Nilai Sosial Metode Penelitian

9 serta keindahan dalam isi dan ungkapannya. Ada tiga aspek yang harus ada dalam sastra, yaitu keindahan, kejujuran, dan kebenaran. Kalau ada sastra yang mengorbankan salah satu aspek ini, misalnya karena alasan komersial, maka sastra itu kurang baik. Sastra pun terdiri atas tiga jenis, yaitu puisi, prosa dan drama. 4 Banyak sudah definisi sastra yang telah dikemukakan oleh para ahli sastra. Pada dasarnya, definisi tersebut mempunyai dasar pengertian yang sama, meskipun diuraikan dengan kalimat dan bahasa yang berbeda. 5 Secara intuitif, memang siapapun mengetahui apa yang disebut sastra itu. Namun, deskripsi dari pengertian yang ada pada pikiran kita itulah yang masih sulit dirumuskan dalam bentuk kalimat yang tepat. Jika kita mencoba merumuskan definisi sastra berdasarkan intuisi tersebut biasanya banyak gejala yang luput dari kalimat yang kita susun. Sebagai contoh, merumuskan kata sastra saja, masih banyak perbedaan persepsi. Sastra misalnya dalam bahasa sansekerta berasal dari kata sas yang berarti mengarahkan, memberi petunjuk atau instruksi, sedang tra berarti alat atau sarana. 6 Pengertian tentang sastra yang berlaku pada zaman Romantik tidak merupakan suatu kesatuan. Tidak semua tokoh Romantik mempunyai pendapat yang sama mengenai sastra. Sekalipun demikian kita dapat menyebut beberapa ciri yang selalu muncul kembali. a. Sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan pertama- tama sebuah imitasi. Sang seniman menciptakan sebuah dunia baru, meneruskan proses penciptaan di dalam semesta alam, bahkan menyempurnakannya. Sastra terutama merupakan suatu luapan emosi yang spontan. 4 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Buku Praktis Bahasa Indonesia Jilid 1, Jakarta Timur, Cetakan keenam, 2009, h. 159. 5 Zainuddin Fananie, Telaah Sastra, Surakarta: Muhamadiyah University Press, 2002, h.3. 6 A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra, Jakarta: Pustaka Jaya, 1984, h. 23. 10 b. Sastra bersifat otonom, tidak mengacu kepada sesuatu yang lain; sastra tidak bersifat komunikatif. Sang penyair hanya mencari keselarasan di dalam karyanya sendiri. 7 Karya sastra adalah artefak, adalah benda mati, baru mempunyai makna dan menjadi objek estetik 8 bila diberi arti oleh manusia pembaca sebagaimana artefak peninggalan manusia purba mempunyai arti bila diberi makna oleh arkeolog. Seperti telah dikemukakan bahwa karya sastra sebagai artefak tidak mempunyai makna tanpa diberi makna oleh pembaca. Disini faktor pembaca menjadi penting sebagai pemberi makna. Dalam memberi makna kepada karya sastra itu, tentulah kritikus pembaca tidak hanya semau-maunya melainkan terikat kepada teks karya sastra sendiri sebagai sistem tanda yang mempunyai konvensi sendiri berdasarkan kodrat atau hakikat karya sastra. 9 Karya sastra tidak lahir dalam situasi kosong, tidak lepas dari sejarah sastra. Artinya sebelum karya sastra dicipta, sudah ada karya sastra yang mendahuluinya. Pengarang tidak begitu saja mencipta, melainkan ia menerapkan konvensi-konvensi yang sudah ada. Karya sastra selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan revolusi, antara yang lama dan yang baru. 10 Oleh karena itu, untuk memberi makna karya sastra, maka prinsip kesejarahan harus diperhatikan. Definisi-definisi sastra yang ada yang selama ini sering dijadikan patokan tentang pengertian sastra, umumnya masih bersifat parsial sehingga belum mampu memberikan gambaran pengertian sastra secara utuh. Keparsialan definisi tersebut oleh Jan Van Luxemburg, digolongkan menjadi 4 bagian yang meliputi: 7 Luxemburg. Op. cit., h. 5 8 Ibid., h.191 9 Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya, Yogyakarta: Pustaka Belajar,1995, h. 107. 10 Ibid., h. 112.