I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Subsektor peternakan memegang peranan penting sebagai salah satu sumber pertumbuhan, khususnya bagi sektor pertanian dan umumnya
perekonomian Indonesia. Subsektor peternakan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan sektor pertanian, diutamakan untuk memenuhi
pangan dan gizi melalui usaha pembinaan daerah-daerah produksi yang telah ada serta pembangunan daerah-daerah baru.
Salah satu daerah produksi pertanian pada umumnya dan peternakan pada khususnya yang cukup besar adalah di kawasan kabupaten Bandung karena lebih
dari seperempat total penduduk yang telah memasuki usia kerja bekerja di sektor pertania. Hal ini ditunjukan pada Tabel 1 dimana 381.440 jiwa bekerja di sektor
pertanian, jumlah ini merupakan jumlah terbesar kedua setelah sektor industri tetapi perbedaannya tidak terlalu signifikan.
Tabel 1. Penduduk Kabupaten Bandung yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha
No Lapangan Usaha Jumlah
Persentase 1 Pertanian
381.373 26,02
2 Pertambangan dan penggalian 4.600
0,32 3 Industri
395.440 26,98
4 Listrik dan Air 3.913
0,27 5 Gas Konstruksi
89.604 6,11
6 Perdaganagan 278.621
19,01 7 Angkutan dan Komunikasi
133.974 9,14
8 Keuangan 15.590
1,06 9 Jasa
162.582 11,09
Total 1.465.670
100
Sumber : Survei Sosial Ekonomi Daerah 2004
Oleh karena itu Kabupaten Bandung merupakan salah satu sentra produksi pertanian yang ada di Indonesia. Produk-produk yang dihasilkan dari wilayah ini
sudah dikenal oleh daerah-daerah lain di Indonesia karena produk-produk tersebut didistribusikan ke daerah lain untuk memenuhi kebutuhan daerah tersebut. Salah
satu produk pertanian yang dihasilkan dari wilayah kabupaten Bandung adalah kelinci. Sentra peternakan kelinci terbesar di Kabupaten Bandung berada di
wilayah Lembang dan Pangalengan. Daerah ini sangat cocok untuk pertumbuhan dan perkembangan kelinci karena memiliki udara yang sejuk serta bersih dari
polusi. Peran pemerintah dalam sektor pertanian sangatlah penting karena sektor
ini merupakan sektor yang sangat penting karena menyangkut kebutuhan paling mendasar bagi manusia. Kebijakan-kebijakan di sektor ini sangat mempengaruhi
pekerja di sektor ini oleh karena itu kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah haruslah berpihak kepada stakeholder terkait.
Semakin bertambahnya jumlah penduduk, tingkat pendapatan serta meningkatnya kadar gizi masyarakat, maka akan menyebabkan permintaan akan
produksi ternak semakin meningkat guna memenuhi kebutuhan protein hewani seperti yang ditunjukan pada Tabel 2 dimana konsumsi daging mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun.
Tabel 2. Konsumsi Daging, Telur, dan Susu kgperkapitatahun
No. Jenis
Tahun Pertumbuhan
dari tahun 2005 sd 2006
2003 2004
2005 2006
1. Daging
6,05 6,28
5,79 6,43
11,41 2.
Telur 4,11
4,68 4,34
4,64 6,91
3. Susu
6,69 9,47
9,32 9,35
0,32
Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan DEPTAN, 2006
Konsumsi standar protein hewani yang ditetapkan oleh FAO untuk masyarakat Indonesia minimal sebesar 6 grkapitahari atau setara dengan 2.19
kgkapitatahun Dari kebutuhan ini sebagian besar masyarakat Indonesia lebih memilih untuk mengkonsumsi daging ayam dan sapi karena daging – daging ini
mudah didapatkan di pasar Tabel.3.
Tabel 3. Konsumsi Daging menurut Jenis Daging kgkapitatahun
No. Komoditi
Tahun 1996
1999 2002
2004 2005
1. Sapi dan kerbau
0,72 0,52
0,572 0,676
0,468 2.
Ayam dan unggas 1,30
0,57 3,338
3,692 3,848
Sumber : BPS, 2006
Kenaikan konsumsi daging ini menyebabkan pemerintah harus mengimpor daging sapi dan daging hewani lainnya dengan jumlah yang cukup signifikan
Tabel.4 dari negara-negara tetangga karena produksi lokal tidak dapat memenuhi permintaan pasar di Indonesia sehingga hal ini akan mebuat anggaran
belanja pemerintah membengkak dan dapat menyebabkan krisis pangan.
Tabel 4. Perkembangan Volume Impor Komoditas Peternakan Tahun 2002- 2006 Ton
No. Komoditas
2004 2005
2006 1.
Daging Sapi 11.772,011
19.957,195 24.078,542
2. Daging Ayam
1.193,779 3.817,300
3.331,439 3.
Daging Kambing 519,710
829,561 711,750
4. Daging unggas lain
2,347 0,577
52,635
Sumber : BPS diolah Pusdatin DEPTAN 2007
Ternak kelinci dapat dipilih sebagai alternatif untuk memenuhi permintaan yang meningkat tersebut, mengingat kelinci memiliki kelebihan dibandingkan
ternak lain yang telah dikenal sebelumnya untuk memenuhi konsumsi daging perkapita Indonesia yang cukup tinggi, hal ini dapat dilihat dari Tabel 3. Selain itu
harga daging kelinci yang tidak berbeda jauh jika dibandingkan dengan daging
sapi, hal ini dapat dilihat bahwa harga daging sapi saat ini berada di kisaran Rp 55.000 Kompas, Februari 2008 sedangkan harga daging kelinci berada pada
kisaran Rp 60.000 Asep’s Rabbit Project. Kelinci juga menguntungkan untuk diternak secara intensif berpola
komersial karena daya reproduksinya cepat, dalam jangka waktu satu tahun, seekor kelinci dapat beranak 4 – 5 kali, dengan jumlah anak per kelahiran 5 – 6
ekor dan masa bunting relatif singkat Sarwono 2001. Daging kelinci memiliki kelebihan dibandingkan dengan daging ternak
lainnya, diantaranya memiliki kadar lemak jenuh yang rendah dibandingkan ternak lain seperti sapi, domba, dan kambing serta kandungan proteinnya yang
tinggi membuat daging kelinci baik untuk menjaga jaringan tubuh, membentuk sel-sel, dan meningkatkan kecerdasan otak Pujoharjo 2001. Komposisi kimia
dari beberapa macam daging ternak dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 5. Komposisi Kimia Berbagai Macam Daging
Jenis Daging
Energi Kkalkg
Sodium mgg
Lemak Jenuh mgg
Kadar Air Protein
Lemak Sapi
380 65
41,3 49
15,5 35
Domba 345
75 55,4
53 15
31 Ayam
200 70
- 67
19,5 12
Kelinci 160
40 37
70 21
8
Sumber : Lebas et al. dalam Pujoharjo 2001
Tingkat konsumsi daging kelinci dibandingkan daging lain lebih sedikit, hal ini disebabkan oleh pola konsumsi masyarakat yang belum terbiasa dan
persepsi yang timbul mengenai ternak tersebut. Persepsi yang ada sekarang lebih memandang kelinci sebagai hewan peliharaan atau hewan hias.
Kelinci yang diternakan kelangsungan hidupnya ditentukan oleh perhatian dan perawatan peternaknya. Jenis, jumlah, dan mutu pakan yang diberikan
menentukan pertumbuhan, kesehatan dan perkembangbiakannya. Jenis pakan yang dipakai tidak bersaing dengan kepentingan manusia maupun ternak industri
intensif seperti ayam. Dalam peternakan kelinci intensif, pakan yang diberikan tak hanya berupa
hijauan sebagai pakan pokok. Selain hijauan, pakan kering seperti konsentrat, hay rumput kering, biji-bijian dapat diberikan sebagai pakan tambahan. Seperti
halnya ternak ruminansia, kelinci membutuhkan karbohidrat, lemak, protein, mineral, vitamin, dan air. Jumlah kebutuhannya tergantung pada umur, tujuan
produksi, serta laju kecepatan pertumbuhan. Pada tahun 1982, pemerintah pernah menganjurkan agar kelinci
dikembangkan sebagai ternak sumber daging untuk meningkatkan mutu gizi masyarakat. Namun, usaha tersebut gagal karena kelinci berkembang menjadi
komoditas yang mahal, terutama harga bibitnya. Beberapa ras kelinci yang banyak dikembangkan secara komersial di Negara-negara Eropa, Amerika, dan juga
Indonesia yaitu Anggora, Champagne d’Argent, Carolina, Checkered giant, Dutch
, English Spot, dan Himalayan. Harga dari beberpa ras kelinci tersebut dapat dihargai mencapai jutaan rupiah oleh para hobbyist.
Selama ini peternakan kelinci di Indonesia masih diusahakan sebagai peternakan keluarga dengan skala usaha yang relatif kecil. Kegiatan budidaya dan
manajemennya masih sederhana. Sebagai alternatif, usaha peternakan kelinci sebenarnya dapat dikembangkan dalam bentuk perusahaan peternakan baik kelinci
hias maupun kelinci potong. Sasaran produksi kelinci dapat ditingkatkan sesuai target, mutu dan permintaan pasar untuk menjadi konsumsi protein hewani
alternatif.
Peluang pasar luar negeri untuk ternak kelinci maupun hasil olahannya cukup besar, kelinci dapat diperdagangkan langsung sebagai hewan peliharaan
atau hewan hias sedangkan daging kelinci dapat dikonsumsi atau diolah terlebih dahulu sebagai abon, sosis, bakso, dan dendeng. Kulit dan bulu dapat dijadikan
bahan pakaian atau kerajinan lain seperti topi, dompet dan sebagainya, hal ini dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Volume Ekspor Komoditas Peternakan Ton
No. Komoditas
2002 2003
2004 2005
1. Sapi
77.677 111.432
19.164 87.546
2. Kelinci
570 16.793
18.385 60.000
4. Kambing
39.074 1.708
387 1.228
5. Ayam
2.346.322 2.760.691
100.867 316
Sumber : BPS diolah Pusdatin DEPTAN 2007
Pada Tabel 5 terlihat bahwa ekspor kelinci Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan dan pada tahun 2005 menduduki posisi di bawah sapi
dilihat dari volume ekspornya. Peningkatan ekspor dari tahun 2002 ke 2003 sebesar 29 persen, tahun 2003 ke 2004 sebesar 10 persen, dan peningkatan yang
paling signifikan yaitu sebesar 69 persen pada tahun 2004 ke 2005. Hal ini berarti bahwa adanya peluang pasar yang sangat besar di luar negeri sehingga para
peternak kelinci kita harus bisa menangkap peluang ini dengan menghasilkan kelinci-kelinci berkualitas dan berdaya saing tinggi.
1.2 Perumusan Masalah