Pengelolaan suaka margasatwa mencakup kegiatan yang beraneka ragam sehingga organisasi pengelola suaka margasatwa tidak mungkin untuk
melaksanakan sendiri seluruh kegiatan tersebut karena berbagai macam keterbatasan. Untuk keberhasilan pengelolaan suaka margasatwa, maka partisipasi
masyarakat sangat dibutuhkan. Ungkapan pentingnya partisipasi masyarakat tersebut sejalan dengan pendapat McNelly 1988 yang menyatakan bahwa
partisipasi masyarakat sekitar kawasan suaka margasatwa perlu dikembangkan dan memperoleh prioritas di dalam kawasan tersebut, karena masyarakat sekitar
memberikan sumbangan yang besar bagi kesinambungan sumberdaya alam yang terdapat dalam kawasan. Dengan memberikan alternatif pembangunan bagi
masyarakat lokal tentunya akan dapat memberikan nilai tambah terhadap upaya pelestarian kawasan disamping meningkatkan kemampuan ekonomi lokal.
2.3.3 Konsep daya dukung dalam pengembangan kawasan wisata
Untuk dapat menunjang konsep pembangunan yang berkelanjutan maka salah satu ide dasar yang paling banyak dipergunakan adalah menerapkan konsep
daya dukung carrying capacity sebagai sebuah standar, dimana konsep daya dukung selalu dihubungkan dengan kapasitas atau jumlah manusia yang dapat
ditampung dalam sebuah ruang tertentu. Dalam hubungannya dengan pariwisata maka konsep daya dukung dinyatakan sebagai jumlah atau kapasitas wisatawan
yang dapat ditampung dalam suatu ruang tertentu yang tergantung pada kemampuan sumber daya wisata. Bagi para perencana wisata salah satu tugas
yang paling menantang adalah menghitung daya dukung sebuah destinasi wisata, dengan kata lain how many tourists are too many Eberlee, 1998. Lascurain
1996:131 menyatakan Tourism Carrying Capacity TCC merupakan sebuah tipe daya dukung lingkungan dan berhubungan dengan biofisikekologi, sosial
terutama yang berhubungan dengan aktifitas wisatawan. Karenanya, TCC didefinisikan sebagai tingkat maksimum pengunjung yang dapat diakomodasi
oleh kawasan wisata atau kapasitas lingkungan yang berhubungan dengan aktifitas wisata dan pembangunannya. Wagar 1984 dalam Lascurain 1996 menyataan
bahwa daya dukung wisatawan merupakan daya dukung lingkungan terhadap kegiatan rekreasi. Dengan demikian konsep daya dukung mengandung komponen
utama yaitu: kualitas lingkungan dan kemampuan untuk dapat melakukan aktifitas rekreasi.
Daya dukung wisata yang dijabarkan dalam Agenda 21 untuk pariwisata 2000 dinyatakan sebagai “batas dimana kehadiran wisatawan dan fasilitas
pendukungnya tidak menimbulkan gangguan terhadap lingkungan fisik atau kehidupan masyarakat”. Konsep daya dukung merupakan sebuah konsep yang
mudah untuk dapat dimengerti akan tetapi sangat sulit untuk dapat dihitung sehingga tidak terdapat standar baku untuk dapat menghitung nilai daya dukung
tersebut. Konsep tersebut juga sangat bervariasi terhadap waktu, iklim dan karakteristik lokasi dilakukannya wisata seperti pesisir, kawasan lindung, rural,
gunung, kawasan sejarah EEM, 2001. Terdapat beberapa komponen untuk
dapat mengukur daya dukung wisata diantaranya: 1. Daya dukung fisik yang berhubungan dengan kemampuan lingkungan
.
Komponen ini sangat tergantung pada kapasitas dari sumberdaya, sistem dan kemampuan lingkungan untuk mengasimilasi dampak seperti kemampuan
ekologis dari lahan, erosi, iklim seperti pengaruh frekwensi dan jumlah curah hujan, iklim.
2. Daya dukung psikologi yang berhubungan dengan persepsi individu dalam berwisata sebagai contoh: over-crowding kebisingan, kebosanan dan
keindahan, kemampuan untuk mencapai kawasan aksesibilitas 3. Daya dukung biologi yang berhubungan dengan ekosistem dan pengunaannya
secara ekologi termasuk didalamnya flora dan fauna, habitat alamiah dan bentang alam. Terdapat beberapa faktor yang umum digunakan adalah:
terganggunya kehidupan alamiah disturbance of wild life dan kehilangan spesies
4. Daya dukung sosial-budaya masyarakat terutama masyarakat penerima wisatawan sebagai contoh: keragaman budaya, kebiasaan penduduk
Lascurain, 1996; lihat Ross, 1994; Balore, 2001. Konsep daya dukung ini merupakan prasyarat minimum dalam
pengembangan konsep ekowisata. Hal ini tentunya berhubungan dengan definisi wisata terbatas yang dapat dilakukan pada kawasan suaka margasatwa dimana,
keterbatasan tersebut sangat tergantung pada kemampuan daya dukung untuk
dapat memberikan nilai optimum terhadap peningkatan ekonomi dan partisipasi masyarakat lokal dengan tetap mempertahankan nilai perlindungan dan menekan
dampak negatif yang akan terjadi. Adapun dalam perkembangannya secara metodologi daya dukung kemudian berkembang seperti: limit of acceptabel
change LAC , visitor impact management VIM, visitor experience and
resources protection VERP, visitor activity management process VAMP, the
recreation opportunity spectrum ROS. Perkembangan tersebut sangat tergantung
dari kompleksibilitas permasalahan, keinginan dan kebutuhan wisatawan, ketersediaan sumberdaya pada kawasan wisata terutama untuk kawasan khusus
seperti suaka margasatwa yang sangat rentan terhadap perubahan habitat. Untuk dapat menggambarkan konsep daya dukung wisata dan elemen elemen yang
mempengaruhinya, maka daya dukung tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 3. Daya dukung wisata Dirawan 2004
Sumber : diadopsi dari Shelby 1984, Gibb 1993, Atheron 1991
Penggunaan konsep limit of acceptabel change dipergunakan melihat kondisi yang sesuai dengan kebutuhan rekreasi, dimana ia bertujuan untuk
Demand fact ors
Characteristics of tourist
Type of tourist activities
Planning process Community
empowerment Management
development Technology
I MPACT S Social cultural
Environmental EconomicsBusinees
Pa ra m e t e rs St a nda rt s
Carrying capacity
Local factors Ø Social -Culture
Ø Environment Ø Economic
structures Ø Resources
Ø institutional
mengontrol terjadinya kerusakan terhadap sumberdaya dibandingkan mencegahnya. Hal dimungkinkan jika manajemen mempunyai informasi yang
cukup terhadap kondisi eksisting kawasan dan pengaruh jumlah pengunjung yang mempergunakan sebuah obyek wisata atau kawasan wisata J. E. Mbaiwa, et al.
2001. Dalam proses analisis LAC terlihat bahwa kemampuan dari identifikasi terhadap kebutuhan akan kegiatan wisata yang telah dilakukan pada kawasan
didukung dengan upaya memonitor kondisi kawasan tersebut Whisman, 1998. Selanjutnya, penggunaan visitor impact management VIM, sangat tergantung
kepada kemampuan manajemen untuk mengatur jumlah pengunjung yang datang pada kawasan wisata dan dampak yang mungkin terjadi pada kawasan wisata.
Akan tetapi dalam penentuan strategi tidak dapat memperhitungkan secara kuantitatif dampak yang mungkin terjadi. Sedangkan untuk recreation opportunity
spectrum terlihat kelemahan yang mendasar yaitu desain manajemen hanya dapat
dilakukan apabila sesuai dengan kebutuhan dari rekreasi dan pengunjung terhadap kawasan Clark , R, N. and George H Stankey. 1979 dan lihat lampiran hal 5.
Keempat konsep visitor impact management VIM, visitor experience and resources protection
VERP, visitor activity management process VAMP, the recreation opportunity spectrum
ROS sangat tergantung pada pengalaman dan kebutuhan dari wisatawan dalam melakukan kunjungan pada kawasan yang dituju.
Sehingga dengan keterbatasan data dan informasi pada kawasan Mampie lampoko khususnya mengenai kondisi fisik, biologis dan sosial dengan berbagai
keterbatasan yang ada pada pihak pengelola maupun pada persepsi dan tingkat pengetahuan masyarakat lokal menyebabkan metode tersebut sangat sulit untuk
dilakukan. Disamping itu kebijakan untuk mengembangkan kawasan sebagai kawasan wisata masih dianggap sebagai sebuah ide yang baru akan
diimplementasikan bagi pengembangan suaka margasatwa Mampie- lampoko. Karenanya konsep daya dukung diadopsi, dianalisis, dan dikombinasikan dengan
sistem dinamik serta teknik prosepektif dipergunakan untuk dapat menghitung kebutuhan alokasi lahan, jumlah pengunjung, polusi yang mungkin terjadi serta
perkembangan ekonomi lokal sesuai dengan standar minimum ekowisata.
III. GAMBARAN UMUM KABUPATEN POLEWALI MANDAR
Kabupaten Polewali- mandar propinsi Sulawesi Barat meliputi luas kurang lebih 428.000 ha secara administratif terdiri dari 15 wilayah kecamatan yaitu:
Binuang, Anreapi, Polewali, Tapango, Matanga, Matakali, Wonomulyo, Mapilli, Campalagian, Luyo, Balanipa, Tinambung, Limboro, Allu, Tubbi Taramanuk, dan
Mambi yang kemudian diterbagi atas 132 desakelurahan. Secara geografis kabupaten ini terletak antara koordinat 02°40’ – 03° 32’ Lintang Selatan dan 118°
40’27”- 119° 32’ 27” Bujur Timur dan berbatasan kabupaten Mamasa di sebelah utara, kabupaten Pinrang di timur, Selat Makassar di selatan, dan kabupaten
Majene di barat. Kabupaten Polewali- mandar terletak 247 km dari kota Makassar ibu kota
propinsi Sulawesi Selatan dapat ditempuh ± 5 jam jalan darat menyus uri pantai barat pulau Sulawesi dan berada 200 km dari ibukota propinsi Sulawesi Barat,
Mamuju Untuk mendapat gambaran lebih jauh mengenai kabupaten ini maka dapat kita lihat dalam Gambar 4.
Gambar 4. Peta kabupaten Polewali- mandar
Kec. Tubbi Taramanu
Kec. Mapilli
Kec. Allu
Kec. Tinambung Kec. Balanipa
Kec. Campalagiang Kec. Luyo
Kec. Wonomulyo Kec. Matangnga
Kec. Anreapi
Kec. Binuang
Kec. Limboro Kec. Tapango
Kec. Matakali Polewali
HOTEL
SARANA PARIWISATA
G G
G G
G G G
G B
B
B G
B RESTORAN
Q Q
Q Q
Q Q
Q
o o
o
Q
o
WISATA ALAM WISATA BAHARI
Air Terjun
Air Panas Air Terjun
Air Terjun
Permandian Wisata Bendungan Sekka2
Air Panas
P P
Perahu Sandeq Wayang Kulit
e
e e
e
e
Makam Todilaling Makam Bottolawali
Kuburan Islam A. makkarumpa
Makam Syeh Al Maruf
P
MAKAM WISATA BUDAYA
U
3.1. Rupabumi dan Bentuk Wilayah