Identifasi Ragam Faktor Campur Kode

97 97 pembeli bahwa barang yang dijual bagus , motif yang paling bar dan harganya murah. Penggalan percakapan 69 berisi tuturan yang mengandung tuturan dengan bahasa Indonesia. Hal ini terjadi karena pembeli berjumlah lebih dari satu orang dan yang satu merupakan rekan dari yang lain. Campur kode ini muncul pada saat antar pembeli membicarakan sesuatu yang diperkirakan oleh pembeli tidak dimengerti oleh penjual. 69 PEMBELI 1 : “Sing marahi larang ki apa to Pak?” “Yang membuat mahal itu apa to Pak?” PEMBELI 2 : “Neng kana mau regane mung telung puluh lima.” “Disana tadi harganya cuma tiga puluh lima.” PENJUAL : “Ning mesti beda.” “Iya pasti beda.” PEMBELI 2 : “Halah paling opat oge diberikan” “Halah paling empat puluh ribu diberikan” PEMBELI 1 : “Pinten Pak, pase?” “Berapa Pak, pasnya?” PEMBELI 2 : “Empat puluh, boleh nggak?” Penggalan percakapan tersebut berupa tuturan bahasa Sunda Paling opat oge yang artinya empat puluh ribu Tuturan yang dipakai pembeli tuturan bahasa Sunda yang tidak dimengerti oleh penjual, sebab mereka beranggapan bahwa penjual tidak tahu akan tuturan bahasa Sunda yang disisipi oleh bahasa Indonesia.pada tuturan diberikan.

5.2.2 Identifasi Ragam

Dalam wacana interaksi jual-beli di pasar Johar Semarang, penjual menawarkan dagangannya kepada pembeli dengan berbagai macam ragam bahasa baik memakai bahasa Indonesia maupun bahasa Jawa kramo undha-usuk. Selain 98 98 itu penjual menyesuaikan tuturan yang dipakai oleh pembeli,atau sebaliknya dengan tujuan agar dapat berkomunikasi dengan lancar. Penggalan percakapan 70 mengandung tuturan campur kode yang menunjukkan bahwa faktor identifikasi ragam menyebabkan terjadinya campur kode dalam tuturan bahasa Indonesia yang dicampur dengan bahasa Jawa maupun sebaliknya antara penjual dan pembeli untuk memudahkan komunikasi. 70 PEMBELI : “Hem kotak-kotak lengen pendek ada Mbak?” “Hem kotak-kotak lengan pendek ada Mbak?” PENJUAL : “Wonten” “Ada” PEMBELI : “Pinten, harganya?” “Berapa, harganya?” PENJUAL : “Namung dua lima” “Cuma dua lima” PEMBELI : “Larang banget” “Mahal banget” PENJUAL : “Murah, bahan dan jahite alus” “Murah, bahan dan jahitannya halus” PEMBELI : “Yen, oleh lima las.” “Kalau boleh lima belas.” Dalam penggalan percakapan 70 penjual dan pembeli menggunakan campur kode dari bahasa Jawa kramo yang disisipi dengan tuturan bahasa Indonesia, hal ini terjadi karena pembeli banyak menggunakan tuturan bahasa Indonesia, maupun bahasa Jawa adapun penjual sering menggunakan tuturan bahasa Jawa Kramo seperti pada tuturan Wonten, naming yang berasal dari bahasa Jawa yang disisipi dengan tuturan bahasa Indonesia karena penjual ingin menerangkannkepada pembeli dengan berbagai macam ragam bahasa agar pembeli mengerti maksud yang diungkapkan penjual. Penggalan percakapan 71 berisi tuturan yang berisi campur kode yang mempunyai identifikasi ragam dalam wacana interaksi jual-beli di pasar Johar 99 99 Semarang. Pembeli menggunakan bahasa Jawa yang dicampur dengan tuturan bahasa Cina karena pembeli berasal dari keturunan Cina.. 71 PEMBELI : “Tan harga kacang hijau berapa?” PENJUAL : “Sekilo regane enam ribu” PEMBELI : “Nggak boleh kurang” PENJUAL : “Dapat, asal jangan murah” PEMBELI : “Kula nawar ngajing” Penggalan percakapan 71 tersebut pembeli menyesuaikan kode penjual yang keturunan orang Cina, pembeli menggunakan campur kode yang berupa tuturan bahasa Jawa dengan disisipi bahasa Indonesia dan sedikit bahasa Cina. Meskipun pembeli hanya mengenal beberapa tuturan bahasa Cina hal ini terlihat pada percakapan antara penjual dan pembeli Ngajing yang artinya lima ribu yang disisipi dengan tuturan bahasa Jawa Kula nawar yang artinya saya menawar, sebagai alat untuk berkomunikasi antara penjual dan pembeli.

5.3 Fungsi Campur Kode