Analisis kepuasan pedagang terhadap pengelolaan pasar dan strategi pengembangan pasar (Kasus di pasar Citeureup I kabupaten Bogor)

(1)

ANALISIS KEPUASAN PEDAGANG TERHADAP

PENGELOLAAN PASAR DAN STRATEGI

PENGEMBANGAN PASAR

(Kasus di Pasar Citeureup I Kabupaten Bogor)

HASTAN MATTANETE

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2008


(2)

ERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Analisis Kepuasan Pedagang Terhadap Pengelolaan Pasar dan Strategi Pengembangan Pasar (Kasus di Pasar Citeureup I Kabupaten Bogor) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.

Bogor, September 2008

Hastan Mattanete


(3)

RINGKASAN

HASTAN MATTANETE. Analisis Kepuasan Pedagang Terhadap Pengelolaan Pasar dan Strategi Pengembangan Pasar (Kasus di Pasar Citeureup I Kabupaten Bogor). (Di bawah bimbingan W. H. LIMBONG dan MA’MUN SARMA).

Pasar merupakan sebuah perwujudan kegiatan ekonomi yang telah melembaga serta tempat bertemunya antara pedagang dan pembeli untuk melaksanakan transaksi di mana proses jual beli terbentuk. Tantangan yang dihadapi pasar terutama pasar tradisional adalah pelayanan dan pengelolaan yang mampu memberikan kepuasan kepada pelanggannya. Oleh karena itu Pasar Citeureup I yang merupakan pasar tradisonal dituntut untuk memberikan kepuasan kepada konsumennya.

Tujuan kajian ini adalah: (1) Mengidentifikasi karakteristik pedagang Pasar Citeureup I, (2) Menganalisis tingkat kepentingan pedagang terhadap kualitas pengelolaan Pasar Citeureup I, (3) Menganalisis tingkat kepuasan pedagang terhadap kualitas pengelolaan Pasar Citeureup I, dan (4) Menyusun rancangan program pengelolaan Pasar Citeureup I.

Metode analisis yang digunakan antara lain Importance and Performance Analysis, Customer Satisfaction Index, analisis Matriks Evaluasi Faktor Eksternal (Eksternal Factor Evaluation-EFE) dan Matriks Evaluasi Faktor Internal (Internal Factor Evaluation-IFE), analisis Matriks Kekuatan-Kelemahan-Peluang-Ancaman (SWOT), dan analisis Matriks Perencanaan Strategis Kuantitatif (QSPM).

Hasil analisis Importance and Performance Analysis penilaian terhadap 17 atribut penentu kualitas pengelolaan Pasar Citeureup I ke dalam empat kuadran yang terdiri dari: (1) Prioritas utama atribut kualitas jasa, yaitu kondisi bangunan/gedung pasar, kondisi kebersihan pasar, kondisi tempat usaha/berdagang, pengelola pasar cepat dan tanggap dalam menghadapi masalah yang ada, (2) Pertahankan prestasi atribut kualitas jasa, yaitu kondisi MCK di pasar, pelayanan yang diberikan pegawai unit pasar, keramahan dan kesopanan petugas penarik retribusi, (3) Prioritas rendah atribut kualitas jasa, yaitu besarnya retribusi, petugas unit pasar cepat dan tanggap atas keluhan pedagang, pengelola pasar memberikan pembinaan/penyuluhan secara baik dan teratur, pengelola pasar memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum dan (4) Berlebihan untuk atribut kualitas jasa, yaitu kebersihan kantor unit pasar, kemudahan dalam pengurusan sewa tempat usaha, besarnya sewa tempat usaha, kejujuran petugas penarik retribusi, pengelola pasar memberikan rasa aman dan nyaman kepada pedagang, sikap pegawai unit pasar.

Hasil perhitungan Customer Satisfaction Index atribut kualitas jasa sebesar 56,023 persen, menunjukkan pedagang pasar Citeureup I ”Cukup Puas” dengan kualitas pengelolaan Pasar Citeureup I di Kabupaten Bogor.

Berdasarkan analisis faktor internal dan eksternal, Pasar Citeureup I dalam pengelolaannya menekankan pada strategi yang bertujuan menggunakan kekuatan internal untuk menghindari ancaman eksternal (Strategi S-T). Hasil analisis matriks IFE menunjukkan bahwa Pasar Citeureup I memiliki kondisi internal yang kuat, yaitu mampu memanfaatkan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi


(4)

kelemahan. Kekuatan utama yang di miliki Pasar Citeureup I adalah kemudahan dalam pengurusan sewa tempat usaha, sedangkan kelemahan utama yang dihadapi adalah kondisi kebersihan pasar. Hasil analisis EFE menunjukkan bahwa Pasar Citeureup I belum mampu memanfaatkan peluang eksternal untuk menghadapi ancaman. Peluang terbesar yang dimiliki adalah jumlah penduduk Kecamatan Citeureup (calon konsumen) besar. Selanjutnya, ancaman terbesar yang dihadapi adalah kenaikan harga barang dan harga barang yang dijual kurang kompetitif.

Strategi pengelolaan Pasar Citeureup I yang muncul adalah strategi S-T, yaitu strategi menggunakan kekuatan internal untuk menghindari ancaman eksternal. Prioritas strategi pengelolaan Pasar Citeureup I yang terpilih adalah: (1) Penataan tempat-tempat usaha di Pasar Citeureup I (TAS = 6,988); (2) Peningkatan kualitas pelayanan Pasar Citeureup I untuk menarik konsumen berkunjung dan berbelanja di Pasar Citeureup I. (TAS = 6,800); (3) Menyelenggarakan bazar pada event-event tertentu atau periode tertentu di Pasar Citeureup I. (TAS = 6,775); (4) Rehabilitasi Pasar Citeureup I. (TAS = 6,597); (5) Peningkatan sumber daya manusia pengelola Pasar Citeureup I. (TAS = 6,483); (6) Pembinaan pedagang Pasar Citeureup I. (TAS = 6,383); dan (7) Penerapan peraturan pasar. (TAS = 5,917)


(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2008

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(6)

ANALISIS KEPUASAN PEDAGANG TERHADAP

PENGELOLAAN PASAR DAN STRATEGI

PENGEMBANGAN PASAR

(Kasus di Pasar Citeureup I Kabupaten Bogor)

HASTAN MATTANETE

Tugas Akhir

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada

Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(7)

Judul Tugas Akhir : Analisis Kepuasan Pedagang Terhadap Pengelolaan Pasar dan Strategi Pengembangan Pasar (Kasus di Pasar Citeureup I Kabupaten Bogor)

Nama : Hastan Mattanete

NRP : A15344175

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. WH. Limbong, MS Ketua

Dr. Ir. Ma’mun Sarma, MS, MEc Anggota

Diketahui Ketua Program Studi

Manajemen Pembangunan Daerah

Dr. Ir. Yusman Syaukat, MEc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS


(8)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah Penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala nikmat yang senantiasa diberikan oleh-Nya. Berkat rahmat serta hidayah-Nya pula Kajian Pembangunan Daerah ini dapat penulis selesaikan.

Kajian Pembangunan Daerah berjudul “Analisis Kepuasan Pedagang Terhadap Pengelolaan Pasar dan Strategi Pengembangan Pasar (Kasus di Pasar Citeureup I Kabupaten Bogor)” ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Dalam penyusunan kajian ini Penulis banyak mendapatkan bantuan, bimbingan serta pengetahuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak atas dukungan dan bantuan yang telah diberikan dalam menyelesaikan kajian ini.

Semua koreksi serta saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat Penulis harapkan. Besar harapan penulis agar tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, September 2008,


(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillahirobbila’lamin, atas nikmat dari Allah SWT akhirnya Kajian Pembangunan Daerah ini dapat Penulis selesaikan. Segala pujian dan Ucapan yang baik hanya ditujukan kepada Allah SWT. Banyak pihak yang telah memberikan bantuan berupa bimbingan, dukungan tenaga maupun bantuan materi selama penyusunan kajian ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya, semoga amal baik semua pihak yang telah memberikan bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT.

Ucapan terima kasih Penulis sampaikan kepada:

1. Prof. Dr. Ir.WH. Limbong, MS dan Dr. Ir. Ma’mun Sarma, MS, MEc sebagai komisi pembimbing.

2. Dosen Penguji Sidang Komisi, A. Faroby Faletehan, SP, MSi.

3. Ketua Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah: Dr. Ir. Yusman Syaukat, serta Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, MAEc dan Ir. Lukman M. Baga, MAEc atas bantuan dan dukungan morilnya.

4. Orang tua penulis: H. Hasma Tane yang telah membesarkan, mendidik, memberikan kepercayaan, dan doa yang tiada hentinya untuk kesuksesan Penulis.

5. Kakak Penulis: Ir. Karyawati & suami, Kartia, Bidan Kalsum dan Suami (Ka Bram), Kartini & suami, serta AKP. Takdir Mattanete, SH, SIK & Istri (Ka Misly) dan keponakan tercinta Fitri, Kiki, Rifda, Uul, Anti, Si kembar Nabila & Naswa, Arya, Lisa serta Saffana, dan seluruh keluarga besar Penulis, terima kasih atas dukungan moril maupun materil.

6. Pemerintah Kab.Bogor, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, PD. Pasar Tohaga Kab. Bogor beserta Kepala Unit Pasar Citeureup I dan Karyawan atas dukungan dan bantuannya.

7. Pengurus APPSI (Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia) Kab.Bogor dan Komisariat Pasar Citeureup I atas dukungan, dan bantuannya.

8. Bapak Walikota Bogor Drs.Diani Budiarto atas dukungan moril dan materil. 9. Staf Pengajar Pascasarjana Manajemen Pembangunan Daerah atas ilmu dan

dukungannya.

10.Rekan-rekan di Manajemen Pembangunan Daerah kelas Bogor I: Pa Chardiman, Bang Makmur, Teny, Kang Asep Aang, Pak Robert, Bu Rita, Bu Yuni, Pa Abbas, Pak Muhdar, Pak Eko, Wahyu Jakarta, Mas Wahyu, Erwin, Pak Rendra, Risna, Ibu Nana, Adam. Juga kepada rekan-rekan MPD kelas Bogor II.

11.Ratna Darlilis FEM IPB angkatan 41, Bapak Chardiman Kelas MPD Bogor I atas waktu, bantuan pikiran, bimbingan, dukungan dan kerjasamanya dalam penyelesaian tugas akhir ini.

12.Pengurus dan Sekretariat MPD: A. Faroby Faletehan, SP, MSi; Teh Fieta Resnia Handayani dan Lina Fitriani; serta kang Yadi atas semua bantuannya. Pengurus HMI dan KOHATI Cabang Kota Bogor, Badan Eksekutf Mahasiswa


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Pinrang Makassar pada tanggal 24 Juli 1978 sebagai anak terakhir dari enam bersaudara pasangan Abd. Latif Mattanete dan Hasma. Pada tahun 1990 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 57 Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan. Selama tiga tahun penulis mendapatkan pendidikan menengah di SMP Negeri Langnga Kabupaten Pinrang dan lulus pada tahun 1993. Tiga tahun kemudian, tahun 1996 penulis lulus dari SMA Negeri Langnga Kabupaten Pinrang.

Penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Teknik Jurusan Sipil, Universitas Muslim Indonesia Makassar pada tahun 1996 dan kemudian pindah kuliah tahun 2000 di Universitas Ibn Khaldun Bogor pada Fakultas Teknik Jurusan Sipil dan lulus pada bulan Oktober Tahun 2004. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, pers, dan kepemudaan. Penulis menjadi Ketua Umum KMP UMI Makassar pada tahun 1998-2000, Senat FT UMI Makassar pada tahun 1998-1999, Pers Cakrawala Ide UMI Makassar pada tahun 1998 dan Tabloid Sulo Sawitto Makassar pada tahun 1999. Penulis menjadi Sekretaris Jenderal BEM UIKA Bogor tahun 2001-2002, HMI Cabang Bogor pada tahun 2001-2002, Presiden Mahasiswa UIKA Bogor perode 2002-2003. KNPI Kab. Bogor pada tahun 2005, MAPANCAS Kota Bogor pada tahun 2003-2006. Pada tahun 2005, penulis melanjutkan pendidikan pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada bulan September 2008.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.4. Manfaat Penelitian ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1. Pasar Secara Umum ... 6

2.1.1 Pasar sebagai Infrastruktur Publik ... 6

2.1.2 Permasalahan Utama Pasar ... 7

2.2. Sistem Pengelolaan Pasar... 9

2.2.1 Manajemen pasar ... 9

2.2.2 Penataan Hubungan antar Pelaku Pasar ... 11

2.2.3 Pedagang dan Struktur Kegiatannya ... 15

2.3. Jasa ... 17

2.3.1 Pengertian Jasa ... 17

2.3.2 Ciri/Karakteristik Jasa ... 18

2.3.3 Pemasaran Jasa ... 19

2.3.4 Kualitas Jasa ... 20

2.3.5 Penilaian Kualitas Pelayanan Jasa ... 22

2.4. Persepsi Pelanggan... 25

2.4.1 Tingkat Kepentingan Pelanggan ... 25

2.4.2 Kepuasan Pelanggan ... 25

2.4.3 Nilai Pelanggan ... 26

2.4.4 Proses Kepuasan Pelanggan ... 27

2.4.5 Survei Kepuasan Pelanggan ... 28

2.4.6 Manfaat Pengukuran Mutu dan Kepuasan Pelanggan ... 29

2.5. Kerangka Pemikiran ... 30

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 33

3.1. Lokasi dan Waktu Kajian ... 33

3.2. Data dan Sumber Data ... 33

3.3. Penyusunan dan Uji Coba Kuesioner ... 33

3.4. Metode Penarikan Sample dan Jumlah Sample ... 35

3.5. Metode Pengumpulan Data ... 37

3.6. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 37

3.6.1 Importance and Performance Analysis ... 38


(12)

3.7.1 Analisis Matriks IFE-EFE ... 44

3.7.2 Analisis Matriks SWOT ... 48

3.7.2 Analisis Matriks QSPM ... 49

IV. GAMBARAN UMUM ... 52

4.1 Letak dan Kondisi Fisik Wilayah ... 52

4.2 Administrasi Pemerintahan dan Wilayah Pelayanan ... 53

4.3 Struktur Perekonomian ... 53

4.4 Keberadaan Pasar di Wilayah Kabupaten Bogor ... 54

4.4.1 Pasar Citeureup I ... 55

4.4.2 Jenis Komoditi di Pasar Citeureup I ... 56

4.4.3 Struktur Organisasi Pasar Citeureup I ... 57

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 58

5.1 Uji Validitas dan Realibilitas Kuesioner ... 58

5.2 Karakteristik Responden ... 59

5.3 Analisis Tingkat Kepentingan dan Tingkat Kepuasan Pedagang .. 67

5.3.1 Analisis Tingkat Kepentingan Pedagang Pasar Citeureup I 67

5.3.2 Analisis Tingkat Kepuasan Pedagang Pasar Citeureup I ... 70

5.3.3 Urutan Prioritas Atribut Pengelolaan Pasar Citeureup I ... 72

5.3.4 Importance and Performance Matrix ... 75

5.3.5 Customer Satisfaction Index ... 83

5.4 Penyusunan Program ... 84 5.4.1 Analisis Lingkungan Internal dan Eksternal ...

5.4.1.1 Analisis Lingkungan Internal ... 5.4.1.2 Analisis Lingkungan Eksternal ... 5.4.2 Tahap Masukan ... 5.4.2.1 Matriks Evaluasi Faktor Internal (IFE Matriks) ... 5.4.2.2 Matriks Evaluasi Faktor Eksternal (EFE Matriks) 5.4.3 Tahap Pencocokan ... 5.4.3.1 Strategi Strength – Opportunity (S – O) ... 5.4.3.2 Strategi Weakness – Opportubity (W – O) ... 5.4.3.3 Strategi Strength – Threath (S – T) ... 5.4.4.4 Strategi – Weakness – Threath (W – T)... 5.4.4 Tahap Pengambilan Keputusan ... VI. KESIMPULAN DAN SARAN ...

6.1 Kesimpulan ... 6.2 Saran ... DAFTAR PUSTAKA ...

85 85 86 88 89 91 93 95 95 96 96 98 100 100 101 103


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman

1. Perkembangan pedagang Pasar Citeureup I Tahun 2004-2008 ... 3

2. Atribut kualitas pengelolaan Pasar Citeureup I...38

3. Matriks External Factor Evaluation ... 44

4. Matriks Internal Factor Evaluation ... 46

5. Bentuk penilaian Bobot Faktor Strategis Internal ... 47

6. Bentuk penilaian Bobot Faktor Strategis Eksternal ... 47

7. Matriks Analisis SWOT ... 48

8. Penentuan Pilihan Strategis dengan Matriks QSPM ... 50

9. Pasar menurut kelasnya di Kabupaten Bogor...54

10. Nilai Korelasi Uji Validitas pernyataan kuesioner ... 58

11. Tingkat kepentingan atribut kualitas pengelolaan Pasar Citeureup I... 68

12. Tingkat kinerja atribut kualitas pengelolaan Pasar Citeureup I ... 71

13. Tingkat kesesuaian antara tingkat kepentingan dengan tingkat kinerja pada setiap atribut kualitas jasa ... 73

14. Urutan Prioritas ... 74

15. Nilai rata-rata tingkat kepentingan dan kinerja atribut kualitas jasa ... 76

16. Perhitungan Customer Satisfaction Index atribut kualitas jasa ... 83

17. Matrix Evaluasi Faktor Internal Pasar Citeureup I ... 90

18. Matrix Evaluasi Faktor Eksternal Pasar Citeureup ... 91


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman

1. Konsepsi Model Pengembangan Pasar Tradisional ... 11

2. Hubungan antara Harapan, Kepuasan dan Kualitas jasa...22

3. Zona Toleransi ... 23

4. Diagram Proses Kepuasan Pelanggan ... 28

5. Alur Kerangka Pemikiran ... 32

6. Diagram Kartesius ... 41

7. Struktur Organisasi Pasar Citeureup I...57

8. Frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin ... 60

9. Frekuensi responden berdasarkan jenis umur ... 60

10. Frekuensi responden berdasarkan pendidikan ... 61

11. Frekuensi responden berdasarkan status pernikahan ... 61

12. Frekuensi responden berdasarkan status dalam keluarga ... 62

13. Frekuensi responden berdasarkan jumlah anggota keluarga ... 62

14. Frekuensi responden berdasarkan jenis pedagang ... 63

15. Frekuensi rata-rata omzet per hari ... 64

16. Frekuensi rata-rata pengeluaran per hari ... 65

17. Frekuensi responden berdasarkan jenis dagangan ... 65

18. Frekuensi responden berdasarkan lama berdagang di Pasar Citeureup I.. 66

19. Frekuensi responden berdasarkan berdagang selain di Pasar Citeureup I 67 20. Importance and performance Matrix kualitas jasa Pasar Citeureup I...77


(15)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bagi pihak Pemerintah Daerah, paradigma pengelolaan Pemerintahan dari

Government menjadi Governance, adalah merupakan paradigma atau cara pandang baru bagi manajemen/pengelolaan pemerintahan. Paradigma Government

(orientasi kekuasaan masih menguat, partisipasi dan kontrol masyarakat belum berjalan optimal) beralih pada paradigma Governance, yang mengasumsikan bahwa dalam masyarakat terdapat banyak kelompok kepentingan yang bersaing (competing interest groups) dalam proses politik pengelolaan pemerintahan. Peranan masyarakat semakin besar dan memegang peranan kunci. Oleh karena itu, pemerintah harus menawarkan saluran-saluran akses kepada masyarakat untuk berpartisipasi. Untuk terciptanya good governance dan clean governance di era

Costumer Driven government (pemerintahan yang berbasis masyarakat) pengelolaan manajemen pemerintahan dalam setiap pelaksanaan pembangunan harus mengacu kepada 9 (sembilan) asas umum penyelenggaraan negara yang sekarang tertuang pada Undang-Undang Otonomi Daerah Bab IV Bagian kedua Pasal 20 (ayat 1) yaitu: akuntabilitas, keterbukaan (transparansi), kepastian hukum, profesionalitas, tertib penyelenggaraan negara, efisiensi, efektivitas, proporsionalitas, dan asas kepentingan umum.

Sesuai dengan pandangan (Khan;1996) mengenai konsep Governance yang menekankan kepada 3 (tiga) fungsi pokok yaitu : (1) Kemampuan masyarakat untuk menyatakan kebutuhannya dan mengakses kebutuhannya secara bebas, (2) Kemampuan lembaga-lembaga pemerintahan (politik dan birokrasi) untuk menterjemahkan kebutuhan rakyat kedalam rencana yang realistis dan melaksanakannya secara efektif, dan (3) Kemampuan masyarakat dan lembaga-lembaga pemerintahan untuk menilai kebutuhan dengan rencana dan menilai rencana dengan pelaksanaannya. Dengan mengacu kepada pandangan paradigma

governance, pemerintah (Pemda) tidak lagi sebagai lokomotif melainkan sebagai pengarah dan fasilitator.


(16)

Hal tersebut di atas sejalan dengan salah satu rekomendasi konsep reinventing government, yaitu steering rather than rowing. Perubahan peranan pengelola pemerintahan, dari lokomotif (rowing) menjadi pengarah (steering) dan fasilitator yang idealnya berlangsung secara alamiah. Artinya birokrasi pemerintah responsif terhadap perubahan lingkungan dan tuntutan pihak yang dilayani. Azas dan prinsip demokrasi harus tetap dipertahankan karena otonomi daerah tidak akan berkembang tanpa didahului oleh komitmen terhadap demokrasi dari bangsa dan pemerintahannya. Implikasinya kesembilan prinsip yang tertuang dalam Undang-Undang Otonomi Daerah Bab IV bagian kedua pasal 20 (ayat 1) merupakan aspek yang harus mendapat perhatian. Begitu pun dalam hal-hal pembangunan sarana dan prasarana umum seperti pasar. Artinya, pemerintah daerah dalam mengeluarkan kebijakan tetap memperhatikan Undang-Undang Otonomi Daerah No. 32 tahun 2004, paragraf 3, pasal 28.

Dalam era globalisasi ini persaingan bisnis menjadi sangat tajam, untuk memenangkan persaingan, setiap perusahaan dituntut untuk mengenali pasar/pelanggan sebaik mungkin. Perusahaan yang mampu mengenali pelanggan akan mempunyai korelasi positif terhadap kinerja penjualannya. Kepuasan atau ketidakpuasan pelanggan merupakan respon pelanggan terhadap evaluasi terhadap ketidaksesuaian atas kinerja maupun pelayanan yang di lakukan oleh perusahaan. Pasar Citeureup I yang merupakan salah satu pasar tradisional yang memberikan pelayanan harus mampu memberikan kepuasan kepada konsumennya. Meningkatkan pelayanan pasar akan mempengaruhi terhadap kepuasan pelanggan Pasar Citeureup I. Kepuasan pelanggan akan dipengaruhi oleh indikator-indikator seperti kebersihan, kenyamanan, keamanan, dan tersedianya sarana dan prasarana pasar tradisional yang memadai seperti jalan masuk ke pasar. Artinya bagaimana mengelola pasar tradisional agar tertata dengan rapi, bersih dan aman serta peningkatan sistem manajemen pengelolaan pasar.

Penelitian terhadap masalah di atas belum pernah dilakukan, sedangkan kegunaan dari penelitian sangat diharapkan untuk input terhadap pengelolaan Pasar Citeureup I. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka akan dilakukan penelitian dengan melakukan survei pelanggan (pedagang kios,


(17)

pedagang los, pedagang radius, dan pedagang kaki lima) terhadap kepuasan pengelolaan Pasar Citeureup I.

1.2. Rumusan Masalah

Pengelolaan pasar tradisional oleh pemerintah daerah khususnya di Kabupaten Bogor melalui Perusahaan Daerah (PD) Pasar Tohaga, belum mencerminkan pengelolaan yang profesional. Minimnya fasilitas pelayanan publik, retribusi yang belum terkelola dengan baik, keadaan jalan untuk masuk ke dalam pasar (kios dan los) tertutup oleh pedagang kaki lima perlu menjadi perhatian serius pihak pengelola Pasar Citeureup I. Sebagai gambaran perkembangan pedagang pasar Citeureup I dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan Pedagang Pasar Citeureup I Tahun 2004-2008 Jumlah (unit)

No Jenis Sarana 2004 2005 2006 2007 2008

Jumlah bangunan

629 627 629 629 627

Buka/aktif 200 200 340 403 408

Tutup 429 429 289 226 219 1 Kios (unit)

% (buka/ aktif)

31,79 31,89 54,05 64,07 65,07

Jumlah bangunan

176 176 176 176 176

Buka/aktif 176 150 100 92 97

Tutup 0 26 76 84 79

2 Los (unit)

% (buka/ aktif)

100 85,23 56,82 52,27 55,11

Jumlah bangunan

120 120 125 190 100

Buka/aktif 110 100 40 185 100

Tutup 10 20 85 5 0

3 Radius (unit)

% (buka/ aktif)

91,67 83,33 32 97,37 100

Jumlah bangunan

200 400 372 475 475

Buka/aktif 180 370 280 375 362

Tutup 20 30 92 100 113

4 Kaki lima (unit)

% (buka/ aktif)

90 92,50 75,27 78,95 76,21

Jumlah bangunan

3 4 6 6 7

Buka/aktif 3 4 6 6 7

Tutup 0 0 0 0 0

5 MCK (unit)

% (buka/ aktif)


(18)

Pasar Citeureup I adalah pasar yang terletak di Kecamatan Citeureup Kabupaten Bogor serta merupakan pasar Kategori A atau kelas I (satu) dengan luas pasar kurang lebih 13.800 m2. Pasar Citeureup I saat ini terdiri dari 627 unit kios, 176 unit los dan 475 pedagang kaki lima serta 7 Unit MCK. Kondisi pasar Citeureup I saat ini sangat memprihatinkan. Terlihat dari kondisi pasar yang tidak terawat, dan jalan masuk ke pasar tertutup oleh pedagang kaki lima. Hal tersebut mengakibatkan para pedagang yang berjualan di pasar meninggalkan pasar dan menelantarkan kios-kios dan los mereka.

Dari Tabel 1 menunjukkan bahwa masih banyak kios maupun los yang belum digunakan, sementara pedagang kaki lima semakin tumbuh. Saat ini konsumen yang berkunjung ke Pasar Citeureup I semakin berkurang, hal ini disebabkan karena kondisi pasar tersebut dari sisi fisik bangunan yang sudah tidak layak dan memadai, juga dari sisi pelayanan dan pengelolaan pasar yang kurang memuaskan. Konsumen ketika masuk ke dalam pasar merasa tidak aman dan tidak nyaman, dengan kondisi pasar yang kotor dan berbau tidak sedap. Masih banyak kios maupun los yang tutup dikarenakan tempat mereka tertutup oleh awning dan lapak-lapak PKL, sehingga tidak terlihat oleh pengunjung. Begitupun pengunjung merasa tidak nyaman untuk berbelanja dengan kondisi jalan-jalan antar kios maupun los yang sempit akibat dipenuhi oleh pedagang-pedagang kaki lima yang semakin banyak di Pasar Citeureup I.

Oleh karena itu diperlukan penanganan dan pengelolaan pasar ke arah yang lebih modern dan memadai. Berkurangnya jumlah pedagang dan menjamurnya pedagang kaki lima serta tidak terawatnya kondisi kebersihan pasar diikuti oleh menurunnya pendapatan dari retribusi pasar dan retribusi kebersihan pasar adalah cerminan kurangnya kualitas pengelolaan Pasar Citeureup I.

Berpijak dari latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan penelitian adalah:

1. Bagaimana karakteristik pedagang Pasar Citeureup I ?

2. Bagaimana tingkat kepentingan pedagang terhadap kualitas pengelolaan Pasar Citeureup I ?


(19)

3. Apakah pedagang sudah merasa puas dengan kualitas pengelolaan Pasar Citeureup I ?

1.3. Tujuan Penelitian

1. Mengidentifikasi karakteristik pedagang Pasar Citeureup I

2. Menganalisis tingkat kepentingan pedagang terhadap kualitas pengelolaan Pasar Citeureup I

3. Menganalisis tingkat kepuasan pedagang terhadap kualitas pengelolaan Pasar Citeureup I

4. Menyusun rancangan program pengelolaan Pasar Citeureup I

1.4. Manfaat Penelitian

1. Diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi mereka yang berminat untuk menindaklanjuti hasil penelitian ini, dengan mengambil kancah penelitian yang berbeda dan dengan sampel penelitian yang lebih banyak.

2. Secara praktis hasil penelitian ini dapat memberi masukan bagi Pasar Citeureup I untuk lebih memperbaiki pengelolaan pasar melalui manajemen pengelolaan yang lebih terarah dan terpadu.


(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pasar Secara Umum

Pasar merupakan sebuah perwujudan kegiatan ekonomi yang telah melembaga serta tempat bertemunya antara produsen (pedagang) dan konsumen (pembeli) untuk melaksanakan transaksi di mana proses jual beli terbentuk yang menurut kelas mutu pelayanan menjadi pasar tradisional dan pasar modern, dan menurut pendistribusiannya dapat digolongkan menjadi pasar eceran dan pasar perkulakan/grosir (Yogi, 2000).

Pasar tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh pemerintah, swasta, koperasi, atau swadaya masyarakat dengan tempat usaha berupa toko, kios atau los, dan tenda, yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil dan menengah, dan koperasi, dengan usaha skala kecil dan modal kecil, dengan proses jual beli melalui tawar menawar. Sedangkan pasar modern adalah pasar yang umumnya dimiliki oleh pemodal kuat, mempunyai kemampuan untuk menggaet konsumen dengan cara memberikan hadiah langsung, hadiah khusus, dan juga discount-discount menarik (Zumrotin, 2002). Pasar modern pada umumnya diisi oleh retailer (pengecer) besar, baik perusahaan pengecer dengan skala lokal maupun nasional. Mereka ini merupakan pesaing yang mulai mengancam keberadaan pasar-pasar tradisional. Oleh karena itulah modernisasi pasar dengan manajemen pengelolaan secara modern baik dari sistem pengelolaan maupun kelembagaannya perlu ditingkatkan untuk mengembangkan perekonomian pedagang kecil serta memacu pertumbuhan ekonomi daerah (PAD dan APBD).

2.1.1Pasar sebagai Infrastruktur Publik

Pengertian infrastruktur ini pada dasarnya mudah dinyatakan namun sulit untuk didefinisikan, akan tetapi hal ini dapat dilihat dari segi investasi yang dilakukan yaitu dengan menyediakan pelayanan dasar untuk industri dan rumah tangga (Martini, 1996), di mana hal tersebut merupakan kunci utama dalam ekonomi, dan masukan yang krusial untuk kegiatan ekonomi. Saat ini yang termasuk kegiatan infrastruktur ini adalah sebagai berikut, (Darrin & Mervin, 2001):


(21)

1. Energi (Power generation dan supply)

2. Transportasi (jalan tol, sistem penerangan rel, jembatan dan terowongan) 3. Air (air limbah, pengelolaan air limbah, dan penyediaan air)

4. Telekomunikasi (telepon)

5. Social infrastructure (rumah sakit, lembaga pemasyarakatan, pengadilan, museum, sekolah dan akomodasi yang disediakan pemerintah)

Pasar sebagai public infrastructure dalam hal ini termasuk akomodasi yang disediakan pemerintah dalam suatu tempat jual beli yang disediakan Pemerintah Daerah (milik Pemda) tempat pedagang secara teratur dan langsung diperdagangkan barang dan jasa (Perda DKI Jakarta No. 7 Tahun 1992).

2.1.2 Permasalahan Utama Pasar

Permasalahan utama yang timbul di pasar sebagai publik infrastructure adalah sebagai berikut:

Tata ruang dan lokasi. Masalah timbul dari operasional tata ruang, lokasi, dan masih tersedianya tempat usaha yang tidak produktif.

Pengelolaan. Masalah lain adalah ketidakmampuan pengelolaan pasar tradisional dalam menciptakan pasar yang bersih dan aman serta tidak ada usaha untuk melakukan pcmbinaan kepada para pedagang untuk berpraktek dagang yang sehat dan jujur, hal ini menyebabkan konsumen enggan berbelanja dipasar tradisional. Selain itu pasar yang becek, berbau tidak sedap, kerawanan keamanan, dan praktek dagang yang tidak sehat menimbulkan kekecewaan dan ketidakpercayaan konsumen sehingga mereka lebih baik meninggalkan pasar tradisional karena mempunyai resiko yang tinggi (Zumrotin, 2002).

Pola pembangunan dan pendanaan. Yang selama ini dilakukan oleh pemerintah untuk pengadaan atau penyediaan pasar khususnya pasar tradisional sebagai salah satu infrastruktur, yaitu dengan melaksanakan pembangunan fisik pasar yang belum ada wujudnya, dimulai dengan penyediaan lahan sampai berdirinya bangunan pasar yang dioperasikan (Thamrin, 2000). Keterbatasan dan tantangan yang dihadapi oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebagai pengelola pasar tradisional (Undang-Undang No.34 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah) saat ini adalah adanya kebijakan regulasi di bidang dunia


(22)

usaha Nasional yang mulai menitikberatkan pada usaha perekonomian rakyat. Situasi pasar yang lebih bebas dengan tingkat kepuasan konsumen terhadap kualitas dan kuantitas, menghasilkan produk yang lebih tinggi. Kurang dan terbatasnya modal yang diperlukan perusahaan untuk operasional dan pemeliharaan perusahaan, dan rendahnya hasil usaha (Laba), mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan dan pengembangan investasi, kurangnya profesionalisme, transparansi, dan pengawasan dalam manajemen pengelolaan perusahaan serta banyaknya BUMD yang mengalami kesulitan keuangan (Subowo, 2002).

Pengembangan penyediaan prasarana yang efisien melalui keterlibatan pihak swasta tidak lain karena untuk memenuhi keinginan masyarakat, artinya tidak saja efisien dan ekonomis tetapi juga harus memiliki dimensi sosial. Keterlibatan swasta dalam sektor prasarana dikarenakan hal berikut ini (Darrin & Mervin, 2001):

1. Keterbatasan Pemerintah dalam membiayai pembangunan infrastruktur, di satu sisi disebabkan oleh keterbatasan teknologi, daya, dan dana. Sedangkan di pihak lain kebutuhan dan infrastruktur semakin mendesak

2. Partisipasi pembangunan berdasarkan keinginan masyarakat (Community driven development) melalui pembagian resiko yang sebelumnya menjadi tanggung jawab pemerintah, digeser atau didistribusikan kepada pihak swasta 3. Motivasi profit dari pihak swasta akan mendorong organisasi yang dikelola

menjadi lebih efisien, transparan, dan kompetitif 4. Capacity Building

5. Kebijakan pemerintah, diantaranya adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Perusahaan Daerah yang masih berlaku hingga saat ini adalah undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah. Berdasarkan ketentuan tersebut maka dalam rangka melakukan usaha Perusahaan Daerah mengenai “Bisnis birokrasi” yaitu kebijakan pengembangan sangat ditentukan oleh Pemerintah Daerah sebagai pihak yang mewakili daerah sebagai pemilik Perusahaan Daerah. Pada masa itu direksi dan mayoritas pegawai merupakan bagian yang tak terpisahkan dari birokrasi Pemerintahan Daerah. Sehingga dalam prakteknya pengelolaan mirip dengan


(23)

pengelolaan lembaga birokrasi. Akibatnya dalam banyak kasus, manajemen kurang memiliki independensi dan fleksibilitas inovasi usaha guna mencapai tujuan organisasinya (Subowo, 2002). Pengaturan misi Perusahaan Daerah secara luas yaitu memberi jasa, menyelenggarakan kepentingan umum, dan memupuk pendapatan tanpa melihat apakah usaha Perusahaan Daerah tersebut sesungguhnya merupakan bidang komersial (Public Mission) atau bukan. Keberadaan Perusahaan Daerah berorientasi ganda yaitu Public Service orientied dalam rangka menyelenggarakan kemanfaatan umum dan profit oriented untuk memupuk Pendapatan Asli Daerah (PAD). Akan tetapi jika dilihat secara profesional berdasarkan prinsip-prinsip koperasi, public mission

dan profit hal tersebut merupakan dua sisi yang sangat sulit untuk disatukan. Menurut Davey adalah: “Bagaimana Perusahaan Daerah memaksimumkan keuntungan tanpa mengorbankan layanan terhadap masyarakat, terutama kelas bawah dan menengah” (Davey. 1983).

2.2 Sistem Pengelolaan Pasar 2.2.1 Manajemen Pasar

Pengertian umum manajemen adalah pendayagunaan sumber daya manusia dengan cara yang paling baik agar dapat mencapai rencana-rencana dan sasaran perusahaan (Madura, 2001). Manajemen berasal dari to manage yang mempunyai arti mengatur. Jadi pada hakikatnya berarti manajemen merupakan suatu proses untuk mewujudkan tujuan yang diinginkan. Untuk dapat mengatur kegiatan yang berlangsung maka harus ada unsur-unsur manajemen yang menunjang proses kegiatan tersebut yaitu: manusia, uang, metode, material, mesin dan pasar. Keenam unsur tersebut perlu diatur agar lebih berdaya guna, berhasil guna, terintegrasi, dan terkoordinasi dalam mencapai tujuan yang diinginkan (Hasibuan, 1996).

Pengaturan yang berlangsung tidak dapat dilakukan oleh semua orang yang terlibat dalam kegiatan tersebut, tetapi oleh satu orang yang di tunjuk menjadi pemimpin (Rivai, 2003). Pemimpin tersebut memiliki wewenang kepemimpinan melalui instruksi atau persuasi sehingga keenam unsur yang ada serta semua proses manajemen tertuju dan terarah pada tujuan yang diinginkan.


(24)

Proses tujuan mempunyai urutan fungsi-fungsi manajemen seperti perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian. Kesemua wujud pengaturan di tampung dalam suatu organisasi yang disebut wadah atau alat. Pada dasarnya manajemen hanya dapat dilakukan dalam suatu organisasi. Dalam suatu organisasi atau wadah inilah tempat kerja sama, proses manajemen, pembagian kerja, koordinasi, dan integrasi yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai. Pada dasarnya manajemen sudah ada sejak adanya pembagian kerja, tugas, tanggung jawab, dan kerja sama formal bagi sekelompok orang untuk mencapai tujuannya. Manajemen ada karena pemimpin mampu mengatur bawahannya untuk mencapai tujuan bersama (Hasibuan, 1996).

Manajemen pasar merupakan proses pengaturan kegiatan perdagangan yang berlangsung di pasar dengan sumber daya meliputi pedagang, tempat usaha dan pengorganisasiannya. Serangkaian aktivitas yang dilakukan dalam fungsi-fungsi manajemen pasar merupakan sebuah proses manajemen. Untuk melaksanakan manajemen tersebut maka diperlukan adanya manajer, yang dalam pelaksanaan tugas kegiatan serta kepemimpinannya harus melakukan tahap-tahap seperti di bawah ini:

1. Perencanaan, adalah suatu proses penentuan tujuan dan pedoman pelaksanaan dengan memilih alternatif yang terbaik dan beberapa perencanaan yang ada. 2. Pengorganisasian, adalah suatu proses penentuan, pengelompokan, dan

pengaturan bermacam-macam aktivitas yang diperlukan untuk mencapai tujuan, menempatkan orang-orang pada setiap aktivitasnya masing-masing, menyediakan alat-alat yang diperlukan, dan menetapkan wewenang secara relatif untuk kemudian didelegasikan kepada setiap individu yang melakukan aktivitas-aktivitas tersebut.

3. Pengarahan, adalah mengarahkan semua bawahan agar mau bekerja sama secara aktif untuk mencapai tujuan. Tujuan dan pengarahan untuk membuat semua anggota kelompok mau bekerja sama dan bekerja secara ikhlas untuk mencapai tujuan dengan perencanaan dan usaha-usaha pengorganisasian.

4. Pengendalian, adalah proses pengaturan berbagai faktor dalam suatu perusahaan, agar sesuai dengan ketetapan-ketetapan dalam rencana. Tujuan


(25)

untuk mengukur dan memperbaiki kinerja bawahan, apakah sudah sesuai dengan rencana sebelumnya atau tidak.

Dengan menjalankan fungsi manajemen di atas, maka diperlukan suatu organisasi yang menjadi wadah serta pedoman pelaku kegiatan dalam menjalankan perannya sesuai dengan tingkatan yang ada.

2.2.2 Penataan Hubungan antar Pelaku Pasar

Agustiar (1996) mengajukan suatu model altenatif yang mampu mengembangkan pasar tradisional melalui pola penataan dan mekanisme hubungan antara para pelaku pasar. Pola hubungan itu digambarkan seperti pada Gambar 1.

Sumber: Agustiar (1996)

Gambar 1. Konsepsi Model Pengembangan Pasar Tradisional

Bentuk hubungannya yaitu: hubungan Pedagang - Pembeli (AB), Pedagang - Pemerintah (AC), Pembeli - Pemerintah (CB) dan hubungan ketiganya (ABC). 1. Penataan hubungan Pemerintah dengan Pedagang (AC)

Dua pelaku utama dalam pasar adalah pedagang pasar tradisional sebagai pelaku operasional dan Pemerintah sebagai pelindung, pembina dan pengelola pasar, dalam hubungan ini yang perlu diperhatikan adalah:


(26)

a. Ukuran Ruang Toko: Memang sering terdapat keluhan dari pihak pedagang tentang ukuran kios yang sempit dan kecil sehingga menyulitkan pedagang untuk menata dan menyimpan barang mereka, perlu dilakukan dua pendekatan yaitu:

1). Menentukan ukuran standar ruang toko yang layak untuk pedagang sesuai dengan jenis komoditi yang diperdagangkan

2). Memberikan informasi tentang tata letak dan tata ruang kepada para pedagang agar ruang yang terbatas dapat dimanfaatkan seefisien mungkin

b. Retribusi dan pajak: Hampir semua pasar memiliki berbagai macam retribusi seperti: retribusi sampah, retribusi kebersihan, retribusi kebakaran, retribusi air, retribusi pengelolaan dan pajak penghasilan. Retribusi memang penetapannya masih ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah dan diberlakukan kepada para pedagang. Untuk menghindari adanya retribusi yang terlalu tinggi perlu dilakukan studi keinginan para pedagang untuk membayar.

c. Status kepemilikan kios: Status dan cara kepemilikan kios dan los perlu dipertegas, mengingat para pedagang di pasar tradisional umumnya sangat peka terhadap perubahan, pola mobilitas pedagang kecil cukup besar, misalnya karena peluang-peluang yang cukup menjanjikan di luar sektor perdagangan. Karena itu bentuk sewa dan kontrak jangka panjang dihindari

d. Penempatan pedagang kaki lima (PKL) yang menutup jalan masuk pasar bahkan banyak jalan besar yang tadinya jalan masuk ke pasar tertutup oleh pedagang kaki lima sehingga para konsumen tidak bisa masuk ke pasar apalagi membawa kendaraan dan pada akhirnya konsumen banyak yang enggan masuk untuk belanja ke kios. Hal tersebut perlu ketegasan aturan hukum dari pihak pemerintah

2. Penataan hubungan Pedagang dan Pembeli (AB)

a. Harga Jual : Umumnya barang yang di tawarkan di pasar tradisional tidak memperlihatkan harga jual seperti apa yang diberlakukan pada supermarket, oleh karena posisi tawar menawar antara penjual dan pembeli


(27)

akan sangat menentukan berapa harga riil yang terjadi, mekanisme tawar menawar barang seperti salah satu keunggulan pasar tradisional. Perlunya pembeli mengetahui informasi harga yang berlaku, harga jual dalam transaksi harus dapat dipertahankan dengan sistem tawar menawar.

b. Alat timbangan : Alat berdagang yang dipergunakan di pasar tradisional seperti timbangan yang dipergunakan sebagai pengukur berat masih sangat sederhana, sehingga akurasi ukurannya pun masih diragukan. Oleh karena itu sistem standarisasi ukuran yang masih belum terawasi dengan baik sangat merugikan pembeli, untuk itu perlu dilakukan pengontrolan oleh pemerintah atau Asosiasi Pedagang agar pembeli bisa merasa puas dengan hasil barang yang dibelinya.

c. Kualitas barang dagangan : Beberapa komoditi barang yang dijual seperti sayur-sayuran dan buah-buahan yang diperdagangkan lebih segar, karena langsung berasal dan petani (produsen). Namun kesegaran barang tersebut relatif terbatas akibat tidak tersedianya alat pendingin, sehingga sebagian barang yang tidak terjual akan menjadi cepat rusak dan busuk. Oleh karena itu salah satu hal penting yang perlu diperhatikan adalah penyediaan alat pendingin yang memadai dan dikelola secara bersama.

3. Penataan hubungan Pemerintah dan Pembeli (CB)

a. Bentuk pungutan masuk ke Pasar : Ada pasar-pasar tertentu yang biasanya membebankan pungutan informal kepada pembeli pada saat masuk dan keluar dari pasar. Seperti keterpaksaan pembeli untuk membayar pengamen dan sumbangan dana sosial yang cenderung memaksa. Di beberapa kota diperlukan kebijakan Gate System yang mewajibkan semua pemakai kendaraan bermotor untuk membayar sejumlah uang ketika mereka masuk ke suatu kompleks pertokoan. Hal ini justru memberikan respons yang negatif dari masyarakat, bahkan pedagang yang mengeluh karena jumlah pembeli menjadi berkurang.

b. Perlindungan harga : Walaupun prinsip tawar menawar dikembangkan di pasar tradisional, namun pada saat tertentu seperti pada saat hari raya lebaran atau natal harga dinaikkan secara drastis oleh para pedagang. Pada saat inilah peran pemerintah diperlukan untuk mengontrol kenaikan harga


(28)

yang disesuaikan terhadap daya beli konsumen (pembeli) terutama untuk pemenuhan kebutuhan 9 (sembilan) bahan pokok.

4. Penataan hubungan Pemerintah, Pedagang dengan Pembeli (ABC)

a. Kebersihan pasar : Kebersihan pasar merupakan persoalan pokok yang dihadapi oleh semua pelaku pasar. Umumnya pasar yang ada sekarang dalam kondisi kotor, becek, bau, dan sumpek, hal ini erat kaitannya dengan tata ruang yang ada. Pasar tradisional bersifat terbuka dan sangat sensitif terhadap hujan. Jika terjadi hujan maka kondisinya menjadi semakin becek dan menimbulkan banjir kecil di sekitar pasar. Maka untuk mengatasi hal tersebut yang perlu diperhatikan adalah: 1. Usahakan pasar dalam bentuk beratap. 2. Sistem drainase (sistem pengairan) dan pengelolaannya harus diserahkan kepada lembaga tersendiri yang dibayar oleh para pedagang.

b. Jalan antar kios dan los/bangsal : Untuk menghindari los/bangsal kosong pada bangunan pasar maka jalan antar los/bangsal harus sama besarnya dengan jalan yang melingkari pada bangunan pasar. Jika jalan lingkar pasar sebesar 3-4 meter, maka jalan-jalan di dalam pasar yang menghubungkan los/bangsal satu dengan lainnya juga harus sebesar 3-4 meter pula. Keadaan ini sangat menguntungkan konsumen dan pedagang pasar karena mereka akan lebih leluasa (tidak berhimpit himpitan memasuki los/bangsal yang berada di dalam dan relatif gelap), hal ini penting karena letak los/bangsal yang berada di tengah sering kosong pengunjung, akibatnya pembeli merasa enggan ke kawasan yang relatif gelap dan pengap.

c. Keamanan pasar : Semua pelaku pasar merasakan bahwa salah satu kendala berbelanja di pasar tradisional adalah faktor keamanan yang tidak terjamin. Pihak keamanan haruslah dapat menciptakan rasa aman bagi pedagang dan konsumen dari resiko pencurian, perkelahian dan kebakaran.

2.2.3 Pedagang dan Struktur Kegiatannya

Kegiatan perdagangan di pasar merupakan kegiatan perdagangan yang dilakukan oleh pedagang-pedagang kecil, pedagang ini pasti tidak mempunyai


(29)

kemampuan untuk membentuk pranata-pranata ekonomi yang efisien, mereka adalah pengusaha tanpa perusahaan.

Kegiatan perdagangan di pasar merupakan suatu kegiatan ekonomi pasar (Bazar Type) seperti yang di gambarkan oleh Geertz (1969), yaitu suatu perekonomian di mana arus total perdagangan terpecah-pecah menjadi transaksi-transaksi orang ke orang yang masing-masing tak ada hubungannya, yang mana jumlahnya sangat besar, sangat berbeda dengan ekonomi barat yang berpusatkan firma (Firm Type), di mana perdagangan dan industri dilakukan melalui serangkaian pranata sosial yang tidak bersifat pribadi, yang mengorganisasikan berbagai pekerjaan yang bertalian dengan tujuan-tujuan produksi dan distribusi tertentu, maka ekonomi sejenis ini adalah berdasarkan pada kegiatan yang independen dan pedagang terpacu untuk bersaing secara sehat, yang hubungan satu dengan lainnya dilakukan dengan pertukaran Ad Hock yang sangat besar jumlahnya (Nas, 1986).

Kegiatan ekonomi di pasar tradisional, fungsinya diatur oleh adat kebiasaan dagang yang tradisional dan terus menerus digunakan selama ini, sedangkan ekonomi Firma Type merupakan penciptaan pranata-pranata produksi atau distribusi menyerupai firma seperti adanya toko-toko kecil.

Pedagang yang menempati kios dianggap telah masuk ke sektor formal karena telah menjadi pedagang tetap di pasar. Pedagang tetap ini merupakan kelompok pedagang yang telah mapan di kota, berusaha mengorganisasikan kegiatan mereka secara lebih sistematis dengan modal usaha yang besar seperti yang dahulu pernah dilakukan oleh orang tua mereka. Sedangkan pedagang yang tidak menempati los/bangsal menjadi sektor informal atau yang lebih terkenal dengan pedagang kaki lima (PKL) atau pedagang pengecer, hanya menggunakan jalan masuk dan wilayah sekitar pasar sebagai tempat menggelar dagangannya. Jenis kegiatan usahanya cenderung berkelompok sesuai dengan ciri-ciri khas daerah atau suku bangsa mereka. Barang dagangan diperoleh dari juragan atau tokoh yang menjadi fatron bagi pedagang kaki lima sekaligus menyewakan peralatan jualan berupa gerobak ataupun meja gelaran.

Sejalan dengan perkembangan waktu, baik di desa maupun di kota timbul keinginan masyarakat untuk berbelanja berdasarkan tradisi masyarakat untuk


(30)

menggunakan alat tukar yang sah, sehingga timbullah beberapa jenis pasar tradisional yang pada umumnya dikelola oleh pedagang kecil dan menengah. Pertumbuhan ekonomi yang merupakan ujung tombak perekonomian nasional perlu ditingkatkan antara lain melalui terbentuknya pasar tradisional yang dapat memenuhi permintaan masyarakat yang usahanya dikelola secara maju dan modern. Untuk itu tiba saatnya membenahi ekonomi pedesaan maupun perkotaan melalui peningkatan pengelolaan pasar tradisional yang maju dan kegiatannya digerakkan oleh pedagang kecil dan menengah.

Kondisi pasar tradisional sekarang dapat terlihat dalam perpasaran dewasa ini, di mana sering timbul dikotomi pasar modern dan pasar tradisional. Pasar modern sering dianggap sebagai penyebab tersingkirnya pasar tradisional, sementara lingkungan strategis perpasaran berubah dengan pesat. Perubahan ini meliputi beberapa aspek antara lain kependudukan, pemukiman, pertumbuhan/perkembangan ekonomi, perkembangan IPTEK, RUTR/RTRW dan perkembangan kebijakan pemerintahan secara global, regional, nasional maupun karena proses otonomi daerah.

Pasar tradisional mengingat peranannya yang sangat strategis, selain akan menciptakan lapangan kerja juga akan menumbuhkan dunia usaha dan kewiraswastaan baru dalam jumlah banyak sehingga kelompok ini mempunyai keterkaitan dengan sektor industri dan jasa lainnya. Dalam kegiatan inilah proses membangun pasar tradisional perlu dilakukan, pembinaan dan penataan melalui uluran tangan pemerintah secara menyeluruh dan terus menerus (sustainability) dilakukan. Dengan demikian, diharapkan karena peranannya, maka pasar tradisional dapat menumbuhkan tata perdagangan yang lebih mantap, lancar, efektif, efisien dan berkelanjutan dalam satu mata rantai perdagangan nasional yang kokoh. (Yogi, 2000).

2.3. Jasa

Pengertian jasa yang baik perlu di dukung dengan pengertian jasa itu sendiri. Aspek-aspek yang menciptakan jasa serta strategi yang di perhatikan oleh para penyedia jasa itu sendiri. Elemen-elemen apa saja yang mengisi sistem dan jasa tersebut. Hal ini akan di uraikan sebagai berikut :


(31)

2.3.1 Pengertian Jasa

Sejumlah ahli bidang jasa telah berusaha untuk merumuskan definisi jasa yang konklusif, namun hingga saat ini belum ada satu pun definisi yang di terima secara bulat. Keberagaman definisi tentang jasa tersebut dapat di lihat dalam definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ahli, di bawah ini:

a. Kotler (1997) merumuskan tentang jasa sebagai berikut “Setiap tindakan atau unjuk kerja yang di tawarkan oleh salah satu pihak ke pihak lain yang secara prinsip ketidaknyataan (intangible) dan tidak menyebabkan perpindahan kepemilikan apapun. Produksinya bisa terkait dan bisa juga tidak terikat pada suatu produk fisik.

b. Menurut Lovelock dan Wright (2005) Jasa adalah :

1. Tindakan atau kinerja yang ditawarkan suatu pihak kepada pihak lainnya. Walaupun prosesnya mungkin terkait dengan produk fisik, kinerjanya pada dasarnya tidak nyata dan tidak menghasilkan kepemilikan atas faktor-faktor produksi.

2. Jasa adalah kegiatan ekonomi yang menciptakan dan memberikan manfaat bagi pelanggan pada waktu dan tempat tertentu, sebagai hasil dari tindakan yang mewujudkan perubahan yang diinginkan dalam diri atau atas nama penerima jasa tersebut. Sedangkan manfaat yang diperoleh pelanggan dari kinerja jasa atau pengguna barang fisik.

c. Mudrick, dkk (1990). Mendefinisikan jasa dari sisi penjualan dan konsumsi secara kontras dengan barang. “Barang adalah suatu obyek yang tangible yang dapat di ciptakan dan di jual atau dapat di gunakan setelah jangka waktu tertentu. Jasa adalah intangible (Seperti kenyamanan hiburan, kecepatan, kesenangan dan kesetiaan dan perishable (jasa tidak mungkin di simpan sebagai persediaan yang siap di jual atau di konsumsi pada saat di butuhkan). Jasa dapat di ciptakan dan dikomsumsi secara simultan.

Definisi jasa dapat disimpulkan sebagai suatu pemberian kinerja atau tindakan tak kasat mata dari satu pihak kepada pihak lain (Rangkuti, 2003). Sukses suatu industri jasa tergantung pada sejauh mana perusahaan mampu mengelola ketiga aspek berikut :


(32)

2. Kemampuan perusahaan untuk membuat karyawan mampu memenuhi janji tersebut.

3. Kemampuan karyawan untuk menyampaikan janji tersebut kepada pelanggan.

2.3.2 Ciri/Karakteristik Jasa

Menurut Kotler (1997) jasa memiliki empat ciri utama yaitu: 1. Ketidaknyataan (intangibility)

Jasa adalah tidak nyata, tidak dapat dilihat, di rasakan, di raba, di dengar atau di cium sebelum produknya di konsumsi. Untuk mengurangi ketidakpastian pembeli akan mencari tanda/bukti dari mutu jasa tersebut dari tempat orang, peralatan, bahan komunikasi, bahan simbol-simbol dan harga yang mereka lihat.

2. Keadaan tidak dapat terpisahkan (inseparability)

Jasa-jasa umumnya di produksi secara khusus dan di konsumsi pada waktu bersamaan. Jika jasa di berikan oleh seseorang maka orang tersebut baik penyedia, maupun konsumen akan mempengaruhi jasa tersebut.

3. Keragaman (variability)

Jasa-jasa yang sangat beragam karena tergantung kepada siapa yang menyediakan jasa dan kapan serta di mana jasa tersebut di sediakan. Di sini pembeli jasa akan berhati-hati terhadap keragaman seperti ini dan seringkali membicarakannya dengan orang lain sebelum memilih seorang penyedia jasa. 4. Keadaan tidak tahan lama (perishability)

Keadaan tidak tahan lama dan jasa-jasa bukanlah suatu masalah jika permintaannya adalah stabil, karena mudah untuk melakukan persiapan pelayanan sebelumnya. Jika permintaan terhadapnya adalah berfluktuasi, maka perusahaan jasa menghadapi masalah yang sulit.

2.3.3 Pemasaran Jasa

Produk jasa merupaka kinerja yang tidak berwujud, meskipun jasa sering melibatkan elemen yang berwujud namun kinerja jasa merupakan elemen tidak berwujud (intangible) sehingga manfaat jasa berasal dari sifat penyampaiannya


(33)

(Lovelock, 2005). Tujuan manajemen jasa pelayanan adalah untuk mencapai tingkat kualitas pelayanan tertentu. Hal ini mempunyai kaitan erat dengan pelanggan sehingga sering dihubungkan dengan tingkat kepuasan pelanggan (Rangkuti, 2003).

Definisi pemasaran jasa dapat disimpulkan sebagai bagian dari sistem jasa keseluruhan dimana perusahaan tersebut memiliki semua bentuk kontak dengan pelanggannya, mulai dari pengiklanan hingga penagihan. Hal ini mencakup kontak yang dilakukan pada saat penyerahan jasa (Lovelock, 2005).

Menurut Rangkuti (2003) ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam konsep manajemen jasa pelayanan, antara lain:

1. Merumuskan strategi pelayanan

Strategi pelayanan dimulai dengan perumusan suatu tingkat keunggulan yang dijanjikan kepada pelanggan. Perumusan strategi pelayanan dilakukan dengan merumuskan apa bidang usaha perusahaan, siapa pelanggan perusahaan, dan apa yang bernilai bagi pelanggan.

2. Menkomunikasikan kualitas kepada pelanggan

Mengkomunikasikan kualitas kepada pelanggan membantu pelanggan agar tidak salah menafsirkan tingkat kepentingan yang akan diperolehnya.

3. Penetapan standar kualitas dengan jelas

Penetapan standar kualitas dengan jelas dapat membantu setiap orang mengetahui dengan jelas tingkat kualitas yang harus dicapai.

4. Menetapkan sistem pelayanan efektif

Menghadapi pelanggan tidaklah cukup hanya dengan senyuman dan sikap ramah, tetapi perlu suatu sistem yang terdiri dari metode dan prosedur untuk dapat memenuhi kebutuhan pelanggan secara tepat.

5. Karyawan berorientasi kepada kualitas pelayanan

Setiap karyawan yang terlibat dalam jasa pelayanan harus mengetahui dengan jelas standar kualitas pelayanan.


(34)

Pihak yang menentukan kualitas jasa pelayanan adalah pelanggan. Perusahaan perlu mengetahui sejauh mana tingkat kepuasan pelanggan dan kebutuhan pelanggan yang perlu dipenuhi oleh perusahaan.

2.3.4 Kualitas Jasa

Menurut Rangkuti (2003) kualitas jasa dipengaruhi oleh dua variabel, yaitu jasa yang dirasakan (perceived service) dan jasa yang diharapkan (expected service). Bila jasa yang dirasakan lebih kecil daripada yang diharapkan, para pelanggan menjadi tidak tertarik pada penyedia jasa yang bersangkutan. Sedangkan bila sebaliknya jasa yang dirasakan lebih besar daripada yang diharapkan, ada kemungkinan para pelanggan akan menggunakan penyedia jasa itu lagi. Jika penyerahan jasa berada dalam zona toleransi, pelanggan akan merasa jasa ini memadai (Lovelock, 2005).

Kesenjangan jasa merupakan penilaian pelanggan secara keseluruhan terhadap apa yang diharapkan dibandingkan dengan apa yang diterima. Kesenjangan jasa didefenisikan sebagai perbedaan antara apa yang diharapkan pelanggan dan persepsi pelanggan terhadap jasa yang benar-benar diserahkan (Lovelock, 2005).

Menurut Zeithaml et al dalam Rangkuti (2003), ada lima kesenjangan (gap) yang menyebabkan kegagalan penyampaian jasa kepada pelanggan, yaitu :

1. Kesenjangan tingkat kepentingan pelanggan dan persepsi manajemen

Pihak manajemen perusahaan tidak selalu dapat merasakan atau memahami secara tepat apa yang diinginkan oleh para pelanggannya. Akibatnya manajemen tidak mengetahui bagaimana produk jasa seharusnya didesain dan jasa pendukung apa saja yang diinginkan oleh pelanggan.

2. Kesenjangan antara persepsi manajemen terhadap tingkat kepentingan pelanggan dan spesifikasi kualitas jasa

Kadangkala manajemen mampu memahami secara tepat apa yang diinginkan oleh pelanggan, tetapi pihak manajemen tidak menyusun standar kinerja yang jelas.


(35)

Hal ini dapat terjadi apabila karyawan kurang terlatih (belum menguasai tugasnya), beban kerja karyawan yang terlalu berat, dan ketidak mampuan memenuhi standar kinerja yang ditetapkan.

4. Kesenjangan antara penyampaian jasa komunikasi eksternal

Seringkali tingkat kepentingan pelanggan dipengaruhi oleh iklan dan pernyataan atau janji yang dibuat oleh perusahaan. Resiko yang dihadapi oleh perusahaan adalah apabila janji yang diberikan ternyata tidak dapat dipenuhi, yang menyebabkan terjadinya persepsi negatif terhadap kualitas jasa perusahaan.

5. Kesenjangan antara jasa yang dirasakan dan jasa yang diharapkan

Kesenjangan terjadi apabila pelanggan mengukur kinerja perusahaan dengan cara yang berbeda, atau apabila pelanggan keliru mempersepsikan kualitas jasa tersebut. Ada lima dimensi yang di gunakan dalam menentukan kualitas pelayanan yaitu:

2.3.5 Penilaian Kualitas Pelayanan Jasa

Salah satu cara agar penjualan jasa perusahaaan lebih unggul dibandingkan para pesaingnya adalah dengan memberikan pelayanan yang berkualitas dan bermutu, yang memenuhi tingkat kepentingan pelanggan. Tingkat kepentingan pelanggan dapat dibentuk berdasarkan pengalaman dan saran yang diperoleh. Konsumen memilih pemberi jasa berdasarkan peringkat kepentingan. Setelah menikmati jasa tersebut mereka cenderung akan membandingkannya dengan yang mereka harapkan. Dalam merumuskan strategi dan program pelayanan, perusahaan harus beriorientasi pada kepentingan pelanggan dengan memperhatikan komponen kualitas pelayanan (Rangkuti, 2003).

Pelanggan menilai tingkat kepuasan atau ketidakpuasan mereka setelah menggunakan jasa dan informasi untuk memperbaharui persepsi mereka tentang kualitas jasa, tetapi sikap terhadap kualitas tidak bergantung pada pengalaman. Orang sering mendasarkan penilaian tentang kualitas jasa yang belum pernah mereka pakai pada informasi dari mulut atau iklan perusahaan. Namun pelanggan harus benar-benar menggunakan jasa untuk mengetahui apakah mereka puas atau


(36)

tidak dengan hasilnya (Lovelock, 2005). Gambar 2 menunjukkan hubungan antara harapan, kepuasan pelanggan, dan kualitas jasa.

Ukuran-ukuran kualitas jasa

Keunggulan jasa yang dipahami atau dipersepsikan

Memadainya jasa yang dipahami

Jasa diharapkan Jasa diinginkan

Jasa memadai

Jasa yang dipahami

Jasa yang diperkirakan

Kepuasan

Sumber: Lovelock et al (2005)

Gambar 2. Hubungan antara Harapan, Kepuasan dan Kualitas Jasa yang dipersepsikan

Harapan pelanggan terdiri atas beberapa elemen, termasuk jasa yang diinginkan, jasa yang memadai, jasa yang dipahami, dan zona toleransi yang berkisar antara tingkat-tingkat jasa yang diinginkan dan memadai. Menurut Lovelock (2005) jasa yang diinginkan (desired service) adalah jenis jasa yang diharapkan pelanggan akan mereka terima. Sedangkan tingkat harapan yang lebih rendah disebut jasa yang memadai (adequate service) yaitu tingkat jasa minimun yang dapat diterima pelanggan tanpa merasa tidak puas. Selain itu terdapat elemen harapan pelanggan yang lain dipandang dari sudut produsen yaitu jasa yang diperkirakan (predicted service) adalah tingkat jasa yang sesungguhnya diharapkan untuk diterima pelanggan dari penyedia jasa selama pertemuan jasa tertentu (Lovelock, 2005). Diantara tingkat jasa yang diinginkan (desired service) dan jasa yang memadai (adequate service) terdapat zona toleransi (zone of tolerance). Hubungan ini diilustrasikan oleh Gambar 3.

Desire Service


(37)

Sumber: Lovelock et al (2005)

Gambar 3. Zona Toleransi

Menurut Lovelock (2005) pelanggan menggunakan lima dimensi kualitas untuk menilai kualitas jasa :

1. Reliability (Keandalan)

Kemampuan untuk memberikan jasa secara akurat sesuai dengan yang dijanjikan.

2. Responsiveness (Cepat tanggap)

Kemampuan karyawan untuk membantu konsumen menyediakan jasa dengan cepat sesuai dengan yang diinginkan oleh konsumen.

3. Assurance (Jaminan)

Pengetahuan dan kemampuan karyawan untuk melayani dengan rasa percaya diri.

4. Emphaty (Empati)

Karyawan harus memberikan perhatian secara individual kepada konsumen dan mengerti kebutuhan konsumen.

5. Tangible (Keberwujudan)

Penampilan fasilitas fisik, peralatan, personel, dan alat-alat komunikasi.

Kriteria yang di gunakan oleh konsumen untuk mengevaluasi kualitas jasa yaitu: 1. Credibility (kredibilitas) perusahaan dan pegawainya jujur dan dapat di

percaya sebagai penyedia jasa.

2. Security (keamanan), jasa yang di berikan bebas dari bahaya, resiko dan kerugian. Access (akses), mudah di dapat pada tempat dan waktu yang tepat tanpa perlu banyak menunggu.

3. Communication (komunikasi), menjelaskan dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh konsumen.

4. Understanding The Custoumer (memahami konsumen), berusaha memahami kebutuhan dan keinginan konsumen.

5. Tangibles (nyata), penampilan dan fasilitas fisik, perlengkapan dan pegawai 6. Reliability (keandalan) kemampuan memberikan jasa secara konsisten dan


(38)

7. Responsiveness (responsif), kemampuan untuk menolong konsumen dan penyediaan jasa dengan tepat.

8. Competence (kompetensi), para pegawai memiliki kemampuan dan keahlian serta pengetahuan yang di perlukan.

9. Courtesy (kesopanan), pegawai harus ramah, terhormat, perhatian dan bersahabat.

10. Access (Akses), mudah di dapat pada tempat dan waktu yang tepat tanpa perlu banyak menunggu.

2.4. Persepsi Pelanggan

Persepsi didefinisikan sebagai suatu proses memperhatikan dan menyeleksi, mengorganisasikan dan menafsirkan stimulus lingkungan melalui panca indera (pendengaran, penglihatan, perasa, penciuman, dan peraba). Meskipun demikian, makna dari proses persepsi tersebut juga dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu individu yang bersangkutan. Adapun faktor-faktor yang berpengaruh terhadap persepsi pelanggan adalah harga, citra, tahap pelayanan, dan momen pelayanan. Persepsi pelanggan terhadap produk atau jasa berpengaruh terhadap tingkat kepentingan pelanggan, kepuasan pelanggan, dan nilai pelanggan (Rangkuti, 2003).

2.4.1. Tingkat Kepentingan Pelanggan

Tingkat kepentingan pelanggan didefinisikan sebagai keyakinan pelanggan sebelum mencoba atau membeli suatu produk jasa yang akan dijadikannya standar acuan dalam menilai kinerja produk jasa tersebut (Rangkuti, 2003). Menurut Lovelock (2005), menyatakan bahwa ada dua tingkat kepentingan pelanggan, yaitu :

1. Adequate service adalah tingkat kinerja jasa minimal yang akan diterima pelanggan tanpa merasa tidak puas.

2. Desire service adalah tingkat kualitas jasa yang diidam-idamkan, yang diyakini pelanggan dapat dan seharusnya diberikan.


(39)

Diantara adequate service dengan desire service terdapat zone of tolerance, yaitu rentang dimana variasi pelayanan yang masih dapat diterima oleh pelanggan (Lovelock, 2005).

2.4.2. Kepuasan Pelanggan

Irawan (2007) mendefinisikan kepuasan pelanggan sebagai persepsi pelanggan terhadap produk atau jasa yang telah memenuhi harapannya. Pelanggan tidak akan puas apabila pelanggan mempunyai persepsi bahwa harapannya belum terpenuhi dan sebaliknya pelanggan akan puas apabila persepsinya sama atau lebih dari yang diharapkan. Kepuasan pelanggan, selain dipengaruhi oleh persepsi kualitas jasa, juga ditentukan oleh kualitas produk, harga, kualitas pelayanan (service quality) dan faktor-faktor yang bersifat situasional (emotional factor).

Menurut Kotler (2005), kepuasan didefenisikan sebagai perasaan senang atau kecewaa seseorang yang muncul setelah membandingkan antara persepsi/kesannya terhadap kinerja (atau hasil) suatu produk dan harapan-harapannya. Jika kinerja berada dibawah harapan pelanggan tidak puas, jika kinerja memenuhi harapan pelanggan puas dan jika kinerja melebihi harapan pelanggan sangat puas. Sedangkan menurut Lovelock (2005), kepuasan pelanggan adalah keadaan emosional, reaksi pasca pembelian mereka dapat berupa kemarahan, ketidakpuasan, kejengkelan, netralitas, kegembiraan, atau kesenangan.

2.4.3.Nilai Pelanggan

Drucker dalam Kotler (2005) menyatakan bahwa tugas pertama sebuah perusahaan adalah menciptakan pelanggan. Nilai yang diterima pelanggan (Customer Delivered Value) adalah selisih antara total customer value atau jumlah nilai bagi pelanggan dan total customer cost atau biaya total pelanggan. Total customer value adalah kumpulan mamfaat yang diharapkan diperoleh pelanggan dari produk atau jasa tertentu. Total customer cost adalah kumpulan pengorbanan yang diperkirakan pelanggan akan terjadi dalam mengevaluasi, memperoleh dan menggunakan produk jasa tersebut.


(40)

Menciptakan nilai untuk pelanggan berkaitan dengan konsep 8 P (Lovelock, 2005), yaitu :

1. Tempat dan waktu (place and time), keputusan manajemen tentang kapan, di mana, dan bagaimana menyampaikan jasa tersebut kepada pelanggan.

2. Proses (process), metode pengoperasian atau serangkaian tindakan tertentu, yang umumnya berupa langkah-langkah yang diperlukan dalam suatu urutan yang telah ditetapkan.

3. Produktivitas (productivity), seberapa efisien pengubahan input jasa menjadi output yang menambah nilai bagi pelanggan.

4. Produk (product), semua komponen kinerja jasa yang menciptakan nilai bagi pelanggan.

5. Orang (people), karyawan (dan kadang-kadang pelanggan lain) yang terlibat dalam proses produksi.

6. Promosi dan edukasi (promotion and education), semua aktivitas dan alat yang menggugah komunikasi yang dirancang untuk membangun prefensi pelanggan terhadap jasa dan penyedia jasa tertentu.

7. Bukti fisik (phisical evidence), petunjuk visual atau berwujud lainnya yang memberi bukti atas kualitas jasa.

8. Harga dan biaya jasa lainnya (price and others cost service), pengeluaran uang, waktu dan usaha oleh pelanggan untuk membeli dan mengkomsumsi jasa.

Menurut Rangkuti (2003) nilai didefinisikan sebagai pengkajian secara menyeluruh manfaat suatu produk yang didasarkan pada persepsi pelanggan atas apa yang telah diterima oleh pelanggan dan yang telah diberikan oleh produk tersebut. Pelanggan membutuhkan pelayanan serta manfaat dari produk. Selain uang, pelanggan mengeluarkan waktu dan tenaga guna mendapatkan suatu produk.

2.4.4.Proses Kepuasan Pelanggan

Kepuasan pelanggan terhadap suatu jasa ditentukan oleh tingkat kepentingan pelanggan sebelum menggunakan jasa dibandingkan dengan hasil persepsi pelanggan terhadap jasa tersebut setelah pelanggan merasakan kinerja jasa


(41)

tersebut. Salah satu faktor yang menentukan kepuasan pelanggan adalah kualitas pelayanan yang terdiri dari lima dimensi pelayanan. Kesenjangan merupakan ketidaksesuaian antara pelayanan yang dipersepsikan (perceived service) dan pelayanan yang diharapkan (expected service).

Kesenjangan terjadi apabila pelanggan mempersepsikan pelayan yang diterimanya lebih tinggi daripada desired service atau lebih rendah daripada adequate service kepentingan pelanggan tersebut. Dengan demikian, pelanggan dapat merasakan sangat puas, atau sebaliknya, sangat kecewa (Rangkuti 2003).

Persepsi Pelanggan

Perceived Service

Desired Service

Adequate Services Pelanggan sangat puas

Pelanggan sangat tidak puas Harapan

Pelanggan

Sumber: Rangkuti, 2003

Gambar 4. Diagram Proses Kepuasan Pelanggan

2.4.5. Survei Kepuasan Pelanggan

Survei kepuasan pelanggan merupakan salah satu cara untuk mengetahui nilai-nilai yang terdapat dalam diri pelanggan (customer values). Survei kepuasan pelanggan perlu dilakukan oleh suatu perusahaan agar perusahaan memperoleh umpan balik (feed back) dari pelanggan sehingga tercapai komunikasi dua arah (two ways traffic communication) antara kedua belah pihak.

Menurut Berry dalam Lovelock (2005) agar survei yang berkelanjutan seharusnya dilakukan dengan menggunakan portfolio teknik riset yang membentuk sistem informasi kualitas jasa (service quality information system) suatu perusahaan. Pendekatan yang memungkinkan mencakup :

1. Survei transaksi (transactional survey), didesain untuk mengukur kepuasan dan persepsi pelanggan tentang pengalaman jasa pada saat masih segar dalam ingatan pelanggan tersebut.


(42)

2. Survei pasar menyeluruh (total market survey), mengukur penilaian total pelanggan terhadap kualitas jasa.

3. Belanja misterius, orang yang disewa perusahaan untuk bertindak sebagai pelanggan biasa.

4. Survei pelanggan yang baru, berkurang, dan sebelumnya, bertanya kepada pelanggan sebelumnya mengapa mereka berpindah dapat sangat membantu – kalau informasinya menenangkan hati – untuk melihat bidang – bidang di mana kekurangan kualitas jasa suatu perusahaan.

5. Wawancara kelompok fokus (focus group interview), dilakukan dengan mengajukan pertanyaan kepada sekelompok wakil pelanggan tentang masalah atau topik khusus.

6. Laporan lapangan karyawan, merupakan metode sistematis untuk mengetahui apa yang dipelajari karyawan dari interaksi mereka dengan pelanggan dan dari pengamatan langsung mereka terhadap perilaku pelanggan.

Salah satu tujuan penting dari survei kepuasan pelanggan adalah untuk membuat produk atau jasa yang ditawarkan dapat memberikan keuntungan yang optimal kepada pelanggan tanpa menimbulkan kerugian bagi perusahaan yang bersangkutan sehingga perusahaan dapat menghasilkan produk atau jasa yang mampu menciptakan nilai superior kepada pelanggan.

2.4.6.Manfaat Pengukuran Mutu dan Kepuasan Pelanggan

Supranto (2001) menyatakan bahwa pengukuran tingkat kepuasan erat hubungannya dengan mutu produk (barang atau jasa). Pengukuran aspek mutu bermanfaat bagi pimpinan bisnis, antara lain :

1. Mengetahui dengan baik bagaimana jalannya atau bekerjanya proses bisnis. 2. Mengetahui dimana harus melakukan perubahan dalam upaya melakukan

perbaikan secara terus-menerus untuk memuaskan pelanggan, terutama untuk hal-hal yang dianggap penting oleh para pelanggan.

3. Menentukan apakah perubahan yang dilakukan mengarah ke perbaikan (improvement).

Menurut Gerson (2004), ada lima manfaat dari pengukuran mutu dan kepuasan pelanggan, sebagai berikut :


(43)

1. Pengukuran menyebabkan orang memiliki rasa berhasil dan berprestasi, yang kemudian diterjemahkan menjadi pelayanan yang prima kepada pelanggan. 2. Pengukuran bisa dijadikan dasar menentukan standar kinerja dan standar

prestasi yang harus dicapai, yang akan mengarahkan menuju mutu yang semakin baik dan kepuasan pelanggan meningkat.

3. Pengukuran memberikan umpan balik segera kepada pelaksana, terutama bila pelanggan sendiri yang mengukur kinerja pelaksana atau perusahaan yang memberikan pelayanan.

4. Pengukuran memberitahukan anda apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki mutu dan kepuasan pelanggan serta bagaimana harus melakukannya.

5. Pengukuran memotivasi orang untuk melakukan dan mencapai tingkat produktivitas yang lebih tinggi.

2.5. Kerangka Pemikiran

Semangat kewirausahaan pada era Global ini tidak hanya di dominasi oleh sektor privat saja, sektor publik pun perlu segera menerapkannya, betapa tidak, dengan munculnya dan berkembangnya sektor privat yang mampu memberikan

public service maupun public good yang lebih baik kepada masyarakat maka secara langsung maupun tidak langsung birokrasi pemerintahan mempunyai kompetitor (Krisna: 2003).

Pengelolaan pasar adalah menjadi tanggungjawab pemerintah sebagai pelayanan sektor publik terhadap masyarakat karena dengan meningkatkan pelayanan dan pengelolaan Pasar Citeureup I akan meningkatkan pula retribusi pasar, maupun retribusi kebersihan pasar. Sebaliknya jika pengelolaan dan pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah kurang efektif dan kurang efisien sementara pihak yang dilayaninya terus dituntut untuk memenuhi kewajiban dengan jalan membayar berbagai jenis retribusi, sementara di sisi lain hak-hak mereka kurang dipenuhi, pada akhirnya akan timbul ketidakpuasan dari para konsumen/pelanggan pasar, maka semakin lama akan meninggalkan pasar tradisional karena ketika mereka masuk ke pasar sudah di pungut berbagai biaya,


(44)

sementara kenyamanan serta pelayanan terhadap sarana dan prasarana tidak dirasakan sesuai dengan keinginan para pelanggan.

Pengelolaan pasar tradisional sebagai indikatornya adalah : (1) Sistem manjemen pengelolaan keuangan, (2) Sistem pengelolaan sampah, (3) Sistem sarana dan parasarana, (4) Pengelolaan dan rasa aman, (5) pengelolaan dan proteksi harga, dan (6) kepastian hukum. Jika semua telah terpenuhi maka tidak menutup kemungkinan konsumen/pelanggan pasar yang tadinya sudah meninggalkan pasar tradisional akan kembali lagi.

Dalam persaingan yang semakin tajam diantara perusahaan saat ini, maka kepuasan pelanggan menjadi prioritas dimana tingkat kepentingan dan harapan pelanggan serta pelaksanaan atau kinerja yang dilakukan perusahaan haruslah sesuai. Perusahaan harus memperhatikan hal-hal yang dianggap penting oleh para pelanggan, agar mereka merasa puas.

Meningkatnya pengelolaan pasar dan pengelolaan kebersihan pasar akan meningkatkan retribusi pasar dan retribusi kebersihan, meningkatnya kedua retribusi tersebut kalau pengelolaan pasar sudah berjalan dengan efektif dan efisien sehingga konsumen akan menyukai berbelanja di pasar tradisional. Selain itu pula pihak pemerintah harus mampu meningkatkan pengelolaan pasar dengan menciptakan rasa aman, nyaman terhadap para konsumen yang berbelanja di pasar tradisional.

Dengan meningkatkan pengelolaan pasar, nantinya akan berdampak kepada sejauh mana tingkat kepuasan, terutama tingkat kepuasan pedagang di lingkungan pasar. Selanjutnya akan dianalisis dan hasilnya akan dijadikan sebagai dasar dalam penyusunan program pengelolaan Pasar Citeureup I untuk pengelolaan pasar yang lebih baik kedepan. Alur kerangka pemikiran yang telah diuraikan di atas dapat dilihat pada Gambar 5.


(45)

Gambar 5: Alur Kerangka Pemikiran

Pasar Citeureup I

Visi & Misi

Pengelolaan Pasar

Kinerja

Kualitas Produk Kualitas jasa

Tanggapan pedagang

IPA dan CSI

Tingkat Kepentingan Tingkat kepuasan

Kepuasan pedagang

Analisis SWOT

Pemerintah Daerah


(46)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Kajian

Kajian dilakukan di Pasar Citeureup I yang beralamat di Jalan Mayor Oking Jaya Atmaja, Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, yang dipilih secara sengaja. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan selama 3 bulan (dari bulan Mei sampai Juli 2008).

3.2. Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer bersumber dari pedagang Pasar Citeureup I, Direksi PD Pasar Tohaga Kab.Bogor dan pegawai Unit Pasar Citeureup I selaku penentu kebijakan. Data sekunder diperoleh dari sumber berupa studi literatur dan data-data lain yang berkaitan, seperti buku, literatur, internet dan surat kabar. Selain itu dilakukan observasi kelapangan secara langsung.

3.3. Penyusunan dan Uji Coba Kuesioner

Kuesioner dibuat setelah didapatkan kerangka dari konsep penelitian yang akan diukur. Kuesioner yang disebarkan berupa daftar pertanyaan yang telah tertulis dan tersusun rapi. Isi kuesioner secara umum meliputi data karakteristik responden, tingkat kepentingan responden terhadap kualitas pengelolaan, permasalahan atau keluhan yang dihadapi pedagang, serta evaluasi tingkat kepuasan pedagang terhadap pengelolaan Pasar Citeureup I.

Sebelum kuesioner disebarkan kepada pedagang, kuesioner yang telah disusun terlebih dahulu diuji dengan menggunakan sampel beberapa orang responden. Pengujian kelayakan kuesioner dilakukan dengan uji coba kuesioner kepada tiga puluh orang responden.

a. Uji Validitas

Validitas adalah ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan atau keabsahan suatu instrumen penelitian. Instrumen dianggap valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan mampu memperoleh data yang tepat dari


(47)

variabel yang diteliti. Uji validasi digunakan untuk menentukan suatu besaran yang menyatakan bagaimana kuat hubungan suatu variabel dengan variabel lain (Umar,2001). Untuk korelasi antar pertanyaan dengan skor total digunakan rumus teknik korelasi product moment Pearson (Umar, 2001) yaitu :

(

) (

)

( )

[

]

∑ ∑

[

( )

]

− = 2 2 2 2 Y Y n Y X n Y X XY n r ……….(1) Dimana :

r = Angka Korelasi

n = Jumlah contoh dalam penelitian

X = Skor Pertanyaan

Y = Skor Total Responden n dalam menjawab seluruh pertanyaan

Bila diperoleh r hitung lebih besar dari r tabel pada tingkat signifikasi ( ά ) 0,05 maka pernyataan pada kuesioner mempunyai validitas konstruk atau terdapat konsistensi internal dalam pernyataan tersebut dan layak digunakan.

b. Uji Reliabilitas

Reliabilitas adalah tingkat keandalan kuesioner. Kuesioner yang reliabel adalah kuesioner yang apabila dicobakan secara berulang kepada kelompok yang sama akan menghasilkan data yang sama. Uji reliabilitas dilakukan terhadap pertanyaan tingkat kepentingan pedagang dan tingkat kepuasan pedagang untuk mengetahui konsistensi alat ukur dalam mengukur gejala yang sama atau untuk mengetahui tingkat kesalahan pengukuran. Menurut Supranto (2001) pengukuran reliabilitas kuesioner dapat menggunakan teknik Cronbach Alpha dengan bantuan Microsoft SPSS versi 13.00 for Windows. Rumus dari teknik Cronbach ditulis sebagai berikut :

⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ − ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ −

=

2

2 1 1 t b k k r σ σ ………....…………...(2) Dimana :

r = Reliabilitas instrumen

k = Banyak butir pertanyaan


(48)

Σσ

b

² =

Jumlah ragam butir Rumus ragam yang digunakan :

(

)

n n

X X

=

2 2

σ ………..(3)

Dimana :

N = Jumlah responden

X = Nilai skor yang dipilih (total nilai dari nomor-nomor butir pertanyaan)

Menurut George dan Malary dalam Gliem (2003), dinyatakan bahwa nilai reliabilitas terbagi dalam beberapa kriteria, yaitu α.> 0,9 artinya sempurna (exellent), α.> 0,8 artinya baik (good), α > 0,7 artinya dapat diterima (acceptable),

α > 0,6 artinya diragukan (questionable), > 0,5 artinya lemah (poor) dan α < 0,5 artinya tidak dapat diterima (inacceptable).

Menurut Santoso (2006), setelah didapat korelasi hitung, lalu bandingkan dengan korelasi pada tabel r product moment dengan taraf significansi 5 persen. Jika r yang di hitung positif dan lebih besar dari tabel maka kuesioner tersebut reliabel dan sebaliknya jika r yang di hitung lebih kecil dari r pada tabel, maka kuesioner tersebut tidak reliabel. Banyak pendapat yang menyatakan bahwa angka

α

Cronbach minimal adalah 0,7 untuk menyatakan bahwa pertanyaan dapat dikatakan reliabel (Santoso, 2006).

3.4. Metode Penarikan Sampel dan Jumlah Sampel

Metode penarikan sampel yang di gunakan adalah Accidental Sampling.

Jumlah responden ditentukan secara proporsional.

Penentuan jumlah responden didasarkan pada pendapat Slovin dalam

Umar (2001) dengan rumus :

)

1

(

Ne

2

N

n

+

=


(49)

Dimana :

n = Jumlah responden

N = Ukuran populasi

e = Persentase kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan contoh yang dapat ditolerir

Menurut Sevilla dalam Umar (2001) dalam penggunaan rumus diatas persentase kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang masih dapat ditolerir adalah sebesar 10%. Populasi pedagang Pasar Citeureup I per Mei 2008 sebesar 967 pedagang. Dengan demikian jumlah sampel yang diambil berdasarkan rumus di atas adalah :

967…………

n = = 90,63 ≈ 100 responden (1 + 967x 0,1 ²)

Berdasarkan proporsi yang ada, ditentukan :

Jumlah pedagang di kios diambil sebanyak : 408 x n = 42,19 ≈ 42 responden 967

Jumlah pedagang di los diambil sebanyak : 97 x n = 10,03 ≈ 10 responden 967

Jumlah pedagang di radius diambil sebanyak : 100 x n = 10,34 ≈ 10 responden 967

Jumlah pedagang kaki lima diambil sebanyak:362 x n = 37,44 ≈ 38 responden 967

3.5 Metode Pengumpulan Data

Data mengenai kepuasan pedagang yang ditinjau melalui tingkat kepentingan dan tingkat kepuasan pedagang terhadap pengelolaan Pasar Citeureup I diperoleh melalui :


(1)

Lampiran 8. CSI tiap Atribut

No. atribut

Rata- rata Tingkat Kepentingan

Rata- rata Tingkat Kinerja Importance

Weighting Factors (%)

CSI Tiap Atribut (%) Weighted

Score

⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛−

Y

⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ −

X

1 3.990 5.815 2.940 0.171 0.034

2 4.330 6.311 2.300 0.145 0.029

3 4.310 6.282 2.330 0.146 0.029

4 4.140 6.034 3.160 0.191 0.038

5 4.360 6.355 2.640 0.168 0.034

6 4.110 5.990 2.900 0.174 0.035

7 3.890 5.670 2.890 0.164 0.033

8 3.700 5.393 2.870 0.155 0.031

9 3.910 5.699 2.740 0.156 0.031

10 4.000 5.830 2.470 0.144 0.029

11 4.160 6.063 2.360 0.143 0.029

12 4.050 5.903 3.520 0.208 0.042

13 3.920 5.713 3.200 0.183 0.037

14 3.950 5.757 2.890 0.166 0.033

15 3.900 5.684 3.500 0.199 0.040

16 3.940 5.743 2.390 0.137 0.027

17 3.950 5.757 2.630 0.151 0.030

Total 68.610 100.000 Weighted

Total 2.801

Satisfaction


(2)

Lampiran 9. Faktor Strategis Internal dan Eksternal Pasar Citeureup I Matriks Gabungan Penentuan Rating Faktor Internal Kondisi kebersihan Pasar Citeureup I

yang kotor

1 1 2 1,333

Matriks Gabungan Penentuan Rating Faktor Eksternal

Rating

Faktor Strategis Eksternal Rata-Rata

Resp 1 Resp 2 Resp 3 Peluang

Jumlah penduduk Kec.Citeureup (calon konsumen) besar

2 2 3 2,333 Bantuan dana APBD Kab.Bogor

untuk Pasar Citeureup I

1 1 1 1,000 Adanya Perpres No.112 Tahun 2007

tentang penataan dan pembinaan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern

3 2 3 2,667

Ancaman

Adanya Supermarket/Minimarket yang berdekatan dengan Pasar Citeureup I

3 2 2 2,333

Kenaikan harga barang dan harga barang yang di jual kurang kompetitif

4 2 2 2,667

Adanya pasar Citeureup II yang berdekatan dengan Pasar Citeureup I


(3)

Lampiran 10. Nilai Bobot Strategis Internal dan Eksternal Pasar Citeureup I Matriks Gabungan Penentuan Nilai Bobot Faktor Internal Kondisi kebersihan Pasar Citeureup I

yang kotor

0,100 0,133 0,167 0,133

Matriks Gabungan Penentuan Nilai Bobot Faktor Eksternal

Rating

Faktor Strategis Eksternal Rata-Rata Resp 1 Resp 2 Resp 3

Peluang

Jumlah penduduk Kec.Citeureup (calon konsumen) besar

0,200 0,200 0,183 0,194 Bantuan dana APBD Kab.Bogor

untuk Pasar Citeureup I

0,100 0,117 0,133 0,117 Adanya Perpres No.112 tahun 2007 0,150 0,150 0,150 0,150

Ancaman

Adanya Supermarket/Minimarket yang berdekatan dengan Pasar Citeureup I

0,200 0,150 0,167 0,172

Kenaikan harga barang dan harga barang yang di jual kurang kompetitif

0,117 0,183 0,200 0,167

Adanya pasar Citeureup II yang berdekatan dengan Pasar Citeureup I


(4)

Lampiran 11. Matriks IFE dan EFE

Matriks Evaluasi faktor internal (IFE matriks) pasar Citeureup I

No Faktor Strategis Internal Bobot Rating Skor

Kekuatan 1,670

1. Kemudahan dalam pengurusan sewa tempat di Pasar Citeureup I

0,217 3,000 0,651

2. Pelayanan yang baik diberikan pegawai unit Pasar Citeureup I

0,156 3,667 0,572

3. Kejujuran petugas penarik retribusi Pasar Citeureup I

0,122 3,667 0,447

Kelemahan 0,795

1. Pengelola Pasar kurang memberikan Pembinaan dan penyuluhan secara baik dan teratur terhadap pedagang Pasar Citeureup I

0,183 2,000 0,366

2. Kondisi tempat usaha yang tidak tertata, terawat dan kotor

0,189 1,333 0,252

3. Kondisi kebersihan pasar Citeureup I yang kotor

0,133 1,333 0,177

Total 1 2,465

Matriks Evaluasi Faktor Eksternal (EFE Matriks) Pasar Citeureup I

No Faktor Strategis Eksternal Bobot Rating Skor

Peluang 0,970

1. Jumlah penduduk Kec. Citeureup (Calon Konsumen) besar

0,194 2,333 0,453

2. Bantuan dana APBD Kab.Bogor untuk Pasar Citeureup I

0,117 1,000 0,117

3. Adanya Perpres no 112 Tahun 2007 tentang penataan dan pembinaan pasar

0,150 2,667 0,400

Ancaman 1,179

1. Adanya Supermarket/Minimarket yang berdekatan dengan Pasar Citeureup I

0,172 2,333 0,401

2. Kenaikan harga barang dan harga barang yang di jual kurang kompetitif

0,167 2,667 0,445

3. Adanya pasar Citeureup II yang berdekatan dengan Pasar Citeureup I

0,200 1,667 0,333


(5)

Lampiran 12. Matriks QSP Pasar Citeureup I

Strategi 1 Strategi 2 No Faktor Strategis Internal Bobot

NDT TNDT NDT TNDT Kekuatan

1 Kemudahan dalam pengurusan

sewa tempat usaha di Pasar Citeureup I

0,200 3,667 0,733 2,667 0,533

2 Pelayanan yang baik diberikan

pegawai unit Pasar Citeuereup I

0,150 3,333 0,499 3,333 0,499

3 Kejujuran petugas penarik

retribusi Pasar Citeureup I

0,133 3,667 0,488 3,333 0,443

Kelemahan

4 Pengelola kurang memberikan

pembinaan dan penyuluhan secara baik teratur terhadap pedagang Pasar Citeureup I

0,150 3,333 0,499 3,333 0,499

5 Kondisi tempat usaha yang tidak

tertata, terawat, dan kotor

0,200 3,667 0,733 2,667 0,533

6 Kondisi kebersihan Pasar

Citeureup I yang kotor

0,167 3,667 0,612 2,667 0,445

Peluang

7 Jumlah penduduk kec. Citeureup

(calon konsumen) besar

0,183 3,333 0,609 2,667 0,488

8 Bantuan dana APBD Kab. Bogor

untuk Pasar Citeureup I

0,133 3,333 0,443 3,333 0,443

9 Adanya Perpres No. 112 Tahun

2007 tentang pentaan dan pembinaan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan took modern

0,150 3,333 0,449 3,333 0,499

Ancaman

10 Adanya supermarket/ minimarket

yang berdekatan dengan Pasar Citeureup I

0,167 3,333 0,557 3,333 0,557

11 Kenaikan harga barang dan harga

barang yang di jual kurang kompetitif

0,200 3,667 0,733 2,667 0,533

12 Adanya pasar Citeureup II yang

berdekatan dengan Pasar Citeureup I

0,167 2,667 0,445 2,667 0,445


(6)

Lanjutan Lampiran 12. Matriks QSP Pasar Citeureup I

Strategi 3 Strategi 4 Strategi 5 Strategi 6 Strategi 7 Faktor

Strategis Bobot NDT TNDT NDT TNDT NDT TNDT NDT TNDT NDT TNDT

Kekuatan

1 0,20 3,333 0,667 3,667 0,733 3,333 0,667 3,333 0,667 3,333 0,667

2 0,15 3,333 0,499 3,667 0,550 3,333 0,499 3.333 0,499 3,333 0,499

3 0,133 3,333 0,443 3,667 0,488 3,667 0,488 3,667 0,488 3,333 0,443

Kelemahan

4 0,15 3,333 0,499 3,333 0,499 3,333 0,499 3,333 0,499 3,667 0,450

5 0,20 3,667 0,733 3,667 0,733 3,333 0,667 3,333 0,667 3,667 0,733

6 0,167 3,333 0,557 3,333 0,557 3.333 0,557 3,333 0,557 3,333 0,557

Peluang

7 0,183 2,667 0,488 3,333 0,609 3,333 0,609 3,333 0,609 2,667 0,488

8 0,133 3,333 0,443 3,667 0,488 3,333 0,443 3,333 0,443 3,667 0,488

9 0,150 3,333 0,499 3,667 0,550 3,333 0,499 3,333 0,499 3,333 0,499

Ancaman

10 0,167 3,333 0,557 3,333 0,557 3,333 0,557 3,333 0,557 3,333 0,557

11 0,20 2,667 0,533 3,333 0,667 3,667 0,733 3,333 0,667 3,333 0,667

12 0,167 2,667 0,445 3,333 0,557 3,333 0,557 2,667 0,445 2,667 0,445

Total 6,383 6,988 6,775 6,597 6,483