35
Sebagai sastrawan, Nh. Dini menulis berbagai genre sastra, yaitu puisi, drama, cerita pendek, dan novel. Akan tetapi, dia sangat terkenal
sebagai novelis. Bakat kepengarangannya terbina sejak kecil, terutama karena dorongan ayahnya yang selalu menyediakan bacaan bagi putri
bungsunya ini. Dia baru menyadari bahwa bakat menulisnya muncul ketika gurunya di sekolah mengatakan bahwa tulisannya merupakan yang
terbaik di antara tulisan kawan-kawannya dan tulisannya dijadikan sebagai contoh tulisan yang baik. Dia memupuk bakatnya dengan selalu
mengisi majalah dinding di sekolahnya. Dia juga menulis esai dan puisi secara teratur dalam buku hariannya. Tahun 1952 puisi Nh. Dini dimuat
dalam majalah Budaja dan Gadjah Mada di Yogyakarta dan juga dibacakan pada acara “Kuntjup Mekar” di Radio Jakarta. Cerpennya
dimuat di dalam majalah Kisah dan Mimbar Indonesia, seperti “Kelahiran” 1956, “Persinggahan” 1957, dan “Hati yang Damai”
1960. Di dalam lembar kebudayaan majalah Siasat dimuat cerita pendek yang berjudul “Penungguan” 1955, “Pagi Hudjan” 1957,
“Pengenalan” 1959, “Sebuah Teluk” 1959, “ Hati yang Damai” 1959. Dan “Seorang Paman” 1960.
Bakat kesenimanannya tidak terbatas pada karya sastra. Bersama kakaknya, Teguh Asmar, Nh. Dini mendirikan perkumpulan seni
“Kuntjup Seri” yang kegiatannya berlatih karawitan atau gamelan, bermain
sandiwara, dan menyanyi, baik lagu-lagu Jawa maupun lagu Indonesia. Di samping aktif dalam kegiatan itu, Nh. Dini juga masih sempat bekerja
sebagai anggota redaks i ruangan “Kebudayaan” dalam majalah pelajar
kota Semarang, Gelora Muda. Kariernya sebagai sastrawan diawali dengan menulis puisi dalam
buku harian. Selanjutnya, dia aktif menulis drama yang disajikan di RRI Semarang. Dalam acara lomba drama, cerita pendek juga merupakan
kegiatan lain yang digarapnya. Cerita-cerita pendek itu kemudian dimuat
36
dalam berbagai media massa. Ada juga cerita pendeknya yang sudah diterbitkan dalam kumpulan cerita pendek.
Tentang kesusastraannya, A. Teeuw berpendapat dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II, 1989 bahwa Nh. Dini adalah pengarang sastra
prosa Indonesia modern terkemuka. Menurut Teeuw, novel-novelnya sangat mengesankan, baik jumlah maupun mutunya. Karya-karyanya
dipuji sebagai karya yang menunjukkan jejak-jejak kecenderungan dan pengalaman internasional sang pengarang, bukan sebagai novelis pertama-
tama. Walaupun demikian, dia hampir tidak terpengaruh oleh penulisan novel Barat Modern, tetapi berpegang pada pribadinya.
2
B. Sinopsis
Bu Suci adalah seorang guru SD yang selalu memiliki tanggung jawab besar untuk menjalankan profesinya. Pada suatu hari, ia harus
pindah mengajar ke Semarang karena suaminya dipindahtugaskan ke kota tersebut. Dalam hatinya telah terbayang masa penantian yang lama
sebelum ia mendapatkan tempat mengajar yang baru. Ia membayangkan bahwa hari-harinya yang dilalui di kota itu akan dirasakan sangat panjang
dan menyiksa. Namun, semua yang dibayangkan itu menjadi sirna ketika diterima disebuah sekolah dasar yang tidak jauh dari tempat tinggalnya.
Bahkan, ia dipercaya memegang dua kelas sekaligus. Sejak saat itu Bu Suci menjadi guru disekolah tersebut. Ia
mendapat sambutan yang hangat dari rekan-rekan sesama guru. Ia tidak mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan lingkungannya yang baru,
sehingga ia dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Pada hari keempat, Bu Suci baru menyadari bahwa salah seorang muridnya bernama Waskito
tidak pernah masuk sekolah tanpa ada keterangan yang pasti. Tak ada satu muridpun yang mengetahui alasan ketidakhadiran Waskito. Ketika ia
2
Ibid., h. 192.
37
menanyakan tentang murid tersebut kepada rekan guru, ia mendapat jawaban yang tidak memuaskan hatinya. Bahkan, ia diminta untuk tidak
memperdulikan ketidakhadiran Waskito karena kedatangan anak itu disekolah hanya akan menambah masalah bagi dirinya. Kenakalannya
terkadang melewati batas. Tentu saja sebagai seorang guru, hati Bu Suci terpanggil untuk melakukan pendekatan intensif kepadanya. Menurutnya,
anak semacam Waskito perlu mendapatkan perhatian ekstra darinya. Pada saat yang sama, anak bungsunya terserang penyakit ayan.
Kedua hal ini membebani pikirannya. Ia bingung untuk menentukkan mana yang lebih dulu ditanganinya. Ketika ia memilih anaknya, panggilan
hatinya sebagai
seorang guru
menyentak-nyentak hatinya.
Ia mengharapkan semua muridnya menjadi anak yang baik yang berguna
bagi nusa dan bangsa. Sebaliknya, bila ia mengutamakan muridnya, ia akan mengalami berdosa jika si bungsu mengalami penderitaan yang
panjang karena kurang mendapat perhatian darinya sehingga masa depannya akan menjadi suram. Diantara kebimbangan itulah, ia
memutuskan untuk memilih keduanya. Ia tetap memperhatikan anak bungsunya, namun ia juga berusaha melakukan pendekatan dengan
Waskito. Pada mulanya usaha Bu Suci tidak sia-sia karena Waskito mulai rajin sekolah dan tidak menampakkan kenakalannya. Namun, beberapa
hari kemudian ia kembali pada sifatnya semula. Bu Suci mulai membenarkan pendapat rekan-rekan sesama guru bahwa Waskito tidak
akan pernah berubah menjadi murid yang baik karena ia telah terbiasa dimanja dengan harta.
Kepala sekolah yang mengetahui masalah Waskito memberikan waktu satu bulan kepada Bu Suci untuk melakukan pendekatan kepada
anak itu. Dalam hati Bu Suci muncul keyakinan bahwa ia harus mencari cara pendekatan yang tepat untuk menghilangkan kenakalan anak itu.
Usahanya tidak sia-sia karena tak berapa lama kemudian tingkah laku Waskito menunjukkan perubahan kearah yang positif. Ia menjadi murid
38
yang baik, bahkan ia berhasil naik kelas. Bu Suci merasa bangga karena tujuannya tercapai. Kebahagiaan Bu Suci semakin bertambah ketika anak
bungsunya dinyatakan sembuh dari penyakitnya.