xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama dakwah, yaitu agama yang menugaskan umatnya untuk menyiarkan ajaran Islam kepada seluruh umat manusia sebagai
rahmatan lil-alamin . Islam dapat menjamin terwujudnya kebahagiaan dan
kesejahteraan manakala ajaranya dijadikan pedoman hidup dan dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen. Dan usaha penyiaran Islam dalam realitas
ajarannya melalui dakwah. Perjalanan dakwah Islam yang dikembangkan oleh Nabi Muhammad
Saw, beserta para sahabat dan pengikutnya dari zaman Pra teknologi sampai era globalisasi saat ini, tengah mengalami sebuah perubahan, baik pengertian
maupun persepsi masyarakat tentang dakwah Islam secara definitif. Pada hakekatnya dakwah merupakan upaya mempengaruhi seseorang
dalam bertindak dan berprilaku, melalui dakwah diharapkan akan mampu merubah kepribadian seseorang baik secara individu maupun kolektif.
Dakwah Islam dan perubahan sosial merupakan unsur yang sangat mempunyai pengaruh satu sama lainnya.
Dakwah untuk saat ini, tidak lagi diartikulasikan secara praktis dan simpel sebagai salah satu kegiatan dalam penyampaian sebuah ajaran agama
melalui ceramah, tablihg, maupun khutbah. Namun dewasa ini, dakwah dapat
xv dilakukan dengan berbagai macam cara sesuai dengan keahlian dan
keterampilan para pelaku dakwah. Islam telah mewajibkan kaum muslimin untuk mengembangkan
dakwah islamiyah di setiap waktu dan kesempatan. Kaum muslimin wajib berusaha merubah keadaan mereka, terutama tatkala kekufuran telah
merajalela dan Islam telah lenyap dari kehidupan. Di samping itu, Syaikh Mustofa Al-Galaya seperti dikutip oleh H.
Amura menyebutkan dalam bukunya, Al-Islam Ruhul Madaniyah bahwa dakwah adalah “kehidupan agama, tidak akan berdiri agama tanpa dakwah,
serta kebaikannya harus disebarluaskan”.
1
Dakwah Islam yang dilakukan Rasulullah kepada umatnya sangat bijaksana dan patut untuk di contoh, sebab tiap kali beliau melangsungkan
dakwahnya, ia selalu melihat kondisi serta situasi yang sesuai dengan kebijakan umat mad`u serta berbicara pada bidang yang mereka pahami.
Telah menjadi Sunnatullah bahwa manusia mempunyai pola berfikir yang berbeda, mulai dari tingkat kecerdasan, perasaan, tabiat, sikap, sifat, tingkah
laku, serta keinginan dan bakatnya. Landasan inilah yang mengharuskan Nabi Muhammad Saw untuk
mengambil langkah dalam memilih metode yang sesuai dengan obyeknya.
1
Amura, Tentang Unsur Dakwah Dalam Film, Perfilman di Indonesia Pada Masa Orde Baru,
Lembaga Komunikasi Islam, Jakarta, tt, h. 115
xvi Sebagaimana Fathiyakan mengatakan bahwa “untuk mempengaruhi suatu
obyek harus memilih metode yang sesuai dengan taraf kecerdasan”.
2
Sebagai umatnya wajib untuk meneruskan dakwah Nabi Muhammad Saw, yaitu dengan mengajak manusia untuk selalu mengerjakan yang ma`ruf
dan meninggalkan yang munkar, sesuai dengan ajaran Islam. Muhammad Ahmad Al-Dawi mengatakan:
Merupakan kewajiban untuk sebagian manusia untuk melaksanakan dakwah, mengajak kepada jalan yang ma`ruf dan mencegah segala
kemunkaran. Dalam berdakwah memang membutuhkan ketangguhan serta kekuatan hingga ajaran agama tidak tersia-siakan dan mencelakakan
manusia, sebab hakikat dakwah yang sebenarnya adalah membina dan mempersatukan seluruh umat manusia serta menyelamatkan mereka dari
kesengsaraan dunia dan akhirat.
3
Menyadari akan pentingnya dakwah sebagai pembinaan umat manusia ke arah tercapainya kebahagiaan dunia dan akhirat kelak, maka sudah
selayaknya kegiatan dakwah harus mendapat perhatian serta penanganan yang khusus dan serius dengan menggunakan metode dan sarana-sarana yang dapat
diterima oleh sasaran dakwah dimaksud. Seiring dengan perkembangan zaman, bahwa kegiatan dakwah harus
terus dapat berkembang dan dikemas dengan berbagai macam metode serta sarana yang khusus agar lebih efektif demi tercapainya tujuan dakwah,
sehingga dakwah dapat diterima di semua kalangan. Salah satu sarana dakwah adalah Tarekat, yang dikembangkan dengan
metode dakwah bil lisan, bil hall dan bil qalam, sebagai alat dalam
2
Fathiyakan, Bagaimana Kita Memanggil Kepada Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1997 Cet. Ke-1 h. 36
3
Muhammad Ahmad Al – Dawi, Buku Pintar Para Da`i, Surabaya: Dua Ilmu. 1991 Cet. Ke-2, h. 6.
xvii mengkomunikasikan nilai-nilai ajaran Islam. Tarekat merupakan salah satu
media alternatif dalam berdakwah, jelas tidak tabu dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, sebab ajaran tarekat memuat kalimat-kalimat zikir yang
selalu mengingatkan jamaahnya kepada Allah. Dari sekian banyak metode, sarana, dan media yang digunakan dalam
berdakwah, maka dengan ini penulis tertarik untuk membahas serta mengkaji secara rinci tentang dakwah Islam melalui kegiatan ajaran dan pengamalan
tarekat. Tarekat berasal dari kata bahasa Arab Thariqat yang artinya jalan,
keadaan , aliran dalam garis sesuatu, seperti dalam al-Qur`an surat al-Jin ayat
16:
ﻡ ﺱ ی
ﺱ ﻡ
+ ,
Artinya : “ Dan bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu agama Islam, benar–benar kami akan memberi minum
kepada mereka air yang segar rizqi yang banyak ”. Q.S : 72 : 16 .
Yang dimaksud jalan di sini adalah jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah Taqarrabun Ilallah, berupa suatu perbuatan yang ditentukan dan
dicontohkan Rasulullah, dikerjakan oleh para tabi’in kemudian diteruskan secara turun temurun sampai kepada guru tarekat.
4
Agar dapat mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Suci, ruh manusia harus lebih dahulu disucikan.
Sufi-sufi besar kemudian merintis jalan tersebut sebagai media untuk penyucian jiwa yang dikenal dengan nama tariqat jalan.
4
Budi Munawar Rahman dan Asep Usman Ismail, Cinta di Tempat Matahari Terbit, Ulumul Qur`an No 8 Vol. 2 1991 h. 100
xviii Jalan dalam terekat itu antara lain terus menerus berada dalam naungan
zikir atau ingat selalu kepada Tuhan dan terus menerus menghindarkan diri dari sesuatu yang melupakan Tuhan.
5
Dengan demikian kiranya dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan :
Tarekat adalah jalan yang bersifat spiritual bagi seorang sufi yang di dalamnya memuat amalan-amalan ibadah yang dapat mempertemukan
seorang hamba dengan Tuhannya dengan menyebut nama Allah serta sifat-sifatnya yang disertai dengan penghayatan yang mendalam. Amalan
dalam tarekat ini di tujukan untuk memperoleh hubungan sedekat mungkin dengan Tuhan.
6
Sebagai awal munculnya tarekat, tashawuf pada waktu itu telah mencapai tujuan zaman keemasannya pada abad ketiga dan keempat Hijriyah.
Dari zaman inilah timbul beberapa tarekat yang menurut Hujwiri dalam kitabnya Kasyf al-Mahjub ada 10 :
1. Al – Muhasibiyyah dinisbatkan kepada Al-Harist ibn As’ad Al-Muhasibi
2. Al – Qassariyyah dinisbatkan kepada Hamdan ibn Ahmad al-Qassar
3. Al – Taufuriyyah dinisbatkan kepada Abu Yazid taifur ibn Isa al-Bistami
4. Al – Junaydiyyah dinisbatkan kepada Abu Qasim al-Junayd al-Bagdadi
5. Al – Nurriyyah dinisbatkan kepada Abu Husein al-Nurri
6. As – Sahliyah dinisbatkan kepada Sahl ibn Abdullah al-Tasturri
7. Al – Hakimiyyah dinisbatkan kepada Abdullah Muhammad ibn al-Hakimi
8. Al – Kharazjiyyah dinisbatkan kepada Abu said al – Kharaz
9. Al – Khaffiyyah dinisbatkan kepada Abu Abdullah Mahmud ibn Khaff
5
Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta 200 h. 270
6
Ibid, h. 271
xix 10.
Al – Sayriyyah dinisbatkan kepada Abu Abbas al – Sayyar. Tarekat di atas adalah sebagian tarekat yang termashur pada zaman
keemasan Islam. Mereka telah mewariskan banyak petuah kerohanian yang sangat berharga bagi kehidupan kesuffian dan juga berbeda dengan penafsiran
yang dikenal dengan penafsiran lahiriyah seperti yang terdapat di kalangan fuqoha dan ulama kalam.
Selanjutnya tarekat yang dimaksud penulis adalah Tarekat Idrisiyah, kegiatan tarekat Idrisiyah dirasakan keberadaannya bukan hanya di Kota-kota,
tapi juga sampai ke wilayah pedesaan. Pengikut tarekat inipun sangat bervariasi mulai dari kalangan Cendikiawan, Pengusaha dan Politisi, laki-laki
dan perempuan, tua dan muda, serta meliputi banyak profesi lainnya Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan
sebuah penelitian ilmiah yang akan dituangkan dalam bentuk skripsi dengan
judul “Dakwah dan Tarekat” Analisis Majlis Taklim Al-Idrisiyah Melalui Tarekat di Batu Tulis Gambir Jakarta Pusat .
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah