Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebahagiaan Perkawinan

22 fase ini seseorang dapat menilai dirinya sendiri dan dapat menilai ciri-ciri pribadi pasangannya. Sedangkan menurut Papalia dan Olds 2009:196 secara singkat menjelaskan bahwa kebahagiaan pernikahan dipengaruhi oleh peningkatan sumber daya ekonomi, kesetaraan pengambilan keputusan, sikap gender yang nontradisional, dan dukungan terhadap norma pernikahan yang langgeng. Berdasarkan uraian di atas, faktor-faktor yang mempengaruhi kebahagiaan perkawinan adalah penyesuaian diri dengan pasangan, penyesuaian seksual, penyesuaian keuangan, penyesuaian dengan pihak keluarga, latar belakang masa kanak-kanak, usia pada masa perkawinan, kesiapan jabatan pekerjaan, kematangan emosional, minat-minat dan nilai-nilai yang dianut, masa pertunangan, peningkatan sumber daya ekonomi, kesetaraan pengambilan keputusan, sikap gender yang nontradisional, dan dukungan terhadap norma pernikahan yang langgeng.

B. Kajian tentang Poligami

1. Pengertian Poligami

Kata poligami secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata polus yang berarti banyak dan gamos yang berarti perkawinan. Bila pengertian kata ini digabungkan, maka poligami akan berarti suatu perkawinan yang banyak atau lebih dari seorang Supardi Mursalin, 2007:15. Sistem pernikahan bahwa seorang laki-laki mempunyai lebih dari seorang istri dalam waktu yang bersamaan pada dasarnya disebut poligami. Sedangkan poligami menurut Slamet Abidin dan 23 Aminudin 1999:131 adalah seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, tetapi dibatasi paling banyak adalah empat orang. Pengertian poligami menurut bahasa Indonesia dalam Tihami 2009:351 adalah ikatan pernikahan yang salah satu fihak memilikimengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan atau poligami adalah adat seorang laki-laki beristri lebih dari seorang perempuan. Para ahli kemudian membedakan istilah bagi seorang laki-laki yang mempunyai lebih dari seorang istri dengan istilah poligini yang berasal dari kata polus berarti banyak dan gune berarti perempuan. Sedangkan bagi seorang istri yang mempunyai lebih dari seorang suami disebut poliandri yang berasal dari kata polus berarti banyak dan andros berarti laki-laki Tihami, 2009:352. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa poligami adalah suatu bentuk pernikahan dimana seorang laki-laki mempunyai atau mengawini lebih dari satu wanita dalam waktu yang bersamaan.

2. Poligami dan Nasib Wanita

Poligami sebagai fenomena sosial tidak hanya terjadi di Indonesia. Dalam sebuah penelitian komprehensif yang dilakukan oleh Elbedour dkk 2002-2007 dalam Harja Saputra, 2011:1 menyebutkan bahwa poligami terjadi juga di 850 masyarakat di seluruh dunia, mayoritas dipraktekkan di etnis Non-Western dan dalam agama tertentu. Pernikahan poligami terbanyak terjadi di Afrika dan Timur Tengah. Ditambahkan oleh Labib dalam Tihami, 2009:352 poligami adalah masalah-masalah kemanusiaan yang tua sekali. Hampir seluruh bangsa di dunia, 24 sejak zaman dahulu kala tidak asing dengan poligami. misalnya, sejak sejak dulu kala poligami sudah dikenal orang-orang Hindu, bangsa Israel, Persia, Arab, Romawi, Babilonia, dan Tunisia. Lebih lanjut Supardi Mursalin 2007:17-18 mengemukakan bahwa bangsa Barat purbakala, poligami dianggap sebagai suatu kebiasaan karena dilakukan oleh raja-raja yang melambangkan ketuhanan, sehingga orang banyak yang menganggap bahwa poligami adalah perbuatan yang suci. Dalam agama Hindu, poligami telah dilakukan sejak dahulu kala. Wirjono 1960:37 menjelaskan bahwa di kalangan orang Indonesia asli yang beragama Hindu berlaku ketentuan, bahwa seorang laki-laki hanya dibolehkan beristeri seorang dari kastanya sendiri, dan seorang darimasing-masing kasta yang berada di bawah kastanya sendiri. Dengan demikian, seorang yang berkasta Brahmana dapat beristeri empat orang. Namun peraturan ini sering dilanggar oleh para penguasa. Mereka sering mempunyai tiga, empat,atau lima orang isteri. Bahkan di antara para raja tidak jarang yang mempunyai 80 isteri,bahkan sampai 100 isteri. Dalam agama Hindu tidak ada batasan tertentu mengenai jumlah perempuan yang boleh dikawininya. Supardi Mursalin 2007:17 menambahkan bahwa di kalangan bangsa Israel, poligami telah berjalan sejak sebelum zaman Nabi Musa as yang kemudian menjadi adat kebiasaan yang dilanjutkan tanpa ada batasan jumlah perempuan yang boleh diperistri oleh seorang laki-laki. Kemudian, Talmud di Jerussalem membatasi jumlah itu menurut kemampuan suami memelihara istrinya dengan baik. 25 Mahmud dan Musthafa 2006:289 memberikan penjelasan bahwa dalam agama Yahudi membolehkan poligami tanpa jumlah yang dibatasi dan di dalam Taurat tidak menyebutkan tentang larangan akan hal itu, yang ada adalah pembolehannya dan telah diriwayatkan dari para Nabi mereka. Sedangkan di kalangan bangsa Persia, poligami tidak dibatasi dengan berapa jumlah wanita yang harus dinikahi oleh seorang laki-laki, bahkan agama akan memberikan penghargaan bagi laki-laki yang mempunyai istri banyak Supardi Mursalin 2007:18. Menurut Supardi Mursalin 2007:19, dalam Agama Kristen tidak melarang adanya praktik pernikahan poligami, sebab tidak ada satu keterangan yang jelas dalam Injil tentang landasan perkawinan monogamy atau landasan melarang poligami. Ditambahkan lagi oleh Tihami 2009:356 dalam Injil Matius Pasal 10 ayat 10-12 dan juga Injil Lukas Pasal 16 ayat 18, diterangkan bahwa Isa Al-Masih pernah berkata: “ Barang siapa menceraikan istrinya dan lalu menikah dengan wanita lain, maka hukumnya dia berzina dengan wanita itu. Demikian juga kalau seorang wanita menceraikan suaminya dan menikah dengan laki- laki lain , maka hukumnya dia berzina dengan laki-laki itu Matius, 10:10-12; Lukas, 16:18”. Tihami 2009:356 menjelaskan bahwa dalam realitasnya hanya golongan Kristen Katolik saja yang tidak membolehkan pembubaran akad nikah kecuali dengan kematian saja. Sedangkan aliran Ortodoks dan Protestan atau Gereja Masehi Injil membolehkan seorang Kristen untuk menceraikan istrinya dengan syarat-syarat yang tertentu pula. 26

3. Poligami dalam Islam

Islam membolehkan poligami dengan jumlah wanita yang terbatas, dan tidak mengharuskan umatnya melaksanakan monogami mutlak. Supardi Mursalin 2007: 20 menjelaskan bahwa Islam pada dasarnya menganut sistem monogami, dengan memberikan kelonggaran dibolehkannya poligami dengan jumlah wanita yang terbatas. Pada prinsipnya seorang laki-laki hanya mempunyai seorang istri dan sebaliknya seorang istri hanya memiliki seorang suami, tetapi Islam tidak menutup diri adanya kecenderungan suami mempunyai istri lebih dari satu sebagaimana yang sudah bejalan sejak dahulu kala, akan tetapi tidak semua laki- laki harus melakukan poligami karena tidak semuanya memiliki kemampuan untuk melakukan poligami. Menurut Isham dan Musfir 2008:112 syarat-syarat diperbolehkannya poligami adalah: a. Jumlah Istri Dalam hal ini, jumlah istri dalam pernikahan poligami dibatasi sampai empat. Ada kalanya pembatasan ini behubungan dengan perbandingan jumlah laki- laki dan perempuan yang mana perbandingan ini pada kebanyakannya satu banding empat 1:4. b. Nafkah Yang termasuk dalam nafkah adalah makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan kebutuhan-kebutuhan yang lazim. Wajib bagi seorang laki-laki yang ingin menikah untuk segera menyiapkan kemampuannya agar dapat memberi nafkah kepada calon istrinya. c. Adil kepada seluruh istri Adil yang dimaksid adalah keadilan yang dapat direalisasikan manusia, yaitu bersikap seimbang kepada seluruh istri dalam makan, minum, pakaian, tempat tinggal, bermalam, dan bermu’amalah sesuai dengan keadaan para istri.