E. Analisis Perbandingan Framing Republika dengan Suara Pembaruan
Republika dan Suara Pembaruan memang memiliki ideologi media yang sangat berbeda. Republika yang visi
– misinya lebih mengedepankan nilai-nilai Islam pada tiap pemberitaannya, sementara Suara Pembaruan bila dilihat dari visi-
misinya lahir dari ideologi Katolik. Meskipun antara Republika dengan Suara Pembaruan memiliki ideologi yang bertentangan, tetapi pemberitaan antara
keduanya tetap bersifat universal. Dari hasil temuan dengan perangkat Framing Entman yang telah penulis
dapatkan, penulis melihat adanya sudut pandang dan ideologi yang berbeda dari Republika dan Suara Pembaruan pada kasus pro kontra RUU ormas. Suara
Pembaruan cenderung melihat kasus pro kontra RUU Ormas sebagai kasus hukum.
Pemerintah menilai RUU Ormas sangat diperlukan mengingat banyaknya aksi kekerasan yang dilakukan ormas belakangan ini. Tetapi, menurut Suara
Pembaruan untuk menyelesaikan masalah ormas-ormas yang anarkis tidak perlu dengan dibuatnya Undang-Undang yang mengatur tentang Ormas. Sebab, untuk
mengatur ormas-ormas yang anarkis diperlukan adanya sistem hukum yang jelas dan tegas. Disinilah, peran pemerintah harus lebih aktif dalam memberantas kasus
pelanggaran moral yang terjadi di masyarakat kita. Pasalnya, Suara Pembaruan melihat ormas-ormas yang melakukan aksi premanisme karena membela sesuatu
yang menurut ideologi mereka salah, misalnya persoalan aqidah yang dimana
prostitusi merajalela tetapi pemerintah malah menjadikan hal tersebut sebagai ladang uang.
Berikut berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Redaktur Pelaksana I Suara Pembaruan, Aditya L. Djono perihal mengenai maraknya kasus anarkisme
yang dilakukan ormas : “Bisa jadi ke dalam situasi Prokons itu pasti dibalik apa namanya
kepentingan pragmatis, ideologis pasti ada satu sisi moral sisi kesamaan sehingga itu menjadi bahan sumber koreksi. Kita sekali lagi harus menyadari
bahwa yang buat RUU Ormas itu juga bukan malaikat, dia bisa saja melihat dari satu sisi, sisi pemerintah katakanlah melihat kekacauan-kekacauan ormas
itu di satu sudut oh karena biang ini kerusuhan biangnya karena ormas tidak bisa di atur. Tapi dia tidak tahu, kenapa masyarakat itu atau ormas itu berbuat
katakanlah di luar hukum, mungkin pesan moralnya kalo kalian polisi tegas, kami ngga akan seperti ini, iya kan? Saya bisa melihat dari ini dalam kasus
RUU ormas, katakanlah seperti misalnya FPI, FBR, mereka turun ke jalan oke mungkin kita lihat merisaukan,mereka membuat anarkis, mereka
berasalan menegakkan aqidah. Aparatnya tidak tegas, ada miras kok, ada prostitusi di situ, didiamkan malah di
pelihara jadi ATM nya aparat kok.”
6
Dalam islam, kekerasan sangat tidak anjurkan oleh Allah meskipun kekerasan yang dilakukan untuk membela sesuatu yang dilarang oleh Agama.
Karena pada hakikatnya, Islam adalah agama ra hmatan lil „alamiin yang menjadi
rahmat bagi alam semesta, serta mengajarkan agar umat Islam mencintai perdamaian. Larangan mengenai kekerasan dalam islam dijelaskan pada ayat
berikut ini:
6
Wawancara dengan Aditya L. Djono, selaku redaksi pelaksana I Suara Pembaruan, Jakarta 3 Desember 2013 di kantor Suara Pembaruan.
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam
urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada Nya. ” QS. Ali Imran:159.
Ayat Al- Qur’an di atas dengan sangat jelas dan lugas bahwa Allah telah
yang menganugerahkan kepada kita semua sifat dan karakter kasih dan sayang, sekaligus menegaskan bahwa menyelesaikan masalah dengan cara kasar dan
kekerasan, justru tidak menghasilkan apa-apa, bahkan hanya menimbulkan kegagalan. Allah juga memberikan jalan lain yakni dengan dialog dan
bermusyawarah untuk menyelesaikan atau jalan keluar bagi segala konflik dan ketegangan antar warga masyarakat.
Ada perbedaan yang menjadi inti bahasan antara Republika dan Suara Pembaruan didalam pemberitaan mereka, apabila Suara Pembaruan melihat kasus
anarkisme dari sisi pemerintah dan sistem hukum yang tidak tegas, tetapi Republika tidak melihat dari sisi kasus anarkis yang dilakukan para ormas,
melainkan membidik pasal-pasal dalam RUU Ormas itu sendiri. Oleh sebab itu,
penulis tidak mencantumkan berita perihal anarkisme ormas karena hanya akan melihat dari sisi Suara pembaruan saja.
Pada penulisan skripsi ini, peneliti fokus pada dua permasalahan seputar RUU Ormas yang menjadi kontroversi. Adanya asas Pancasila menjadi salah satu
yang menimbulkan polemik antara pemerintah dengan ormas-ormas, ataupun LSM yang ada di Indonesia. Banyak ormas dan LSM menilai bahwa adanya asas
Pancasila malah akan membelenggu kebebasan berserikat dan berkumpul. Suara Pembaruan dan Republika memiiki pandangan yang hampir sama
mengenai asas Pancasila dalam RUU Ormas. Republika melihat asas Pancasila sebagai suatu hal yang tidak bertentangan dengan asas Islam ataupun asas ciri
ormas lainnya, begitupun dengan Suara Pembaruan memiliki pandangan yang serupa.
Apabila dilihat dari sisi judul berita, Republika menggunakan judul “Pancasila Bukan Asas Tunggal” sementara Suara Pembaruan memilih judul
“Asas Utama Pancasila, Final dan Mengikat” terlihat perbedaan dimana Republika cenderung menonjolkan bahwa asas Pancasila bukan asas satu-satunya
dalam RUU Ormas sehingga ormas-ormas bisa menggunakan asas selain asas Pancasila, berbeda dengan judul berita Suara Pembaruan lebih terkesan bahwa
asas Pancasila bersifat permanen dan tidak bisa diubah atau dikondisikan dengan asas ciri ormas.
Ditinjau dari isi pemberitaan, Republika cenderung menonjolkan sisi-sisi keislaman pada aspek Pancasila terlihat dalam pemberitaannya dimana Republika
membahas asas Islam lebih luas dibandingkan Suara Pembaruan., narasumber berita yang dipakai Republika pun lebih banyak ketimbang Suara Pembaruan,
serta pernyataan narasumber-narasumbernya lebih mewakili sisi keislaman yang ingin ditonjolkan Republika. Suara Pembaruan juga memberitakan mengenai asas
Pancasila dimana Suara Pembaruan menggunakan dua narasumber berita, yakni Muhammadiyah dan Partai Keadilan Sosial. Dalam pemberitaannya tersebut,
Suara Pembaruan tidak fokus pada pemberitaan asas Pancasila saja, tetapi Suara Pembaruan juga membidik persoalan mengenai pendapat Ronald Rofiandi bahwa
adanya RUU Ormas justru bisa mengakibatkan dampak pembubaran terhadap Lembaga Amil Zakat LAZ.
Penggunaan narasumber yang berbeda tentu akan menghasilkan perbedaan dalam mengkonstruksi berita yang ingin disampaikan oleh Republika dan Suara
Pembaruan. Dalam pemilihan narasumber berita, Suara Pembaruan memilih narasumber yang mereka anggap dapat mewakili ketidak setujuan mereka
terhadap RUU Ormas sehingga pendapat dari narasumber tersebut sesuai dengan framing yang ingin mereka bentuk terhadap isi pemberitaan. Kutipan narasumber
yang dipilih Suara Pembaruan kurang lebih akan menampilkan simbol yang bisa mempengaruhi makna yang akan disampaikan.
“Pengelolaan issue itu dengan pemilihan narasumber itu kita mau apa dulu terhadap issue tersebut. Ya karena kita sudah mempunyai inventaris,
inventarisasi narasumber, nah kan kita media punya agenda setting jadi kita akan memilih narasumber yang sesuai dengan kearah mana atau sesuai
dengan agenda media kita dalam mengarahkan pemberitaan tersebut.”
7
Berbeda dengan Suara Pembaruan, Republika dalam menentukan narasumber melihat dari sumber yang lebih terdekat untuk berita peristiwa, tetapi
untuk berita politik Republika memilih narasumber yang layak dan dapat
7
Wawancara dengan Aditya L. Djono selaku Redaktur Pelaksana I Suara Pembaruan, Jakarta 03 Desember 2013.
dipercaya. Berikut hasil wawancara penulis dengan Redaktur Rubrik Nasional Republika, Fitriyan Zamzami :
“Misalkan lingkaran pertama untuk berita peristiwa mengenai sesuatu, biasanya kita cari orang yang paling dekat dengan peristiwa itu yang paling
penting kalo ga ada kita cari ke lingkaran kedua. Berbeda lagi kalau berita politik, politik itu biasanya kan perlu analisis nah selain orang-orang yang
berada dilingkaran pertama, lingkaran kedua kita juga perlu seorang pakar. Pakarnya tentu aja yang berkecimpung soal bidang tersebut, dengan rentang
waktu tertentu, berasal dari institusi yang kredibel, kemudian pandangan-
pandangan dia kita anggap katakanlah layak dipercaya.”
8
Dalam teori konstruksi realitas politik, pemberitaan mengenai peristiwa politik menjadi hal yang sangat menarik bagi media massa. Liputan politik
memiliki banyak sisi yang terkait satu sama lain: ada kesadaran memilih bahasa dan simbol politik, ada kiat tertentu dalam memilih fakta dan pengemasan pesan,
dan ada kesediaan memberi ruang atau agenda untuk merilisnya. Selain itu, liputan politik juga mesti memperhitungkan berbagai faktor internal dan eksternal
masing-masing media, entah itu faktor idealisme, kepentingan ekonomi dan politik maupun ideologis.
9
Media massa menggunakan simbol-simbol atau bahasa-bahasa politik yang dikonstruksikan dari sebuah peristiwa. Dalam hal pilihan kata simbol
politik sekalipun media melakukan pengutipan langsung atau yang biasa disebut direct quotation atau menjadikan seorang komunikator politik sebagai sumber
berita, media massa tetap terlibat langsung ataupun tidak langsung dengan pilihan simbol yang digunakan sumber tersebut. Sebabnya adalah untuk setiap media
tersedia banyak pilihan ucapan narasumber yang dapat dikutip. Pengambilan
8
Hasil wawancara dengan Fitriyan Zamzami selaku Redaktur Rubrik Nasional Republika, Jakarta 10 Desember 2013.
9
Ibnu Hamad, “Konstruksi Realitas Politik Dalam Media Massa” Jakarta: Granit, 2004,
hal. 6
narasumber tertentu didasarkan atas pertimbangan tertentu dan adapun simbol yang dipilih media akan mempengaruhi makna yang muncul termasuk kutipan
wawancara, atau menentukan narasumber tertentu.
10
Selain itu, media massa memiliki kriteria-kriteria yang menjadi dasar-dasar pertimbangan untuk
memberitakan atau tidak memberitakan suatu peristiwa. Selain itu, ada pertimbangan-pertimbangan yang bersifat khusus, seperti angle sudut pandang
suatu peristiwa.
11
Banyaknya aksi protes dari ormas-ormas lokal maupun asing, dan para LSM mengenai asas Pancasila sebagai asas tunggal dalam RUU Ormas mengundang
perhatian Republika sebagai media massa untuk menginformasikan kepada khalayak bahwa asas Pancasila tidak akan membelenggu dan mencederai
kebebasan ormas dalam berorganisasi. Ketakutan para ormas dinilai Republika sangat berlebihan mengingat saat ini terdapat perbedaan zaman dengan zaman
saat rezim orde baru. Pada saat rezim orde baru, mungkin Undang-Undang Ormas ini akan menjadi undang-undang yang membatasi setiap gerak-gerik para ormas di
Indonesia karena alat kontrol sepenuhnya berada di tangan pemerintah. Republika sangat memahami ketakutan para ormas yang memiliki pandangan
bahwa RUU Ormas akan membangkitkan rezim order serta bersifat represif juga tidak bisa disalahkan. Hal ini mengingat, bangsa Indonesia memiliki trauma dan
mempunyai sejarah panjang terhadap mengkebiri kebebasan dalam berorganisasi. Oleh sebab itu, Republika kedepannya akan turut mengawasi RUU Ormas agar
kekhawatiran para ormas mengenai masalah membatasi hak berserikat dan
10
Ibid, hal.16
11
Sudirman Tebba, Jurnalistik Baru. Jakarta: Kalam Indonesia hal. 154
berkumpul tidak benar-benar terjadi, seperti yang dikemukakan oleh Redaktur Rubrik Nasional dan Politik Republika dalam wawancara sebagai berikut:
“Begini ya, kita ini bangsa yang hidup dalam trauma sedemikian lama soal pembubaran organisasi. Dulu Soekarno membubarkan Masyumi dan PKI,
bubarkan segala macam, jadi kita piker ketakutan dari kawan-kawan berasalan soal thal tersebut. Kita punya sejarah panjang soal menciderai
kebebasan kita sendiri, kami melihatnya memang berlebihan tetapi kami ngeliatnya juga tidak salah. Disitulah kami ada untuk mengawasi bahwa
regulasi yang ditetapkan pemerintah jangan sampai menciderai kebebasan
berserikat dan bernegara.”
12
Sama dengan Republika, Suara Pembaruan melihat asas Pancasila juga bukan
sebagai suatu hal yang harus dipermasalahkan. Suara Pembaruan melihat negara Indonesia memiliki persatuan yang kuat seperti saat ini berkat adanya Pancasila.
Tetapi, yang sangat penulis sayangkan dalam pemberitaan mengenai asas Pancasila Suara Pembaruan tidak fokus memberitakan asas Pancasila saja, tetapi
juga memberitakan topik lain, yakni isu tentang pembubaran Lembaga Amal Zakat LAZ.
Pendapat dari Ronald Rofiandi mengenai adanya RUU Ormas mengancam terjadinya pembubaran LAZ. Pendapat yang dikemukakan Ronald dalam berita ini
tentu saja bisa mengakibatkan kesalahpahaman bahkan bisa menimbulkan konflik. Menurut Ramlan Surbakti, konflik adalah perbedaan pendapat, perdebatan,
persaingan, bahkan pertentangan dan perebutan dalam upaya mendapatkan dan atau mempertahankan nilai-nilai. Oleh karenanya, menurut pandangan konflik,
pada dasarnya politik adalah konflik. Pandangan ini ada benarnya sebab konflik merupakan gejala yang serba hadir dalam masyarakat, termasuk dalam proses
12
Hasil Wawancara dengan Fitriyan Zamzami, selaku redaktur Rubrik Nasional dan Politik Republika. Jakarta 10 Desember 2013
politik. Selain itu, konflik merupakan gejala yang melekat dalam setiap proses politik.
13
Di sinilah pemberitaan media massa yang menjadikan sebuah nilai berita yang tinggi yaitu konflik. Apalagi, kalau konflik terjadi dalam dunia
perpolitikkan. Media massa menjadi saran informasi tentang hal-hal apa saja yang terjadi di dunia ini. Seluruh fakta sosial yang dilihat dari perspektif konflik,
memiliki nilai tinggi dalam standar kelayakan berita. Sebagai bagian integral dari kebudayaan Indonesia, Pancasila dengan
sendirinya merupakan teks terbuka. Sebagai teks terbuka, Pancasila adalah ideologi terbuka. Menjadikan Pancasila sebagai teks tertutup melalui penunggalan
penafsiran atasnya sama saja mengingkari hukum kebudayaan yang bersifat dinamis dan berubah sejalan dengan kehidupan manusia sebagai aktor pencipta
kebudayaan. Dengan kata lain, Pancasila adalah tempat bersemayam beragam
kebudayaan etnik, bahasa, agama, dan sebagainya di mana tiap masyarakat dengan adat istiadatnya mengalami dinamika sepanjang waktu. Dinamika pada
akhirnya akan memengaruhi cara pandang terhadap dasar negara, Pancasila. Selama cara pandang tersebut tidak berlawanan dengan nilai-nilai universal
kemanusiaan dan prinsip persatuan dan kesatuan Indonesia, Pancasila dapat dibenarkan.
Selain asas Pancasila yang menuai kontroversi, pasal yang dianggap bermasalah lainnya adalah pasal mengenai transparansi pendanaan ormas. Dalam
hal ini, Republika dan Suara Pembaruan memiliki pandangan yang berbeda.
13
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik Jakarta: PT Gramedia Widiasarna Indonesia. H. 149-150.
Penulis melihat adanya kecurigaan Republika terhadap ormas-ormas mauun LSM, terkait penolakan yang begitu kuat dari para ormas tersebut meskipun pasal-pasal
yang dianggap tadinya bermasalah telah diubah oleh pemerintah. Hal ini terbukti dari adanya pemberitaan Republika terkait hal tersebut. Dalam pemberitaannya,
Republika mencurigai adanya ketakutan para ormas terhadap pasal yang menyuruh semua ormas melakukan transparansi dana.
Para ormas yang pada akhirnya tetap melakukan aksi penolakan terhadap RUU Ormas, dinilai hanya mencari-cari alasan agar RUU Ormas tersebut
dibatalkan. Kecurigaan Republika ini terkait banyaknya ormas di Indonesia dijadikan mata-mata untuk kepentingan asing.
Berbeda dengan Suara Pembaruan yang cenderung kontradiktif dan melihat ada aspek hukum dalam kasus ini, Republika sebagai media Islam
terbesar justru melihat aspek yang berbeda dari Suara Pembaruan, yakni menilai dari sisi moralitas serta perihal transparansi pendanaan. Dalam keseluruhan berita
yang tekait pro kontra kasus RUU Ormas, awalnya Republika memang cenderung berada pada posisi yang tidak memihak pihak manapun, baik itu pihak pembuat
undang-undang ataupun para ormas yang kontra. Tetapi, setelah adanya revisi yang dilakukan DPR terhadap pasal-pasal yang dianggap bermasalah, Republika
agak bergeser dari ketentuan awal. Fitriyan Zamzami, Redaktur Rubrik Nasional Republika, mengatakan
dalam memberitakan sebuah berita Republika berpegang pada nilai-nilai keislaman yang harus mereka tegakkan. Republika dalam memberitakan dan
mengemas berita tidak hanya melihat berita tersebut sebagai sensasi belaka, melainkan melihat esensi atau isi dari pemberitaan tersebut.
Dalam menentukan berita mana yang akan dimuat, Republika cetak berbeda dengan Republika online. Apabila di online lebih mengutamakan aktualisasi
berita, berbeda dengan Republika cetak. Di cetak semua berita dari reporter dikumpulkan menjadi satu, lalu berita tersebut dipilih dan diarahkan sesuai
dengan framing Rrpublika. “Kami berbeda dengan koran online, kalau dari online apa yang
mereka dapatkan dari reporter langsung mereka naikkan menjadi berita tetapi kalau kami tidak, apa yang dari reporter dikumpulkan dulu, kami
pilah, kami lihat apa fakta yang kurang, apa yang janggal, apa fakta yang perlu diperdalam kita kita teruskan lagi ke reporter mereka mendalami
hasil akhir akan kami rancang lagi, kami susun lagi sesuai dengan framing kita.”
14
Dari wawancara diatas, penulis dapat simpulkan Republika ternyata tidak memaparkan berita yang sebenarnya. Didalam isi berita yang dimuat ternyata
telah mengalami perubahan sesuai dengan agenda media yang republika ingin tampilkan pada pemberitaan tersebut. Demikan dengan Suara Pembaruan juga
melakukan hal yang sama, mengkonstruksi kembali berita yang akan diangkat susai dengan arah framing yang akan ditonjolkan. Intinya, setiap media pasti
mengkonstuksi kembali berita yang telah diperoleh di lapangan, karena dibalik pemberitaan tersebut pasti memiliki agenda media yang berbeda serta framing
yang berbeda juga. Menurut Eriyanto dalam menyajikan sebuah berita tidak semua peristiwa
dilaporkan. Berita yang akan di berikan pada publik harus di nilai terlebih dahulu, berita mana yang mempunyai nilai berita yang tinggi. Jika dalam sebuah peristiwa
yang ada wartawan sudah dapat melihat ada bagian peristiwa yang menarik untuk
14
Wawancara dengan Fitriyan Zamzami selaku redaktur rubrik Nasional Republika, Jakarta 10 Desember 2013.
dijadikan berita maka bagian itulah yang akan ditekankan untuk selalu diberitakan.
15
Peristiwa itu baru disebut mempunyai nilai berita dan karenanya layak diberitakan, jika peristiwa itu berhubungan dengan elit atau orang yang terkenal,
memiliki nilai dramatis, terdapat unsur humor, human interest, dapat memancing kesedihan, keharuan, dan sebagainya. Secara sederhana, semakin besar peristiwa
dan semakin besar dampak yang ditimbulkannya, lebih memungkinkan dihitung sebagai berita. Bencana, perang, konflik, kejadian yang jarang, kelucuan atau
tragik-lebih memungkinkan dihitung sebagai berita. Peristiwa pembunuhan mungkin sekarang tidak lagi berita, tetapi pembunuhan yang diikuti dengan
pemotongan bagian tubuh korban, atau pembunuhan yang melibatkan orang terkenal, baru masuk dan dikategorika sebagai berita.
16
Menurut Sieber, dalam hal ini posisi pers atau media seharusnya bisa lebih mengungkapkan kepada masyarakat mengenai informasi yang bersifat jujur,
jernih dan seluas mungkin mengenai apa yang layak dan perlu diketahui oleh masyarakat. Karena, nantinya pemberitaan di justru memperluas eskalasi konflik
dan kedua, dapat juga membantu meredakan dan menyelesaikan konflik. Berbeda dengan pemberitaan Republika, apabila Republika lebih
mengutamakan pemberitaan yang berisi mengenai kecurigaan Republika terhadap ormas-ormas yang tidak mau melaporkan pendanaan mereka tanpa melihat atau
menonjolkan aspek hukum yang berlaku. Suara Pembaruan cenderung melihat kasus transparansi pendanaan ormas sebagai aspek hukum ada sanksi yang
15
E riyanto, “Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media”Yogyakarta:
LKiS, 2002
16
Ibid., h. 104-105.
dikenakan bagi ormas-ormas yang keberatan melaporkan pendanaan mereka kepada pemerintah.
Untuk persoalan transparansi dana, Republika memng banyak memberitakan mengenai hal tersebut. Berbeda dengan Suara Pembaruan
mengenai transparansi dana, Suara Pembaruan hanya membahas pada satu edisi berita.
Pandangan Islam terdapat penjelasan mengenai transparansi pendanaan. Harta yang ada pada manusia, sesungguhnya bukan milik manusia, melainkan
hanya titipan dari Allah swt agar dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kepentingan umat manusia, yang pada akhirnya semua akan kembali kepada Allah swt untuk
dipertanggungjawabkan, baik dari aspek produksi, distribusi dan konsumsi. Shidiq kejujuran adalah suatu kewajiban. Dalam pengelolaan anggaran
kejujuran tersebut tidak bisa dijalankan kecuali dengan penerapan prinsip transparansi anggaran. Berdasarkan kaidah tersebut maka, melakukan transparansi
anggaran adalah wajib. Hal ini berarti, dalam pandangan Islam, menghindari transparansi anggaran adalah kemaksiatan. Penerapan shidiq sangat berkaitan
dengan amanah .
Bila amanah kuat, maka berkembanglah shidiq. Dalam hal ini shidiq berkaitan dengan proses informasi anggaranatau akuntabilitas anggaran
pertanggungjelasan anggaran, sedangkan amanah berkaitan dengan kesetiaan untuk mengalokasikan dan mendistribusikan anggaran kepada yang berhak dalam
rangka implementasi
nilai-nilai kemanfaatan,
kesejahteraan dan
pertanggungjawaban.
Menurut Stuart Hall, nilai berita adalah salah satu struktur yang paling buram makna dalam masyarakat modern. Semua wartawan sejati seharusnya
memilikinya, beberapa dapat atau bersedia untuk mengidentifikasi dan menentukan itu. Wartawan berbicara tentang berita seolah-olah peristiwa pilih
sendiri. Kami tampaknya menangani, maka, dengan struktur dalam yang fungsinya sebagai perangkat selektif tidak transparan bahkan bagi mereka yang
profesional harus tahu bagaimana mengoperasikannya.
17
Republika menganggap kasus pro kontra RUU ormas ini sebagai berita penting dimana masyarakat harus tahu karena hal ini mencangkup kehidupan
masyarakat Indonesia yang madani, dan kasus ini dianggap akan berdampak pada kehidupan masyarakat yang demokratis. Sementara, Suara Pembaruan
menganggap kasus pro kontra RUU Ormas sebagai aspek hukum yang seharusnya pemerintah lebih tegas dalam bertindak kepada ormas-ormas yang melanggar
tertib hukum dan tertib sosial. Hal tersebut merupakan awal dari bagaimana sebuah media
mengkonstruksi sebuah berita. Dalam teori framing akan terlihat bagaimana realitas itu hadir di hadapan pembaca karena itu sangat potensial terjadi peristiwa
yang sama dikonstruksi secara berbeda. Inilah yang terjadi dalam pemberitaan di kedua media massa yaitu Republika dan Suara Pembaruan.
Jadi dapat disimpulkan Republika dan Suara Pembaruan menonjolkan berita yang berbeda. Berita sebagai proses konstruksi media tidak merefleksikan
17
E riyanto, “Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media”Yogyakarta:
LKiS, 2002. Dikutip dari Pamela J. Shoemaker, “Hardwires for News: Using Biological and
Cultural Evolution to Explain the Surveillance Function”. Journal of Communication, Vol. 46. No. 3, 1996, hlm. 37.
fakta tunggal dan objektif. Berita yang dibaca khalayak adalah hasil dari proses panjang konstruksi yang dilakukan oleh awak media. Republika dan Suara
Pembaruan mempunyai pandangannya sendiri terhadap kasus pro kontra RUU Ormas, hal tersebut dilandaskan dengan kebijakan serta ideologi yang berbeda di
masing- masing media. Jadi, baik Republika maupun Suara Pembaruan memandang suatu peristiwa dengan berbeda dan mengkonstruksnya dengan
berbeda pula.
76
BAB V PENUTUP