1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Beberapa waktu belakangan ini, pemerintah tengah sibuk mensosialisasikan sebuah Rancangan Undang-Undang RUU baru kepada masyarakat. RUU ini
berkenaan dengan organisasi kemasyarakatan yang baru. RUU Ormas yang baru ini memang sengaja dibuat untuk menggantikan Undang-Undang No.8 Tahun
1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Awal munculnya Undang-Undang No.8 Tahun 1985 adalah ketika orde baru
pada saat itu tidak peduli tentang fenomena sosial-politik dan kultural dengan fenomena hukum. Maka muncullah Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan
1985 UU No 81985 berdasarkan Garis-garis Besar Haluan Negara GBHN Tahun 1983. Berdasarkan undang-undang itu, Orde Baru mengharuskan ormas
“berhimpun dalam satu wadah pembinaan dan pengembangan yang sejenis” Pasal 8-12 untuk dibina pemerintah Pasal 13-14.
1
Mudahnya mendirikan sebuah organisasi masyarakat menjadikan ormas semakin lama semakin berkembang. Hal lain yang mendorong pertumbuhan
ormas begitu pesat adalah belum ada ketentuan dan larangan serta sanksi yang jelas dan tegas bila ormas tersebut melakukan pelanggaran hukum atau tindak
pidana lainnya. Maka karena alasan tersebut, pemerintah perlu merancang suatu undang-undang dimana segala pengaturan mengenai organisasi masyarakat
tertuang didalamnya.
1
http:nasional.kompas.comread2012020702041492Mengupas.RUU.Ormas
Ternyata keputusan DPR untuk menggantikan UU Ormas yang lama dengan yang baru, menuai pro kontra di kalangan masyarakat Indonesia. Baik dari sisi
ormas-ormas itu sendiri , LSM, ataupun pihak-pihak yang tidak setuju adanya RUU Ormas yang baru. Banyaknya aksi penolakan yang terjadi, membuat Panitia
Khusus Pansus RUU Ormas berfikir untuk merubah pasal-pasal yang dianggap bermasalah.
Salah satu alasan adanya penolakan terhadap RUU Ormas yang baru karena disebabkan adanya pasal asas Pancasila sebagai asas tunggal dalam RUU Ormas.
Menurut para ormas, pasal ini hanya akan membangkitkan rezim represif dan otoriter serta membuka intervensi pemerintah terlalu dalam terhadap organisasi
kemasyarakatan. Disisi lain, pemerintah menganggap bahwa UU Ormas No. 8 Tahun 1985
memang harus direvisi kembali, hal ini mengingat bahwa Undang-Undang Ormas yang lama dianggap sudah tidak relevan dan tidak lagi bisa menyesuaikan kondisi
perkembangan Negara Indonesia. Banyak pasal-pasal di dalam UU No.8 Tahun 1985 tidak mengatur mengenai adanya peraturan ormas asing yang berkegiatan di
Indonesia, bahkan pasal mengenai transparansi mengenai pendanaan ormas. Melihat situasi dan kondisi negara Indonesia saat ini, sepertinya memang
sudah layak keberadaan ormas diatur oleh sebuah undang-undang. Banyak ormas sering melakukan aksi kekerasan dan anarkis, bahkan ormas dijadikan sebagai alat
kepentingan dan melegalisasi keberadaan premanisme. Bahkan presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono sempat ditegur oleh pemimpin negara
Timur Tengah akibat tindak anarkis yang dilakukan ormas Islam di Indonesia. “Menanggapi penjelasan tersebut, pejabat Timur Tengah tersebut
justru menegur dan meminta tindakan ormas anarkis harus dihentikan.
Menurut dia, tindakan ormas memberikan
dua kerugian
sekaligus. Merugikan Islam, karena Islam tidak anarkis. Kedua, merugikan Arab,
karena merusak dengan menggunakan pakaian Arab, kata Presiden. ”
2
Apabila dilihat dari pemberitaan diatas, ternyata kasus ormas yang bertindak anarkis tidak hanya menjadi perhatian bagi pemerintah di Indonesia tetapi juga
menjadi sorotan bagi negara lain. Inilah sebabnya, pemerintah merasa perlu membuat undang-undang ormas baru dimana undang-undang tersebut dapat
menjadi pegangan bagi pemerintah untuk bertindak atau membubarkan ormas yang kerap melakukan aksi-aksi premanisme dalam melakukan aksinya di
masyarakat. Selain masalah banyaknya kasus tindakan anarkis yang dilakukan ormas,
pemerintah juga menilai ormas tidak transparansi masalah kegiatan serta pendanaan yang ada selama ini. Banyak ormas yang menentang masalah pasal
yang ada di RUU Ormas berkaitan dengan adanya transparansi soal pendanaan ormas, pemerintah menganggap penentangan tersebut karena ketakutan sejumlah
ormas akan kemungkinan terkuaknya praktik haram di balik kegiatan ormas. Menurut Direktur Seni Budaya Agama dan Kemasyarakatan, Budi Prasetyo
mengatakan aturan RUU yang memuat semangat transparansi seharusnya tidak menjadi ketakutan apabila ormas menjalankan kegiatannya secara benar.
“Inilah paradoks demokrasi, dimana sering kali yang menyuarakan demokrasi di ruang pubik sebenarnya juga tidak demokratis. Mereka ini yang
anti demokrasi”
3
2
http:www.tempo.coreadnews20130723078498902SBY-Ditegur-Negara-Lain-Akibat- Ormas-Anarkis berita diakses pada 17 Desember 2013 pukul 20:56
3
Republika, ”Ormas Dinilai Takut Transparan” tanggal 1 April 2013
Sampai dengan tulisan ini dibuat, konflik mengenai pro kontra RUU Ormas ini terus berlanjut dengan seluruh dinamikanya dan tidak lepas dari pemberitaan
media baik media cetak mapun media elektronik. Media tersebut berperan aktif dalam menyampaikan perkembangan dari peristiwa tersebut dalam perannya
sebagai penyampai pesan kepada khalayak banyak sebagai bagian dari komunikasi massa.
Komunikasi massa adalah komunikasi yang sangat mengandalkan pada ketepatan jumlah pesan yang disampaikan dalam waktu yang singkat. Pada masa
sekarang ini, komunikasi massa memberikan informasi, gagasan dan sikap pada khalayak yang beragam dan besar jumlahnya dengan menggunakan media. Dari
definisi tersebut dapat diketahui bahwa “komunikasi massa itu harus menggunakan media massa.”
4
Media melaporkan berita dengan tujuan memberikan info tentang segala peristiwa aktual yang menarik perhatian orang banyak. Adapun cara melaporkan
atau memberitakan sesuatu, supaya menarik perhatian orang banyak, yang lazimnya dilakukan dengan gaya yang diplomatis.
5
Selain itu, media berperan mendefinisikan bagaimana realitas seharusnya dipahami dan dijelaskan secara
tertentu kepada khalayak. Berita adalah produk dari profesionalisme yang menentukan bagaimana peristiwa setiap hari dibentuk dan dikonstruksi.
6
Ketika menulis sebuah artikel atau pemberitaan baik di majalah atau koran, baik cetak ataupun online, harus ditulis secara refrensial dengan visi intektual.
4
E. Ardianto dan Erdinaya L, 2005. Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Bandung : Simbosia Rekatama Media. hal.3.
5
Kustadi Suhandang, Pengantar Jurnalistik: Seputar Organisasi, Produk, dan Kode Etik, Bandung: Nuansa, 2010, h. 104
6
Eriyanto. 2009. Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta. PT. LKiS Printing Cemerlang. hal. 80.
Maksudnya adalah merujuk pada kekuatan logika akal sehat common sense, bukan logika klenik atau mistik. Artikel yang ditulis secara referensial memiliki
ciri antara lain: logis, sistematis, analitis, akademis, dan etis.
7
Tiap media memiliki kebijakan redaksinya masing-masing. Ini merupakan dasar pertimbangan suatu lembaga media massa untuk memberitakan atau
menyiarkan suatu berita. Kebijakan redaksi dianggap penting bukan hanya peristiwanya saja tapi bagaimana cara menyikapi suatu peristiwa. Dasar
pertimbangan itu bisa bersifat ideologis, politis dan bisnis.
8
Ideologi, ekonomi, politik, sosial, budaya dan agama tak dapat dipungkiri menjadi hal yang melatar
belakangi penulisan berita oleh suatu media. Wartawan sebagai juru berita memegang peran memasukkan perpektifnya
sendiri ke dalam suatu realitas. Wartawan memiliki kekuatan dalam mengungkapkan peristiwa melalui media massa sebagai wadah pembingkaian
framing berita. Melalui pengemasan fakta, penggambaran fakta, pemilihan angel, penambahan gambar, maka berita yang ditulis wartawan menjadi menarik.
9
Salah satu metode untuk mengetahui proses konstruksi adalah analisis framing. Akhir-akhir ini, konsep framing telah digunakan secara luas dalam
literatur ilmu komunikasi untuk menggambarkan proses penyeleksian dan penyorotan aspek-aspek khusus sebuah realita oleh media.
10
. Framing pada akhirnya menentukan bagaimana realitas itu hadir di hadapan pembaca. Apa yang
kita tahu tentang realitas sosial pada dasarnya tergantung pada bagaimana kita
7
Haris Sumadiria, Menulis Artikel dan Tajuk Rencana: Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis Profesional, cetakan ke 5, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2009, h. 6
8
Sudirman Tebba, Jurnalistik Baru, Ciputat: Kalam Indonesia, 2005, h. 152
9
Eni Setiani, Ragam Jurnalistik Baru dalam Pemberitaan, Yogyakarta: ANDI, 2005, h. 67
10
Alex Sobur. 2009. “Analisis Teks Media : Suatu Pengantar Analisis Wacana, Analisis Semiotika, Dan Analisis Framing
”Bandung: PT Remaja Rosdakarya, h. 162
melakukan frame atas peristiwa itu yang memberikan pemahaman dan pemaknaan tertentu atas suatu peristiwa
Adapun penulis menganggap penelitian ini penting karena untuk mengetahui bagaimana Suara Pembaruan dan Republika mengkontruksi berita mengenai pro
kontra adanya RUU Ormas yang baru. Penelitian ini juga dilakukan untuk melihat bagaimana suatu realitas yang sama dilihat oleh dua media yang mempunyai dua
sudut pandang ideologi yang berbeda. Sedangkan penelitan ini menarik karena banyaknya pihak yang dibuat resah khususnya ormas-ormas Islam dan beberapa
pihak yang memang menyetujui adanya peraturan RUU Ormas agar tidak ada lagi terjadi peristiwa anarkis yang dilakukan oleh berbagai macam ormas.
Penulis menganalisis pemberitaan pro kontra RUU Ormas dengan menggunakan analisis framing. Model analisis ini digunakan penulis untuk
mengetahui bagaimana suatu media memaknai dan membingkai suatu peristiwa. Sehingga dari analisa ini dapat diketahui bagaimana realitas dan konstruksi yang
dibangun oleh Suara Pembaruan dan Republika terhadap kasus pemberitaan RUU ormas dengan menggunakan model analisis framing Robert N. Entman.
Bedasarkan fenomena dan penjelasan di atas maka penulis mengangkat judul
“ANALISIS FRAMING PRO KONTRA RUU ORMAS DI MEDIA SUARA PEMBARUAN
DAN REPUBLIKA.” B
Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah
Melihat pada latar belakang yang dipaparkan di atas, maka penulis membatasi penelitian pada bagaimana media Suara Pembaruan dan Republika
membingkai berita mengenai pro kontra kasus RUU Ormas selama periode Maret hingga April 2013.
2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang digunakan peneliti secara umum adalah bagaimana surat kabar Republika dan Suara Pembaruan membingkai pemberitaan
pro kontra RUU Ormas. Sesuai dengan teori Robert Entman rumusan masalah umum ini dapat diperinci dalam sub-sub masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana Suara Pembaruan dan Republika mengidentifikasi masalah
terkait kasus pro kontra RUU Ormas? 2.
Apa yang menjadi penyebab masalah menurut Suara Pembaruan dan Republika terkait kasus pro kontra RUU Ormas?
3. Bagaimana Suara Pembaruan dan Republika menampilkan nilai moral
terkait adanya kasus pro kontra RUU Ormas? 4.
Bagaimana penyelesaian masalah yang ditampilkan oleh media Suara Pembaruan dan Republika terkait kasus pro kontra RUU Ormas?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian