Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masalah kemiskinan mendapatkan prioritas utama dalam agenda Pembangunan setelah terjadi krisis ekonomi dan politik pada pertengahan tahun 1997. Hal ini tercermin dalam Program Pembangunan Nasional Propenas 2001-2004 yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan menggunakan konsep pemberdayaan masyarakat. Secara subtansial kemiskinan merupakan salah satu akar dari masalah kesejahteraan sosial disamping berbagai masalah sosial lainnya. Menurut Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 1998 mencapai 79,4 juta jiwa atau 33,9 dari jumlah penduduk Indonesia BPS, 1998. 1 Upaya pembangunan kesejahteraan rakyat saat ini menunjukan hasil yang cukup baik namun demikian disadari bahwa tujuan untuk mewujudkan keadilan sosial yang merata bagi keseluruhan rakyat Indonesia belum sepenuhnya tercapai mengingat cakupan permasalahan sosial begitu luas dan sangat kompleks seperti masalah kemiskinan, keterbelakangan, pengangguran, masalah kependudukan, kerawanan sosial, dan lain lain. Untuk itulah salah satu agenda dan prioritas utama RPJMN 2004-2009 : “Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat melalui Penanggulangan Kemiskinan”. Jumlah penduduk miskin penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan di Indonesia pada bulan Juli 2008 sebesar 34,96 juta orang atau 15, 42 BPS, 2008. Dibandingkan dengan penduduk miskin pada bulan Maret 2007 yang berjumlah 37,17 juta orang 16,58 , berarti jumlah penduduk miskin tahun 2008 mengalami penurunan sebesar 2,21 juta orang. Jumlah pengangguran pada Februari 2008 sebesar 9,43 juta orang. Jumlah pengangguran pada tahun 2008 ini mengalami penurunan sebesar 1,12 juta orang dibandingkan dengan keadaan Februari 2007 yaitu 10,55 juta orang. Jumlah angka kerja di Indodnesia pada Februari 2008 mencapai 111,48 juta orang. Jumlah 1 Departemen Sosial RI. Masalah Sosial Di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Sosial Pusat Penelitian Permasalahan Kesejahteraan Sosial. Jakarta 2005 angka kerja tahun 2008 ini betambah 3,35 juta orang dibandingkan jumlah angka kerja pada Februari 2007 sebesar 108,13 juta orang 2 . Dampak positif dan negatif tampaknya semakin sulit dihindari dalam pembangunan, sehingga selalu diperlukan usaha untuk lebih mengembangkan dampak positif pembangunan serta mengurangi dan mengantisipasi dampak negatifnya. Gelandangan dan pengemis gepeng merupakan salah satu dampak negatif pembangunan, khususnya pembangunan perkotaan. Keberhasilan percepatan pembangunan di wilayah perkotaan dan sebaliknya keterlambatan pembangunan di wilayah pedesaan mengundang arus migrasi desa-kota yang antara lain memunculkan gepeng karena sulitnya pemukiman dan pekerjaan di wilayah perkotaan dan pedesaan. Masalah umum gelandangan dan pengemis pada hakikatnya erat terkait dengan masalah ketertiban dan keamanan yang mengganggu ketertiban dan keamanan di daerah perkotaan. Dengan berkembangnya gepeng maka diduga akan memberi peluang munculnya gangguan keamanan dan ketertiban, yang pada akhirnya akan menggangu stabilitas sehingga pembangunan akan terganggu, serta cita-cita nasional tidak dapat diwujudkan. Jelaslah diperlukan usaha-usaha penanggulangan gepeng tersebut. 3 Masalah sosial Gelandangan Pengemis gepeng merupakan fenomena sosial yang tidak bisa di hindari keberadaannya dalam kehidupan masyarakat, terutama yang berada di daerah perkotaan kota-kota besar. Salah satu faktor yang dominan mempengaruhi perkembangan masalah ini adalah kemiskinan. Masalah kemiskinan di Indonesia berdampak negatif terhadap meningkatnya arus urbanisasi dari daerah pedesaan ke kota-kota besar, sehingga terjadi kepadatan penduduk dan daerah-daerah kumuh yang menjadi pemukiman para urban tersebut. Sulit dan terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia, serta terbatasnya 2 Kementrian Kordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Penanggulangan Kemiskinan dan Pengurangan Pengangguran . Diambil pada tanggal 21 Oktober 2009 dari http:www.indonesiaontime.com 3 Saptono Iqbali, Studi Kasus Gelandangan-Pengemis Gepeng. di Kecamatan Kubu Kabupaten Karangasem, Oktober 2006. pengetahuan dan keterampilan menyebabkan mereka banyak yang mencari nafkah untuk mempertahankan hidup dengan terpaksa menjadi gelandangan dan pengemis. Berdasarkan data dari pusat data dan informasi kesejahteraan sosial pusdatinkesos Departemen Sosial RI tahun 2004, Populasi gelandangan pengemis seluruh Indonesia berjumlah 87.356 orang. Kemudian tahun 2006 mengalami penurunan sehingga populasinya menjadi 68.648 orang. Jika permasalahan ini tidak ditangani secara komprehensif dan berkesinambungan akan menimbulkan masalah yang lebih kompleks. Dampak dari meningkatnya Gelandangan dan Pengemis munculnya ketidak teraturan sosial sosial disorders yang ditandai dengan kesemrawutan, ketidaknyamanan, ketidaktertiban, serta mengganggu keindahan kota. Padahal disisi lain mereka adalah warga negara yang memiliki hak dan kewajiban yang sama, sehingga mereka perlu diberikan perhatian yang sama untuk mendapatkan penghidupan dan kehidupan yang layak. Selama ini, berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat melalui pelayanan dan rehabilitasi sosial, baik dengan system panti maupun non panti, namun belum menunjukan hasil seperti yang diharapkan. Hal ini disebabkan antara lain karena besaran permasalahan yang tidak seimbang dengan jangkauan pelayanan, keterbatasan SDM, dana, sarana dan prasarana serta kualitas pelayanan yang masih bervariasi. Disamping itu, dampak dari pemberlakuan Otonomi Daerah yakni menimbulkan Keberagaman persepsi dan upaya pelayanan dan rehabilitasi sosial di berbagai daerah. Untuk memperluas jangkauan pelayanan, Departemen Sosial RI juga berupaya melibatkan masyarakat dalam setiap pelayanan dan rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis namun hasilnya belum optimal. 4 4 Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Susila Direktorat Jendral Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Departemen Sosial RI 2007. Standar Pelayanan Minimal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Gelandangan dan Pengemis, hal 1-2 Istilah “gepeng” merupakan singkatan dari kata gelandangan dan pengemis. Menurut Depertemen Sosial R.I 1992, gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum. “Pengemis” adalah orang-orang yang mendapat penghasilan dari meminta-minta di muka umum dengan berbagai alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain. 5 Ali, dkk,. 1990 menyatakan bahwa gelandangan berasal dari gelandang yang berarti selalu mengembara, atau berkelana lelana. Dengan strata demikian maka gelandangan merupakan orang-orang yang tidak mempunyai tempat tinggal atau rumah dan pekerjaan yang tetap atau layak, berkeliaran di dalam kota, makan-minum serta tidur di sembarang tempat. 6 Menurut Mutholib dan Sudjarwo dalam Ali,dkk.,1990 diberikan tiga gambaran umum gelandangan, yaitu : 1. Sekelompok orang miskin atau dimiskinkan oleh masyarakat, 2. Orang yang disingkirkan dari kehidupan khalayak ramai, 3. Orang yang berpola hidup agar mampu bertahan dalam kemiskinan dan keterasingan. 7 Dengan mengutip definisi operasional sensus penduduk maka gelandangan terbatas pada mereka yang tidak memiliki tempat tinggal yang tetap, atau tempat tinggal tetapnya tidak berada pada wilayah pencacahan. Karena wilayah pencacahan telah habis membagi tempat hunian rumah tinggal yang lazim maka yang dimaksud dengan gelandangan dalam hal 5 Depertemen Sosial R.I 1992 dalam Studi Kasus Saptono Iqbali, gelandangan-Pengemis di Kecamatan kubu Kabupaten Karang Asem 6 Ali, dkk,. 1990 Gelandangan di kartasura, dalam Studi Kasus Saptono Iqbali, gelandangan-Pengemis di Kecamatan kubu Kabupaten Karang Asem 7 Ibid, h. 3 ini adalah orang-orang yang bermukim pada daerah-daerah bukan tempat tinggal, tetapi merupakan konsentrasi hunian orang-orang seperti dibawah jembatan, kuburan, pinggiran sungai, emperan toko, sepanjang rel kereta api, taman, pasar dan konsentrasi hunian gelandangan yang lain. Pengertian gelandangan tersebut memberikan pengertian bahwa mereka termasuk golongan yang mempunyai kedudukan lebih terhormat dari pada pengemis. Gelandangan pada umumnya mempunyai pekerjaan tetapi tidak memiliki tempat tinggal yang tetap berpindah-pindah. Sebaliknya pengemis hanya mengharapkan belas kasihan orang lain serta tidak menutup kemungkinan golongan ini mempunyai tempat tinggal yang tetap. Beberapa ahli menggolongkan gelandangan dan pengemis termasuk ke dalam golongan sektor informal. Keith Harth 1973 mengemukakan bahwa dari kesempatan memperoleh penghasilan yang sah, pengemis dan gelandangan termasuk pekerja disektor informal. Sementara itu, Jan Breman 1980 mengusulkan agar dibedakan tiga kelompok pekerja dalam analisis terhadap kelas sosial di kota, yaitu : 1. Kelompok yang berusaha sendiri dengan modal dan memiliki keterampilan 2. Kelompok buruh pada usaha kecil dan kelompok yang berusaha sendiri dengan modal sangat sedikit atau bahkan tanpa modal, dan 3. Kelompok miskin yang kegiatannya mirip gelandangan dan pengemis. Kelompok kedua dan ketigalah yang paling banyak di kota dunia ketiga. Ketiga kelompok ini masuk kedalam golongan pekerja sektor informal. Kebijakan penanggulangan gepeng yang dikembangkan adalah dengan lebih memacu pembangunan pedesaan agar serasi dengan pembangunan di daerah perkotaan. Pendekatan yang diperlukan adalah yang bersifat pendekatan holistic, yang tidak hanya terpaku pada pelaku gepeng itu sendiri tetapi berusaha menjangkau seluruh sub system yang mempengaruhi munculnya urbanisasi dan perilaku menggepeng, serta termasuk seluruh sumber daya manusia yang ada. Sumber daya manusia yang ada di pedesaan diusahakan untuk dikembangkan sebagai subyek pembangunan yang mampu memanfaatkan peluang yang ada serta menggambarkan potensi yang dimiliki dengan memperhatikan kendala yang dihadapi. 8 Perhatian pemerintah dan masyarakat secara umum terhadap perlunya standar kehidupan yang lebih baik, telah mendorong terbentuknya berbagai usaha kesejahteraan sosial. Usaha kesejahteraan sosial itu sendiri, pada dasarnya merupakan suatu program ataupun kegiatan yang didesain secara kongkrit untuk menjawab masalah, kebutuhan masyarakat ataupun meningkatkan taraf hidup masyarakat. Usaha kesejahteran sosial itu sendiri dapat ditujukan pada individu, keluarga, kelompok-kelompok dalam komunitas, ataupun komunitas secara keseluruhan baik komunitas lokal, regional, maupun nasional. Dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial, diperlukan peran masyarakat yang seluas-luasnya, baik perseorangan, keluarga, organisasi keagamaan, organisasi sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, badan usaha, lembaga kesejahteraan sosial, maupun lembaga kesejahteraan sosial asing demi terselenggaranya kesejahteraan sosial yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan. Dari hal di atas, dapat dilihat bahwa kesejahteraan sosial sebagai suatu kondisi kehidupan yang diharapkan masyarakat tidak dapat terwujud bila tidak dikembangkan usaha kesejahteraan sosial. Karena itu berjalan atau tidaknya suatu usaha kesejahteraan sosial sangat dipengaruhi oleh organisasi atau lembaga yang menyediakan usaha kesejahteraan sosial yang memperhatikan masalah-masalah sosial dan masalah kesejahteraan sosial dalam arti sempit seperti masalah yang terkait dengan prostitusi, anak jalanan, dll. 9 8 Saptono Iqbali, Studi Kasus Gelandangan-Pengemis Gepeng di Kecamatan Kubu Kabupaten Karangasem. Oktober 2006. 9 Isbandi Rukminto Adi Ilmu Kesejahteraan Sosial Dan Pekerjaan Sosial FISIP UI, 2003 h. 189 Dalam Penjelasan Atas Undang Undang Republik Indonsia Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial : Pembangunan kesejahteraan sosial merupakan perwujudan dari upaya pencapaian tujuan bangsa yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sila kelima Pancasila menyatakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Permasalahan sosial yang berkembang dewasa ini menunjukan ada warga negara yang belum terpenuhi hak atas kebutuhan dasarnya secara layak karena belum memperoleh pelayanan sosial dari negara. Akibatnya, masih ada warga negara yang mengalami hambatan pelaksanaan fungsi sosial sehingga tidak dapat menjalani kehidupan secara layak dan bermartabat, terutama bagaimana meminimalisir gepeng di kota-kota besar. Padahal tidak sedikit lapangan pekerjaan yang tersedia, namun karena mereka tidak memiliki life skill dan berpendidikan rendah, maka mereka sebagai individu tidak mampu memberdayakan kemampunnya secara maksimal untuk mencapai kesejahteraan dalam kehidupan secara mandiri. Oleh karena itu, upaya pemberian Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial gepeng perlu dilakukan. Dalam hal ini peningkatan usaha kesejahteraan sosial dilakukan oleh Panti Sosial Bina Karya PSBK Bekasi Timur Jawa Barat yang memberikan Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial yang meliputi : pembinaan fisik, mental, sosial, mengubah sikap dan tingkah laku, pelatihan keterampilan dan resosialisasi, serta pembinaan lanjut bagi penyandang masalah gelandangan dan pengemis agar mampu berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat. Visi dari Panti Sosial Bina Karya PSBK Bekasi Timur Jawa Barat adalah “Mengembalikan fungsi sosial gelandangan, pengemis dan orang terlantar secara professional agar mampu berperan aktif, bermartabat yang memiliki kemandirian dalam kehidupan bermasyarakat” dan Misinya adalah : 1. Memberikan Pelayanan Rehabilitasi Sosial Terhadap Gelandangan dan Pengemis beserta Keluarganya. 2. Memberikan pencegahan agar orang tidak menggelandang dan pengemis. 3. Menyelenggarakan pengkajian model pelayanan Rehabilitasi Sosial dan sebagai fungsi Laboratorium penanganan Gelandangan dan Pengemis beserta keluarganya. 4. Memfasilitasi peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan Pelayanan Rehabilitasi Sosial. 5. Mengembangkan sistem rujukan sebagai jaringan kerja dengan instansi terkait. Tujuannya adalah apabila mereka kembali ke kehidupan sosial yang normal, mereka dapat mengembangkan kemampuan yang dimiliki sebagai bekal hidup untuk mencari nafkah, serta diterima ditengah-tengah masyarakat untuk menjalani hidup sesuai dengan kemampuannya dan tidak kembali lagi ke profesinya semula. Dengan memberikan tahapan rehabilitasi sosial dan jenis-jenis pelayanan sosial. Dalam kaitannya dengan skripsi ini, fokus penelitian akan diarahkan hanya kepada Pelayanan Sosial di Panti Sosial Bina Karya “Pangudi Luhur” Bekasi Jawa Barat. Dari latar belakang tersebut diatas, maka peneliti mencoba mengkaji, melakukan penelitian ilmiah di Panti Sosial Bina Karya PSBK “Pangudi Luhur” Bekasi Timur Jawa Barat. Penelitian tersebut akan peneliti tuangkan dalam skripsi berjudul : “ Pelayanan Sosial Bagi Gelandangan dan Pengemis di Panti Sosial Bina Karya PSBK “Pangudi Luhur” Bekasi Jawa Barat ”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah