividen yang dikirim ke Indonesia US$ 32,240.00 a. Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan terhadap seluruh Pajak Penghasilan

yang terutang atas PT A adalah pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri, dalam contoh di atas yaitu jumlah sebesar US$19,760.00.

b. Pajak Penghasilan (Corporate income tax) atas Z Inc. sebesar US$48,000.00 tidak dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang atas PT A, karena pajak sebesar US$48,000.00 tersebut tidak dikenakan langsung atas penghasilan yang diterima atau diperoleh PT A dari luar negeri, melainkan pajak yang dikenakan atas keuntungan Z Inc. di negara X.

2. Besarnya KPLN adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi jumlah tertentu, yang dihitung menurut perbandingan antara penghasilan dari luar negeri terhadap Penghasilan Kena Pajak24 dikalikan dengan pajak yang terutang atas Penghasilan Kena Pajak, paling

tinggi sama dengan pajak yang terutang atas Penghasilan Kena Pajak dalam hal Penghasilan Kena Pajak lebih kecil dari penghasilan luar negeri.


(117)

116

Rumus KPLN:

KPLN = Penghasilan dari Luar Negeri x PPh Terutang Penghasilan Kena Pajak

3. Dalam hal penghasilan yang diterima/diperoleh di luar negeri berasal dari beberapa negara, maka penghitungan KPLN berdasarkan formula tersebut dilakukan untuk masing-masing negara (ordinary credit per country basis).

4. Kerugian yang diderita di luar negeri tidak boleh digabungkan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak.

5. Dalam hal jumlah Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri melebihi jumlah KPLN yang diperkenankan, maka kelebihan tersebut tidak dapat diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang tahun berikutnya, tidak boleh dibebankan sebagai biaya atau pengurang penghasilan, dan tidak dapat dimintakan restitusi.

6. Apabila terjadi pengurangan atau pengembalian pajak atas penghasilan yang dibayar di luar negeri, sehingga besarnya pajak yang dapat dikreditkan di Indonesia menjadi lebih kecil dari besarnya perhitungan semula, maka selisihnya ditambahkan pada Pajak Penghasilan yang terutang menurut Undang-undang Pajak Penghasilan.

Misalnya, dalam tahun 2010, Wajib Pajak mendapat pengurangan pajak atas penghasilan luar negeri tahun pajak 2009 sebesar Rp5.000.000,00 yang semula telah termasuk dalam jumlah pajak yang dikreditkan terhadap pajak yang terutang untuk tahun pajak 2009, maka jumlah sebesar Rp5.000.000,00 tersebut ditambahkan pada Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun pajak 2010.

D. Studi Kasus KPLN Contoh:

PT A di Jakarta dalam tahun pajak 2001 menerima dan memperoleh penghasilan neto dari sumber luar negeri sebagai berikut:

1. Hasil usaha di Singapura dalam tahun pajak 2001 sebesar Rp800.000.000,00; 2. Dividen atas pemilikan saham pada "X Ltd." di Australia sebesar

Rp200.000.000,00 yaitu berasal dari keuntungan tahun 1998 yang ditetapkan dalam rapat pemegang saham tahun 2000 dan baru dibayar dalam tahun 2001; 3. Dividen atas penyertaan saham sebanyak 70% pada "Y Corporation" di Hongkong


(118)

117

yaitu berasal dari keuntungan saham 1999 yang berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan ditetapkan diperoleh tahun 2001; Rp75.000.000,00 yaitu berasal dari keuntungan saham 1999 yang berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan ditetapkan diperoleh tahun 2001

4. Bunga kwartal IV tahun 2001 sebesar Rp100.000.000,00 dari "Z Sdn Bhd" di Kuala Lumpur yang baru akan diterima bulan Juli 2002.

Penghasilan dari sumber luar negeri yang digabungkan dengan penghasilan dalam negeri dalam tahun pajak 2001 adalah penghasilan pada huruf a, b, dan c, sedangkan penghasilan pada huruf d digabungkan dengan penghasilan dalam negeri dalam tahun pajak 2002.

Contoh:

PT B di Jakarta memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2001 sebagai berikut: a. Di negara X, memperoleh penghasilan (laba) Rp1.000.000.000,00, dengan tarif

pajak sebesar 40% (Rp400.000.000,00);

b. Di negara Y, memperoleh penghasilan (laba) Rp3.000.000.000,00, dengan tarif pajak sebesar 25% (Rp750.000.000,00);

c. Di negara Z, menderita kerugian Rp2.500.000.000,00, d. Penghasilan usaha di dalam negeri Rp4.000.000.000,00.

Penghitungan kredit pajak luar negeri adalah sebagai berikut: 1. Penghasilan Luar negeri :

a. laba di negara X = Rp1.000.000.000,00

b. laba di negara Y = Rp3.000.000.000,00

c. laba di negara Z = Rp- - - (+) d. Jumlah penghasilan luar negeri = Rp4.000.000.000,00 2. Penghasilan dalam negeri = Rp4.000.000.000,00 3. Jumlah penghasilan neto adalah :

Rp4.000.000.000,00 + Rp4.000.000.000,00

= Rp8.000.000.000,00 4. PPh terutang (menurut tarif Pasal 17) = Rp2.382.500.000,00 5. Batas maksimum kredit pajak luar negeri untuk masing-masing negara adalah :

a. Untuk negara X =

Rp1.000.000.000,00 X Rp2.382.500.000,00 Rp8.000.000.000,00

= Rp297.812.500,00 Pajak yang terutang di negara X sebesar Rp400.000.000,00, namun maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan adalah Rp297.812.500,00.

b. Untuk negara Y =

Rp3.000.000.000,00 X Rp2.382.500.000,00 Rp8.000.000.000,00


(119)

118

Pajak yang terutang di negara Y sebesar Rp750.000.000,00, maka maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan adalah Rp50.000.000,00.

6. Jumlah kredit pajak luar negeri yang diperkenankan adalah:

Rp297.812.500,00 + Rp750.000.000,00

Rp1.047.812.500,00

Dari contoh diatas jelas bahwa dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, kerugian yang diderita di luar negeri (di negara Z sebesar Rp2.500.000.000,00) tidak dikompensasikan.

Contoh:

PT A di Jakarta memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2001 sebagai berikut: a. Penghasilan dalam negeri Rp1.000.000.000,00

b. Penghasilan luar negeri (dengan tarif pajak 20%) Rp1.000.000.000,00 Penghitungan jumlah maksimum KPLN adalah:

1. Penghasilan dalam negeri Rp1.000.000.000,00 Penghasilan luar negeri (tarif

pajak 20%)

Rp1.000.000.000,00 (+) Jumlah penghasilan neto Rp2.000.000.000,00

2. Apabila jumlah Penghasilan neto sama dengan Penghasilan Kena Pajak, maka sesuai tarif Pasal 17, Pajak Penghasilan yang terutang sebesar Rp582.500.000,00

3. Batas maksimum kredit pajak luar negeri adalah :

Rp1.000.000.000,00 X Rp582.500.000,00 = Rp291.250.000,00 Rp2.000.000.000,00

Oleh karena batas maksimum kredit pajak luar negeri sebesar Rp291.250.000,00 lebih besar dari jumlah pajak luar negeri yang terutang atau dibayar di luar negeri yaitu sebesar Rp200.000.000,00 maka jumlah kredit pajak luar negeri yang di perkenankan adalah sebesar Rp200.000.000,00.

Contoh:

PT B di Jakarta memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2001 sebagai berikut: a. Penghasilan dari usaha di luar negeri Rp1.000.000.000,00 b. Rugi usaha di dalam negeri (Rp 200.000.000,00) c. Pajak atas Penghasilan di luar negeri misalnya 40% = Rp 400.000.000,00

Penghitungan maksimum KPLN serta pajak terutang adalah sebagai berikut: 1. Penghasilan dari usaha di luar negeri Rp1.000.000.000,00

Rugi usaha di dalam negeri (Rp 200.000.000,00) (+)

Jumlah penghasilan neto Rp 800.000.000,00

2. Apabila jumlah Penghasilan neto sama dengan Penghasilan Kena Pajak, maka sesuai tarif Pasal 17, Pajak Penghasilan yang terutang sebesar Rp222.500.000,00

3. Batas maksimum kredit pajak luar negeri adalah:

Rp1.000.000.000,00 x Rp222.500.000,00 = Rp278.125.000,00 Rp 800.000.000,00


(120)

119

Oleh karena pajak yang dibayar diluar negeri dan batas maksimum kredit pajak luar negeri yang dapat dikreditkan masih lebih besar dari jumlah pajak yang terutang, maka kredit pajak luar negeri yang diperkenankan untuk dikreditkan dalam penghitungan Pajak Penghasilan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang yaitu Rp222.500.000,00

Contoh:

PT C di Jakarta dalam tahun 2001 memperoleh penghasilan neto sebagai berikut: a. Penghasilan dalam negeri = Rp2.000.000.000,00

b. Penghasilan dari negara X (tarif pajak 40%) = Rp1.000.000.000,00 c. Penghasilan dari negara Y (tarif pajak 30%) = Rp2.000.000.000,00 (+) Jumlah penghasilan neto = Rp5.000.000.000,00

Apabila penghasilan neto sama dengan Penghasilan Kena Pajak, maka Pajak Penghasilan terutang menurut tarif Pasal 17 sebesar Rp1.482.500.000,00.

Batas maksimum KPLN setiap negara adalah: Untuk negara X =

Rp1.000.000.000,00 x Rp1.482.500.000,00 Rp5.000.000.000,00

= Rp296.500.000,00 Pajak yang terutang diluar negeri sebesar Rp400.000.000,00 lebih besar dari batas maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan, maka jumlah kredit yang diperkenankan hanya sebesar Rp296.500.000,00.

Untuk negara Y =

Rp2.000.000.000,00 X Rp1.482.500.000,00 Rp5.000.000.000,00

= Rp593.000.000,00 Pajak yang terutang diluar negeri sebesar Rp600.000.000,00 lebih besar dari batas maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan, maka jumlah kredit pajak yang diperkenankan adalah Rp593.000.000,00.

Contoh:

PT "D" di Jakarta dalam tahun 2001 memperoleh penghasilan sebagai berikut: 1. Penghasilan dari Negara Z (tarif pajak 30%) = Rp2.000.000.000,00 2. Penghasilan Dalam Negeri = Rp3.500.000.000,00

(Penghasilan Dalam Negeri ini termasuk penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang PPh sebesar Rp500.000.000,00)

3. Penghasilan Kena Pajak PT "D" sebesar :

Rp2.000.000.000 + (Rp3.500.000.000 - Rp500.000.000)


(121)

120

4. Sesuai tarif Pasal 17 Undang-Undang PPh, Pajak Penghasilan yang terutang sebesar: Rp1.482.500.000,00

5. Batas maksimum kredit pajak luar negeri adalah: Rp2.000.000.000,00 x Rp1.482.500.000,00 Rp5.000.000.000,00

= Rp593.000.000,00

Pajak yang terutang di negara Z sebesar Rp600.000.000,00, namun maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan sebesar Rp593.000.000,00.

E. Pembetulan SPT Tahunan karena Perubahan Penghasilan dari Luar Negeri

1. Dalam hal terjadi koreksi fiskal di luar negeri yang menyebabkan adanya tambahan penghasilan yang mengakibatkan pajak atas penghasilan terutang di luar negeri lebih besar dari yang dilaporkan dalam SPT Tahunan, sehingga pajak di luar negeri kurang dibayar, maka terdapat kemungkinan Pajak Penghasilan di Indonesia juga kurang dibayar. Sepanjang koreksi fiskal di luar negeri tersebut dilaporkan sendiri oleh Wajib Pajak melalui pembetulan SPT Tahunan, maka bunga yang terutang atas pajak yang kurang dibayar tersebut tidak ditagih. Contoh:

a. Penghasilan luar negeri (SPT) Rp1.000.000.000,00 b. Penghasilan dalam negeri Rp2.000.000.000,00

c. Penghasilan luar negeri (setelah dikoreksi di luar negeri) Rp2.000.000.000,00 d. Pajak atas penghasilan yang terutang di luar negeri misalnya 40%

e. PPh Pasal 25 yang dibayar Rp500.000.000,00

PPh terutang sebelum dan sesudah koreksi fiskal di luar negeri adalah:

SPT SPT Pembetulan

Penghasilan luar negeri Rp1.000.000.000,00 Rp2.000.000.000,00 Penghasilan dalam negeri Rp2.000.000.000,00 Rp2.000.000.000,00 Penghasilan Kena Pajak Rp3.000.000.000,00 Rp4.000.000.000,00 PPh terutang Rp 882.500.000,00 Rp1.182.500.000,00 Kredit Pajak Luar Negeri:

1.000.000.000 x 882.500.000 3.000.000.000

Rp 294.166.667,00

2.000.000.000 x 1.182.500.000 4.000.000.000

Rp 591.250.000,00 PPh harus dibayar Rp 588.333.333,00 Rp 591.250.000,00 PPh Pasal 25 Rp 500.000.000,00 Rp 500.000.000,00 PPh Pasal 29 Rp 88.333.333,00 Rp 88.333.333,00


(122)

121

Terhadap PPh yang masih harus dibayar sebesar Rp 2.916.667,00 tidak ditagih bunga

2. Dalam hal terjadi koreksi fiskal di luar negeri berupa koreksi yang menyebabkan penghasilan dan pajak atas penghasilan terutang di luar negeri lebih kecil dari yang dilaporkan dalam SPT Tahunan, sehingga pajak di luar negeri lebih dibayar. Koreksi fiskal di luar negeri tersebut akan mengakibatkan Pajak Penghasilan terutang di Indonesia juga menjadi lebih kecil, sehingga Pajak Penghasilan menjadi lebih dibayar. Kelebihan bayar pajak tersebut dapat dikembalikan kepada Wajib Pajak setelah diperhitungkan dengan utang pajak yang lain.

Contoh:

a. Penghasilan luar negeri (SPT) Rp1.000.000.000,00. b. Penghasilan dalam negeri Rp2.000.000.000,00.

c. Penghasilan luar negeri (setelah dikoreksi di luar negeri) Rp500.000.000,00. d. Pajak atas penghasilan yang terutang di luar negeri misalnya 40%.

e. PPh Pasal 25 yang dibayar Rp500.000.000,00.

PPh terutang sebelum dan sesudah koreksi fiskal di luar negeri adalah:

SPT SPT Pembetulan

Penghasilan luar negeri Rp1.000.000.000,00 Rp 500.000.000,00 Penghasilan dalam negeri Rp2.000.000.000,00 Rp2.000.000.000,00 Penghasilan Kena Pajak Rp3.000.000.000,00 Rp2.500.000.000,00 PPh terutang Rp 882.500.000,00 Rp 732.500.000,00 Kredit Pajak Luar Negeri:

1.000.000.000 x 882.500.000 3.000.000.000

Rp 294.166.667,00

500.000.000 x 732.500.000 2.500.000.000

Rp 146.500.000,00 PPh harus dibayar Rp 588.333.333,00 Rp 586.000.000,00 PPh Pasal 25 Rp 500.000.000,00 Rp 500.000.000,00

PPh Pasal 29 Rp 88.333.333,00

Kurang Bayar Rp 86.000.000,00

PPh Pasal 29 telah dibayar Rp 88.333.333,00

Lebih Bayar Rp 2.333.333,00

Pajak Penghasilan yang lebih dibayar sebesar Rp2.333.333,00 dapat diminta kembali setelah diperhitungkan dengan utang pajak yang lain


(123)

122

F. Saat Diperolehnya Dividen oleh WP Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri Se la in Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek

Dengan makin berkembangnya ekonomi dan perdagangan internasional sejalan dengan era globalisasi, dapat terjadi bahwa Wajib Pajak dalam negeri menanamkan modalnya di luar negeri. Untuk mengurangi kemungkinan penghindaran pajak, terhadap penanaman modal di luar negeri selain pada badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, Menteri Keuangan berwenang untuk menentukan saat diperolehnya dividen.

Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang PPh mengatur bahwa Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut paling rendah 50% dari jumlah saham yang disetor; atau

2. Secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan modal paling rendah 50% dari jumlah saham yang disetor.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.03/2008 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-59/PJ/2010, mengatur antara lain:

1. Saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek adalah:

a. Pada bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban penyampaian SPT tahunan Pajak Penghasilan badan usaha di luar negeri tersebut untuk tahun pajak yang bersangkutan.

b. Pada bulan ketujuh setelah tahun pajak berakhir apabila badan usaha di luar negeri tersebut tidak memiliki kwajiban untuk menyampaikan SPT tahunan Pajak Penghasilan atau tidak ada ketentuan batas waktu penyampaian SPT tahunan Pajak Penghasilan.

2. Wajib Pajak dalam negeri adalah Wajib Pajak dalam negeri yang:

a. Memiliki penyertaan modal paling rendah 50% dari jumlah saham yang disetor pada badan usaha di luar negeri.


(124)

123

b. Secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan modal paling rendah 50% dari jumlah saham yang disetor pada badan usaha di luar negeri.

3. Besarnya dividen yang wajib dihitung oleh Wajib Pajak dalam negeri adalah sebesar jumlah dividen yang menjadi haknya terhadap laba setelah pajak yang sebanding dengan penyertaannya pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek.

4. Dividen wajib dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk tahun pajak saat dividen tersebut dianggap diperoleh.

5. Dalam hal Wajib Pajak dalam negeri menerima pembagian dividen dalam jumlah yang melebihi jumlah dividen yang dilaporkan, atas kelebihan jumlah dividen tersebut wajib dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan pada tahun pajak dibagikannya dividen tersebut.

6. Pajak atas dividen yang telah dibayar atau dipotong di luar negeri dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan Pasal 24 Undang-Undang PPh dan dilakukan pada tahun pajak dibayarnya atau dipotongnya pajak tersebut.

Contoh:

PT LE, Wajib Pajak dalam negeri Indonesia pada tahun 2010 memiliki penyertaan modal sebesar 65% dari jumlah saham yang disetor pada atas BM Ltd di negara A yang tidak menjual sahamnya di bursa efek.

Atas penyertaan modal tersebut maka: 1. Saat Penetapan Diperolehnya Dividen

Apabila Tahun Pajak BM Ltd di negara A adalah 1 Januari s.d. 31 Desember dan batas waktu kewajiban penyampaian SPT tahunan Pajak Penghasilan di negara A paling lambat adalah 31 Mei, maka saat diperolehnya dividen adalah pada bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban penyampaian SPT tahunan Pajak Penghasilan di negara A yaitu 30 September 2011.

2. Besarnya Dividen yang Ditetapkan dan Pelaporan

Tahun pajak 2010, BM Ltd di negara A memperoleh laba setelah pajak sebesar US$ 50.000,00 dan nilai tukar US$ terhadap Rupiah pada bulan September 2011 berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia adalah Rp9.200,00/US$, maka dividen tahun 2010 yang ditetapkan telah diperoleh PT LE adalah 65% x US$ 50.000,00 = US$32.500,00.


(125)

124

Penghasilan dividen tersebut dibukukan PT LE sebesar US$32.500,00 x Rp9.200,00/US$ = Rp299.000.000,00. Jumlah tersebut diperhitungkan dalam Penghasilan Kena Pajak tahun 2011 sesuai dengan ketentuan Pasal 16 UU PPh, dan dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh tahun pajak 2011.

3. Pengkreditan pajak luar negeri atas dividen yang dibayarkan

a. Apabila dividen tersebut belum dibayarkan oleh BM Ltd di negara A, maka tidak ada kredit pajak PPh Pasal 24 yang dapat diperhitungkan dalam SPT Tahunan PPh PT LE untuk tahun pajak 2011.

b. Apabila dividen tahun 2010 tersebut diterima Wajib Pajak pada bulan September 2014 dengan jumlah sebesar US$35.000,00, dan pembayaran dividen dalam bentuk lain untuk tahun pajak 2010 sebesar US$5.000,00, dengan bukti pemotongan Pajak Penghasilan atas dividen tersebut masing-masing sebesar US$3.500,00 dan US$500,00 maka:

1) Atas selisih lebih dividen yang dibayarkan tersebut merupakan penghasilan Wajib Pajak tahun 2014 yaitu US35.000,00 - US$32.500,00 = US$2.500,00 atau sebesar Rp22.875.000,00 (misalnya kurs tengah Bank Indonesia Rp9.150,00/US$) dan dilaporkan pada SPT Tahunan PPh tahun pajak 2014. 2) Atas dividen lainnya sebesar US$5.000,00 juga merupakan penghasilan tahun

2014 yaitu sebesar Rp45.750.000,00 (misalnya kurs tengah Bank Indonesia Rp9.150,00/US$) dan dilaporkan pada SPT Tahunan PPh tahun pajak 2014. 3) Pajak yang dibayar atau dipotong atas dividen di negara A tersebut sebesar

US$3.500,00 dan US$500,00 diperhitungkan sebagai kredit pajak luar negeri untuk tahun pajak 2014 sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (6) Undang-Undang PPh.

Contoh:

PT DK, PT DS dan PT DT merupakan WP dalam negeri Indonesia yang pada tahun 2010 memiliki penyertaan modal secara bersama-sama pada badan usaha BE Ltd di negara B yang tidak menjual sahamnya di bursa efek masing-masing sebesar 25%, 20%, dan 15% dari jumlah saham yang disetor. Apabila Tahun Pajak BE Ltd di negara B adalah 1 Januari s.d 31 Desember dan tidak memiliki kewajiban untuk menyampaikan SPT Tahunan PPh atau tidak ada ketentuan batas waktu penyampaian SPT Tahunan, maka atas penyertaan saham tersebut:


(126)

125

Karena jumlah penyertaan modal PT DK, PT DS dan PT DT pada BE di negara B secara bersama-sama melebihi 50%, maka penetapan saat diperolehnya dividen atas laba setelah pajak BE di negara B tahun 2010, adalah pada bulan ketujuh setelah tahun pajak berakhir, yaitu Juli 2011.

b. Besarnya Dividen yang Ditetapkan dan Pelaporan

Besarnya dividen yang wajib dihitung oleh PT DK, PT DS dan PT DT adalah sebesar jumlah dividen yang menjadi hak masing-masing perusahaan terhadap laba setelah pajak yang sebanding dengan penyertaannya pada BE di negara B. c. Kredit Pajak Luar Negeri atas Dividen mengikuti contoh pada butir 1 di atas.


(127)

126

BAB

PPh PASAL 26

Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WP luar negeri dari Indonesia, Undang-Undang PPh menganut dua sistem pengenaan pajak, yaitu:

a. Pemenuhan sendiri kewajiban perpajakannya bagi WP luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia.

b. Pemotongan oleh pihak yang wajib membayar bagi Wajib Pajak luar negeri lainnya.

Ketentuan PPh Pasal 26 mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber di Indonesia yang diterima atau diperoleh WP luar negeri selain bentuk usaha tetap.

A. Peta Konsep PPh Pasal 26

Gambar 19: Peta Konsep PPh Pasal 26

6

Tujuan Instruksional Khusus:

1. Mampu menguraikan tentang konsep PPh Pasal 26. 2. Mampu menjelaskan tentang Pemotong PPh Pasal 26. 3. Mampu menjelaskan tentang tarif pemotongan PPh Pasal 26. 4. Mampu menjelaskan tentang sifat pemotongan PPh Pasal 26. 5. Mampu menguraikan tentang Branch Profit Tax.

6. Mampu menjelaskan tentang saat penyetoran dan pelaporan pemotongan PPh Pasal 26.

PENGHASILAN

IMBALAN sehubungan dengan PEKERJAAN, JASA, dan KEGIATAN, termasuk PENSIUN dan PEMBAYARAN

BERKALA lainnya

DIVIDEN, BUNGA, ROYALTI, SEWA, HADIAH dan PENGHARGAAN, PREMI

SWAP dan Transaksi LINDUNG NILAI lainnya, KEUNTUNGAN karena

PEMBEBASAN UTANG

Diterima oleh: Diterima oleh:

WP LUAR NEGERI

WP Dalam Negeri

WP Dalam Negeri

WP LUAR NEGERI PPh Pasal 26 PPh Pasal 21 PPh Pasal 23 PPh Pasal 26

Pemotongan PPh Pasal 26 atas Penghasilan WP LUAR NEGERI yang BERUBAH STATUS menjadi


(128)

127

B. Pemotong PPh Pasal 26

Pemotongan PPh Pasal 26 wajib dilakukan oleh: 1. Badan pemerintah;

2. Subjek pajak dalam negeri; 3. Penyelenggara kegiatan; 4. Bentuk usaha tetap; atau

5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya; yang melakukan pembayaran kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia.

C. Tarif Pemotongan PPh Pasal 26

Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26 adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri dari Indonesia berupa:

Objek PPh Pasal 26 Tarif

1. Dividen 20% x Penghasilan Bruto

2. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang 3. Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan

dengan penggunaan harta

4. Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan

5. Hadiah dan penghargaan

6. Pensiun dan pembayaran berkala lainnya 7. Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya 8. Keuntungan karena pembebasan utang

9. Penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh, yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia

20% x Perkiraan Penghasilan Neto

10. Premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri

11. Penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (conduit company atau special purpose company) yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan


(129)

128

perlindungan pajak (tax haven country) yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia Catatan:

Apabila terdapat Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda/P3B (tax treaty) antara Indonesia dengan negara mitra, maka pengenaan PPh Pasal 26 mengacu pada ketentuan yang terdapat dalam P3B tersebut.

D. Sifat Pemotongan PPh Pasal 26

Pada prinsipnya pemotongan PPh Pasal 26 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WP luar negeri bersifat final, kecuali:

1. Pemotongan atas:

a. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia;

b. Penghasilan yang dikenai pemotongan PPh Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud25.

2. Pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap.

Atas penghasilan WP orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi WP dalam negeri atau bentuk usaha tetap, pemotongan pajaknya tidak bersifat final sehingga potongan pajak tersebut dapat dikreditkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan.

Contoh:

A sebagai tenaga asing orang pribadi membuat perjanjian kerja dengan PT B sebagai WP dalam negeri untuk bekerja di Indonesia untuk jangka waktu 5 bulan terhitung mulai tanggal 1 Januari 2009. Pada tanggal 20 April 2009 perjanjian kerja tersebut diperpanjang menjadi 8 bulan sehingga akan berakhir pada tanggal 31 Agustus 2009.

Jika perjanjian kerja tersebut tidak diperpanjang, status A adalah tetap sebagai WP luar negeri. Dengan diperpanjangnya perjanjian kerja tersebut, status A berubah


(130)

129

dari WP luar negeri menjadi WP dalam negeri terhitung sejak tanggal 1 Januari 2009. Selama bulan Januari sampai dengan Maret 2009 atas penghasilan bruto A telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 oleh PT B.

Berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (5) Undang-Undang PPh, maka untuk menghitung Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan A untuk masa Januari sampai dengan Agustus 2009, Pajak Penghasilan Pasal 26 yang telah dipotong dan disetor PT B atas penghasilan A sampai dengan Maret tersebut, dapat dikreditkan terhadap pajak A sebagai WP dalam negeri.

E. Pajak Penghasilan atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap (B ra nch P ro fit T ax)

Ketentuan Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang PPh mengatur bahwa Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di Indonesia dikenai Pajak Penghasilan (branch profit tax) sebesar 20%, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia.

1. Dalam hal induk perusahaan dari WP BUT adalah WP dalam negeri dari negara yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda/P3B (tax treaty) dengan Indonesia, besarnya tarif untuk menghitung branch profit tax adalah sebagaimana ditentukan dalam P3B yang berlaku.

2. Dalam hal penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh WP BUT dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final, dasar pengenaan branch profit tax adalah Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan pembukuan yang sudah dilakukan koreksi fiskal, dikurangi dengan jumlah Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 mengatur bahwa dalam menghitung Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang PPh (branch profit tax), terhadap bentuk usaha tetap yang terutang Pajak Penghasilan pada suatu tahun pajak, kerugian fiskal tidak dapat dikompensasikan lagi dengan Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi dengan Pajak Penghasilan.


(131)

130

Contoh:

Penghasilan Kena Pajak BUT di Indonesia tahun 2009 = Rp17.500.000.000,00 Pajak Penghasilan:

28% x Rp17.500.000.000,00 = Rp 4.900.000.000,00 Penghasilan Kena Pajak setelah pajak = Rp12.600.000.000,00

Branch Profit Tax

20% x Rp12.600.000.000,00 = Rp 2.520.000.000,00 Apabila penghasilan setelah pajak sebesar Rp12.600.000.000,00 tersebut ditanamkan kembali di Indonesia sesuai dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 14/PMK.03/2011 mengatur bahwa pengecualian dari branch profit tax diberikan apabila seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu BUT ditanamkan kembali di Indonesia memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri.

1) Perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia secara aktif telah melakukan kegiatan usaha sesuai akta pendiriannya, paling lama 1 tahun sejak perusahaan tersebut didirikan; dan

2) BUT yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan modal paling sedikit dalam jangka waktu 2 tahun sejak perusahaan baru dimaksud berproduksi komersial.

b. Penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham.

1) Perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia mempunyai kegiatan usaha aktif di Indonesia; dan

2) BUT yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan modal paling sedikit dalam jangka waktu 3 tahun sejak penyertaan modal. c. Pembelian aktiva tetap/investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh BUT untuk

menjalankan usaha atau melakukan kegiatan BUT di Indonesia.

BUT yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas pembelian aktiva tetap atau pengalihan atas investasi berupa aktiva tidak berwujud, paling sedikit dalam jangka waktu 3 tahun sejak perolehan aktiva tetap atau investasi aktiva tidak berwujud yang bersangkutan.


(132)

131

d. Penanaman kembali di Indonesia harus dilakukan paling lama pada akhir Tahun Pajak berikutnya, setelah Tahun Pajak diperolehnya penghasilan tersebut bagi BUT yang bersangkutan.

e. BUT yang bersangkutan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk penanaman modal, realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan dan/atau saat mulai berproduksi komersial bagi perusahaan yang baru didirikan, yang dilakukan kepada Kepala KPP tempat WP terdaftar.

1) Pemberitahuan mengenai bentuk penanaman modal yang dilakukan, dengan melampirkan pada SPT Tahunan untuk Tahun Pajak diterima atau diperolehnya penghasilan yang bersangkutan.

2) Pemberitahuan mengenai realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan, dengan melampirkan pada SPT Tahunan untuk Tahun Pajak saat dilakukan realisasi penanaman kembali tersebut, paling sedikit meliputi hal-hal sebagai berikut:

a) Jumlah Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari BUT dan Tahun Pajak yang bersangkutan; dan

b) Bentuk penanaman kembali, jumlah realisasi penanaman kembali, dan Tahun Pajak dilakukan realisasi penanaman kembali.

3) Saat berproduksi komersial adalah saat perusahaan yang baru didirikan tersebut telah mulai memproduksi barang untuk dijual bagi perusahaan manufaktur atau saat perusahaan mulai melakukan penjualan barang dan/atau jasa bagi perusahaan selain manufaktur.

F. PPh Pasal 26 atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh WPLN selain BUT dari Penjualan Saham

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 434/KMK.04/1999, mengatur antara lain: 1. Atas penghasilan dari penjualan saham Perseroan26 yang diperoleh WPLN selain

Bentuk Usaha Tetap (BUT) dipotong pajak yang bersifat final sebesar 20% dari perkiraan penghasilan netto.

2. Terhadap WPLN berkedudukan di negara-negara yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia, maka pemotongan pajak hanya dilakukan apabila berdasarkan P3B yang berlaku, hak pemajakannya ada pada pihak Indonesia.


(133)

132

3. Besarnya perkiraan penghasilan neto adalah 25% dari harga jual, sehingga besarnya PPh Pasal 26 adalah 20% x 25% atau 5% dari harga jual.

4. Penghasilah dari penjualan saham di dalam negeri yang diperoleh atau diterima WPLN, dipotong pajak oleh pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong pajak dan kepadanya diberikan bukti pemotongan PPh Pasal 26.

5. Perseroan hanya mencatat akta pemindahan hak atas saham yang dijual apabila kepadanya dibuktikan oleh WPLN bahwa PPh Pasal 26 yang terutang telah dibayar lunas dengan menyerahkan fotokopi bukti pemotongan PPh Pasal 26 dengan menunjukkan aslinya.

6. Dalam hal pembelinya adalah WPLN, maka yang ditunjuk sebagai pemungut pajak adalah Perseroan.

Contoh:

Wow Way Co. (perusahaan di Cina) adalah salah satu pemegang saham PT Indonat. Pada bulan Januari 2011 Wow Way Co. menjual saham yang dimilikinya di PT Indonat kepada PT Holdindo (perusahaan di Indonesia) senilai Rp5.000.000.000,00 dan kepada Tematek Co. (perusahaan di Malaysia) senilai Rp20.000.000.000,00.

Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh terkait transaksi tersebut?

Penghasilan dari penjualan saham Perseroan Terbatas dalam negeri yang diperoleh WPLN selain BUT dipotong pajak sebesar 20% x 25% atau 5% dari harga jual.

Perseroan Terbatas dalam negeri tersebut adalah Perseroan Terbatas yang: 1. Sahamnya diperjualbelikan oleh pemegang saham yang berstatus WPLN; dan 2. Tidak berstatus sebagai Emiten atau Perusahaan Publik.

Pemotong PPh Pasal 26 ini adalah pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong pajak. Dalam hal pembelinya adalah WPLN, maka yang ditunjuk sebagai pemungut pajak adalah Perseroan.

Bagi pemegang saham WPLN yang berkedudukan di negara-negara yang telah mempunyai P3B dengan Indonesia, maka pemotongan PPh Pasal 26 hanya dilakukan apabila berdasarkan P3B yang berlaku, hak pemajakannya ada di Indonesia.


(134)

133

a. PT Holdindo memotong PPh Pasal 26 sebesar Rp250.000.000,00 (20% x 25% x Rp5.000.000.000,00) atas penghasilan dari penjualan saham yang dibayarkan kepada Wow Way Co.

b. Menyetor PPh Pasal 26 yang telah dipotong atas pengalihan saham tersebut paling lambat tanggal 10 Februari 2011.

c. Melaporkan PPh Pasal 26 menggunakan SPT Masa PPh Pasal 23/26 Masa Pajak Januari 2011 paling lambat tanggal 21 Februari 2011.

Kewajiban pemungutan PPh Pasal 26 oleh PT Indonat adalah:

a. PT Indonat memungut PPh Pasal 26 sebesar Rp1.000.000.000,00 (20% x 25% x Rp20.000.000.000,00) atas penghasilan dari penjualan saham yang dibayar oleh Tematek Co. kepada Wow Way Co.

b. Menyetor PPh Pasal 26 yang telah dipungut atas pengalihan saham tersebut paling lambat tanggal 10 Februari 2011.

c. Melaporkan PPh Pasal 26 menggunakan SPT Masa PPh Pasal 23/26 Masa Pajak Januari 2011 paling lambat tanggal 21 Februari 2011.

G. Penyetoran dan Pelaporan Pemotongan PPh Pasal 26

H. Studi Kasus PPh Pasal 26 Contoh:

PT Flip Light Indonesia, sebuah perusahaan penanaman modal asing, pada tanggal 11 Mei 2011 mengumumkan pembagian dividen dari keuntungan tahun 2010, antara lain kepada:

1. Mr. Sneijder, Subjek Pajak Luar Negeri yang berdomisili di Belanda (dibuktikan dengan Surat Keterangan Domisili sesuai dengan format yang ditentukan yang diserahkan kepada PT Flip Light Indonesia), sebesar Rp300.000.000,00.

2. Spurs Vehicle Co., sebuah perusahaan yang berkedudukan di Mauritius, sebesar Rp5.000.000.000,00.

Penyetoran dan Pelaporan Pemotongan PPh Pasal 26

PPh Pasal 26

Tanggal Jatuh Tempo Penyetoran Paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah Masa Pajak

berakhir

Batas Akhir Pelaporan Wajib menyampaikan SPT Masa PPh

Pasal 21/26 paling lama 20 hari setelah Masa Pajak berakhir


(135)

134

Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh terkait transaksi tersebut?

Kewajiban PT Flip Light Indonesia sebagai pemotong PPh Pasal 26 adalah: a. Melakukan Pemotongan PPh Pasal 26

1) Berdasarkan P3B Indonesia – Belanda, dividen tersebut dapat dipajaki di Indonesia dengan tarif tidak lebih dari 10%. Oleh karena itu, atas pembayaran dividen kepada Mr. Sneijder, PT Flip Light Indonesia memotong PPh Pasal 26 sebesar:

PPh Pasal 26 = 10% x Rp300.000.000,00 = Rp30.000.000,00

2) Karena tidak ada P3B antara Indonesia – Mauritius, maka atas pembayaran dividen kepada Spurs Vehicle Co. dipotong PPh Pasal 26 sebesar:

PPh Pasal 26 = 20% x Rp5.000.000.000,00 = Rp1.000.00.000,00 b. Melakukan penyetoran PPh Pasal 26 yang telah dipotong atas pembayaran

dividen tersebut paling lambat 10 Juni 2011.

c. Melaporkan pemotongan PPh Pasal 26 atas transaksi tersebut dalam SPT Masa PPh Pasal 23/26 Masa Pajak Mei 2011 paling lambat tanggal 20 Juni 2011. Contoh:

PT Sistama Indonesia melakukan pembayaran kepada System International Co. atas jasa manajemen senilai Rp500.000.000,00. System International Co. berkedudukan di Inggris yang dibuktikan dengan Surat Keterangan Domisili (SKD). Penyerahan jasa oleh System International Co. tersebut dilakukan langsung tanpa melalui BUT di Indonesia.

Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh terkait transaksi tersebut?

Inggris adalah salah satu negara mitra P3B Indonesia, sehingga perlakuan PPh bagi Wajib Pajak luar negeri (resident) Inggris harus memperhatikan ketentuan dalam P3B. Salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh System International Co. untuk dapat menggunakan P3B dalam rangka pemotongan PPh adalah Surat Keterangan Domisili. Jenis penghasilan yang dibayarkan oleh PT Sistama Indonesia kepada System International Co. adalah penghasilan dari jasa. Dalam kasus ini, berdasarkan P3B Indonesia – Inggris maka penghasilan dari jasa hanya dapat dikenai pajak di Inggris karena System International Co. tidak mempunyai BUT di Indonesia.


(136)

135

BAB

PPh PASAL 4 AYAT (2)

A. Peta Konsep PPh Pasal 4 ayat (2)

7

Tujuan Instruksional Khusus:

1. Mampu menguraikan tentang konsep PPh Final Pasal 4 ayat (2). 2. Mampu menguraikan tentang perlakuan PPh atas penghasilan berupa:

a. Bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia (SBI). b. Bunga obligasi.

c. Diskonto Surat Perbendaharaan Negara (SPN).

d. Bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi.

e. Hadiah undian.

f. Penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa efek.

g. Penghasilan Perusahaan Modal Ventura dari Transaksi Penjualan Saham atau Pengalihan Penyertaan Modal pada Perusahaan Pasangan Usaha. h. Dividen yang diterima atau diperoleh WP OP Dalam Negeri

i. Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan.

j. Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. k. Jasa konstruksi.

l. Penilaian Kembali (Revaluasi) Aktiva Tetap.

m. Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa. 3. Mampu menjelaskan tentang saat penyetoran dan pelaporan pemotongan PPh


(137)

136

Gambar 20: Peta Konsep PPh Pasal 4 ayat (2)

Pemungutan Pajak Penghasilan tersebut bersifat final dan oleh karena itu apabila Wajib Pajak menerima atau memperoleh penghasilan yang berasal dari transaksi penjualan saham di bursa efek, penghasilan tersebut tidak perlu digabung dengan penghasilan lainnya dalam penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang dalam pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

Demikian pula Pajak Penghasilan yang telah dipotong tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

BUNGA DEPOSITO dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia

BUNGA OBLIGASI

DISKONTO Surat Perbendaharaan

Negara

BUNGA SIMPANAN yang Dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi

Orang Pribadi

HADIAH UNDIAN

Penghasilan dari Transaksi PENJUALAN SAHAM

DI BURSA EFEK

Penghasilan Perusahaan Modal Ventura dari Transaksi Penjualan Saham atau Pengalihan Penyertaan Modal pada Perusahaan

Pasangan Usaha DIVIDEN yang diterima atau diperoleh WP Orang Pribadi

Dalam Negeri Penghasilan dari

PERSEWAAN TANAH dan/atau BANGUNAN

Penghasilan dari PENGALIHAN HAK ATAS

TANAH dan/atau BANGUNAN JASA KONSTRUKSI

Selisih Lebih REVALUASI AKTIVA TETAP

PPh

FINAL


(138)

137

Gambar 21: Peta Konsep Konsekuensi Pengenaan PPh Final

B. Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia (SBI)

Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 51/KMK.04/2001, mengatur antara lain:

1. Yang dimaksud dengan:

a. Deposito adalah deposito dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deposito berjangka, sertifikat deposito dan deposit on call baik dalam mata uang rupiah maupun dalam mata uang asing (valuta asing) yang ditempatkan pada atau diterbitkan oleh bank.

b. Tabungan adalah simpanan pada bank dengan nama apapun, termasuk giro, yang penarikannya dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh masing-masing bank.

2. Tarif Pemotongan PPh

TARIF PPh FINAL

BUNGA DEPOSITO dan TABUNGAN serta DISKONTO

SBI

OBJEK PAJAK

Bunga Deposito

Bunga Tabungan

Diskonto Sertifikat Bank Indonesia

Catatan:

Pemotongan PPh tidak berlaku terhadap orang pribadi subjek pajak dalam negeri yang seluruh penghasilannya dalam 1 tahun pajak, termasuk bunga dan diskonto, tidak melebihi PTKP.

TARIF

20%

20% / sesuai tarif P3B

SUBJEK PAJAK

WP Dalam Negeri dan BUT

WP Luar Negeri TIDAK DAPAT DIKREDITKAN

PPh Final yang telah dipotong/dipungut TIDAK DAPAT DIKREDITKAN dengan PPh

yang terutang menurut SPT Tahunan PPh

TIDAK PERLU DIGABUNG

PENGHASILAN yang telah dikenai pemotongan atau pemungutan PPh yang

bersifat final, TIDAK PERLU DIGABUNG dengan penghasilan lainnya dalam penghitungan PPh yang terutang dalam

pengisian SPT Tahunan PPh TIDAK BOLEH DIKURANGKAN

BIAYA untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final TIDAK BOLEH DIKURANGKAN dalam menentukan besarnya

Penghasilan Kena Pajak

PPh

FIN


(139)

138

3. Dikecualikan dari pemotongan PPh yang bersifat final: a. Diberikan dengan Surat Keterangan Bebas (SKB)

Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI yang diterima atau diperoleh Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan sepanjang dananya diperoleh dari sumber pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun.

b. Dilaksanakan tanpa Surat Keterangan Bebas

1) Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI, sepanjang jumlah deposito dan tabungan serta SBI tersebut tidak melebihi Rp 7.500.000,00. 2) Bunga dan diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di

Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia.

3) Bunga tabungan pada bank yang ditunjuk Pemerintah dalam rangka pemilikan rumah sederhana dan sangat sederhana, kaveling siap bangun untuk rumah sederhana dan sangat sederhana, atau rumah susun sederhana sesuai dengan ketentuan yang berlaku, untuk dihuni sendiri. C. Bunga Obligasi

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2009 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2011 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 07/PMK.011/2012, mengatur antara lain:

1. Yang dimaksud dengan:

a. Obligasi adalah surat utang dan surat utang negara, yang berjangka waktu lebih dari 12 bulan.

b. Bunga Obligasi adalah imbalan yang diterima dan/atau diperoleh pemegang Obligasi dalam bentuk bunga dan/atau diskonto.

2. Atas penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh Wajib Pajak berupa Bunga Obligasi dikenai pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final.

3. Tidak dilakukan Pemotongan PPh atas Bunga Obligasi yang diterima oleh: a. Wajib Pajak dana pensiun yang pendirian atau pembentukannya telah disahkan

oleh Menteri Keuangan dan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf h Undang-Undang PPh.


(140)

139

b. Wajib Pajak bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia.

4. Dalam hal terdapat diskonto negatif atau rugi pada saat penjualan Obligasi, diskonto negatif atau rugi tersebut dapat diperhitungkan dengan penghasilan bunga berjalan.

5. Tarif Pemotongan PPh atas bunga obligasi

6. Pemotongan Pajak Penghasilan dilakukan oleh:

a. Penerbit Obligasi (emiten) atau kustodian selaku agen pembayaran yang ditunjuk, atas:

1) Bunga dan/atau diskonto yang diterima atau diperoleh pemegang Obligasi dengan kupon pada saat jatuh tempo Bunga Obligasi.

2) Diskonto yang diterima atau diperoleh pemegang Obligasi tanpa bunga pada saat jatuh tempo Obligasi.

b. Perusahaan efek, dealer, atau bank, selaku perantara, atas bunga dan/atau diskonto Obligasi yang diterima atau diperoleh penjual Obligasi pada saat transaksi.

BUNGA OBLIGASI

Surat Utang dan Surat Utang Negara, yang berjangka waktu lebih dari 12 bulan

BUNGA DENGAN KUPON

Jumlah bruto bunga sesuai dengan masa kepemilikan Obligasi

DISKONTO DENGAN KUPON

Selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan

Obligasi, tidak termasuk bunga

berjalan

DISKONTO TANPA BUNGA

Selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan

Obligasi

DISKONTO dan/atau BUNGA WP REKSADANA

Selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi dan/atau jumlah bruto bunga sesuai dengan masa kepemilikan obligasi

WP DN dan BUT

15%, Final

WP LN selain BUT

20% atau sesuai tarif P3B, Final

0% Final untuk Tahun 2009 s.d. 2010

5% Final untuk Tahun 2011 s.d. 2013

15% Final untuk Tahun 2014 dst.


(141)

140

c. Perusahaan efek, dealer, bank, dana pensiun, dan reksadana, selaku pembeli Obligasi langsung tanpa melalui perantara, atas bunga dan/atau diskonto Obligasi yang diterima atau diperoleh penjual Obligasi pada saat transaksi.

7. Dalam hal penjualan Obligasi dilakukan secara langsung tanpa melalui perantara kepada pihak-pihak lain selain pemotong pajak tersebut, kustodian atau sub-registry selaku pihak-pihak yang melakukan pencatatan mutasi hak kepemilikan Obligasi, wajib melakukan pemotongan dengan cara memungut Pajak Penghasilan yang bersifat final yang terutang dari penjual Obligasi sebelum mutasi hak kepemilikan dilakukan.

8. Dalam hal penjualan Obligasi tidak memerlukan pencatatan mutasi hak kepemilikan Obligasi melainkan hanya atas unjuk, pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final dilakukan oleh penerbit Obligasi (emiten) atau kustodian yang ditunjuk selaku agen pembayaran, dari pembeli/pemegang Obligasi pada saat: a. Jatuh tempo bunga, untuk penghasilan bunga yang dihitung berdasarkan masa

kepemilikan penuh sejak tanggal jatuh tempo bunga terakhir.

b. Jatuh tempo Obligasi, untuk penghasilan diskonto yang dihitung berdasarkan masa kepemilikan penuh sejak tanggal penerbitan perdana Obligasi.

9. Dalam hal dapat dibuktikan bahwa penjual Obligasi atas unjuk adalah pihak yang tidak diberlakukan pemotongan Pajak Penghasilan atau pihak lain yang telah dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan, pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final atas bunga pada saat jatuh tempo bunga atau diskonto pada saat jatuh tempo Obligasi, dihitung berdasarkan masa kepemilikan penuh dikurangi dengan masa kepemilikan penjual Obligasi tersebut.

Contoh Penghitungan Mengenai Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Atas Bunga Obligasi

a. Pada tanggal 1 Juli 2011, PT ABC (emiten) menerbitkan Obligasi dengan kupon (interest bearing bond) sebagai berikut:

1) Nilai nominal Rp10.000.000,00 per lembar.

2) Jangka waktu Obligasi 5 tahun (jatuh tempo tanggal 1 Juli 2016).

3) Bunga tetap (fixed rate) sebesar 16% per tahun, jatuh tempo bunga setiap tanggal 30 Juni dan 31 Desember.


(142)

141

PT XYZ (investor) pada saat penerbitan perdana membeli 10 lembar Obligasi dengan harga di bawah nilai nominal (at discount), yaitu sebesar Rp9.000.000,00 per lembar.

Penghitungan bunga dan PPh yang bersifat final yang terutang oleh PT XYZ pada saat jatuh tempo bunga pada tanggal 31 Desember 2011 adalah:

Bunga = (6/12 x 16% x Rp10.000.000,00) x 10 = Rp8.000.000,00

PPh Final = 15% x Rp8.000.000,00 = Rp1.200.000,00

Dipotong oleh emiten atau kustodian yang ditunjuk sebagai agen pembayaran. Keterangan:

Dalam kenyataannya, harga perolehan Obligasi dengan kupon (interest bearing bond) pada saat penerbitan perdana tidak harus selalu sama dengan nilai nominalnya. Pembeli dapat memperoleh Obligasi dengan harga di bawah nilai nominal (at discount) atau di atas nilai nominal (at premium). Pada hakekatnya selisih harga beli di bawah atau di atas nilai nominal tersebut merupakan penyesuaian tingkat bunga Obligasi yang diperhitungkan ke dalam harga perolehan.

Dalam hal investor atau pembeli Obligasi adalah WP Reksadana, maka penghitungan PPh final atas bunga yang diperoleh pada saat jatuh tempo tanggal 31 Desember 2011 adalah:

Bunga = (6/12 x 16% x Rp10.000.000,00) x 10 = Rp8.000.000,00

PPh Final = 5% x Rp8.000.000,00 = Rp400.000,00

b. Pada tanggal 31 Maret 2012, PT XYZ menjual seluruh Obligasi yang dimilikinya kepada PT PQR melalui perusahaan efek PT MNO di over the counter (OTC), dengan harga jual Rp10.400.000,00 per lembar termasuk bunga berjalan.

Penghitungan bunga berjalan, diskonto, dan PPh final yang terutang oleh PT XYZ pada saat penjualan Obligasi tanggal 31 Maret 2012 adalah:

Bunga Berjalan = (3/12 x 16% x Rp10.000.000,00) x 10 = Rp4.000.000,00

Diskonto = [(Rp10.400.000,00 – Rp400.000,00) – Rp9.000.000,00] x 10 = Rp10.000.000,00


(143)

142

Mengingat Wajib Pajak PT XYZ dikenakan PPh final dengan tarif yang sama, bunga berjalan dan diskonto dapat dihitung sekaligus yaitu:

Bunga berjalan dan diskonto = (Rp10.400.000,00 – Rp9.000.000,00) x 10 = Rp14.000.000,00

PPh final = 15% x Rp14.000.000,00 = Rp2.100.000,00

Dipotong oleh PT MNO selaku perantara.

c. PT PQR memiliki Obligasi yang dibeli dari PT XYZ dengan masa kepemilikan hingga tanggal 31 Desember 2014. Untuk itu, pada setiap tanggal jatuh tempo bunga selama masa kepemilikan Obligasi tersebut, PT PQR terutang PPh final sebesar 15% atas bunga yang diterima atau diperolehnya, yang dipotong oleh emiten atau kustodian yang ditunjuk sebagai agen pembayaran.

d. Pada tanggal 31 Desember 2014, PT PQR setelah menerima bunga dari emiten menjual seluruh Obligasi yang dimilikinya kepada PT CDE melalui Bank “Pundi Nasional” selaku perantara dengan harga jual Rp10.500.000,00 per lembar.

Penghitungan bunga, diskonto, dan PPh final yang terutang oleh PT PQR pada saat jatuh tempo bunga atau saat penjualan Obligasi tanggal 31 Desember 2014 adalah:

Bunga = (6/12 x 16% x Rp10.000.000,00) x 10 = Rp8.000.000,00

PPh final atas Bunga = 15% x Rp8.000.000,00 = Rp1.200.000,00

Dipotong oleh emiten atau kustodian yang ditunjuk sebagai agen pembayaran. Diskonto = (Rp10.500.000,00 – Rp10.000.000,00) x 10

= Rp5.000.000,00 PPh final atas Diskonto = 15% x Rp5.000.000,00

= Rp750.000,00

Dipotong oleh Bank “Pundi Nasional” selaku perantara. Keterangan:

Pengertian diskonto tidak hanya terbatas pada realisasi selisih harga perolehan perdana di bawah (at discount) nilai nominal Obligasi, melainkan mencakup selisih lebih harga jual di atas harga perolehan Obligasi.

e. Pada tanggal 31 Mei 2016, PT CDE menjual seluruh Obligasi yang dimilikinya kepada Dana Pensiun “Sejahtera Mandiri” (dana pensiun yang telah mendapat


(144)

143

persetujuan Menteri Keuangan) langsung tanpa melalui perantara dengan harga jual Rp10.666.667,00 per lembar termasuk bunga.

Penghitungan bunga berjalan, diskonto, dan PPh yang terutang oleh PT CDE pada saat penjualan Obligasi tanggal 31 Mei 2016 adalah:

Bunga berjalan = (5/12 x 16% Rp10.000.000,00) x 10 = Rp6.666.670,00

Diskonto = [(Rp10.666.667,00 – Rp666.667,00) – Rp10.500.000,00] x 10 = (Rp5.000.000,00)

Diskonto negatif atau rugi.

Perolehan diskonto negatif atau rugi dapat diperhitungkan dengan penghasilan bunga berjalan. PPh terutang yang bersifat final karena penjualan Obligasi adalah:

PPh final = 15% x (Rp6.666.670,00 – Rp5.000.000,00) = Rp250.001,00

Keterangan:

Meskipun penjualan Obligasi tidak dilakukan melalui perantara dan tidak dilaporkan ke bursa, dana pensiun sebagai pembeli wajib melakukan pemotongan pajak. Ketentuan yang sama juga berlaku dalam hal pembelian langsung dilakukan oleh perusahaan efek, bank, dan reksa dana selaku investor.

f. Pada tanggal 1 Juli 2016 (jatuh tempo Obligasi), Dana Pensiun “Sejahtera Mandiri” menerima pelunasan seluruh Obligasi yang dimilikinya beserta imbalan bunga sesuai masa kepemilikan (1 bulan) dari PT ABC, yang merupakan emiten Obligasi tersebut. Penghitungan bunga, diskonto, dan PPh final yang terutang oleh Dana Pensiun “Sejahtera Mandiri” pada saat jatuh tempo/pelunasan Obligasi tanggal 1 Juli 2016 adalah:

Bunga = (1/12 x 16% x Rp10.000.000,00) x 10 = Rp1.333.330,00

Diskonto = (Rp10.000.000,00 – Rp10.000.000,00) x 10 = Nihil

g. Pada tanggal 1 Januari 2011, PT ABC menerbitkan Obligasi tanpa bunga ( non-interest bearing debt securitiest) berjangka waktu 10 tahun (jatuh tempo tanggal 1 Januari 2021) dengan nilai nominal sebesar Rp10.000.000,00. Penerbitan perdana Obligasi tersebut tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI).

PT GHI membeli 100 lembar Obligasi tanpa bunga tersebut dengan harga perdana sebesar Rp6.000.000,00 per lembar.


(145)

144

Pada tanggal 31 Agustus 2014, PT GHI menjual 50 lembar Obligasi tersebut di BE) melalui perusahaan efek PT MNO kepada PT JKL seharga Rp7.000.000,00 per lembar.

Penghitungan diskonto dan PPh Final yang terutang oleh PT GHI adalah: Diskonto = (Rp7.000.000,00 - Rp6.000.000,00) x 50

= Rp50.000.000,00 PPh final = 15% x Rp50.000.000,00

= Rp7.500.000,00

Dipotong oleh PT MNO selaku perantara. Keterangan:

Diskonto Obligasi tanpa bunga dikenakan pemotongan PPh final pada setiap kali dilakukan penjualan, sepanjang:

1) penjualan dilakukan melalui perantara atau pembeli langsung yang ditunjuk sebagai pemotong pajak; dan

2) penjual Obligasi tidak dikecualikan dari pemotongan Pajak Penghasilan. Pada saat jatuh tempo/pelunasan Obligasi dimaksud, atas diskonto terakhir dikenakan PPh final.

D. Diskonto Surat Perbendaharaan Negara

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2008 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 63/PMK.03/2008, mengatur antara lain:

1. Yang dimaksud dengan:

a. Surat Utang Negara adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai dengan masa berlakunya, yang terdiri atas Surat Perbendaharaan Negara dan Obligasi Negara b. Surat Perbendaharaan Negara (SPN) adalah Surat Utang Negara yang berjangka

waktu paling lama 12 bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto.

c. Pasar Perdana adalah kegiatan penawaran dan penjualan Surat Utang Negara untuk pertama kali.

d. Pasar Sekunder adalah kegiatan perdagangan Surat Utang Negara yang telah dijual di Pasar Perdana.


(146)

145

1) Nilai nominal pada saat jatuh tempo dengan harga perolehan di Pasar Perdana atau di Pasar Sekunder; atau

2) Harga jual di Pasar Sekunder dengan harga perolehan di Pasar Perdana atau di Pasar Sekunder, tidak termasuk Pajak Penghasilan yang dipotong.

2. Atas penghasilan tertentu dari Wajib Pajak berupa Diskonto SPN dikenakan pemotongan27 Pajak Penghasilan yang bersifat final.

3. Tarif Pemotongan PPh atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara

4. Pemotongan PPh atas diskonto SPN dilakukan oleh:

a. Penerbit SPN (emiten) atau kustodian yang ditunjuk selaku agen pembayar, atas Diskonto yang diterima pemegang SPN saat jatuh tempo;

b. Perusahaan efek (broker) atau bank selaku pedagang perantara (dealer), atas Diskonto yang diterima atau diperoleh penjual SPN pada saat transaksi di Pasar Sekunder;

c. Perusahaan efek (broker), bank, dana pensiun, dan reksadana selaku pembeli SPN tanpa melalui pedagang perantara, atas Diskonto yang diterima atau diperoleh penjual SPN pada saat transaksi di Pasar Sekunder.

E. Bunga Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi Orang Pribadi

Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2009 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/2010, mengatur antara lain:

TARIF PPh FINAL

DISKONTO SPN (Surat Perbendaharaan Negara)

OBJEK PAJAK

Diskonto SPN

(Surat Perbendaharaan Negara)

Catatan:

Pemotongan PPh tidak dilakukan atas Diskonto SPN yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak: a. Bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia;

b. Dana Pensiun yang pendirian/pembentukannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan; c. Reksadana yang terdaftar pada Badan pengawas Pasar Modal dan Lembaga, selama 5

tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha.

TARIF

20%

20% / sesuai tarif P3B

SUBJEK PAJAK

WP Dalam Negeri dan BUT

WP Penduduk/berkedudukan di Luar Negeri


(147)

146

1. Penghasilan berupa bunga simpanan28 yang dibayarkan oleh koperasi yang

didirikan di Indonesia kepada anggota koperasi orang pribadi dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.

2. Tarif pemotongan PPh atas Bunga Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi Orang Pribadi

3. Tidak termasuk dalam pengertian ini adalah bunga simpanan yang diterima anggota koperasi orang pribadi yang merupakan bagian dari sisa hasil usaha. Contoh:

a. Bunga dibayarkan pada bulan Februari Rp240.000,00 untuk masa Januari, maka PPh terutang 0% x Rp240.000,00 = Rp0,00

b. Bunga dibayarkan pada bulan Februari Rp245.000,00 untuk masa Januari, maka PPh terutang 10% x Rp245.000,00 = Rp24.500,00

c. Bunga dibayarkan pada bulan April sebesar Rp500.000,00 dengan rincian bunga bulan Januari Rp250.000,00, Februari Rp150.000,00, dan Maret Rp100.000,00, maka yang dikenakan PPh 10% adalah bunga bulan Januari sebesar 10% x Rp250.000,00 = Rp25.000,00 dan untuk bulan Februari dan Maret Rp0,00

F. Hadiah Undian

Peraturan Pemerintah Nomor 132 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 639/KMK.04/1994, mengatur antara lain:

1. Atas penghasilan berupa hadiah undian29 dengan nama dan dalam bentuk apapun

dipotong atau dipungut Pajak Penghasilan yang bersifat final. 2. Tarif pemotongan PPh atas Hadiah Undian

TARIF PPh FINAL – BUNGA SIMPANAN KOPERASI OBJEK PAJAK

Bunga Simpanan yang Dibayarkan

oleh Koperasi kepada Anggota

Koperasi Orang Pribadi

TARIF

0%

10% s.d. Rp240.000,00

per bulan

> Rp240.000,00 per bulan

TARIF PPh FINAL – HADIAH UNDIAN OBJEK PAJAK

Hadiah Undian

TARIF

25% dari Jumlah Bruto Nilai Hadiah

SUBJEK PAJAK

Orang Pribadi dan Badan baik Dalam Negeri maupun Luar

Negeri

Pengertian Nilai Hadiah adalah NILAI UANG atau NILAI PASAR apabila hadiah tersebut diserahkan dalam bentuk natura (misalnya: mobil).


(148)

147

3. Penyelenggara undian30 wajib memotong Pajak Penghasilan dalam hal hadiah

undian dibayarkan berupa uang dan memungut Pajak Penghasilan dalam hal hadiah undian diserahkan dalam bentuk natura atau kenikmatan.

4. Pajak Penghasilan dipotong atau dipungut oleh Penyelenggara undian sebelum hadiah undian dibayarkan atau diserahkan kepada yang berhak.

G. Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek

Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1997 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 282/KMK.04/1997, mengatur antara lain:

1. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari transaksi penjualan saham di bursa efek dipungut Pajak Penghasilan yang bersifat final.

2. Tarif Pemotongan PPh atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek

3. Yang dimaksud dengan "pendiri" adalah orang pribadi atau badan yang namanya tercatat dalam Daftar Pemegang Saham Perseroan Terbatas atau tercantum dalam Anggaran Dasar Perseroan Terbatas sebelum Pernyataan Pendaftaran yang diajukan kepada Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dalam rangka penawaran umum perdana (initial public offering) menjadi efektif.

4. Termasuk dalam pengertian "pendiri" adalah orang pribadi atau badan yang menerima pengalihan saham dari pendiri karena:

a. Warisan.

b. Hibah yang memenuhi syarat Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 2 Undang-Undang PPh.

c. Cara lain yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan pada saat pengalihan tersebut.

TARIF PPh FINAL

PENJUALAN SAHAM di BURSA EFEK

OBJEK PAJAK

Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek

TARIF

0,1% dari Jumlah Bruto Nilai Transaksi Penjualan

0,5% dari Nilai Jual Saham Tambahan PPh untuk Transaksi

Penjualan Saham Pendiri

SUBJEK PAJAK

Orang Pribadi atau Badan


(149)

148

5. Yang dimaksud dengan "saham pendiri" adalah saham yang dimiliki oleh mereka yang termasuk kategori "pendiri" sebagaimana dimaksud di atas.

6. Termasuk dalam pengertian "saham pendiri" adalah:

a. Saham yang diperoleh pendiri yang berasal dari kapitalisasi agio yang dikeluarkan setelah penawaran umum perdana (initial public offering).

b. Saham yang yang berasal dari pemecahan saham pendiri. 7. Tidak Termasuk dalam pengertian "saham pendiri" adalah:

a. Saham yang diperoleh pendiri yang berasal dari pembagian dividen dalam bentuk saham.

b. Saham yang diperoleh pendiri setelah penawaran umum perdana (initial public offering) yang berasal dari pelaksanaan hak pemesanan efek terlebih dahulu (right issue), waran, obligasi konversi dan efek konversi lainnya;

c. Saham yang diperoleh pendiri perusahaan Reksa Dana.

8. Pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan dengan cara pemotongan oleh penyelenggaraan bursa efek melalui perantara pedagang efek pada saat pelunasan transaksi penjualan saham.

H. Penghasilan Perusahaan Modal Ventura dari Transaksi Penjualan Saham atau Pengalihan Penyer taan Modal pada Perusahaan Pasangan Usaha

Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1995, mengatur antara lain:

1. Atas penghasilan perusahaan modal ventura dari transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangan usahanya dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 0,1% dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal.

2. Perusahaan pasangan usaha adalah perusahaan yang memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang melakukan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan; dan

b. Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.

3. Dalam hal transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal tersebut dilakukan melalui bursa efek, maka pengenaan Pajak Penghasilannya dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan


(150)

perundang-149

undangan tentang Pajak Penghasilan atas penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa efek.

4. Atas penghasilan perusahaan modal ventura dari transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangan usaha yang tidak memenuhi ketentuan, dikenakan Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang PPh.

I. Dividen yang diterima atau diperoleh WP OP Dalam Negeri

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2009 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.03/2010, mengatur antara lain:

1. Penghasilan berupa dividen31 yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang

pribadi dalam negeri dikenai Pajak Penghasilan sebesar 10% dan bersifat final.

2. Pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan melalui pemotongan oleh pihak yang membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku pembayar dividen.

J. Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan

Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2002, mengatur antara lain: 1. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari

persewaan tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan industri, wajib dibayar Pajak Penghasilan.

2. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari penyewa yang bertindak atau ditunjuk sebagai Pemotong Pajak, wajib dipotong Pajak Penghasilan oleh penyewa.

TARIF PPh FINAL

DIVIDEN WP OP DALAM NEGERI

OBJEK PAJAK

Dividen yang Diterima

atau Diperoleh

WP Orang Pribadi

Dalam Negeri

TARIF

SUBJEK PAJAK

10% dari Jumlah Bruto

Dividen yang Diterima

Orang Pribadi


(151)

150

3. Dalam hal penyewa bukan sebagai Pemotong Pajak maka Pajak Penghasilan yang terutang wajib dibayar sendiri oleh orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan.

4. Tarif PPh atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan

5. Apabila penyewa adalah badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, kerjasama operasi, perwakilan perusahaan luar negeri lainnya, dan orang pribadi yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak, Pajak Penghasilan yang terutang wajib dipotong oleh penyewa. 6. Apabila penyewa adalah orang pribadi atau bukan Subjek Pajak Penghasilan,

Pajak Penghasilan yang terutang wajib dibayar sendiri oleh pihak yang menyewakan.

Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-50/PJ./1996, mengatur antara lain:

7. Orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong Pajak Penghasilan atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan adalah:

a. Akuntan, arsitek, dokter, Notaris, Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah Camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas;

b. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan; yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam negeri.

TARIF PPh FINAL

PERSEWAAN TANAH dan/atau BANGUNAN

OBJEK PAJAK

Penghasilan dari

Persewaan

Tanah dan/atau

Bangunan

TARIF

10% dari Jumlah Bruto Nilai

Persewaan

Tanah dan/atau Bangunan

SUBJEK PAJAK

Orang Pribadi

atau

Badan

Jumlah bruto nilai persewaan adalah semua jumlah yang dibayarkan atau terutang oleh penyewa dengan nama dan dalam bentuk apapun juga yang berkaitan dengan tanah dan/atau bangunan yang disewa termasuk biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanan, biaya fasilitas lainnya dan service charge baik yang perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan.


(152)

151

8. Kepala KPP menerbitkan Surat Keputusan Penunjukan sebagai Pemotong Pajak Penghasilan atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang ditunjuk.

K. Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008, mengatur antara lain:

1. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan wajib dibayar Pajak Penghasilan. 2. Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah:

a. Penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah.

b. Penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain yang disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan, termasuk pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus misalnya penjualan atau pelepasan hak tanah kepada pemerintah untuk proyek Rumah Sakit Umum dan untuk proyek kampus universitas.

c. Penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus yaitu pembebasan tanah oleh pemerintah untuk proyek-proyek jalan umum, saluran pembuangan air, waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya, saluran irigasi, pelabuhan laut, bandar udara, fasilitas keselamatan umum seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar dan bencana lainnya, dan fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. 3. Bagi Wajib Pajak yang melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau

bangunan, pembayaran Pajak Penghasilan bersifat final.

4. Besarnya Pajak Penghasilan adalah sebesar 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, kecuali atas pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenakan Pajak Penghasilan sebesar 1% dari jumlah bruto nilai pengalihan.


(153)

152

5. Nilai pengalihan hak adalah nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi Dan Bangunan, kecuali:

a. Dalam hal pengalihan hak kepada pemerintah adalah nilai berdasarkan keputusan pejabat yang bersangkutan;

b. Dalam hal pengalihan hak sesuai dengan peraturan lelang (Staatsblad Tahun 1908 Nomor 189 dengan segala perubahannya) adalah nilai menurut risalah lelang tersebut.

6. NJOP adalah NJOP menurut Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB) tahun yang bersangkutan atau dalam hal SPPT dimaksud belum terbit, adalah NJOP menurut SPPT tahun pajak sebelumnya. 7. Apabila tanah dan/atau bangunan tersebut belum terdaftar pada KPP, maka NJOP

yang dipakai adalah NJOP menurut surat keterangan yang diterbitkan Kepala Kantor yang wilayah kerjanya meliputi lokasi tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan berada.

TARIF PPh FINAL

PENGALIHAN HAK ATAS TANAH dan/atau BANGUNAN

OBJEK PAJAK

Penghasilan

dari

Pengalihan

Hak atas Tanah

dan/atau

Bangunan

TARIF

5% dari Jumlah Bruto Nilai Pengalihan 5% dari Jumlah Bruto Nilai Pengalihan untuk

RS dan RSS

SUBJEK

PAJAK

Orang Pribadi

atau

Badan

BUKAN Usaha Pokok

USAHA POKOK Pengalihan

Hak atas Tanah dan/atau Bangunan

5% dari Jumlah Bruto Nilai Pengalihan untuk


(154)

153

8. Rumah Sederhana terdiri atas Rumah Sederhana Sehat dan Rumah Inti Tumbuh, yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

9. Rumah Susun Sederhana adalah bangunan bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang dipergunakan sebagai tempat hunian yang dilengkapi dengan KM/WC dan dapur baik bersatu dengan unit hunian maupun terpisah dengan penggunaan komunal termasuk Rumah Susun Sederhana Milik, yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

10. Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah: a. Orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena

Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihannya kurang dari Rp60.000.000,00 dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah.

b. Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus.

c. Orang pribadi yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan kepada badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.

d. Badan yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; atau e. Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan.

11. Pejabat yang berwenang (Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Camat, Pejabat Lelang, atau pejabat lain yang diberi wewenang sesuai dengan peraturan


(155)

154

perundang-undangan yang berlaku) hanya menanda tangani akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan apabila kepadanya dibuktikan oleh Orang pribadi atau badan dimaksud bahwa kewajiban telah dipenuhi dengan menyerahkan fotokopi Surat Setoran Pajak yang bersangkutan dengan menunjukan aslinya.

L. Jasa Konstruksi

Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009, mengatur antara lain:

1. Yang dimaksud dengan:

a. Jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi.

b. Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain.

c. Perencanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan fisik lain.

d. Pelaksunaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk di dalamnya pekerjaan konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan fungsi layanan dalam model penggabungan perencanaan, pengadaan, dan pembangunan (engineering, procurement and construction) serta model penggabungan perencanaan dan pembangunan (design and build).

e. Pengawasan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi, yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan.


(156)

155

2. Atas penghasilan dari usaha Jasa Konstruksi dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.

3. Tarif Pajak Penghasilan untuk usaha Jasa Konstruksi adalah sebagai berikut: a. 2% untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang

memiliki kualifikasi usaha32 kecil;

b. 4% untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha;

c. 3% untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;

d. 4% untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha; dan

e. 6% untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.

JASA KONSTRUKSI

Dikenai PPh yang bersifat Final

PELAKSANAAN KONSTRUKSI PERENCANAAN / PENGAWASAN KONSTRUKSI

Memiliki Kualifikasi Usaha

TIDAK Memiliki Kualifikasi Usaha

Memiliki Kualifikasi Usaha

TIDAK Memiliki Kualifikasi Usaha

KECIL SELAIN KECIL

2%

3%

4%

4%

6%

Jumlah Pembayaran/Jumlah Penerimaan Pembayaran (yang merupakan bagian dari Nilai Kontrak Jasa Konstruksi), tidak termasuk PPN


(157)

156

4. Dalam hal Penyedia Jasa adalah bentuk usaha tetap, tarif Pajak Penghasilan tidak termasuk Pajak Penghasilan atas sisa laba bentuk usaha tetap setelah Pajak Penghasilan yang bersifat final.

5. Sisa laba dari bentuk usaha tetap setelah Pajak Penghasilan yang bersifat final, dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang PPh (branch profit tax) atau sesuai dengan ketentuan dalam P3B.

6. Pajak Penghasilan yang bersifat final:

a. Dipotong oleh Pengguna Jasa pada saat pembayaran, dalam hal Pengguna Jasa merupakan pemotong pajak33; atau

b. Disetor sendiri oleh Penyedia Jasa, dalam hal pengguna jasa bukan merupakan pemotong pajak34.

7. Besarnya Pajak Penghasilan yang dipotong atau disetor sendiri adalah:

a. Jumlah pembayaran, tidak termasuk PPN, dikalikan tarif Pajak Penghasilan; atau b. Jumlah penerimaan pembayaran, tidak termasuk PPN, dikalikan tarif Pajak

Penghasilan dalam hal Pajak Penghasilan disetor sendiri oleh Penyedia Jasa. 8. Dalam hal terdapat selisih kekurangan Pajak Penghasilan yang terutang

berdasarkan Nilai Kontrak Jasa Konstruksi dengan Pajak Penghasilan berdasarkan pembayaran yang telah dipotong atau disetor sendiri, selisih kekurangan tersebut disetor sendiri oleh Penyedia Jasa.

9. Dalam hal Nilai Kontrak Jasa Konstruksi tidak dibayar sepenuhnya oleh Pengguna Jasa, atas Nilai Kontrak Jasa Konstruksi yang tidak dibayar tersebut tidak terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final, dengan syarat Nilai Kontrak Jasa Konstruksi yang tidak dibayar tersebut dicatat sebagai piutang yang tidak dapat ditagih. 10. Piutang yang tidak dapat ditagih merupakan piutang yang nyata-nyata tidak dapat

ditagih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf h Undang-Undang PPh.

11. Dalam hal piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat ditagih kembali, tetap dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.

12. Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Penyedia Jasa dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan ketentuan Undang-Undang PPh.


(158)

157

13. Penghasilan lain yang diterima atau diperoleh Penyedia Jasa dari luar usaha Jasa Konstruksi dikenakan tarif berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang PPh. 14. Keuntungan atau kerugian selisih kurs dari kegiatan usaha Jasa Konstruksi

termasuk dalam perhitungan Nilai Kontrak Jasa konstruksi yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.

15. Penyedia Jasa wajib melakukan pencatatan yang terpisah atas biaya yang timbul dari penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha selain usaha Jasa Konstruksi.

M. Penilaian Kembali (Revaluasi) Aktiva Tetap

Pasal 19 Undang-Undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa Menteri Keuangan berwenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva dan faktor penyesuaian apabila terjadi ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya dengan penghasilan karena perkembangan harga.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2008, mengatur antara lain: 1. Perusahaan dapat melakukan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk

tujuan perpajakan, dengan syarat telah memenuhi semua kewajiban pajaknya sampai dengan masa pajak terakhir sebelum masa pajak dilakukannya penilaian kembali.

2. Perusahaan adalah Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT), tidak termasuk perusahaan yang memperoleh izin menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat.

3. Untuk melakukan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan, perusahaan mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak.

4. Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk menerbitkan surat keputusan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan atas permohonan yang diajukan oleh perusahaan.

5. Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan dilakukan terhadap:

a. Seluruh aktiva tetap berwujud, termasuk tanah yang berstatus hak milik atau hak guna bangunan; atau

b. Seluruh aktiva tetap berwujud tidak termasuk tanah, yang terletak atau berada di Indonesia, dimiliki, dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak.


(159)

158

6. Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan tidak dapat dilakukan kembali sebelum lewat jangka waktu 5 tahun terhitung sejak penilaian kembali aktiva tetap perusahaan terakhir yang dilakukan.

7. Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan harus dilakukan berdasarkan nilai pasar atau nilai wajar aktiva tetap tersebut yang berlaku pada saat penilaian kembali aktiva tetap yang ditetapkan oleh perusahaan jasa penilai atau ahli penilai, yang memperoleh izin dari Pemerintah.

8. Dalam hal nilai pasar atau nilai wajar yang ditetapkan oleh perusahaan jasa penilai atau ahli penilai ternyata tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya, Direktur Jenderal Pajak menetapkan kembali nilai pasar atau nilai wajar aktiva yang bersangkutan.

9. Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 1 tahun sejak tanggal laporan perusahaan jasa penilai atau ahli penilai. 10. Atas selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai sisa buku

fiskal semula dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 10%. 11. Perusahaan yang karena kondisi keuangannya tidak memungkinkan untuk

melunasi sekaligus Pajak Penghasilan yang terutang, dapat mengajukan permohonan pembayaran secara angsuran paling lama 12 bulan sesuai ketentuan Pasal 9 ayat (4) Undang-Undang KUP.

12. Sejak bulan dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap perusahaan berlaku ketentuan sebagai berikut:

a. Dasar penyusutan fiskal aktiva tetap yang telah memperoleh persetujuan penilaian kembali adalah nilai pada saat penilaian kembali.

b. Masa manfaat fiskal aktiva tetap yang telah dilakukan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan disesuaikan kembali menjadi masa manfaat penuh untuk kelompok aktiva tetap tersebut.

c. Perhitungan penyusutan dimulai sejak bulan dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap perusahaan.

13. Untuk bagian tahun pajak sampai dengan bulan sebelum bulan dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap perusahaan berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Dasar penyusutan fiskal aktiva tetap adalah dasar penyusutan fiskal pada awal


(160)

159

b. Sisa masa manfaat fiskal aktiva tetap adalah sisa manfaat fiskal pada awal tahun pajak yang bersangkutan.

c. Perhitungan penyusutannya dihitung secara prorata sesuai dengan banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak tersebut.

14. Penyusutan fiskal aktiva tetap yang tidak memperoleh persetujuan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan, tetap menggunakan dasar penyusutan fiskal dan sisa manfaat fiskal semula sebelum dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap perusahaan.

15. Dalam hal Perusahaan melakukan pengalihan aktiva tetap berupa:

a. Aktiva tetap kelompok 1 dan kelompok 2 yang telah memperoleh persetujuan penilaian kembali sebelum berakhirnya masa manfaat yang baru; atau b. Aktiva tetap kelompok 3, kelompok 4, bangunan, dan tanah yang telah

memperoleh persetujuan penilaian kembali sebelum lewat jangka waktu 10 tahun, maka atas selisih lebih penilaian kembali diatas nilai sisa buku fiskal semula, dikenakan tambahan Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebesar tarif tertinggi Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri yang berlaku pada saat penilaian kembali dikurangi 10%.

16. Ketentuan tersebut tidak berlaku bagi:

a. Pengalihan aktiva tetap perusahaan yang bersifat force majeur berdasarkan keputusan atau kebijakan Pemerintah atau keputusan Pengadilan;

b. Pengalihan aktiva tetap perusahaan dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha yang mendapat persetujuan; atau

c. Penarikan aktiva tetap perusahaan dari penggunaan karena mengalami kerusakan berat yang tidak dapat diperbaiki lagi.

17. Selisih antara nilai pengalihan aktiva tetap perusahaan dengan nilai sisa buku fiskal pada saat pengalihan merupakan keuntungan atau kerugian berdasarkan ketentuan Undang-Undang PPh.

18. Selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai sisa buku komersial semula setelah dikurangi dengan Pajak Penghasilan harus dibukukan dalam neraca komersial pada perkiraan modal dengan nama "Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Tanggal ...". 19. Pemberian saham bonus atau pencatatan tambahan nilai nominal saham tanpa


(161)

160

tetap perusahaan, sampai dengan sebesar selisih lebih penilaian kembali secara fiskal, bukan merupakan Objek Pajak Penghasilan.

20. Dalam hal selisih lebih penilaian kembali secara fiskal lebih besar daripada selisih lebih penilaian kembali secara komersial, pemberian saham bonus atau pencatatan tambahan nilai nominal saham tanpa penyetoran yang bukan merupakan Objek Pajak, hanya sampai dengan sebesar selisih penilaian kembali secara komersial.

N. Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa

Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI Register Perkara Nomor 22P/HUM/2009 terkait dengan permohonan hak uji materiil terhadap PP Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa, dinyatakan bahwa Pasal 2, Pasal 3 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), serta Pasal 5 PPNomor 17 Tahun 2009

bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi in casu Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, oleh karena itu

tidak sah dan tidak berlaku umum.

Berdasarkan hal tersebut diterbitkan PP Nomor 31 Tahun 2011 tentang Pencabutan PP Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa.

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-82/PJ/2011 menyampaikan hal-hal sebagai berikut:

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 mengatur antara lain:

a. Pasal 4 ayat (1), yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.


(162)

161

b. Pasal 4 ayat (2) huruf c, atas penghasilan dari transaksi derivatif yang diperdagangkan dibursa dapat dikenai pajak bersifat final yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

2. Pasal 19 PP Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan mengatur bahwa dalam hal penghasilan tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan Peraturan Pemerintah tersendiri, atas penghasilan tersebut dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang PPh.

3. Materi pokok yang diatur dalam PP Nomor 31 Tahun 2011 tentang pencabutan PP Nomor 17 Tahun 2009 adalah:

a. PP Nomor 17 Tahun 2009 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

b. Terhadap Pajak Penghasilan yang bersifat final atas penghasilan dari transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa yang telah dipungut berdasarkan PP Nomor 17 Tahun 2009 dikembalikan dengan mekanisme pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang. 4. Dengan memperhatikan ketentuan tentang pengembalian Pajak Penghasilan yang

bersifat final atas penghasilan dari transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa yang telah dipungut, maka atas penghasilan dari transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa yang diterima dan/atau diperoleh WP sejak 1 Januari 2009 dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang PPh. 5. Dalam hal terhadap WP diberikan pengembalian atas Pajak Penghasilan yang

bersifat final atas penghasilan dari transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa maka penghasilan dari transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa tersebut wajib dilaporkan dalam SPT Tahunan WP yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang PPh.

6. Mekanisme pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang adalah mengacu pada:

a. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang; dan


(163)

162

b. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-5/PJ/2011 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penelitian Permohonan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Penghasilan yang Seharusnya Tidak Terutang bagi Wajib Pajak Dalam Negeri.

O. Penyetoran dan Pelaporan Pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2)

P. Studi Kasus PPh Pasal 4 ayat (2) Contoh:

Pada tanggal 10 Agustus 2011 Rahmat menjual rumahnya di kawasan Palo Alto Residence Bogor kepada Nasri Samirudin. NJOP atas tanah dan bangunan tersebut yang sesuai SPPT PBB Tahun 2011 adalah Rp1.500.000.000,00. Harga transaksi yang disepakati adalah Rp1.700.000.000,00. Rahmat dan Nasri sepakat untuk melakukan penandatanganan Akta Jual Beli pada tanggal 15 Agustus 2011 di hadapan PPAT Dhea Tunggadewi, S.H., M.Kn.

Bagaimana kewajiban PPh atas transaksi penjualan tanah tersebut tersebut? Atas penghasilan yang diterima oleh Rahmat dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan wajib dibayar PPh Pasal 4 ayat (2) yang bersifat final sebesar:

PPh Pasal 4 ayat (2) = 5% x Rp1.700.000.000,00 = Rp85.000.000,00 Kewajiban Rahmat atas transaksi tersebut adalah:

1. Melakukan penyetoran PPh Pasal 4 ayat (2) dengan menggunakan SSP sebesar Rp85.000.000,00 paling lambat tanggal 15 Agustus 2011 sebelum ditandatanganinya Akta Jual Beli.

Penyetoran dan Pelaporan Pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2)

PPh Pasal 4 ayat (2) Tanggal Jatuh Tempo Penyetoran Paling lama tanggal

10

bulan berikutnya setelah Masa Pajak

berakhir

Batas Akhir Pelaporan

Wajib menyampaikan SPT Masa paling lama 20

hari setelah Masa Pajak berakhir Dipotong oleh

Pemotong Pajak Harus Dibayar Sendiri oleh WP

Paling lama tanggal

15

bulan berikutnya setelah Masa Pajak


(164)

163

2. Mengajukan formulir penelitian SSP ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah dan/atau bangunan yang dialihkan haknya.

3. Melaporkan penyetoran PPh Pasal 4 ayat (2) atas transaksi tersebut dalam SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) Masa Pajak Agustus 2011 paling lambat tanggal 20 September 2011.

Sebelum menandatangani Akta Jual Beli, Dhea Tunggadewi, S.H., M.Kn. selaku PPAT wajib memastikan kewajiban PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan oleh Rahmat dengan bukti SSP.

Contoh:

Dalam rangka proyek pembangunan bendungan baru, Dinas Pengairan dan Lingkungan Hidup Pemda Gunung Kidul akan melakukan pembebasan tanah. Tanah milik Noorman seluas 575 m2 merupakan salah satu tanah yang terkena pembebasan

tersebut. Nilai ganti rugi per meter ditetapkan sebesar Rp700.000,00. Bagaimana perlakuan PPh atas pembebasan tanah tersebut?

Penghasilan yang diterima oleh Noorman dari pembayaran ganti rugi tanah tersebut dikecualikan dari pembayaran atau pemungutan PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Pengecualian dari dari kewajiban pembayaran atau pemungutan PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut diberikan secara langsung tanpa Surat Keterangan Bebas.

Contoh:

Bambang Reksodipuro meninggal dunia pada tanggal 16 Juli 2011 dengan meninggalkan seorang istri, Wenyi Rahayu dan 2 orang anak yaitu Haryo Reksodipuro dan Bimo Reksodipuro. Warisan yang ditinggalkan oleh Bambang Reksodipuro antara lain berupa 3 unit rumah di Jakarta, Bogor, dan Tangerang dengan nilai masing-masing sebesar Rp600.000.000,00, Rp500.000.000,00, dan Rp300.000.000,00.

Pembagian harta warisan berdasarkan Surat Keterangan Waris adalah sebagai berikut:

a. Rumah di Jakarta diberikan kepada Wenyi Rahayu. b. Rumah di Bogor diberikan kepada Haryo Reksodipuro. c. Rumah di Tangerang diberikan kepada Bimo Reksodipuro.


(165)

164

Para ahli waris sepakat atas harta warisan berupa rumah tersebut akan diberikan kepada Bimo Reksodipuro. Akta Hibah ditandatangani pada tanggal 10 Oktober 2011 dihadapan PPAT Siti Sinten Bumi, S.H., M.Kn.

Bagaimana kewajiban PPh atas serangkaian peristiwa pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut?

Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan dikecualikan dari kewajiban pembayaran PPh. Mekanisme pengecualiannya diberikan melalui penerbitan Surat Keterangan Bebas.

Setelah proses pewarisan selesai dan para ahli waris telah menerima haknya masing-masing, pada saat rumah yang diterima oleh Wenyi Rahayu dan Haryo Reksodipuro diberikan kepada Bimo Reksodipuro, maka:

a. Pengalihan hak atas rumah di Jakarta dari Wenyi Rahayu kepada Bimo Reksodipuro merupakan hibah yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat yang dikecualikan dari kewajiban pembayaran PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, yang mekanisme pengecualiannya diberikan melalui penerbitan Surat Keterangan Bebas.

Wenyi Rahayu sebagai pihak yang mengalihkan tanah dan/atau bangunan harus mengajukan permohonan Surat Keterangan Bebas ke KPP tempatnya terdaftar dengan dilampiri Surat Pernyataan Hibah.

b. Pengalihan hak atas rumah di Bogor dari Haryo Reksodipuro kepada Bimo Reksodipuro merupakan hibah yang tidak dikecualikan dari kewajiban pembayaran PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, sehingga Haryo Reksodipuro sebagai pihak yang mengalihkan wajib membayar PPh sebesar:

PPh Pasal 4 ayat (2) = 5% x Rp500.000.000,00 = Rp25.000.000,00

Kewajiban Haryo Reksodipuro atas pengalihan hak atas rumah di Bogor kepada Bimo Reksodipuro adalah:

a. Melakukan penyetoran PPh Pasal 4 ayat (2) dengan menggunakan SSP sebesar Rp25.000.000,00 paling lambat tanggal 10 Oktober 2011 sebelum ditandatanganinya Akta Hibah.

b. Mengajukan formulir penelitian SSP ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah dan/atau bangunan yang dialihkan haknya.


(166)

165

c. Melaporkan penyetoran PPh Pasal 4 ayat (2) atas transaksi tersebut dalam SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) Masa Pajak Oktober 2011 paling lambat tanggal 21 November 2011.

Sebelum menandatangani Akta Hibah, Siti Sinten Bumi, S.H., M.Kn. selaku PPAT wajib memastikan terpenuhinya kewajiban PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut dengan bukti:

a. SKB atas nama Wenyi Rahayu, untuk Akta Hibah dari Wenyi Rahayu kepada Bimo Reksodipuro.

b. SSP sebesar Rp25.000.000,00 atas nama Haryo Reksodipuro, untuk Akta Hibah dari Haryo Reksodipuro kepada Bimo Reksodipuro.

Contoh:

PT Bangun Ruko Selalu menyewakan 1 unit ruko kepada Donna Natasha, pemilik

salon kecantikan “Bonndhing”. Harga sewa yang disepakati adalah Rp20.000.000,00 per tahun. Donna Natasha menyewa ruko tersebut untuk jangka waktu 1 tahun mulai tanggal 1 September 2011 s.d. 31 Agustus 2012. Pembayaran dilakukan tanggal 26 Agustus 2011. Donna Natasha tidak termasuk orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong PPh atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan.

Bagaimanakah pengenaan PPh atas transaksi tersebut?

Mengingat Donna Natasha tidak termasuk sebagai orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong pajak, maka PPh atas penghasilan yang diterima dari persewaan ruko tersebut wajib dibayar sendiri oleh PT Bangun Ruko Selalu.

PPh yang wajib dibayar sendiri adalah:

PPh Pasal 4 ayat (2) = 10% x Rp20.000.000,00 = Rp2.000.000,00 Kewajiban PT Bangun Ruko Selalu adalah:

a. Melakukan penyetoran PPh Pasal 4 ayat (2) sebesar Rp2.000.000,00 paling lambat tanggal 15 September 2011;

b. Melaporkan penyetoran PPh Pasal 4 ayat (2) atas transaksi tersebut dalam SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) Masa Pajak Agustus 2011 paling lambat tanggal 20 September 2011.

Contoh:

Wahyu adalah seorang dokter spesialis anak yang telah ditunjuk oleh Kepala KPP sebagai pemotong PPh atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan. Wahyu menyewa rumah toko dari Nanang untuk membuka apotik dengan biaya sewa


(167)

166

sebesar Rp60.000.000,00 untuk jangka waktu 1 tahun. Pembayaran sewa dilakukan pada tanggal 4 Januari 2011.

Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh atas transaksi tersebut?

Dokter berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-50/PJ./1996 merupakan salah satu profesi orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong PPh atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan, sehingga Wahyu wajib melakukan pemotongan PPh atas pembayaran sewa rumah toko tersebut.

PPh yang wajib dipotong oleh Wahyu adalah:

PPh Pasal 4 ayat (2) = 10% x Rp60.000.000,00 = Rp6.000.000,00 Kewajiban Wahyu sebagai pemotong PPh Pasal 4 ayat (2) adalah:

a. Melakukan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) sebesar Rp6.000.000,00 dan memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) kepada Nanang.

b. Melakukan penyetoran atas PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut paling lambat tanggal 10 Februari 2011.

c. Melaporkan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas transaksi tersebut dalam SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) Masa Pajak Januari 2011 paling lambat tanggal 21 Februari 2011.

Contoh:

Rastri Sumantro memiliki tanah yang terletak di sebelah Universitas Maju Pemuda Bangsa dengan luas 500 m2. Di atas tanah tersebut telah didirikan bangunan berupa

rumah kost 3 lantai yang terdiri dari 20 kamar. Pembayaran sewa kamar kost oleh para penghuni dilakukan paling lambat tanggal 5 setiap bulan.

Pada bulan Mei 2011 Rastri Sumantro menerima penghasilan dari sewa kamar kost sebesar Rp18.000.000,00. Para penghuni kost tersebut adalah mahasiswi Universitas Maju Pemuda Bangsa yang tidak ditunjuk oleh KPP sebagai pemotong PPh atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan.

Bagaimana pengenaan PPh atas penghasilan yang diterima oleh Rastri Sumantro dari persewaan kamar kost?

Penghasilan yang diterima oleh Rastri Sumantro dari persewaan kamar kost dikenai PPh atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan dengan tarif sebesar 10% dari jumlah bruto pembayaran.


(168)

167

Penyewa kamar kost adalah orang pribadi yang tidak termasuk sebagai orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong PPh, sehingga Rastri Sumantro wajib menyetorkan sendiri PPh atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan tersebut dengan menggunakan SSP.

PPh yang wajib dibayar sendiri adalah:

PPh Pasal 4 ayat (2) = 10% x Rp 18.000.000,00 = Rp 1.800.000,00 Kewajiban Rastri Sumantro adalah:

a. Melakukan penyetoran PPh Pasal 4 ayat (2) sebesar Rp1.800.000,00 paling lambat tanggal 10 Juni 2011.

b. Melaporkan penyetoran PPh Pasal 4 ayat (2) atas transaksi tersebut dalam SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) Masa Pajak Mei 2011 paling lambat tanggal 20 Juni 2011.

Contoh:

Koperasi “Argo Makmur” membagikan bunga simpanan koperasi kepada anggotanya setiap bukan yang dibayarkan setiap tanggal 25. Anggota koperasi yang menerima bunga simpanan antara lain Yayuk Nuraeni dan Koperasi “Sumber Rezeki” (bukan merupakan koperasi simpan pinjam) sebagai berikut:

Bulan

Bunga Simpanan Koperasi

Yayuk Nuraeni Koperasi “Sumber Rejeki”

2011

Januari Rp350.000,00 Rp1.000.000,00

Februari Rp200.000,00 Rp 600.000,00

Maret Rp500.000,00 Rp1.300.000,00

April Rp240.000,00 Rp 650.000,00

Mei Rp250.000,00 Rp 700.000,00

Juni Rp300.000,00 Rp 850.000,00

Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh atas bunga simpanan koperasi tersebut?

Atas penghasilan berupa bunga simpanan koperasi yang diterima oleh Yayuk Nuraeni wajib dipotong PPh yang bersifat final oleh koperasi “Argo Makmur”.

Sedangkan atas penghasilan berupa bunga simpanan koperasi yang diterima oleh Koperasi “Sumber Rezeki” tidak termasuk yang dikenai PPh yang bersifat final. Namun


(169)

168

atas penghasilan bunga simpanan koperasi termasuk dalam pengertian bunga yang wajib dipotong PPh Pasal 23 oleh koperasi “Argo Makmur”.

Bulan

PPh atas Bunga Simpanan Koperasi

Yayuk Nuraeni Koperasi “Sumber Rejeki” PPh Final Pasal 4 ayat (2) PPh Pasal 23

2011

Jan 10% x Rp350.000,00 = Rp35.000,00 15% x Rp1.000.000,00 = Rp150.000,00 Feb 0% x Rp200.000,00 = Rp 0,00 15% x Rp 600.000,00 = Rp 90.000,00 Mar 10% x Rp500.000,00 = Rp50.000,00 15% x Rp1.300.000,00 = Rp195.000,00 Apr 0% x Rp240.000,00 = Rp 0,00 15% x Rp 650.000,00 = Rp 97.500,00 Mei 10% x Rp250.000,00 = Rp25.000,00 15% x Rp 700.000,00 = Rp105.000,00 Jun 10% x Rp300.000,00 = Rp30.000,00 15% x Rp 850.000,00 = Rp127.500,00 Contoh:

PT Ubi Goreng merupakan perusahaan yang belum go public, pada tanggal 20 Oktober 2011 telah diadakan RUPS yang memutuskan antara lain bahwa perusahaan akan membagikan dividen kepada para pemegang saham. Dwi Kurniawati adalah salah satu pemegang saham PT Ubi Goreng. Dalam pembagian dividen tersebut Dwi Kurniawati akan memperoleh dividen sebesar Rp30.000.000,00.

Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh atas pembagian dividen tersebut?

Atas penghasilan berupa dividen yang diterima atau diperoleh WP orang pribadi dalam negeri dipotong PPh Pasal 4 ayat (2) yang bersifat final sebesar 10% dari jumlah bruto oleh pihak yang membayarkan.

Besarnya PPh yang wajib dipotong adalah:

PPh Pasal 4 ayat (2) = 10% x Rp30.000.000,00 = Rp3.000.000,00 Kewajiban PT Ubi Goreng sebagai pemotong PPh Pasal 4 ayat (2) adalah:

a. Melakukan pemotongan PPh pasal 4 ayat (2) sebesar Rp3.000.000,00 dan memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) kepada Dwi Kurniawati. b. Melakukan penyetoran PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut paling lambat tanggal 10


(170)

169

c. Melaporkan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut dalam SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) Masa Pajak Oktober 2011 paling lambat tanggal 21 November 2011.

Contoh:

Alice Kein memiliki tabungan di PT Bank Moneytalk Indonesia Cabang Jakarta dengan saldo rata-rata bulan September 2011 adalah Rp450.000.000,00. Bunga yang diberikan oleh PT Bank Moneytalk Indonesia Cabang Jakarta adalah 9% per tahun. Pembayaran bunga dilakukan pada jatuh tempo yaitu tanggal 30 September 2011. Bunga yang diterima oleh Alice Kein pada bulan September 2011 adalah sebesar Rp3.375.000,00.

Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh terkait transaksi tersebut?

Bunga tabungan yang diterima oleh Alice Kein termasuk penghasilan yang dipotong PPh Pasal 4 ayat (2) oleh PT Bank Moneytalk Indonesia Cabang Jakarta sebagai pihak yang membayarkan penghasilan.

Besarnya pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) adalah:

PPh Pasal 4 ayat (2) = 20% x Rp3.375.000,00 = Rp675.000,00

Kewajiban PT Bank Moneytalk Indonesia Cabang Jakarta sebagai pemotong PPh Pasal 4 ayat (2) adalah:

a. Melakukan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) sebesar Rp675.000,00 dan memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) kepada Alice Kein.

b. Melakukan penyetoran atas PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut paling lambat 10 Oktober 2011.

c. Melaporkan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas transaksi tersebut dalam SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) Masa Pajak September 2011 paling lambat tanggal 20 Oktober 2011.

Contoh

PT Bank Berlian Tbk. menyeleggarakan program tabungan berhadiah “Berlian

Menjemput Impian”. Program hadiah tersebut diikuti oleh nasabah produk tabungan

“Berlian Investa”. Hadiah diberikan kepada nasabah yang terpilih melalui undian. Hadiah yang disediakan berupa hadiah tabungan Rp200.000.000,00 dengan ketentuan pajak atas hadiah undian ditanggung oleh pemenang.


(171)

170

Penarikan undian “Berlian Menjemput Impian” dilakukan pada tanggal 12 Juli 2011

dengan pemenang adalah Tere Andraini. Hadiah dibayarkan pada tanggal 15 Juli 2011.

Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh atas hadiah undian tersebut?

Atas penghasilan berupa hadiah undian dengan nama dan dalam bentuk apapun dipotong atau dipungut PPh Pasal 4 ayat (2) yang bersifat final.

PT Bank Berlian, Tbk. wajib memotong PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan berupa hadiah undian yang diterima oleh Tere Andraini sebesar:

PPh Pasal 4 ayat (2) = 25% x Rp200.000.000,00 = Rp50.000.000,00

Kewajiban PT Bank Berlian, Tbk. sebagai pemotong PPh Pasal 4 ayat (2) adalah: a. Melakukan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) sebesar Rp50.000.000,00 dan

memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) kepada Tere Andraini. b. Melakukan penyetoran atas PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut paling lambat tanggal

10 Agustus 2011;

c. Melaporkan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas transaksi tersebut dalam SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) Masa Pajak Juli 2011 paling lambat tanggal 22 Agustus 2011.

Contoh:

PT Signale Strong, sebuah perusahaan operator seluler, mengadakan program

undian “Telepon Terus Untung Terus” dengan hadiah sebuah rumah senilai Rp500.000.000,00 dengan ketentuan pajak atas hadiah undian ditanggung oleh pemenang. Berdasarkan hasil penarikan undian tanggal 16 Januari 2011 yang keluar sebagai pemenang adalah Iwan Suriwan. Serah terima hadiah kepada Iwan dilaksanakan pada tanggal 24 Januari 2011.

Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh atas hadiah undian berupa rumah tersebut?

PT Signale Strong wajib memungut PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan berupa hadiah undian yang diterima oleh Iwan Suriwan dengan tarif 25% dari jumlah bruto hadiah undian yaitu sebesar nilai pasar hadiah undian berupa rumah.

PPh Pasal 4 ayat (2) = 25% x Rp500.000.000,00 = Rp125.000.000,00 Kewajiban PT Signale Strong sebagai pemungut PPh Pasal 4 ayat (2) adalah:


(172)

171

a. Melakukan pemungutan PPh Pasal 4 ayat (2) sebesar Rp125.000.000,00 dan memberikan bukti pemungutan PPh Pasal 4 ayat (2) kepada Iwan Suriwan. b. Melakukan penyetoran atas PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut paling lambat 10

Februari 2011.

c. Melaporkan pemungutan PPh Pasal 4 ayat (2) atas transaksi tersebut dalam SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) Masa Pajak Januari 2011 paling lambat tanggal 21 Februari 2011.

Contoh:

Pada tanggal 1 Juli 2011, PT Mekar Sejahtera menerbitkan obligasi dengan kupon (interest bearing bond) sebagai berikut:

a. Nilai nominal Rp10.000.000,00 per lembar.

b. Jangka waktu obligasi 5 tahun (jatuh tempo tanggal 30 Juni 2016).

c. Bunga tetap (fixed rate) sebesar 18% per tahun, jatuh tempo bunga setiap tanggal 30 Juni dan 31 Desember.

d. Penerbitan perdana tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI).

PT Bank Koes & Dian merupakan kustodian yang ditunjuk sebagai agen pembayaran.

PT Batavia Sentosa pada saat penerbitan perdana membeli 20 lembar obligasi tersebut dengan harga di bawah nilai nominal (at discount) yaitu sebesar Rp9.000.000,00 per lembar.

Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh pada saat jatuh tempo bunga tanggal 31 Desember 2011?

Penghitungan bunga yang diterima PT Batavia Sentosa pada saat jatuh tempo bunga tanggal 31 Desember 2011 adalah:

Bunga Obligasi = (6/12 x 18% x Rp10.000.000,00) x 20 lembar = Rp18.000.000,00 PPh yang wajib dipotong adalah:

PPh Pasal 4 ayat (2) = 15% x Rp18.000.000,00 = Rp2.700.000,00

PT Bank Koes & Dian yang ditunjuk sebagai agen pembayaran wajib memotong PPh atas bunga obligasi yang diterima oleh PT Batavia Sentosa.

Kewajiban PT Bank Koes & Dian sebagai pemotong PPh Pasal 4 ayat (2) adalah: a. Melakukan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) sebesar Rp2.700.000,00 dan memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) kepada PT Batavia Sentosa.


(173)

172

b. Melakukan penyetoran atas PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut paling lambat tanggal 10 Januari 2012;

c. Melaporkan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas transaksi tersebut dalam SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) Masa Pajak Desember 2011 paling lambat tanggal 20 Januari 2012.

Contoh:

Pada tanggal 1 April 2011, PT Botth Indonesia menerbitkan obligasi dengan kupon (interest bearing debt securities) sebagai berikut:

a. Nilai nominal Rp25.000.000,00 per lembar.

b. Jangka waktu obligasi 3 tahun (jatuh tempo tanggal 31 Maret 2014).

c. Bunga tetap (fixed rate) sebesar 15% per tahun, jatuh tempo bunga setiap tanggal 31 Maret dan 31 Oktober.

d. Penerbitan perdana tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI).

PT Bank Candra merupakan kustodian yang ditunjuk sebagai agen pembayaran. Reksadana “Tumbuh Kembang” yang berbentuk KIK (Kontrak Investasi Kolektif) yang dikelola oleh PT Andalas Sekuritas sebagai Manajer Investasi, pada saat penerbitan perdana membeli 10 lembar obligasi dengan harga di bawah nilai nominal (at discount) yaitu sebesar Rp23.500.000,00 per lembar. Reksadana “Tumbuh Kembang” telah mendapat pernyataan efektif dari BAPEPAM-LK.

Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh pada saat jatuh tempo bunga tanggal 31 Oktober 2011?

Penghitungan bunga yang diterima Reksa Dana Tumbuh Kembang pada saat jatuh tempo bunga tanggal 31 Oktober 2011 adalah:

Bunga Obligasi = (6/12 x 15% x Rp25.000.000,00) x 10 lembar = Rp18.750.000,00 PPh yang wajib dipotong adalah:

PPh Pasal 4 ayat (2) = 5% x Rp18.750.000,00 = Rp937.500,00 Contoh:

PT Bumen Jaya Sentosa merupakan perusahaan yang mempunyai Sertifikat Badan Usaha Jasa Pelaksanaan Konstruksi yang diterbitkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) sebagai Badan Usaha Jasa Pelaksanaan Konstruksi Bidang Sipil Sub Bidang Bangunan-bangunan non perumahan lainnya dengan kualifikasi besar gred 6.


(174)

173

PT Bumen Jaya Sentosa pada tahun 2010 ditunjuk oleh CV Lukulo selaku pemilik Rumah Sakit “Siti Khodijah” untuk membangun gedung baru yang akan digunakan sebagai unit kesehatan ibu dan anak dengan nilai kontrak sebesar Rp25.000.000.000,00 (tidak termasuk PPN). PT Bumen Jaya Sentosa menerima uang muka kontrak pada saat dimulai pembangunan yaitu pada tanggal 15 Juli 2010 sebesar Rp5.000.000.000,00.

Termin pembayaran akan dilakukan sesuai dengan tingkat penyelesaian, yaitu: a. Termin pertama Rp5.000.000.000,00 setelah pekerjaan selesai 25%.

b. Termin kedua Rp5.000.000.000,00 setelah pekerjaan selesai 50%. c. Termin ketiga Rp5.000.000.000,00 setelah pekerjaan selesai 75%.

d. Sisa Rp5.000.000.000,00 akan dibayarkan setelah pekerjaan dan masa pemeliharaan selesai.

Pembangunan rumah sakit tersebut harus diselesaikan oleh PT Bumen Jaya Sentosa paling lama tanggal 31 Desember 2012 dengan masa pemeliharaan selama 6 bulan.

Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh yang dilakukan oleh CV Lukulo terkait pembayaran:

a. Uang muka kontrak.

b. Termin pertama apabila pembayaran dilakukan pada tanggal 31 Desember 2010. Atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi dikenakan PPh yang bersifat final. Dalam hal pengguna jasa merupakan pemotong pajak maka penghasilan dari usaha jasa kontruksi tersebut dipotong oleh pemotong pada saat pembayaran bagian nilai kontrak jasa konstruksi.

a. Pembayaran uang muka kontrak.

Pemotongan PPh yang bersifat final atas penghasilan dari jasa kontruksi adalah: PPh Pasal 4 ayat (2) = 3% x Rp5.000.000.000,00 = Rp150.000.000,00 Kewajiban CV Lukulo sebagai pengguna jasa adalah:

1) Melakukan pemotongan PPh yang bersifat final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi sebesar Rp150.000.000,00 dan memberikan bukti pemotogan PPh yang bersifat final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi kepada PT Bumen Jaya Sentosa.


(175)

174

2) Melakukan penyetoran atas pemotongan PPh yang bersifat final atas penghasilan dari usaha jasa kontruksi tersebut paling lambat tanggal 10 Agustus 2010.

3) Melaporkan pemotongan PPh yang bersifat final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi tersebut dalam SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) Masa Pajak Juli 2010 paling lambat tanggal 20 Agustus 2010.

b. Pembayaran termin pertama

Pemotongan PPh yang bersifat final atas penghasilan dari jasa kontruksi adalah: PPh Pasal 4 ayat (2) = 3% x Rp5.000.000.000,00 = Rp 150.000.000,00 Contoh:

Tuan Samidi Karsoutomo merupakan pengusaha yang bergerak dalam bidang konstruksi. Tuan Samidi Karsoutomo memiliki sertifikasi yang diterbitkan oleh LPJK sebagai pengusaha jasa pelaksanaan konstuksi gred 1. Tuan Samidi Karsoutomo pada tahun 2011 mendapat pekerjaan untuk membangun pos satpam di pintu depan dan pintu belakang perumahan Ceger Permai senilai Rp50.000.000,00. Pembangunan dimulai pada tanggal 15 Maret 2011 dan selesai pada tanggal 16 April 2011. Pembayaran atas pekerjaan tersebut dilakukan oleh PT Jurangmangu Konstruksi selaku pengembang perumahan Ceger Permai pada tanggal 17 April 2011. Bagaimanakah kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh PT Jurangmangu Konstruksi terkait pembayaran pekerjaan pembangunan pos satpam kepada Tuan Samidi Karsoutomo?

Tuan Samidi Karsoutomo merupakan Wajib Pajak orang pribadi yang menyerahkan jasa kepada PT Jurangmangu Kontruksi. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dari penyerahan jasa merupakan objek pemotongan PPh Pasal 21. Namun demikian, dalam hal penghasilan dari pemberian jasa tersebut termasuk dalam objek PPh yang bersifat final yang diatur tersendiri dalam Peraturan Pemerintah, maka atas penghasilan tersebut tidak dikenai pemotongan PPh Pasal 21 tetapi dikenai PPh yang bersifat final sesuai dengan pengaturan dalam Peraturan Pemerintah yang mendasarinya.

Mengingat jasa yang dilakukan oleh Tuan Samidi Karsoutomo kepada PT Jurangmangu Konstruksi merupakan jasa konstruksi, maka atas penghasilan yang diterima oleh Tuan Samidi dikenai pemotongan PPh yang bersifat final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi, bukan PPh Pasal 21.


(176)

175

Dalam Peraturan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi, pengusaha jasa pelaksanaan kontruksi orang pribadi (gred 1) dikelompokan sebagai pengusaha yang memiliki kualifikasi usaha kecil. Dengan demikian atas penghasilan yang diterima oleh Tuan Samidi Karsoutomo dari pekerjaan pembangunan dua pos satpam di perumahan Ceger Permai tersebut dikenai pemotongan dengan tarif sebesar 2%.

PPh yang bersifat final atas penghasilan dari usaha jasa kontruksi: PPh Pasal 4 ayat (2) = 2% x Rp50.000.000,00 = Rp1.000.000,00


(177)

176

BAB

PPh PASAL 15

Ketentuan Pasal 15 Undang-Undang PPh mengatur tentang Norma Penghitungan Khusus untuk golongan Wajib Pajak tertentu, antara lain perusahaan pelayaran atau penerbangan internasional, perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan pengeboran minyak, gas dan panas bumi, perusahaan dagang asing, perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangun-guna-serah (build, operate, and transfer).

A. Pengertian Norma Penghitungan Khusus

Pasal 15 Undang-Undang PPh: Norma Penghitungan Khusus untuk menghitung penghasilan netto dari Wajib Pajak tertentu yang tidak dapat dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) atau ayat (3) ditetapkan Menteri Keuangan.

Untuk menghitung kesukaran dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi golongan Wajib Pajak tertentu tersebut, berdasarkan pertimbangan praktis atau sesuai dengan kelaziman pengenaan pajak dalam bidang-bidang usaha tersebut, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan Norma Penghitungan Khusus guna menghitung besarnya penghasilan netto dari Wajib Pajak tertentu tersebut. B. Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bag i Wajib Pajak

Perusahaan Penerbangan Dalam Negeri

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 475/KMK.04/1996, mengatur antara lain:

8

Tujuan Instruksional Khusus:

1. Mampu menjelaskan tentang Norma Penghitungan Khusus.

2. Mampu menguraikan tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Perusahaan Penerbangan Dalam Negeri.

3. Mampu menguraikan tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri.

4. Mampu menguraikan tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri.

5. Mampu menguraikan tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Luar Negeri Yang Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang Di Indonesia. 6. Mampu menjelaskan tentang penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 15.


(178)

177

1. Yang dimaksud dengan:

a. Wajib Pajak perusahaan penerbangan dalam negeri adalah perusahaan penerbangan yang bertempat kedudukan di Indonesia yang memperoleh penghasilan berdasarkan perjanjian charter;

b. Peredaran bruto bagi Wajib Pajak perusahaan penerbangan dalam negeri adalah semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak berdasarkan perjanjian charter dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar negeri. 2. Besarnya Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengangkutan orang dan/atau

barang bagi Wajib Pajak perusahaan penerbangan dalam negeri adalah sebesar 1,8% dari peredaran bruto.

3. Pembayaran Pajak Penghasilan tersebut merupakan kredit pajak yang dapat diperhitungkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan.

C. Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 416/KMK.04/1996, mengatur antara lain: 1. Besarnya Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengangkutan orang dan/atau

barang bagi Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri adalah sebesar 1,2% dari peredaran bruto, dan bersifat final.

2. Peredaran bruto adalah semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan luar negeri dan/atau sebaliknya.

PPh PASAL 15

PERUSAHAAN PENERBANGAN DALAM NEGERI

OBJEK PAJAK

Penghasilan dari Pengangkutan Orang

dan/atau Barang

TARIF

1,8% dari

Peredaran

Bruto

SUBJEK PAJAK

Perusahaan

Penerbangan

Dalam Negeri

Merupakan

KREDIT


(179)

178

D. Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wa jib Pajak Perusahaan Pelayaran d an/atau Penerbangan Luar Negeri

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 417/KMK.04/1996, mengatur antara lain: 1. Besarnya Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau

Penerbangan luar negeri adalah sebesar 2,64% dari peredaran bruto.

2. Yang dimaksud dengan peredaran bruto adalah semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan luar negeri dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar negeri.

E. Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Luar Negeri Yang Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang Di

Indonesia

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 634/KMK.04/1994, mengatur antara lain: 1. Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak luar negeri yang mempunyai kantor

perwakilan dagang di Indonesia adalah sebesar 0,44% dari nilai ekspor bruto dan bersifat final.

PPh PASAL 15

PERUSAHAAN PELAYARAN DALAM NEGERI

OBJEK PAJAK

Penghasilan dari

Pengangkutan Orang

dan/atau Barang

TARIF

1,2% dari

Peredaran

Bruto

SUBJEK PAJAK

Perusahaan

PELAYARAN

Dalam Negeri

Bersifat

FINAL

PPh PASAL 15 – PERUSAHAAN PELAYARAN dan/atau PENERBANGAN LUAR NEGERI

OBJEK PAJAK

Penghasilan dari

Pengangkutan Orang

dan/atau Barang

TARIF

2,64% dari

Peredaran

Bruto

SUBJEK PAJAK

Perusahaan

PELAYARAN

dan/atau

PENERBANGA N

Dalam

Negeri

Bersifat

FINAL


(180)

179

2. Nilai ekspor bruto adalah semua nilai pengganti atau imbalan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia dari penyerahan barang kepada orang pribadi atau badan yang berada atau bertempat kedudukan di Indonesia.

F. Penyetoran dan Pelaporan Pemotongan PPh Pasal 15

G. Studi Kasus PPh Pasal 15 Contoh:

PT Suka Berlayar merupakan perusahaan pelayaran dalam negeri yang melakukan usaha jasa pelayaran termasuk penyewaan kapal. Pada tanggal 7 Oktober 2011 PT Suka Berlayar melakukan kontrak dengan PT Jaya Pulp dalam rangka pengangkutan bahan setengah jadi untuk pembuatan kertas (pulp) dari Surabaya ke Jakarta sebesar Rp200.000.000,00 dan dibayarkan pada tanggal 27 Oktober 2011.

Pada tanggal 15 Oktober 2011 PT Suka Berlayar melakukan kontrak dengan PT Daeng Oil berupa persewaan kapal yang difungsikan sebagai kapal untuk

PPh PASAL 15

KANTOR PERWAKILAN DAGANG DI INDONESIA

OBJEK PAJAK

Penyerahan Barang

kepada Orang Pribadi

atau Badan yang

Berada/Bertempat

Kedudukan

di Indonesia

TARIF

0,44% dari

Nilai

Ekspor

Bruto

SUBJEK PAJAK

WP LUAR NEGERI

yang Mempunyai

KANTOR

PERWAKILAN

DAGANG DI

INDONESIA

Bersifat

FINAL

Penyetoran dan Pelaporan Pemotongan PPh Pasal 15

PPh Pasal 15 Tanggal Jatuh Tempo Penyetoran Paling lama tanggal

10

bulan berikutnya setelah Masa Pajak

berakhir

Batas Akhir Pelaporan

Wajib menyampaikan SPT Masa paling lama

20 hari setelah Masa Pajak berakhir Dipotong oleh

Pemotong Pajak Harus Dibayar Sendiri oleh WP

Paling lama tanggal

15

bulan berikutnya setelah Masa Pajak


(181)

180

penyimpanan minyak dalam jangka waktu tertentu dan bersandar di rig, dengan nilai sewa sebesar Rp2.500.000.000,00 dibayar pada tanggal 17 Oktober 2011.

Bagaimana perlakuan PPh atas penghasilan dari PT Suka Berlayar tersebut? Penghasilan yang menjadi objek PPh perusahaan pelayaran dalam negeri meliputi penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari pengangkutan orang dan/atau barang, termasuk penghasilan penyewaan kapal yang dilakukan dari: 1. Pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan lainnya di Indonesia;

2. Pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar Indonesia; 3. Pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan di Indonesia; dan

4. Pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan lainnya di luar Indonesia.

Dengan demikian atas penghasilan PT Suka Berlayar dari PT Jaya Pulp yaitu untuk jasa pengangkutan bahan setengah jadi untuk pembuatan kertas (pulp) dari Surabaya ke Jakarta terutang PPh sebesar 1,2% dari peredaran bruto dan bersifat final.

PPh yang terutang yang dipotong oleh PT Jaya Pulp adalah:

PPh Pasal 15 = 1,2% x Rp200.000.000,00 = Rp2.400.000,00

Atas penghasilan PT Suka Berlayar dari PT Daeng Oil dari penyewaan kapal yang difungsikan sebagai kapal untuk penyimpanan minyak dalam jangka waktu tertentu dan bersandar di rig (termasuk kategori kapal FSO) tidak termasuk dalam pengertian penghasilan dari penyewaan kapal yang dilakukan dari satu pelabuhan ke pelabuhan yang lain. Dengan demikian atas penghasilan tersebut termasuk dalam pengertian sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang dikenai pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 2% dan dipotong oleh PT Daeng Oil dengan penghitungan sebagai berikut:

PPh Pasal 23 = 2% x Rp2.500.000.000,00 = Rp50.000.000,00 Kewajiban PT Jaya Pulp sebagai pemotong PPh Pasal 15 adalah:

a. Melakukan pemotongan PPh Pasal 15 atas pembayaran jasa pelayaran untuk pengangkutan pulp sebesar Rp2.400.000,00 dan memberikan bukti pemotongan tersebut kepada PT Suka Berlayar.

b. Menyetorkan PPh Pasal 15 yang telah dipotong tersebut ke kas negara melalui kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan paling lama tanggal 10 November 2011.


(182)

181

c. Menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 15 Masa Pajak Oktober 2011 paling lama tanggal 21 November 2011.

Kewajiban PT Daeng Oil sebagai pemotong PPh Pasal 23 adalah:

a. Melakukan pemotongan PPh Pasal 23 atas penyewaan kapal FSO tersebut sebesar Rp50.000.000,00 dan memberikan bukti pemotongan tersebut kepada PT Suka Berlayar.

b. Menyetorkan PPh Pasal 23 yang dipotong menggunakan SSP ke kas negara melalui kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan paling lama tanggal 10 November 2011.

c. Menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 23 Masa Pajak Oktober 2011 paling lama tanggal 20 November 2011.

Contoh:

PT Bumi Nusantara menyewa pesawat dari PT Vidi Airlines, sebuah perusahaan penerbangan dalam negeri, yang akan digunakan dalam penerbangan Jakarta – Papua. Dalam perjanjian sewa/carter tersebut, telah disepakati harga dan cara pembayaran. Pada tanggal 5 Maret 2011 PT Bumi Nusantara telah membayar biaya carter sebesar Rp500.000.000,00.

Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh atas transaksi tersebut?

Atas penghasilan yang diperoleh PT Vidi Airlines yaitu carterpesawat yang akan digunakan untuk penerbangan Jakarta – Papua, merupakan penghasilan berdasarkan perjanjian carter yang terutang PPh sebesar 1,8% dari peredaran bruto dan dipotong oleh PT Bumi Nusantara. Penghitungan PPh-nya adalah sebagai berikut:

PPh Pasal 15 = 1,8% x Rp500.000.000,00 = Rp9.000.000,00

PPh yang dipotong oleh PT Bumi Nusantara tersebut merupakan kredit pajak bagi PT Vidi Airlines yang dapat dikreditkan terhadap PPh yang terutang dalam SPT Tahunan PPh untuk tahun pajak yang bersangkutan.

Kewajiban PT Bumi Nusantara sebagai pemotong PPh Pasal 15 atas sewa pesawat tersebut adalah:

a. Melakukan pemotongan PPh Pasal 15 atas pembayaran jasa penyewaan pesawat tersebut sebesar Rp9.000.000,00 dan memberikan bukyi pemotongan kepada PT Vidi Airlines.


(183)

182

b. Menyetorkan PPh Pasal 15 yang telah dipotong ke kas negara melalui kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan paling lama tanggal 11 April 2011. c. Menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 15 Masa Pajak Maret paling lama tanggal


(184)

183

CATATAN KAKI

1. Hari libur nasional termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah

2. Dalam hal organisasi internasional tidak memenuhi ketentuan, organisasi internasional dimaksud merupakan pemberi kerja yang berkewajiban melakukan pemotongan pajak. 3. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas

tingkat pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

4. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.

5. Yang dimaksud dengan "anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya" adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak.

6. Biaya Jabatan adalah biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang dapat dikurangkan dari penghasilan setiap orang yang bekerja sebagai pegawai tetap tanpa memandang mempunyai jabatan ataupun tidak.

7. Dalam hal pegawai yang bersangkutan belum memiliki NPWP, maka jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar: 120% x Rp 42.250,00 = Rp50.700,00.

8. Pasal 17 ayat (4) UU PPh: Untuk keperluan penerapan tarif pajak, jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh. Contoh: Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp5.050.900,00 untuk penerapan tarif dibulatkan ke bawah menjadi Rp5.050.000,00.

9. Apabila suami Firma Utami menerima/memperoleh penghasilan, besarnya PTKP Firma Utami adalah PTKP untuk diri sendiri sebesar Rp15.840.000,00

10. Contoh-contoh perhitungan ini hanya berlaku bagi pegawai tetap (bukan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas) yang gajinya dibayar mingguan atau harian.

11. Lihat perhitungan dalam Contoh 1.

12. Pada saat pegawai dipindahtugaskan, pegawai yang bersangkutan tidak berhenti bekerja dari perusahaan tempat dia bekerja. Pegawai yang bersangkutan masih tetap bekerja pada perusahaan yang sama dan hanya berubah lokasinya saja. Dengan demikian dalam penghitungan PPh Pasal 21 tetap menggunakan dasar penghitungan selama setahun. 13. Penghasilan berupa: jasa produksi, tantiem gratifikasi, tunjangan hari raya atau tahun baru,

bonus, premi, dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap dan pada umumnya diberikan sekali dalam setahun.

14. Uang Pesangon adalah penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja termasuk Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja kepada pegawai, dengan nama dan dalam bentuk apapun, sehubungan dengan berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak. 15. Uang Manfaat Pensiun adalah penghasilan dari manfaat pensiun yang dibayarkan kepada

orang pribadi peserta dana pensiun secara sekaligus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang dana pensiun oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.


(185)

184

16. Tunjangan Hari Tua adalah penghasilan yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara tunjangan hari tua kepada orang pribadi yang telah mencapai usia pensiun. 17. Jaminan Hari Tua adalah penghasilan yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja kepada orang pribadi yang berhak dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau keadaan lain yang ditentukan.

18. Pengecualian dari pemungutan PPh Pasal 22 atas barang impor tetap berlaku dalam hal barang impor tersebut dikenakan tarif bea masuk sebesar 0%(nol persen).

19. Lihat Pasal 17 ayat (2c) UU PPh dan PP Nomor 19 Tahun 2009. 20. Lihat Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh.

21. Lihat Pasal 4 ayat (3) huruf i UU PPh.

22. Lihat Peraturan Menteri Keuangan Nomor 251/PMK.03/2008.

23. Agio saham berasal dari setoran modal pemegang saham di atas nilai nominal saham yang diperolehnya.

24. Tidak termasuk Penghasilan yang dikenakan Pajak yang bersifat final sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan dan/atau penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan.

25. Lihat Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c UU PPh.

26. Perseroan adalah Perseroan Terbatas Dalam Negeri yang sahamnya diperjualbelikan oleh pemegang saham Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) dan tidak berstatus sebagai Emiten atau Perusahaan Publik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.

27. Pemotongan Pajak Penghasilan dilakukan pada tanggal transaksi saat penjualan SPN di Pasar Sekunder atau pada tanggal saat jatuh tempo SPN.

28. Yang dimaksud dengan "penghasilan berupa bunga simpanan" adalah imbalan berupa bunga simpanan yang diterima anggota koperasi orang pribadi dari dana yang disimpan anggota koperasi orang pribadi pada koperasi tempat orang pribadi tersebut menjadi anggota.

29. Yang dimaksud dengan hadiah undian adalah hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan melalui undian.

30. Penyelenggara undian adalah orang pribadi, badan, kepanitiaan, organisasi (termasuk organisasi internasional) atau penyelenggara lainnya termasuk pengusaha yang menjual barang atau jasa yang memberikan hadiah dengan cara diundi.

31. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.

32. Yang dimaksud dengan "Kualifikasi usaha" adalah stratifikasi yang ditentukan berdasarkan sertifikasi yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi.

33. Yang dimaksud dengan "pemotong pajak" adalah badan Pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, bentuk usaha tetap, atau orang pribadi yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai pemotong Pajak Penghasilan.

34. Yang dimaksud dengan "bukan merupakan pemotong pajak" antara lain badan internasional yang bukan Subjek Pajak dan perwakilan negara asing.


(186)

185

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jenderal Pajak. (2011). Oasis Pemotongan/Pemungutan PPh. ---. (2011). Bendahara Mahir Pajak.

Mansury, R., Ph.D. (1999). Penghitungan dan Pemotongan Pajak atas Penghasilan dari Pekerjaan (PPh Pasal 21 dan Pasal 26). Jakarta: Yayasan Pengembangan dan Penyebaran Pengetahuan Perpajakan (YP4).

---. (2002). Pajak Penghasilan Lanjutan Pasca Reformasi 2000. Jakarta: Yayasan Pengembangan dan Penyebaran Pengetahuan Perpajakan (YP4).

Santosa, Wahyu, Ak., M.Si, dan Sadimin. (2011). Bahan Ajar Pajak Penghasilan untuk Program Diploma I Keuangan Spesialisasi Pajak STAN.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga

Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia.

Peraturan Pemerintah Nomor 132 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Hadiah Undian.

Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994 Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1997.

Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008

Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1995 Pajak Penghasilan atas Penghasilan Perusahaan Modal Ventura dari Transaksi Penjualan Saham atau Pengalihan Penyertaan Modal Pada Perusahaan Pasangan Usahanya.

Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2002


(187)

186

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara.

Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009

Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi Orang Pribadi.

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Bunga Obligasi.

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa sebagaimana telah dicabut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2011.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri.

Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009 tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus.

Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010 tentang Tarif Pemotongan dan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran Pajak, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 63/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2008 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 tentang Jenis Jasa Lain Sebagaimana Dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf c Angka 2


(188)

Undang-187

Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 246/PMK.03/2008 tentang Beasiswa yang

Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2009.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.03/2008 tentang Besarnya Biaya Jabatan atau Biaya Pensiun Yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap atau Pensiunan.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.03/2008 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, Dan Jaminan Hari Tua Yang Dibayarkan Sekaligus.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Bunga Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi Orang Pribadi.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan Dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 14/PMK.03/2011 tentang Perlakuan Perpajakan

atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2011 tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Bunga Obligasi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 07/PMK.011/2012.


(189)

188

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 634/KMK.04/1994 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak Luar Negeri yang Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 639/KMK.04/1994 tentang Tata Cara Pemotongan atau Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Hadiah Undian.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 416/KMK.04/1996 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 417/KMK.04/1996 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 475/KMK.04/1996 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak Perusahaan Penerbangan Dalam Negeri.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 282/KMK.04/1997 tentang Pelaksanaan Pemungutan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 434/KMK.04/1999 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri Selain Bentuk Usaha Tetap atas Penghasilan Berupa Keuntungan dari Penjualan Saham.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 51/KMK.04/2001 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 164/KMK.03/2002 tentang Kredit Pajak Luar Negeri.

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadisebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ/2009.

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-59/PJ/2010 tentang Tata Cara Pelaporan Penerimaan Dividen, Penghitungan Besarnya Pajak yang Harus Dibayar, dan Pengkreditan Pajak Sehubungan dengan Penetapan Saat Diperolehnya Dividen oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek.


(190)

189

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-57/PJ/2009 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Warga Negara Indonesia yang Bekerja Sebagai Official Pada Badan-Badan Internasional dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-82/PJ/2011 tentang Pelaksanaan

Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2011 tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa.

Disclaimer:

Sebagian dari isi Bahan Ajar PPh Pemotongan/Pemungutan ini menyadur dari beberapa tulisan Penulis lain yang bahannya didapat dari file-file baik softcopy maupun hardcopy yang tidak dapat diketahui dengan pasti siapa nama Penulis aslinya.


(191)

190

BIODATA PENULIS

Nama : Wahyu Santosa, Ak., M.Si.

Alamat korespondensi : Jl. Depsos XI No. 22, Komplek Depsos Bintaro, Jakarta Selatan

Unit Instansi : Direktorat Jenderal Pajak

Telp./Faks : -

HP : 081381944392

E-mail : whysantosa@gmail.com

Riwayat Pendidikan:

Tahun Lulus Perguruan Tinggi Bidang/Spesialisasi

1999 Diploma IV STAN Akuntansi

1999 S1 Universitas Indonesia Akuntansi

2005 S2 Universitas Indonesia Administrasi Perpajakan Nama Mata Kuliah yang Diasuh:

No Nama Mata Kuliah

1 Lab Pajak Penghasilan 2 Seminar Perpajakan 3 Perpajakan I


(192)

191

BIODATA PENULIS

Nama : Sadimin, S.S.T.

Alamat korespondensi : Jl. Kolintang Blok N/8, Pondok Sawah Indah, Tangerang Selatan

Unit Instansi : Direktorat Jenderal Pajak

Telp./Faks : -

HP : 08176368425

E-mail : ary.lestari@gmail.com

Riwayat Pendidikan:

Tahun Lulus Perguruan Tinggi Bidang/Spesialisasi

2004 Diploma III STAN Perpajakan

2009 Diploma IV STAN Akuntansi

Nama Mata Kuliah yang Diasuh:

No Nama Mata Kuliah

1 Lab Pajak Penghasilan 2 Akuntansi Perpajakan 3 Pengantar Hukum Pajak