Penanganan Terorisme Pasca Tragedi 11 September 2001

41 Akibat dari tragedi ini, diperkirakan sekitar puluhan ribu orang tewas di sekitar menara World Trade Center, sedangkan 800 orang diyakini tewas di gedung The Pentagon, Washington. 38

2.3 Penanganan Terorisme Pasca Tragedi 11 September 2001

Puncak kemarahan Amerika Serikat, terhadap gerakan terorisme internasional adalah terjadinya tragedi 11 September 2001 atau yang kemudian populer sebagai Black September Tragedy. Dalam tragedi ini, kelompok teroris dengan sukses menggunakan pesawat terbang sipil sebagai senjata baru untuk membom gedung World Trade Center yang dikenal sebagai lambang kapitalisme Amerika dan gedung The Pentagon sebagai lambang kekuatan militer Amerika dengan memakan korban lebih dari 10.000 jiwa. Serangan terorisme yang dilakukan dari dalam Negara Amerika sendiri tidak pernah terbayangkan oleh pemerintah Amerika, bahwa akan ada pihak yang sangat berani melancarkan serangan kedaratan Amerika sang Negara adidaya diluar perkiraan mereka. Karena selama ini pemerintah Amerika memprediksikan bahwa ancaman terhadap negaranya akan datang dari Negara lain, melalui sebuah perang nuklir. Hal ini menimbulkan kepanikan dikalangan pemimpin dan rakyat Amerika. Kemampuan pemerintah Amerika untuk melindungi wilayah dan negaranya sempat diragukan. Selama beberapa tahun ini, pertahanan militer Amerika dianggap yang terkuat di dunia, dengan kekuatan militer mereka, Amerika dapat menyerang beberapa Negara sekaligus tanpa mampu dibalas. Rasa malu atas kelengahan pertahanannya sehingga menyebabkan trauma dan obsesi 38 Ibid., Hal. 121. Universitas Sumatera Utara 42 Amerika untuk memberantas terorisme dengan segala cara dan dengan kemampuan yang dimilikinya. 39 Pemerintahan Bush bekerja cepat dan menyimpulkan bahwa dalang dari serangan terorisme ke negaranya adalah Osama Bin Laden dengan jaringan Al Qaedanya yang bermarkas di Afganistan sejak tahun 1996. Keputusan Taliban untuk tidak menyerahkan Osama Bin Laden kemudian dianggap sebagai upaya pemerintahan Negara Afganistan untuk melindungi terorisme, dan hal ini menimbulkan kemarahan-kemarahan Amerika. Osama Bin Laden sendiri telah menjadi tokoh terorisme yang dicermati Amerika sejak terjadinya serangan bom terhadap dua kedutaan Amerika di Afrika tahun 1998. Amerika kemudian menggelar operasi militer besar-besaran yang bersandi “ Operation Infinite Justice” atau operasi keadilan tanpa batas, yang kemudian diganti dengan nama sandi “Operation Enduring Freedom”, ke Afganistan untuk menangkap orang yang dianggap bertanggung jawab terhadap tragedi 11 September. Operasi militer ini seperti yang dijanjikan Bush bukan merupakan serangan balasan ala kadarnya, tapi merupakan pukulan yang menyeluruh, kuat, efektif serta akan memerlukan waktu yang panjang. Akibat serangan tersebut pemerintahan Taliban di Afganistan jatuh dan digantikan pemerintahan baru yang dianggap demokratis dan mau bekerjasama dengan Amerika dalam melawan dan membasmi terorisme internasional. Publik Amerika Serikat banyak memperhatikan kebijakan pasca tragedi 11 September 2001, yang memfokuskan pada kekuasaan pengawasan baru pemerintah termasuk kemampuan membaca dengan teliti catatan bisnis, dokumen 39 Adirini Pujiyanti, Op.Cit., Hal. 161. Universitas Sumatera Utara 43 perpustakaan dan data individual lain, yang bahkan bukan orang yang diduga terkait dengan teroris. Kebijakan ini cenderung lebih mempengaruhi warga Amerika daripada- misalnya penunjukan pembasmi musuh, atau keputusan menahan orang berbulan bulan karena masalah rutin seperti visa. Namun berikutnya mengurangi hak kebebasan dan membatasi atau mengelak perlindungan pengadilan yang mana hak itu jauh lebih berbahaya terhadap kebijakan Amerika secara keseluruhan. Pemerintah menuai kritik atas upaya memerangi teror, yang dinilai mengorbankan kebebasan sipil,sementara manfaatnya kecil dalam keamanan nasional. Banyak Strategi dan kebijakan dalam negeri dari Pemerintahan Bush pasca 11 September 2001, pemerintahan Bush secara langsung menantang peran pengadilan federal dan pemerintah dalam menahan langkah eksekutif, khususnya langkah yang mempengaruhi hak dasar manusia. Setelah 11 September, pemerintahan Bush menahan lebih dari 1.000 orang yang dituduh bersalah terkait atau mengetahui kegiatan teroris dan menghalangi penyelidikan pengadilan terhadap para tahanan tersebut. Pemerintah menegaskan haknya untuk menyembunyikan nama-nama orang yang dianggap terkait upaya anti terorisme. Pemerintah telah menunjuk orang yang ditangkap di Amerika sebagai ”Pembasmi musuh” dan menegaskan pihak yang berwenang memasukkan mereka ke penjara militer, tanpa tahu kesalahan dan tidak diberi kesempatan untuk konsultasi dengan pengacara. Pemerintah menegaskan sebagai satu-satunya yang memenjarakan dalam waktu tak terbatas di basis militer Teluk Guantanamo, Kuba. Kebanyakan diantaranya ditangkap selama perang Amerika Serikat di Afghanistan. Pemerintah berwenang membawa tahanan asing ke pengadilan militer Universitas Sumatera Utara 44 berdasarkan aturan yang tidak memberikan hak sipil untuk membela diri dan dievaluasi. Pemerintahan Bush beralasan, demi keamanan nasional yang memerlukan segala daya upaya memerangi terorisme, langkah seperti itu dapat dibenarkan. Tentunya hampir setiap pemerintahan berdalih demi keamanan nasional sebagai pembenaran atas penangkapan dan penahanan terhadap pelaku teroris. Keadilan tidak pernah tercipta tanpa penghargaan terhadap HAM, seperti yang dinyatakan dalam pembukaan Deklarasi Universal HAM, ” martabat dan kesamaan hak dari seluruh anggota keluarga manusia merupakan pondasi kebebasan, keadilan, dan perdamaian di dunia”. Berbagai retorika pemerintahan mengakui HAM dan menegaskan bahwa perang melawan terorisme merupakan sebuah perang untuk melindungi kebutuhan dasar manusia yang tidak dapat ditawar lagi, peraturan perundang-undangan, pembatasan kekuasaan pemerintah dan keadilan. Pernyataan ini diungkapkan oleh Presiden Bush dalam wisuda Akademi Militer West Point, pada bulan Juni 2002 di Negaranya. 40 Serangan ke Afganistan sempat menimbulkan protes dari masyarakat internasional yang menganggap tindakan Amerika tersebut terlalu berlebihan. Namun besar kemungkinan pengunaan kekuatan militer untuk melawan tindakan terorisme tidak akan berakhir di Afganistan saja, kebijakan yangsama diyakini akan juga dilakukan Amerika di Negara lain yang dianggapnya melindungi terorisme. Presiden George Walker Bush yang merupakan tokoh kunci dalam perbuatan kebijakan luar negeri Amerika Serikat saat ini, memang meyakini 40 Alison Parker dan Jamie Fellner, Kekuasaan Pemerintah Pasca 11 September di Atas Undang- undang, Dalam Buku karya: Bern Ham, Op. Cit., Hal. 150-153. Universitas Sumatera Utara 45 bahwa upaya mengatasi terorisme adalah dengan kekuatan militer. Bush meyakini bahwa teroris secara de facto adalah sekelompok militer yang siap tempur dan tidak mengindahkan hukum, maka upaya melawan terorisme dengan kekuatan militer dianggap benar. 41 Hal ini juga didukung kenyataan bahwa kekuatan militer merupakan salah satu keunggulan Amerika yang selalu dipergunakan Amerika dalam menghadapi musuh-musuhnya. Dengan kenyataan tersebut, penggunaan kekuatan militer dalam melawan terorisme bukan merupakan suatu hal baru. Sebagai Negara yang sejak awal dikenal bersikap tegas terhadap terorisme, Amerika serikat dipastikan tidak segan melakukan serangan militer untuk mengatasi terorisme. Upaya melawan terorisme melalui kekuatan militer jelas bukan hal baru dalam hubungan internasional. Paul Wilkinson, seorang Profesor hubungan internasional dengan spesialisasi bidang studi terorisme dari Universitas Aberdeen di Belfast, melalui doktrin “ two wars”menjelaskan tindakan yang harus dilakukan secara menyeluruh, yang pada intinya merupakan harmonisasi dari dua strategi yaitu: 1. Melakukan perang militer dan keamanan untuk mengidentifikasi, mengisolasi dan menghancurkan kekuatan revolusioner, bantuan logistik dan jalur komunikasi. 2. Melakukan perang politik, ideologi untuk mempertahankan dan menguatkan dasar dukungan publik terhadap tindakan pemerintah sehingga posisi teroris tersebut terisolasi secara politik yang kemudian menjadi rapuh. 42 41 Adirini Pujayanti, Op. Cit., Hal. 163 42 Ibid Universitas Sumatera Utara 46 Agresifitas Amerika Serikat untuk membasmi seluruh jaringan teroris internasional, tidak hanya berhenti sampai di Afganistan, karena upaya memerangi terorisme akan terus meningkat ke babak baru, yakni membunuh sasaran kewilayah manapun dengan memanfaatkan teknologi mutakhir, seperti penggunaan pesawat tanpa awak predator yang telah berhasil menewaskan tersangka anggota jaringan Al Qaeda di Yaman November lalu. Ini adalah fase baru dalam melawan terorisme dan meluaskan aksi militernya diluar medan tempur Afganistan. Tidak diragukan lagi, penggunaan kekuatan militer untuk perang melawan terorisme merupakan cara yang dianggap efektif oleh Amerika Serikat. Tidak lama setelah menggempur Afganistan, pemerintah Amerika mengeluarkan secara resmi National Security Concept yang terbaru dan dikenal dengan sebutan NSS- 2002. Konsep ini juga disebut sebagai ”doktrin kebijakan keamanan terbaru Amerika Serikat” atau ”doktrin Bush”. Dapat dikatakan bahwa doktrin baru yang menjadi kebijakan resmi Amerika serikat itu seakan-akan menyatakan bahwa pemerintahan presiden Bush akan memerangi terorisme menurut caranya sendiri dengan mengabaikan peraturan dan hukum internasional. 43 Doktrin keamanan terbaru Amerika Serikat yang dijelaskan oleh NSS- 2002 menggarisbawahi perubahan kebijakan keamanan Amerika secara menyeluruh. Akibat perubahan itu, Amerika telah menerapkan kebijakan strategis global yang lebih radikal dan tidak memperdulikan lagi azas multilateral yang dianut oleh dunia internasional. Inti petikan dari isi NSS-2002 dapat disimpulkan sebagai berikut: 43 Abdul Halim Mahally, Membongkar Ambisi Global Amerika Serikat, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003., Hal. 200. Universitas Sumatera Utara 47 1. Dalam butir Nomor 1, Amerika dengan tegas mengatakan bahwa kesuksesan nasional hanyalah dengan cara menerapkan kebebasan, demokrasi dan kebebasan dalam mendirikan suatu usaha. Untuk itu Amerika akan berusaha keras mengekspor nilai-nilai yang dianutnya itu keseluruh pelosok dunia. Pemerintahan Bush berkeinginan untuk mengantarkan Amerika sebagai Negara yang menjadi ” kiblat ekonomi” seluruh bangsa. Pemerintah Bush juga mendambakan adanya sebuah era baru bagi pertumbuhan ekonomi global yang diwujudkan melalui penciptaan pasar bebas dan perdagangan bebas. Dalam konteks NSS-2002 itu, setiap bangsa atau Negara yang hendak memberlakukan pembatasan terhadap perdagangan dan kapitalisme internasional, maka ia sesungguhnya dianggap telah membahayakan keamanan internasional Amerika. Setiap bangsa atau Negara, masih dalam konteks NSS-2002, harus membuka pintu bagi terjaminnya perdagangan bebas dan penanaman modal internasional, dalam hal ini adalah investasi dari perusahaan-perusahaan besar Amerika. Apabila Negara itu menentang perdagangan bebas, apakah dengan cara menutup diri ataupun memberlakukan batasan-batasan investasi, maka kekuatan Amerika, ekonomi, dan militer telah siap untuk memperingatkan Negara tersebut. Kebijakan Luar Negeri Amerika serikat dalam masalah ekonomi seperti digariskan oleh NSS-2002 itu telah melangkah terlalu jauh dan keluar dari sekedar memerangi terorisme. Kebijakan Bush justru memperlihatkan bahwa pemerintahannya akan menggerakkan kekuatan militer untuk Universitas Sumatera Utara 48 memantau dan memaksa setiap Negara agar patuh dan tunduk pada setumpuk agenda Amerika tentang perdagangan bebas dan kebebasan yang seluas-luasnya bagi perusahaan besar Amerika untuk menanamkan modal mereka diseluruh Negara. 2. Pada butir Nomor 2, Amerika menyatakan dengan jelas bahwa mereka memiliki hak untuk menyingkirkan adanya ancaman-ancaman bagi keamanan nasionalnya dengan cara menggunakan kekerasan militer dan menyerang lebih dulu sebelum terjadi suatu serangan dari pihak musuh, baik ancaman itu benar-benar nyata ataupun belum pasti, secara multilateral ataupun unilateral. Pernyataan NSS-2002 itu jelas membahayakan perdamaian internasional. Atas nama kepentingan nasional dan keamanannya, pemerintah presiden Bush mengancam akan menggunakan kekuatan militer untuk menyerang siapapun yang dianggap akan membahayakan kepentingan nasional Amerika. Washington tidak lagi perduli dengan kesepakatan-kesepakatan internasional, ia merasa memiliki kewenangan untuk bertindak secara militer tanpa mengacuhkan dukungan dari dunia internasional. Amerika akan melakukan aksi militer kapanpun mereka menganggap perlu untuk dilakukan, sekali pun hal itu tanpa dukungan secara multilateral. Pemerintahan Amerika serikat merasa berhak mengirimkan tentaranya kemanan pun yang ia kehendaki dan dengan apapun sepanjang ia menganggap keamanan Amerika akan terancam secara serius bila tidak melakukan aksi militer. Untuk itu Amerika tidak merasa ” malu” dan segan menodongkan senjatanya ke Negara atau kelompok manapun demi Universitas Sumatera Utara 49 keamanan dan kepentingan nasionalnya. Lebih dari itu pemerintah Amerika juga telah secara tidak langsung menyatakan bahwa ia tidak perlu lagi menghiraukan norma-norma internasional yang menjadi pemantau semua bangsa di dunia. Melalui NSS-2002, pemerintah presiden Bush hendak mendeklarasikan bahwa Amerika tidak perlu menghormati, apalagi mematuhi hukum internasional yang tertuang dalam piagam PBB. 3. Pada butir Nomor 3, dapat dipahami bahwa Amerika akan menanggulangi masalah terorisme dengan cara melakukan pengembangan kekuatan militer secara besar-besaran. Pemerintah Bush merasa perlu meningkatkan kemampuan teknologi militernya baik itu dengan cara mengembangkan sistem pertahanan rudal atau pun menguji coba kapabilitas senjata pemusnah massalnya. 44

2.4 Dasar Kebijakan Amerika dalam Memerangi Terorisme