Hubungan antara Sibling Rivalry dengan Kemampuan Penyesuaian Sosial Anak Usia Sekolah di SDN Cireundeu III

(1)

ii

HUBUNGAN ANTARA SIBLING RIVALRY DENGAN

KEMAMPUAN PENYESUAIAN SOSIAL ANAK

USIA SEKOLAH DI SDN CIREUNDEU III

Skripsi Diajukan Sebagai Tugas Akhir Strata-1 (S-1) pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)

Oleh:

ETIKA RAHMAWATI

109104000052

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1434 H/2013 M


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

v

Nama : Etika Rahmawati

Tempat, Tgl lahir : Lampung, 27 September 1991 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Dusun II Desa Tanjung Bulan, Kec. Rambang Kuang, Kab. Ogan Ilir Palembang Sumatera Selatan 30665

Hp : 087774453443

Email : ticha_bestgirl@yahoo.com / etika.rahmawati@gmail.com

Riwayat Pendidikan :

1. TK dan TPA Darul Falah Desa Tanjung Bulan (1996-2000)

2. MI Darul Falah Desa Tanjung Bulan (2000-2003)

3. SDN Desa Tanjung Bulan (1998-2003)

4. MTs Ponpes Nurul Islam Seri Bandung (2003-2006)

5. MAN Sakatiga Ogan Ilir (2006-2009)

6. S-1 Keperawatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2009-2013)

Pengalaman Pelatihan, Seminar, dan Workshop:

1. Pelatihan Kesehatan “Health Training 4 Medical Skill” Tahun 2009

2. Seminar “Cultural Approach In Holistic Nursing Care In Globalization Era” Tahun 2009

3. Diskusi Publik “Kosmetik yang Aman untuk Kecantikan yang Alami” Tahun


(7)

vi

4. Seminar Umum “Hilangnya Ayat dalam Undang-Undang Anti Rokok” pada

Tahun 2009

5. Seminar Nasional “Kehalalan Obat dan Makanan serta Permaslahannya di Indonesia” Tahun 2009

6. Seminar Kesehatan “Perawatan Pasien Hipertensi dan Diabetes di Rumah” Tahun 2010

7. Seminar “Smoking Cessation for Better Generation without Tobacco” tahun 2010

8. Seminar Nasional “Homeopathy, A Brighter Alternative Treatment Method Bulids an Indonesian Awareness of Natural Medication In The Future” tahun 2011

9. Seminar Kesehatan “Peran Kebijakan Standardisasi Internasional Rumah Sakit dalam Meningkatkan Profesionalisme Pelayanan Kesehatan” Tahun 2011

10. Seminar dan Workshop “Peran Perawat dalam Tatalaksana Trauma Thoraks

Berbasis Pasien Safety” tahun 2012

11. Workshop Nasional “Uji Kompetensi Keperawatan” Tahun 2012

12. Seminar Nasional “Music Therapy: Melody for Heart and Brain Health” tahun 2012

13. Seminar Nasional “Uji Kompetensi Nasional Meningkatkan Peran dan Mutu Profesi Keperawatan dalam Menghadapi Tantangan Global” Tahun 2012


(8)

vii

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Skripsi, Juli 2013

Etika Rahmawati, NIM: 109104000052

Hubungan antara Sibling Rivalry dengan Kemampuan Penyesuaian Sosial Anak Usia Sekolah di SDN Cireundeu III

xvii + 86 halaman + 14 tabel + 3 bagan + 8 lampiran

ABSTRAK

Perselisihan antar saudara kandung (sibling rivalry) merupakan fenomena yang sering terjadi dalam keluarga. Sibling rivalry merupakan kompetisi atau persaingan, kecemburuan serta kemarahan antara saudara kandung. Sibling rivalry ini dapat mempengaruhi kemampuan penyesuaian sosial anak usia sekolah.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara sibling rivalry dengan kemampuan penyesuaian sosial anak usia sekolah di SDN Cireundeu III. Jenis penelitian adalah kuantitatif dengan pendekatan cross sectional yang dilakukan pada 72 anak usia sekolah dengan usia 7-12 tahun pada bulan Mei-Juni 2012. Pengumpulan data menggunakan kuesioner siblingrivalry dan penyesuaian sosial. Hasil uji instrumen penelitian didapatkan hasil reliabilitas sebesar 0,857 untuk sibling rivalry dan 0,912 untuk penyesuaian sosial.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden mengalami 55,6% memiliki sibling rivalry tinggi dan memiliki kemampuan penyesuaian sosial yang rendah sebesar 52,8 %. Hasil uji statistik menggunakan uji spearmen

rank dengan α=0,05 diperoleh hasil bahwa ada hubungan yang signifikan antara

sibling rivalry dengan kemampuan penyesuaian sosial anak usia sekolah di SDN Cireundeu III (p value=0,000) dengan nilai r= -0,711. Ini artinya bahwa semakin tinggi sibling rivalry, semakin rendah kemampuan penyesuaian sosial. Berdasarkan penelitian ini, sekolah dapat memberi perhatian lebih melakukan pendekatan konseling dalam membantu anak melakukan penyesuaian sosial khususnya pada anak yang mengalami sibling rivalry serta melakukan pendekatan langsung kepada orang tua anak untuk mengurangi dan mengatasi sibling rivalry.

Kata kunci: Sibling rivalry, Penyesuaian sosial, Usia sekolah Daftar Bacaan: 61 (2001 – 2013)


(9)

viii

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE SCHOOL OF NURSING

ISLAMIC STATE UNIVERSITY (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Undergraduates Thesis, Juny 2013

Etika Rahmawati, NIM: 109104000052

Relationship between Sibling Rivalry with The Ability of Social Adjustment of School Age Children in Sekolah Dasar Negeri Cireundeu III

xvii + 86 pages + 14 tables + 3 charts + 8 attachments

ABSTRACT

The conflict between sibling (sibling rivalry) is frequently occurs among family. Sibling rivalry is a competition or rivalry, jealousy and anger between siblings. Sibling rivalry can affect the ability of social adjustment of school-aged children.

The purpose of this study is to know the relation between sibling rivalry with the ability of social adjustment of school age children in Sekolah Dasar Negeri Cireundeu III. This is cross-sectional study was conducted on May-June 2013 among 72 children which 7-12 years old. Data were collected using sibling rivalry and social adjustment questionnaire. The result reliability test obtained 0,857 for sibling rivalry and 0,912 for social adjustment.

The result of the research shown that majority of respondents 55,6 % have high sibling rivalry level and 52,8% have low social adjustment level. The result of statistical test using spearmen rank test revealed that were significant relationship between sibling rivalry with social ability adjustment of school age children in SDN Cireundeu III with p= 0.000 and r= -0,711. Its shown that the higher of sibling rivalry level shown the lower of social ability adjustment level. Based on this study, school have to give more attention such as increasing counseling approach for student in order to help their social adjustment especially child experienced sibling rivalry and make a direct approach for parents to reduce and overcome sibling rivalry.

Key Words: Sibling rivalry, Social adjustment, School age References: 61 (2001 – 2013)


(10)

ix Assalamu’alaikum wr.wb

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan antara Sibling Rivalry dengan Kemampuan Penyesuaian Sosial Anak Usia Sekolah di SDN Cireundeu III” yang disusun dan diajukan sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Keperawatan.

Selama proses pendidikan dan penyusunan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Ucapan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada yang terhormat : 1. Prof. DR (hc). Dr. M. K. Tadjudin, Sp. And. Selaku Dekan Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan.

2. Ns. Waras Budi Utomo, S. Kep, MKM Selaku Ketua Program Studi IImu Keperawatan (PSIK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ns. Eni Nur’aini Agustini, S. Kep, MSc Selaku Sekretaris Program Studi IImu Keperawatan (PSIK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus dosen pembimbing I yang telah membimbing dan banyak memberi banyak saran demi terselesaikannya penulisan penelitian ini.

4. Ibu Maulina Handayani, S.Kp., MSc selaku pembimbing II yang telah membimbing dan memberikan masukan dalam penulisan penelitian ini. 5. Ibu Tien Gartinah MN selaku pembimbing akademik yang selalu


(11)

x

6. Para penguji (Ibu Puspita Palupi dan Bapak Karyadi) yang telah banyak memberikan banyak masukan dalam memperbaiki skripsi peneliti.

7. Seluruh dosen PSIK yang telah memberikan ilmunya dan segala pengalamannya yang tak ternilai sehingga dapat menjadi pembelajaran bagi kami selaku mahasiswa.

8. Seluruh staff bidang akademik FKIK dan PSIK yang telah membantu kelancaran hal-hal administratif.

9. Kedua Orang Tua saya (Bapak Edi Salamun dan Ibu Rosyada) tercinta yang selalu memberi kasih sayang, dukungan, do’a dan semangat selama hidup ini dan demi terselesaikannya penelitian ini. Adikku tersayang Dwi Nirma Sari dan Alm. Wahyuanto dan Kakandaku tersayang yang selalu semangat kepada peneliti.

10. Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan yang telah memberikan kesempatan untuk berkuliah di Program Studi IImu Keperawatan (PSIK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

11. SD Negeri Cempaka Putih 04 khususnya ibu Kepala Sekolah dan Bu Sri yang telah mengijinkan serta membantu peneliti untuk melakukan uji validitas dan reliabilitas.

12. SDN III Cirendeu khususnya ibu Kepala Sekolah dan Bu Nurhayati dan semua Wali Kelas yang telah membantu peneliti dalam pengumpulan data.

13. Adik-adik dan orang tua yang bersekolah di SDN III Cireundeu yang bersedia mengisi kuesioner yang sangat membantu peneliti dalam menyelesaikan penelitian ini.


(12)

xi

Mayra, Astuti, Iqbal,), sahabatku di Tanjung Bulan, teman-teman satu pembimbing, dan seluruh angkatan 2009 yang telah berjuang bersama dalam perkuliahan dan penyusunan skripsi di Ilmu Keperawatan serta sahabat-sahabat Santri Jadi Dokter (SJD) Sum-Sel angkatan 2009-2012 yang telah memberikan doa dan semangat dalam menyelesaikan penelitian ini.

Dengan memanjatkan doa kepada Allah SWT, penulis berharap semua kebaikan yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah SWT dan semua kesalahan diampuni oleh Allah. Amin.

Jakarta, Juli 2013

Penulis


(13)

xii

DAFTAR ISI

JUDUL HAL

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PERSETUJUAN...i

LEMBAR PENGESAHAN ...ii

LEMBAR PERNYATAAN ...iv

RIWAYAT HIDUP ...v

ABSTRAK ...vii

ABSTRACT ...viii

KATA PENGANTAR ...xi

DAFTAR ISI ...xii

DAFTAR TABEL ...xv

DAFTAR BAGAN ...xvi

DAFTAR LAMPIRAN ...xvii

BAB I PENDAHULUAN ...1

A.Latar Belakang ...1

B. Rumusan Masalah ...7

C.Pertanyaan Penelitian ...8

D.Tujuan Penelitian ...9

1. Tujuan umum ...9

2. Tujuan khusus ...9

E. Manfaat Penelitian ...9

F. Ruang Lingkup Penelitian ...10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...11

A.Anak Usia Sekolah ...11

1. Definisi anak usia sekolah ...11

2. Tugas perkembangan anak usia sekolah ...11

3. Perkembangan anak usia sekolah ...12


(14)

xiii

2. Faktor penyebab sibling rivalry ...21

3. Ciri khas sibling rivalry ...25

4. Dampak sibling rivalry ...28

D.Penyesuaian ...30

1. Definisi penyesuaian ...30

2. Jenis penyesuaian ...31

3. Definisi penyesuaian sosial ...31

4. Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Sosial ...32

5. Kriteria penyesuaian sosial ...35

6. Penyesuaian yang Gagal (Maladjustment) ...39

E. Penelitian Terkait ...40

F. Kerangka Teori ...42

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ...43

A.Kerangka Konsep ...43

B. Hipotesis ...44

C.Definisi Operasional ...45

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ...46

A.Desain Penelitian ...46

B. Populasi dan Sampel ...46

C.Teknik Pengambilan Sampel ...49

D.Pengumpulan Data ...49

E. Lokasi dan Waktu Penelitian ...50

F. Instrumen Pengumpulan Data ...50

G.Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen ...55

H.Tahapan Penelitian ...58

I. Pengolahan Data ...59

J. Analisis Data ...60


(15)

xiv

BAB V HASIL PENELITIAN ...65

A.Gambaran Umum Tempat Penelitian ...65

B. Karakteristik Responden ...66

1. Umur ...66

2. Jenis Kelamin...67

3. Posisi anak ...67

4. Jumlah saudara...67

C.Analisis Univariat ...68

1. Sibling rivalry anak usia sekolah ...68

2. Penyesuaian sosial anak usia sekolah ...69

D.Analisis Bivariat ...69

BAB VI PEMBAHASAN ...71

A.Analisis Univariat ...71

1. Karakteristik responden ...71

2. Gambaran sibling rivalry diSDN Cireundeu III ...74

3. Gambaran penyesuaian sosial di SDN Cireundeu III ...77

B. Analisis Bivariat ...81

C.Keterbatasan Penelitian ...83

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ...85

A.Kesimpulan ...85

B. Saran ...85

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(16)

xv

1. Tabel 3.1 Definisi operasional ... 45

2. Tabel 4.1 Distribusi pernyataan kuesioner sibling rivalry ... 52

3. Tabel 4.2 Distribusi pernyataan kuesioner penyesuaian sosial ... 53

4. Tabel 4.3 Skoring jawaban... 54

5. Tabel 4.4 Distribusi hasil pernyataan validitas sibling rivalry ... 56

6. Tabel 4.5 Distribusi hasil validitas dari penyesuaian sosial ... 56

7. Tabel 4.6 Interpretasi hasil uji hipotesis berdasarkan nilai r ... 61

8. Tabel 5.1 Distribusi usia responden ... 66

9. Tabel 5.2 Distribusi jenis kelamin responden ... 67

10. Tabel 5.3 Distribusi posisi anak dalam keluarga ... 67

11. Tabel 5.4 Distribusi jumlah saudara dalam keluarga ... 67

12. Tabel 5.5 Distribusi frekuensi responden berdasarkan sibling rivalry anak usia sekolah pada siswa SDN Cireundeu III ...68

13. Tabel 5.6 Distribusi frekuensi responden berdasarkan penyesuaian sosialanak usia sekolah pada siswa SDN Cireundeu III ...69

14. Tabel 5.7 Hubungan antara sibling rivalry dengan kemampuan penyesuaian sosial anak usia sekolah di SDN Cireundeu III ...69


(17)

xvi

DAFTAR BAGAN

1. Bagan 2.1 Diagram Model Adaptasi Roy ... 20 2. Bagan 2.2 Kerangka Teori ... 42 3. Bagan 3.1 Kerangka Konsep ... 43


(18)

xvii 1. Lampiran 1 Lembar Persetujuan Responden 2. Lampiran 2 Kuesioner Penelitian

3. Lampiran 3 Hasil Uji Validitas 4. Lampiran 4 R Tabel

5. Lampiran 5 Hasil Penelitian

6. Lampiran 6 Surat Ijin Studi Pendahuluan 7. Lampiran 7 Surat Ijin Uji Validitas 8. Lampiran 8 Surat Ijin Penelitian


(19)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Kementerian Perberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP & PA) menyebutkan bahwa setiap anak merupakan aset penting bagi sebuah keluarga dan bangsa yang mempunyai andil besar dalam kemajuan dan kemakmuran bangsa pada masa yang akan datang. Anak-anak membutuhkan lingkungan yang baik atau sehat, baik di dalam lingkungan keluarganya maupun di lingkungan masyarakat (KPP & PA, 2012).

Salah satu katagori anak-anak adalah anak usia sekolah yang berusia 6 sampai 12 tahun (Wong, 2008). World Health Statistics 2012 mencatat jumlah penduduk dunia saat ini yaitu sebesar 6.860.318.000 jiwa. Dari jumlah tersebut, 27% merupakan kelompok usia dibawah 15 tahun (WHO, 2012). Di Indonesia, jumlah penduduk yang berumur 7-12 tahun sebanyak 27,8 juta jiwa dari seluruh penduduk (Sensus Penduduk, 2010). Anak usia sekolah ditandai dengan meningkatnya minat terhadap aktivitas kelompok dan tidak puas jika tidak dengan kelompoknya (Hurlock, 2010). Usia ini juga mengalami perkembangan emosi diantaranya menyukai persaingan, cemburu atau iri hati mengenai kemampuan atau barang yang dimiliki orang lain terutama saudaranya (Hurlock, 2005; Wong, 2008). Usia ini juga disebut sebagai “usia bertengkar” dimana terjadi banyak pertengkaran antar anak sehingga suasana rumah menjadi tidak menyenangkan bagi semua keluarga (Hurlock, 2010).


(20)

Pertengkaran atau perselisihan antar anak merupakan fenomena yang sering terjadi dalam keluarga (Hurlock, 2005). Fenomena konflik antar anak ini biasanya akibat adanya persaingan, kecemburuan, dan kemarahan antar saudara yang dikenal dengan sibling rivalry (Shaffer, 2009). Sibling rivalry terjadi karena merasa kehilangan orang tua dan menganggap saudaranya sebagai saingan dalam mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tua serta sikap orang tua yang suka membandingkan anak (Nurmaningtyas, 2013; Hurlock, 2005). Sibling rivalry juga terjadi ketika jarak terlalu dekat yaitu 2-4 tahun karena pada jarak tersebut anak sama-sama menuntut mendapatkan perhatian yang sama (Woolfson, 2005). Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan sikap orang tua yang suka membanding-bandingkan anak yang satu dan yang lain merupakan bentuk kekerasan anak dalam keluarga. Angka perbandingan anak yang sering dilakukan oleh orang tua yaitu ayah sebesar 37,3% dan dilakukan oleh ibu sebesar 43,4% (Ihsan, 2013).

Sibling rivalry ditunjukkan melalui beberapa tingkah laku. Tingkah laku tersebut seperti berperilaku agresif atau resentment (kekesalan, kemarahan, atau kebencian) terhadap orang tua dan saudaranya, memiliki rasa kompetisi atau semangat untuk bersaing, serta adanya perasaan iri atau cemburu dengan mencari perhatian berlebihan (Shaffer, 2009; Hurlock, 2005; Thompson, 2004; Woolfson, 2005). Ciri khas sibling rivalry dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa edisi III (PDGJ III) yaitu menunjukkan bukti adanya persaingan atau iri hati, onset biasanya terjadi beberapa bulan setelah kelahiran adik, serta adanya gangguan emosional (Maslim, 2003).


(21)

3

Sibling rivalry ini cenderung meningkat selama usia sekolah (Dunlap, 2004; Berk, 2005). Sibling rivalry terlihat ketika usia 3-5 tahun (prasekolah) dan akan timbul kembali ketika 8-12 tahun (usia sekolah) (Setiawati & Zulkaida, 2007). Penelitian Usner dan McNerney (2001) menemukan 55% mengalami sibling rivalry pada umur antara 10-15 tahun (termasuk usia sekolah) merupakan kategori tertinggi. Hal ini karena anak mulai beraktivitas dan berprestasi baik di sekolah atau di luar sekolah dan membuat orang tua mulai membandingkan anak yang satu dengan yang lain dan ketika anak yang usianya berdekatan masuk ke dunia sekolah, maka perbandingan orang tua terhadap anak-anaknya semakin sering dilakukan dan hasilnya anak menjadi sering bertengkar, saling bermusuhan, dan susah untuk melakukan penyesuaian sosial (Berk, 2005).

Sibling rivalry sering dianggap hal yang biasa yang tidak perlu dikhawatirkan, padahal adanya sibling rivalry banyak menimbulkan dampak negatif yang akan mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya (Thompson, 2004). Dampak negatif tersebut seperti merusak kualitas persaudaraan dan menyebabkan perilaku agresif anak terutama terhadap saudaranya di rumah (Havnes, 2010; Hardy et al, 2010) serta anak akan berperilaku agresif di mana saja, seperti di sekolah (Patterson dalam Volling & Blandon, 2003). Sibling rivalry akan membahayakan anak, membuat anak menjadi rendah diri, cedera pada saudaranya, memaki dan menganggap saudaranya sebagai lawan (Gichara, 2006). Penelitian Ensi dan Winarianti (2009) menemukan sekitar 89,9% kakak yang mengalami sibling rivalry menyebabkan cedera pada adiknya. Survey yang juga dilakukan oleh Finkelhor et al, 2005 (dalam Hardy


(22)

et al, 2010) menyebutkan bahwa lebih dari 2000 anak antara umur 2 sampai 17 tahun menemukan hampir 30% kekerasan fisik dilakukan oleh saudara kandungnya sendiri. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga menyebutkan angka kekerasan anak yang dilakukan oleh saudara kandungnya sendiri yaitu sebesar 26,2% (Ihsan, 2013).

Sibling rivalry juga menimbulkan dampak negatif terhadap penyesuaian anak. Hal ini karena sibling rivalry mempengaruhi semua hubungan antar anggota keluarga dan bahkan hubungan yang buruk ini sering menjadi pola hubungan sosial yang akan dibawa anak ke luar rumah untuk diterapkan dalam hubungannya dengan teman sebaya (Hurlock, 2006). Hubungan tidak harmonis antar saudara kandung khususnya masa usia sekolah akan mengalami kesulitan melakukan penyesuaian sosial seperti hubungan yang buruk dengan teman sebaya, perilaku antisosial, kesulitan belajar, dan menunjukkan tanda psikopatologi seperti cemas, depresi, dan ketakutan (Bank, Patterson, & Reid, 1996 dalam Pope 2006; Hakvoort et al, 2010). Penelitian Yuliati (2007) menemukan sekitar 65,5% terjadi perilaku sibling rivalry pada anak usia prasekolah di TK Mrangen I Srumbung Magelang berperilaku mendorong dan memukul temannya.

Penelitian Deater-Deckard, Dunn, dan Lussier (2002) juga menyebutkan bahwa hubungan antar saudara kandung yang buruk berhubungan dengan kegagalan menyesuaikan diri anak (child maladjustment). Sunarto dan Hartono (2008) menambahkan bahwa hubungan saudara yang penuh permusuhan, perselisihan, rasa iri, kebencian dapat menimbulkan kesulitan dan kegagalan dalam penyesuaian sosial.


(23)

5

Kemampuan penyesuaian sosial ini penting dimiliki oleh setiap individu. Hal tersebut karena seiring bertambahnya usia, seseorang dituntut untuk mengembangkan kemampuan dalam melakukan penyesuaian sosial termasuk anak usia sekolah. Hurlock (2005) menyebutkan bahwa fokus utama usia ini adalah sosialisasi karenanya disebut usia berkelompok. Pada usia ini anak mengalami dorongan untuk keluar dari rumah dan berinteraksi dengan kelompok sebaya (Santrock, 2007). Anak usia ini berinteraksi sosial dengan kelompoknya sebesar lebih dari 40% daripada masa awal kanak-kanak yang hanya sekitar 10-20% (Santrock, 2007).

Anak usia sekolah tidak selamanya berhasil melakukan penyesuaian sosial, adakalanya individu mengalami kesulitan dalam penyesuaian sosial sehingga individu melakukan penyesuaian sosial yang salah seperti kenakalan yang terjadi pada anak (Sunarto & Hartono, 2008). Jumlah kenakalan anak yang merupakan bentuk permasalahan sosial di Indonesia cukup besar, Badan Pusat Statistik mencatat kenakalan anak pada tahun 2002 sebanyak 193.115 kasus, namun seperti fenomena gunung es, diduga angka kenakalan dan permasalahan sosial lainnya sebenarnya 10 kali lipat (Tambunan, 2003 dalam Mukhtar & Hadjam, 2006). Selain itu, banyak kasus-kasus yang diberitakan di media bahwa kenakalan anak sekolah dasar seperti berani dengan orang tua, menganggu temannya, menyakiti temannya, sering berkelahi, dan lain sebagainya (www.sekolahdasar.net, 2012). Selain itu, fenomena yang ditemukan di SDN Cireundeu III menyimpulkan bahwa siswa kurang memiliki keterampilan dalam berhubungan sosial dengan orang lain seperti sering bertengkar dengan temannya, sering mengganggu temannya, suka melanggar


(24)

aturan sekolah seperti sering membolos saat sekolah. Hal ini mengindikasikan adanya masalah penyesuaian sosial pada siswa sekolah dasar.

Kondisi diatas menuntut anak usia sekolah untuk mampu melakukan penyesuaian sosial dengan baik. Hal ini karena jika dapat dikuasai dengan baik akan memberikan kebahagiaan dan keberhasilan dalam perkembangan selanjutnya (Hurlock, 2005). Selain itu, jika dapat melakukan penyesuaian sosial yang baik, individu akan memenuhi harapan sosial, tidak menunjukkan ketegangan emosional, tidak ada frustrasi, mampu belajar, menghargai pengalaman, bersikap realistik dan objektif serta dapat menghindari dan mengatasi tekanan negatif atau egosentrisme orang lain (Sunarto & Hartono, 2008; Huang, 2007). Sebaliknya, jika kurang dapat melakukan penyesuaian sosial akan menunjukkan tingkah laku yang serba salah, tkurang mampu belajar, idak terarah, emosional, sikap yang tidak realistik, dan agresif (Sunarto & Hartono, 2008). Hurlock (2005) juga menyampaikan bahwa ketidakberhasilan melakukan penyesuaian sosial akan menyebabkan individu menjadi egosentris, introvert, tidak sosial bahkan antisosial dan kebahagiaan masa dewasanya akan terganggu.

Untuk mengatasi hal tersebut, perawat sebagai edukator sekaligus konselor dapat memberikan edukasi kepada orang tua tentang sibling rivalry pada anak. Hal ini karena orang tua kunci yang mempengaruhi sibling rivalry, namun orang tua pula yang dapat memperkecil terjadinya sibling rivalry (Setiawati & Zulkaidah, 2007). Perawat juga memiliki peran dalam perkembangan anak usia sekolah seperti membantu keluarga dalam meningkatkan kompetensi sosial anak (Wong, 2008). Perawat juga memiliki


(25)

7

peran yang lebih luas di sekolah terkait pengkajian fisik, psikomedis, masalah perilaku anak, masalah gangguan belajar, dan asuhan kesejahteraan anak lainnya (Wong, 2008).

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di bulan Maret 2013 pada beberapa ibu, mereka mengeluh anak-anak mereka sering memiliki rasa iri hati satu sama lain. Berdasarkan hasil wawancara singkat pada 10 siswa di SDN Cireundeu III didapatkan 8 siswa atau sekitar 80% memiliki ciri-ciri sibling rivalry yaitu sering bertengkar, iri dan kesal dengan saudara kandungnya bahkan rasa kesalnya sering terbawa di sekolah. Sedangkan kemampuan penyesuaian sosial 8 siswa yang mengalami sibling rivalry adalah 4 (50%) diantaranya memiliki masalah dalam penyesuaian sosial seperti suka pilih-pilih teman, lebih tertutup dengan temannya, sering bertengkar dengan teman di sekolah. Ini artinya tidak semua yang mengalami sibling rivalry mengalami kesulitan melakukan penyesuaian sosial.

Penelitian sibling rivalry ini telah banyak dilakukan namun penelitian tentang sibling rivalry dan kemampuan penyesuaian sosial anak usia sekolah belum ditemukan di Indonesia sehingga peneliti tertarik ingin membuktikan ada tidaknya hubungan antara siblingrivalry dengan kemampuan penyesuaian sosial anak usia sekolah di sekolah tersebut.

B.Rumusan Masalah

Sibling rivalry merupakan kemarahan, kempetisi, dan perasaan iri antar saudara kandung yang meningkat selama usia sekolah (Shaffer, 2009; Dunlap, 2004; Berk, 2005). Sibling rivalry ini menimbulkan dampak negatif seperti mencederai saudaranya, perilaku agresif dan masalah dalam penyesuaian


(26)

sosial. Anak usia sekolah dituntut untuk mampu bersosial, tahap ini anak juga pertama kali masuk ke dunia sekolah dan berinteraksi dengan orang lain. Penelitian Bank, Patterson, & Reid (1996 dalam Pope, 2006) menyebutkan bahwa konflik antar saudara kandung pada masa usia sekolah merupakan salah satu penyebab kesulitan melakukan penyesuaian sosial. Kesulitan melakukan penyesuaian sosial ini menyebabkan anak bertingkah laku yang serba salah, kurang mampu belajar, tidak terarah, emosional, sikap yang tidak realistik, dan agresif (Sunarto & Hartono, 2008). Fenomena yang ditemukan di SDN Cireundeu III menyimpulkan bahwa siswa kurang memiliki keterampilan dalam berhubungan sosial. Studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Maret 2013 pada 10 siswa di SDN Cireundeu III didapatkan 8 siswa atau sekitar 80% memiliki ciri-ciri sibling rivalry dan 4 orang diantaranya memiliki masalah dalam penyesuaian sosial. Ini artinya masih ada yang melakukan penyesuaian sosial dengan baik walaupun mengalami sibling rivalry. Hal ini membuat peneliti tertarik untuk membuktikan secara signifikan ada tidaknya hubungan antara sibling rivalry dengan kemampuan penyesuaian sosial anak usia sekolah di SDN Cireundeu III.

C.Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran karakteristik responden (usia, jenis kelamin, posisi anak, dan jumlah saudara) anak usia sekolah di SDN Cireundeu III?

2. Bagaimana gambaran sibling rivalry pada anak usia sekolah di SDN Cireundeu III?

3. Bagaimana gambaran penyesuaian sosial pada anak usia sekolah di SDN Cireundeu III?


(27)

9

4. Apakah ada hubungan antara sibling rivalry dengan kemampuan penyesuaian sosial anak di SDN Cireundeu III?

D.Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Diketahuinya hubungan antara sibling rivalry dengan kemampuan penyesuaian sosial anak usia sekolah di SDN Cireundeu III.

2. Tujuan khusus

a. Diketahuinya gambaran karakteristik responden (usia, jenis kelamin, posisi anak, dan jumlah saudara) anak usia sekolah di SDN Cireundeu III b. Diketahuinya gambaran sibling rivalry pada anak usia sekolah di SDN

Cireundeu III.

c. Diketahuinya gambaran penyesuaian sosial pada anak usia sekolah di SDN Cireundeu III.

d. Diketahuinya hubungan antara sibling rivalry dengan kemampuan penyesuaian sosial anak di SDN Cireundeu III.

E.Manfaat Penelitian

1. Bagi Insitusi Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang pendidikan keperawatan serta dapat mengembangkan instrumen-insrumen terkait kesehatan mental dan sosial, khususnya tentang sibling rivalry dan hubungannya dengan kemampuan penyesuaian sosial anak usia sekolah.


(28)

2. Bagi Pelayanan Keperawatan

Hasil penelitian ini di harapkan dapat menjadi bahan pertimbangan di bidang pelayanan kesehatan seperti puskesmas dan lainnya untuk mensosialisasikan pentingnya pengawasan pada setiap anak dalam keluarga agar meminimalisasi dan mengatasi sibling rivalry karena akan mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya salah satunya penyesuaian sosial anak di lingkungannya.

3. Bagi SDN Cireundeu III

Memberikan informasi kepada sekolah dan menjadi masukan sekolah untuk memotivasi, mengawasi tingkah laku anak serta membantu anak dalam meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial anak seperti memberikan layanan bimbingan konseling di sekolah.

4. Bagi Orang Tua

Menjadi masukan serta menambah pengetahuan dan sikap ibu tentang sibling rivalry, sehingga dapat meminimalisasi atau mengantisipasi terjadinya sibling rivalry serta menjadi masukan untuk membantu anak dalam melakukan penyesuaian sosial dengan baik.

F. Ruang Lingkup Penelitian

Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan desain Cross-sectional (potong lintang). Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara sibling rivalry dengan kemampuan penyesuaian sosial anak usia sekolah. Penelitian ini dilakanakan di SDN Cireundeu III pada orang tua yang memiliki anak usia sekolah yang memiliki adik kandung yang tinggal serumah. Penelitian ini menggunakan data primer berupa kuesioner.


(29)

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.Anak Usia Sekolah 1. Definisi

Masa usia sekolah disebut juga periode usia pertengahan (middle childhood) yaitu ketika anak usia 6 sampai mendekati 12 tahun (Hockenberry & Wilson, 2007). Masa anak-anak berumur 6 sampai 11 tahun kadang-kadang disebut juga masa sekolah dasar (Santrock, 2004). Wong (2008) juga menyampaikan bahwa anak usia sekolah adalah anak pada usia 6-12 tahun, yang artinya sekolah menjadi pengalaman inti anak.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa usia sekolah yaitu anak yang berusia 6 tahun sampai usia 12 tahun.

2. Tugas perkembangan

Pada setiap tahap kehidupan tentunya memiliki tugas perkembangan yang hendaknya dilalui oleh setiap individu sesuai periode tertentu. Hurlock (2010) menyebutkan bahwa tugas perkembangan yang hendaknya dijalani pada periode ini, antara lain:

a. Anak mampu mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan-permainan yang umum

b. Membangun sifat yang sehat sebagai diri sendiri yang sedang tumbuh dan berkembang.

c. Belajar menyesuaikan diri dengan teman seusianya.


(30)

e. Menggunakan keterampilan dasar untuk membaca, menulis, dan berhitung.

f. Mengembangkan hati nurani, pengertian, moral, dan tingkatan nilai. g. Mengembangkan sikap terhadap kelompok sosial dan lembaga. h. Mencapai kebebasan pribadi.

3. Perkembangan Anak Usia Sekolah

a. Perkembangan Biologis atau Fisik

Anak usia sekolah mengalami pertumbuhan rata-rata 5 cm per tahun untuk tinggi badan dan meningkat 2-3 kg per tahun untuk berat badan. Pada usia ini juga anak laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan ukuran tubuh. Anak laki-laki cenderung kurus dan tinggi, anak perempuan cenderung gemuk. Pada usia ini, pembentukan jaringan lemak lebih cepat perkembangannya daripada otot (Suprajitno, 2003).

b. Perkembangan Psikososial

Perkembangan psikososial menurut Freud (dalam Hockenberry & Wilson, 2007) pada anak usia sekolah atau periode pertengahan ini disebut juga periode laten yaitu waktu tenang antara fase Odipus pada masa anak-anak awal (early childhood) dan erotisme pada masa remaja (adolescence). Pada masa ini anak-anak membina hubungan dengan teman sebaya sesama jenis dan didahului ketertarikan pada laki-laki atau perempuan ketika masa pubertas (Hockenberry & Wilson, 2007).

Perkembangan psikososial menurut Erikson (dalam Hockenberry & Wilson, 2007) masa ini disebut juga fase industry/productivity vs


(31)

13

inferiority. Pada masa ini anak-anak sudah mulai berkeinginan menghasilkan sesuatu dari sesuatu yang mereka lakukan, terutama kegiatan-kegiatan di sekolah. Selain itu, anak-anak mulai belajar terkait tugas perkembangan dan menyiapkan diri dalam perannya di masyarakat. Keinginan ini membuat anak senang mengekpolrasi diri untuk menemukan hal baru sehingga memotivasi mereka untuk berkarya (Hockenberry & Wilson, 2007). Kegagalan pada fase ini akan membuat anak menjadi rendah diri (inferioritas) dan merasa tidak berguna. Keberhasilan pada masa ini akan membuat anak menjadi percaya diri terhadap diri sendiri dan lingkungan sosialnya, mandiri, berinisiatif, merupakan persiapan anak untuk masuk ke dunia sosial yang lebih luas (Nihayah, Suralaga, & Idriyani, 2006).

c. Perkembangan Sosial

Perkembangan sosial berarti perolehan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial melalui proses sosialisasi (Hurlock, 2005). Kemampuan sosialisasi merupakan bagian terpenting dalam kehidupan anak usia sekolah terutama dengan teman sebaya (Hockenberry & Wilson, 2007).

Kemampuan bersosialisasi diperoleh melalui tiga proses, yaitu belajar berperilaku yang dapat diterima secara sosial dengan mengikuti serta menyesuaikan diri dengan standar perilaku yang sudah ada dalam kelompok, memainkan peran sosial yang dapat diterima dengan mematuhi pola perilaku dalam kelompok, dan perkembangan sikap sosial dengan bermasyarakat atau bergaul dengan baik dengan menyukai


(32)

orang dan aktivitas sosial sehingga berhasil mencapai penyesuaian sosial yang baik dan diterima sebagai anggota kelompok (Hurlock, 2005). Perkembangan sosial anak usia sekolah meliputi:

i. Hubungan sosial dan kerja sama.

Periode ini anak pertama kalinya bergabung dalam aktivitas kelompok sehingga anak belajar menghargai perbedaan yang ada dalam anggota kelompok dan bertambah sensitif terhadap norma sosial ataupun tekanan dari anggota kelompok dan mulai membentuk kelompok-kelompok formal atau klub (Hockenberry & Wilson, 2007). Yusuf (2012) juga menyampaikan bahwa anak usia ini mulai memiliki kesanggupan menyesuaikan diri sendiri, bekerja sama, mau memperhatikan kepentingan orang lain, bertambah keinginan untuk diterima menjadi anggota kelompok dan merasa tidak senang bila tidak diterima dikelompoknya serta mampu menyesuaikan diri dengan teman sebaya maupun lingkungan masyarakat sekitar. ii. Hubungan dengan keluarga

Walaupun kelompok teman sebaya berpengaruh dan penting untuk perkembangan normal anak, keluarga memberikan pengaruh utama dalam pembentukan perilaku, kepribadian, dan menetapkan sistem nilai (Hockenberry & Wilson, 2007).

iii. Bermain

Ketika memasuki memasuki sekolah anak-anak mulai tertarik pada permainan kelompok serta mulai memilih teman bermain dan sebagian besar anak-anak memilih teman yang berjenis kelamin,


(33)

15

ukuran tubuh, usia, kematangan sosial, dan minat yang sama dengan mereka (Hurlock, 2005). Pada permainan anak diharapkan patuh terhadap peraturan dan ritual, terlibat dalam permainan tim, mampu bermain dengan permainan dan aktivitas yang tenang, serta mampu menguasai ego (Hockenberry & Wilson, 2007).

d. Perkembangan Kognitif

Pada tahap ini, perkembangan kognitif yang dikembangkan Piaget (dalam Suprajitno, 2003) berada di tahap operasioanal kongkret, yaitu anak mengekspresikan apa yang dilakukan dengan verbal dan simbol. Selama periode ini kemampuan anak belajar konseptual mulai meningkat dengan pesat dan memiliki kemampuan belajar dari benda, situasi, dan pengalaman yang dijumpainya. Kemampuan ini seperti kemampuan konservasi yaitu menyukai sesuatu secara konkret bukan magis, klasifikasi yaitu mulai belajar mengelompokkan, menyusun, dan mengurutkan, dan kombinasi yaitu mencoba menghubungkan angka dan huruf sesuai keinginannya yang dihubungkan dengan pengalaman yang diperoleh sebelumnya.

e. Perkembangan Moral

Pada tahap ini, perkembangan moral menurut Kohlberg dikatagorikan dalam tahap konvensional. Di masa ini, anak mulai belajar tentang peraturan yang berlaku, menerima peraturan, dan merasa bersalah bila tidak sesuai dengan aturan yang telah diterimanya (Suprajitno, 2003).


(34)

f. Perkembangan Spiritual

Anak usia sekolah menginginkan segala sesuatunya adalah nyata daripada belajar tentang ketuhanan. Mereka mulai mengerti terhadap surga dan neraka sehingga cenderung melakukan sesuatu sesuai aturan karena takut masuk neraka. Pada masa ini anak masih sulit mengerti tentang simbol-simbol supranatural sehingga konsep religius harus disajikan secara nyata (Suprajitno, 2003).

g. Perkembangan Emosional

Kemampuan untuk bereaksi secara emosional sudah ada pada bayi yang baru lahir (Hurlock, 2005). Ketika usia sekolah, anak mulai menyadari bahwa penggunaan emosi secara kasar tidak diterima di masyarakat (Yusuf, 2012). Emosi yang secara umum dialami anak usia sekolah adalah takut, marah, kasih sayang, cemburu atau sering iri hati mengenai kemampuan atau barang yang dimiliki orang lain terutama saudaranya, rasa ingin tahu, kegembiraan (Hurlock, 2005). Selain itu, anak pada masa ini menyukai persaingan (Wong, 2008). Perasaan cemburu, iri hati rasa persaingan antar saudara kandung disebut juga dengan sibling rivalry (Woolfson, 2005).

B.Adaptasi/Penyesuaian Anak terhadap Adanya Saudara Kandung

Penyesuaian diri juga diartikan sebagai usaha atau perilaku yang tujuannya mengatasi kesulitan dan hambatan (Heerdjan, 1987 dalam Sunaryo, 2002). Adaptasi merupakan kemampuan mempertahankan fungsi optimal yang melibatkan refleks, mekanisme perlindungan terhadap yang mengarah pada penyesuaian dan penguasaan situasi (Selye, 1976 dalam Potter & Perry, 2005).


(35)

17

Teori tentang adaptasi ini dikembangkan oleh Sister Calista Roy yang dikenal dengan model adaptasi dalam keperawatan pertama kali tahun 1964. Asumsi-asumsi dasar yang dianut dalam model adaptasi menurut Roy (Asmadi, 2005), antara lain:

1. Individu adalah mahluk bio-psiko-sosial yang merupakan kesatuan yang utuh.

2. Setiap orang selalu menggunakan koping, baik yang bersifat positif maupun negatif, untuk dapat beradaptasi. Kemampuan adaptasi dipengaruhi oleh tiga komponen, yaitu penyebab utama perubahan kondisi dan situasi, keyakinan, dan pengalaman dalam beradaptasi.

3. Setiap individu berespons terhadap kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan konsep diri positif, kemandirian, serta kemampuan melakukan peran secara optimal guna memelihara integritas diri. Kebutuhan fisiologis, menurut Roy, meliputi oksigenasi dan sirkulasi, keseimbangan cairan dan elektrolit, makanan, tidur dan istirahat, pengaturan suhu dan hormon, dan fungsi tambahan. Kebutuhan konsep diri yang positif berfokus pada persepsi diri yang meliputi kepribadian, normal, etika, dan keyakinan seseorang. Kemandirian lebih difokuskan pada kebutuhan dan kemampuan melakukan interaksi sosial, termasuk kebutuhan akan dukungan orang lain. Peran dan fungsi optimal lebih difokuskan pada perilaku individu dalam menjalankan peran dan fungsi yang diembannya.

4. Individu selalu berada dalam rentang sehat-sakit yang berhubungan erat dengan kefektifan koping guna mempertahankan kemampuan adaptasi.


(36)

Respon atau perilaku adaptasi seseorang terhadap perubahan kemunduruan, menurut teori adaptasi Roy, bergantung pada stimulus yang masuk dan tingkat kemampuan adaptasi orang. Tingkat atau kemampuan adaptasi seseorang ditentukan oleh tiga hal, yaitu masukan (input), proses (kontrol dan efektor) dan keluaran (output) (Nursalam, 2008).

Ada tiga komponen input, yaitu stimulus fokal (stimulus yang langsung berhadapan dengan individu), stimulus kontekstual (stimulus yang diterima individu baik internal atau eksternal seperti lingkungan, keluarga, teman, masyarakat, petugas kesehatan yang mempengaruhi stimulus fokal dan dapat diobservasi), dan stimulus residual (ciri-ciri tambahan dan relevan dengan situasi yang ada, namun sukar untuk diobservasi seperti keyakinan, sikap dan sifat individu yang berkembang) (Asmadi, 2005; Nursalam, 2008). Perubahan yang terjadi pada anak yaitu adanya saudara kandung (sibling) yang menjadi stresor normal yang menuntut anak untuk mampu beradaptasi terhadap perubahan baru dalam hidupnya. Selain itu, sikap orang tua yang suka membanding-bandingkan anak yang satu dengan yang lain juga merupakan stimulus/stressor yang dialami anak dalam keluarga yang dapat menimbulkan ketegangan dalam keluarga (Hurlock, 2006).

Proses dalam tingkatan adaptasi merupakan suatu cara untuk mengahadapi suatu perubahan atau stressor yang terjadi dalam individu (Nursalam, 2008). Kemampuan adaptasi adalah mekanisme kontrol atau koping regulator dan kognator (Asmadi, 2005). Empat efektor atau model adaptasi meliputi fisiologis, konsep diri, fungsi peran, dan ketergantungan (interdependen) (Nusalam, 2008). Anak usia sekolah yang memiliki saudara


(37)

19

kandung sering terjadi persaingan misalnya anak yang lebih besar sering iri karena perhatian yang diberikan pada saudara kandung yang lebih kecil (Potter & Perry, 2005). Hal ini mengakibatkan perasaan cemburu terhadap saudara kandung tersebut (Anderson, 20060.

Aspek terakhir pada teori Adaptasi Roy adalah output. Output dari sistem adaptasi adalah perilaku yang dapat diamati, diukur, atau dikemukakan secara subjektif. Output ini berupa respons adaptif ataupun maladaptif (Asmadi, 2005). Anak yang dapat beradaptasi secara adaptif dengan adanya saudara kandung meliputi meningkatnya kemandirian, meningkatnya prestasi, saling menyayangi antar saudara kandung, mampu bertanggung jawab yang mengarah ke konsep diri yang positif (Anderson, 2006; Gunarsa, 2004). Sedangkan respon yang maladaptif pada anak yang memiliki saudara kandung dalam keluarga ini ditunjukkan dengan mencederai saudaranya, kesulitan melakukan penyesuaian sosial baik dirumah maupun diluar rumah, perilaku agresif di luar rumah dan lain-lain (Gichara, 2006; Gunarsa, 2004, Havnes, 2010).

Keperawatan adalah bentuk pelayanan berupa pemenuhan kebutuhan dasar yang diberikan kepada individu yang sehat maupun sakit yang mengalami gangguan fisik, psikis, dan sosial agar dapat mencapai derajat kesehatan yang optimal (Nursalam, 2008).


(38)

Bagan 2.1 Diagram Model Adaptasi Roy

Sumber: Nursalam, 2008

C.Sibling Rivalry

1. Definisi sibling rivalry

Menurut Kamus Dorland (2012) menyatakan “sibling adalah salah satu atau lebih dari dua anak dari orang tua yang sama baik saudara laki-laki atau perempuan; rivalry keadaan kompetisi atau antagonisme dan Sibling rivalry adalah kompetisi antar saudara kandung untuk mendapatkan cinta, kasih sayang atau perhatian salah satu atau kedua orang tuanya dan untuk mendapatkan pengakuan atau keuntungan lainnya”. Sibling rivalry merupakan kompetisi/persaingan, kecemburuan serta kemarahan antar saudara yang sering dimulai saat saudara laki-laki atau perempuan lahir dan terjadi antara dua atau lebih saudara kandung (Shaffer, 2009).

Beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa sibling rivalry adalah persaingan antar saudara kandung yang biasanya diakibatkan oleh ketakutan kehilangan kasih sayang orang tua atau perasaan cemburu karena


(39)

21

kasih sayang orang tua terbagi ke anak yang lain dan respon yang ditunjukkan dengan kemarahan, kompetisi, dan persaingan.

2. Faktor penyebab sibling rivalry

Sibling rivalry biasa terjadi pada masa kanak-kanak dan muncul ketika selisih usia saudara kandung terlalu dekat dan memiliki dua atau lebih saudara kandung. Sibling rivalry juga akan terlihat ketika usia 3-5 tahun (prasekolah) dan akan timbul kembali ketika 8–12 tahun (usia sekolah), (Setiawati & Zulkaida, 2007). Sibling rivalry meningkat pada anak prasekolah dikarenakan pada masa ini anak cenderung mengalami kecemburuan yang besar apabila orang tua memberikan perhatian yang berbeda dengan saudaranya karena pada masa ini egosentrisme anak sangat tinggi (Woolfson, 2005). Sibling rivalry meningkat pada usia sekolah karena anak mulai beraktivitas dan berprestasi baik di sekolah atau di luar sekolah. Adanya aktivitas dan prestasi tersebut, orang tua mulai membandingkan anak yang satu dengan yang lain dan ketika anak yang usianya berdekatan masuk ke dunia sekolah, maka perbandingan orang tua terhadap anak-anaknya semakin sering dilakukan dan hasilnya anak menjadi sering bertengkar, saling bermusuhan, dan susah untuk melakukan penyesuaian sosial (Berk, 2005).

Hurlock (2006) menyebutkan bahwa sibling rivalry disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:

a. Sikap orang tua

Sikap orang tua terhadap anak dipengaruhi oleh keinginan atau harapan orang tua terhadap anaknya. Sebagai contoh, bila salah satu anak


(40)

memenuhi harapan orang tua dari pada anak yang lain yang menyebabkan orang tua menjadi lebih sayang terhadap anak tersebut. Hal inilah yang akan menimbulkan rasa persaingan, kecemburuan, serta kemarahan anak terhadap orang tua dan saudaranya. Hal tersebut tidak jarang menyebabkan anak mengganggap bahwa orang tua pilih kasih dan mereka membenci saudara mereka. Sikap demikian yang menumbuhkan rasa iri hati dan permusuhan yang akan mempengaruhi hubungan saudara kandung dan keluarga (Hurlock, 2006). Penelitian Listiani (2010) melaporkan bahwa faktor sikap, urutan kelahiran, jenis kelamin, perbedaan usia, jumlah saudara kandung anak, hubungan anak dengan saudara kandungnya, pola asuh orang tua, dan adanya anak emas diantara anak mempunyai hubungan yang signifikan dengan terjadinya sibling rivalry pada anak usia sekolah di RW 9 Kelurahan Jomblang Kota Semarang.

b. Urutan posisi

Semua keluarga, kecuali keluarga dengan satu anak, semua anak memberi peran menurut urutan kelahirannya dan mereka diharapkan memerankan peran tersebut. Jika semua menyukai peran yang diberikan, maka kemungkinan terjadi perselisihan akan kecil. Sebaliknya, jika anak tidak menyukai peran yang diberikan, maka kemungkinan terjadi perselisihan besar sekali (Hurlock, 2006). Anak yang lebih kecil kadang mengidolakan saudara kandung yang lebih besar dan akhirnya sering terjadi persaingan. Sedangkan anak yang lebih besar sering iri karena


(41)

23

perhatian yang diberikan pada saudara kandung yang lebih kecil (Potter & Perry, 2005).

Anak pertama/sulung biasanya menunjukkan sikap bertanggung jawab, asertif, perfeksionis, serta memegang otoritas. Anak sulung bisa menunjukkan kebencian terhadap saudaranya karena perhatian orang tua terbagi (Franz, 2006). Pada anak tengah biasanya menunjukkan perasaan rendah diri terhadap saudara kandung yang lebih tua karena menganggap tidak memiliki kemampuan seperti saudara mereka. Namun, hal tersebut juga membuat mereka menjadi sangat kompetitif terhadap saudara mereka yang mendorong mereka berinovasi, melakukan hal yang berbeda dari saudaranya yang lebih tua (Franz, 2006). Hal ini menunjukkan bahwa baik posisi anak pertama maupun tengah memiliki potensi untuk mengalami sibling rivalry.

c. Jenis kelamin

Anak laki-laki dan perempuan bereaksi sangat berbeda terhadap saudara laki-laki dan perempuannya. Anderson (2006) menyatakan jenis kelamin yang sama lebih sering menimbulkan reaksi sibling rivalry dibanding jenis kelamin yang berbeda. Hal tersebut disebabkan jenis kelamin yang sama pada saudara sekandung dapat menjadi pemicu terjadinya iri akibat dari kebutuhan dan karakteristik yang sama pula. Namun, sibling rivalry juga terjadi pada jenis kelamin yang berbeda, karena adanya perbedaan tugas dan tanggung jawab yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dapat membuat anak merasa dibedakan dan menyebabkan timbulnya kecemburuan antar sibling (Priatna & Yulia,


(42)

2006 dalam Setiawati & Zulkaida, 2007). Howe et al (2002) dalam Havnes (2010) melaporkan bahwa saudara perempuan lebih penurut dibandingkan laki-laki, selain itu kemampuan sosialisasi anak laki-laki lebih sering mengalami masalah dibanding anak perempuan.

d. Perbedaan usia

Perbedaan mempengaruhi cara mereka bereaksi terhadap saudaranya satu sama lain. Bila perbedaan usia itu besar, hubungan akan lebih ramah, saling mengasihi daripada bila usia mereka berdekatan. Bila usia berdekatan, orang tua cenderung memberikan perhatian yang sama terhadap anaknya. Tetapi orang tua cenderung mengharapkan anak yang lebih tua menjadi model yang baik. Sebaliknya, yang lebih muda diharapkan dapat meniru yang lebih tua. Hal inilah yang menyebabkan buruknya hubungan antar saudara (Hurlock, 2006). Jarak lahir antara 2 sampai 4 tahun merupakan insidensi tertinggi pada kakak-beradik terhadap terjadinya sibling rivalry (Woolfson, 2005). Hal ini karena pada jarak tersebut pemahaman anak sudah meningkat sehingga anak cenderung terganggu bila salah satu anak mendapatan perhatian yang berbeda (Woolfson, 2005).

e. Jumlah saudara

Jumlah saudara yang kecil cenderung menghasilkan hubungan yang lebih banyak perselisihan daripada jumlah saudara yang besar. Hal ini dikarenakan, bila ada anak dua atau tiga anak dalam keluarga, mereka lebih sering bersama jika jumlahnya besar dan orang tua mengharapkan mereka bermain dan melakukan berbagai hal bersama sehingga


(43)

25

perselisihan sandara kandung berkurang. Apabila keluarga dengan banyak anak, disiplin orang tua cenderung otoriter, permusuhan dan sikap antagonisme antar anak cenderung terbuka, sehingga tercipta suasana yang diwarnai perselisihan (Hurlock, 2006).

Priyatna dan Yulia (2006) dalam Setiawati & Zulkaida, 2007 juga menyebutkan sibling rivalry disebabkan oleh:

a. Faktor internal: merupakan faktor yang ada dan berkembang pada anak, contohnya temperamental, sikap mencari perhatian dan kasih sayang orang tua, perbedaan umur dan jenis kelamin, dan adanya keinginan kuat anak untuk mengalahkan saudaranya.

f. Faktor eksternal: faktor luar yang disebabkan oleh karena orang tua kurang tepat dalam mendidik anak-anaknya, seperti sikap membanding-bandingkan, hanya memperhatikan satu anak dan/atau anak emas diantara anak yang lain.

3. Ciri khas sibling rivalry

Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa edisi III (PDGJ III) menyebutkan ciri khas dari sibling rivalry ini mencakup gabungan dari:

b. Bukti adanya rasa persaingan dan/atau iri hati terhadap saudara;

c. Onset selama beberapa bulan setelah kelahiran adik (terutama adik langsung);

d. Gangguan emosional melampaui taraf normal dan/atau berkelanjutan dan berhubungan dengan masalah psikososial (Maslim, 2003).


(44)

Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa edisi III (PDGJ III) juga menyebutkan bahwa rasa persaingan/iri hati antar saudara mungkin ditandai oleh upaya bersaing yang nyata antar saudara untuk merebut perhatian atau cinta orang tuanya dan perasaan negatif yang berlebihan. Dalam kasus yang berat persaingan mungkin disertai oleh rasa permusuhan yang terbuka, trauma fisik dan/atau sikap jahat dan upaya menjatuhkan saudaranya. Sedangkan pada kasus yang ringan persaingan/iri hati itu dapat terlihat dari keengganan berbagi, kurangnya pandangan positif, dan langkanya interaksi yang ramah (Maslim, 2003).

Tiga reaksi sibling rivalry yang dikemukakan oleh Shaffer (2009) yaitu:

a. Berperilaku agresif atau resentment (kekesalan, kemarahan, atau kebencian).

Perasaan kesal dan marah akibat perlakuan yang berbeda dari orang tua dilampiaskan kepada saudaranya (adik/kakak). Hurlock (2005) juga menyampaikan bahwa kecemburuan terhadap saudara kandung dapat ditunjukkan melalui perilaku agresif tersebut seperti memukul, mencakar, melukai, dan berusaha mengalahkan saingannya (saudaranya), melempar barang, menyerang orang tua dan sebagainya. b. Kompetisi atau semangat untuk bersaing (tidak suka mengalah),

Persaingan saudara ini mengakibatkan salah satu atau antar saudara kandung berusaha menang dari saudaranya atau tidak suka mengalah dari saudaranya. Anak-anak bersaing dan menganggap kelebihan mereka sebagai cara untuk mendapatkan perhatian.


(45)

27

Contohnya salah satu saudara menertawakan prestasi saudaranya yang lebih buruk darinya atau prestasi dia lebih baik dari adiknya (Woolfson, 2003).

c. Perasaan iri atau cemburu dengan mencari perhatian

Rasa cemburu muncul jika anak merasa kesal karena salah satu anak kepada orang tuanya yang memperlakukan anak berbeda satu sama lain (Dweck, 2003; Parrott & Smith, 1993 dalam Thompson, 2004). Biasanya ditunjukkan dengan mencari perhatian secara berlebihan seperti salah satu anak menyakiti dirinya sendiri saat melihat orang tua memuji saudaranya agar orang tua mengalihkan perhatian padanya (Woolfson, 2005). Anak juga menunjukkan dengan sikap sebaliknya yaitu anak menjadi penurut dan patuh hal ini dilakukan untuk memperebutkan perhatian orang tua. Orang tua sering mendambakan anak yang baik, patuh, dan pintar (Fahmi, 2008).

Ketiga aspek sibling rivalry tersebut juga dijadikan oleh Yati (2008) sebagai acuan untuk membut kuesioner siblingrivalry yang dilakukan untuk penelitiannya yang berjudul “Hubungan Sibling Rivalry dengan Motivasi Berprestasi pada Anak Kembar” pada anak pra remaja umur 11 tahun sampai 22 tahun dan penelitian Nuswantari (2011) tentang “Hubungan antara Sibling Rivalry dengan Perilaku Asertif Pada Remaja” pada 207 siswa kelas VII SMP Negeri 2 Nganjuk yang berusia 12-15 tahun. Selain itu, Wardani (2007) juga menjadikan tiga reaksi sibling rivalry tersebut dan menambahkan satu aspek lagi yaitu anak menjadi penurut dan patuh pada penelitiannya yang berjudul “Hubungan antara Penerimaan Orang Tua


(46)

dengan Sibling Rivalry pada Anak yang Memiliki Saudara Kandung Penderita Autis” pada anak usia sekolah.

Sibling rivalry dibagi menjadi sibling rivalry tinggi dan rendah. Penelitian Nuswantari (2011) juga menyebutkan bahwa sibling rivalry dikatakan rendah ketika kadar kompetisi atau persaingan, perasaan cemburu, dan resentment rendah atau jarang terjadi. Sedangkan sibling rivalry dikatakan tinggi ketika kompetisi atau persaingan, perasaan cemburu, dan resentment tinggi atau sering terjadi.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri sibling rivalry, yaitu:

a. Berperilaku agresif atau resentment terhadap saudara kandung dan orang tua

b. Memiliki rasa kompetisi atau semangat bersaing (tidak suka mengalah) c. Memiliki perasaan iri atau cemburu terhadap saudaranya dengan

mencari perhatian.

4. Dampak sibling rivalry

Sibling rivalry menimbulkan akibat atau dampak positif dan negatif terhadap perkembangan anak (Havnes, 2010). Dampak-dampak tersebut, antara lain:

a. Dampak positif

Dampak dari sibling rivaly ini yaitu saat saudara lahir, anak yang lebih tua telah mengembangkan kemandirian penuh, terutama dalam bermain, dan peningkatan kemampuan untuk bertanggung jawab yang mengarah ke konsep diri yang lebih baik (Anderson, 2006). Selain itu,


(47)

29

Gunarsa (2004) menyebutkan bahwa “Persaingan yang sehat dan tetap dalam pengamatan orang tua, bisa terus dipertahankan, agar semuanya terdorong untuk mencapai prestasi dan meraih hasil sebaik-baiknya. b. Dampak negatif

Dampak negatifnya menurut Gichara (2006), sibling rivalry dapat menimbulkan akibat yang negatif yaitu mencederai saudaranya seperti anak akan memukul, mendorong, dan mencakar lawannya, sedangkan pada anak yang lebih besar cenderung akan memaki saudara atau menganggap saudaranya sebagai lawan. Penelitian Ensi dan Winarianti (2009) menemukan bahwa anak usia toodler dan memiliki adik ditemukan sekitar 89,9% terjadi cedera pada saudara yang lebih muda akibat perlakuan sang kaka dan sebesar 10,1% tidak terjadi cedera pada saudara kandungnya.

Sibling rivalry dapat merusak kualitas persaudaraan dan menyebabkan perilaku agresif anak terutama terhadap saudaranya di rumah (Havnes, 2010; Hardy et al, 2010) dan menyebabkan anak akan lebih sering berperilaku agresif di mana saja, seperti di sekolah (Patterson dalam Volling & Blandon, 2003). Bank, Patterson, & Reid, 1996 (dalam Pope 2006) menyebutkan bahwa hubungan tidak harmonis antar saudara kandung khususnya anak pada masa usia sekolah akan mengalami kesulitan melakukan peyesuaian sosial seperti hubungan yang buruk dengan teman sebaya, perilaku antisosial, kesulitan belajar, dan menunjukkan tanda psikopatologi (cemas, depresi, dan ketakutan).


(48)

Gunarsa (2004) menyebutkan bahwa persaingan yang tidak sehat, apalagi dipengaruhi oleh orang tua, bisa menimbulkan keseganan belajar, tidak berani menghadapi realitas yang tidak menyenangkan, bahkan dalam intensitas yang lebih dalam, bisa menimbukan masalah penyesuaian sosial, pelarian diri, dan gejala atau gangguan fungsi kefaalan dalam tubuhnya”. Hurlock (2006) menyatakan bahwa perselisihan antar saudara (sibling rivalry) akan mempengaruhi semua hubungan antar anggota keluarga dan bahkan hubungan yang buruk ini sering menjadi pola hubungan sosial yang akan dibawa anak ke luar rumah.

D.Penyesuaian

1. Definisi Penyesuaian

Adaptasi atau penyesuaian diartikan sebagai kemampuan seseorang mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungan, dan mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan (keinginan diri) (Gerungan, 1996 dalam Sunaryo, 2002). Penyesuaian diri juga diartikan sebagai usaha atau perilaku yang tujuannya mengatasi kesulitan dan hambatan (Heerdjan, 1987 dalam Sunaryo, 2002).

2. Jenis Penyesuaian

Penyesuaian terbagi menjadi dua, yaitu penyesuaian pribadi dan sosial (Hurlock, 2010). Penyesuaian pribadi merupakan penyesuaian yang diarahkan kepada diri sendiri. Penyesuaian ini meliputi penyesuaian terhadap fisik dan emosi, seksual, moral dan religuisitas. Sedangkan


(49)

31

penyesuaian sosial diartikan sebagai kemampuan untuk mereaksi secara tepat terhadap realitas sosial, situasi dan relasi (Yusuf, 2012).

3. Definisi Penyesuaian Sosial

Penyesuaian sosial diartikan sebagai keberhasilan seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada umumnya dan terhadap kelompoknya pada khususnya. Anak-anak diharapkan dapat menyesuaikan diri terhadap kehidupan sosial dan memenuhi harapan sosial sesuai dengan usia mereka (Hurlock, 2005). Penyesuaian sosial merupakan bagian dari penyesuaian diri/adaptasi. Sosial adjusment atau penyesuaian sosial berarti penjalinan secara harmonis suatu relasi dengan lingkungan sosial, mempelajari pola tingkah laku yang diperlukan atau mengubah kebiasaan yang ada sedemikian rupa sehingga cocok bagi satu masyarakat sosial (Chaplin, 2006).

Definisi lain menyebutkan bahwa penyesuaian sosial anak didefinisikan sebagai kemampuan untuk membangun dan mempertahankan hubungan yang baik dan memuaskan, untuk menghindari tekanan negatif atau egosentrisme orang lain (Welsh & Bierman, 1998 dalam Huang, 2007), serta kemampuan untuk mengatasi ketegangan negatif serta mencegah perilaku egosentris (Huang, 2007).

4. Faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial

Gunarsa (2008) menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial, antara lain:

a. Keadaan fisik dan faktor-faktor keturunan, konstitusi fisik meliputi sistem persyarafan, kelenjar, otot-otot serta kesehatan dan penyakit;


(50)

b. Perkembangan dan kematangan khususnya kematangan intelektual, sosial, dan emosi;

c. Faktor psikologis, pengalaman belajar, frustasi dan konflik, sel determination;

d. Faktor lingkungan, seperti rumah, sekolah; e. Faktor kebudayaan, adat istiadat, dan agama.

Sunarto dan Hartono (2008) juga menjelaskan bahwa faktor internal yang mempengaruhi penyesuaian sosial sebagai berikut :

a. Faktor Fisik

i. Kondisi jasmaniah

Struktur jasmaniah merupakan kondisi primer bagi tingkah laku karena sistem saraf, kelenjar, dan otot merupakan faktor yang penting bagi proses penyesuaian sosial. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa gangguan-gangguan pada sistem saraf, kelenjar, dan otot dapat menimbulkan gejala-gejala gangguan mental, tingkah laku dan kepribadian. Oleh karena itu, kualitas penyesuaian sosial yang baik hanya dapat diperoleh dan dipelihara bila kondisi jasmaniah baik. ii. Perkembangan, kematangan dan penyesuaian diri

Seseorang yang mengalami pertambahan usia, perubahan dan perkembangan respon yang diperoleh, tidak hanya melalui proses belajar saja melainkan anak juga menjadi matang untuk melakukan respon dan ini menentukan pola-pola penyesuaian sosialnya. Penelitian Retnasih (2009) menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara perkembangan emosi dan penyesuaian sosial.


(51)

33

b. Faktor Psikologis 1. Pengalaman

Pengalaman yang mempengaruhi dalam penyesuaian sosial adalah pengalaman yang menyenangkan dan pengalaman traumatik. 2. Belajar

Belajar merupakan faktor dasar dalam penyesuaian sosial karena melalui belajar akan berkembang pola-pola respon yang akan membentuk kepribadian. Belajar dalam proses penyesuaian sosial merupakan modifikasi tingkah laku sejak fase-fase awal dan berlangsung terus menerus sepanjang hayat dan diperkuat dengan kematangan pribadi.

3. Determinasi

Determinasi merupakan bagaimana seseorang individu menentukan atau mengarahkan dirinya sendiri yang mendorong seseorang untuk mencapai sesuatu yang baik atau buruk, penyesuaian yang tinggi atau merusak diri. Sehingga determinasi diri berpengaruh dalam proses penyesuaian sosial karena mempunyai peranan dalam pengendalian arah dan pola penyesuaian sosial.

4. Konflik

Akibat adanya konflik individu akan berusaha mengatasi konflik. Apabila individu telah dapat mengatasi konfliknya maka individu lebih mudah mengadakan penyesuaian sosial dalam situasi yang berbeda-beda.


(52)

Sunarto dan Hartono (2008) selanjutnya menjelaskan faktor eksternal yang mempengaruhi penyesuaian sosial, yaitu faktor lingkungan yang mencakup :

a. Pengaruh rumah dan keluarga

Keluarga merupakan unit terkecil dari kelompok sosial serta merupakan tempat pertama kali individu melakukan interaksi sosial sehingga keluarga memegang peranan penting dalam penyesuaian sosial. Penelitian Nisa (2011) tentang “Kontribusi Iklim Kehidupan Keluarga terhadap Penyesuaian Sosial Siswa Sekolah Dasar” pada 55 siswa kelas VI Yayasan SD Jembar Bandung menunjukkan hasil bahwa semakin kondusif iklim kehidupan keluarga maka semakin tinggi kemampuan penyesuaian sosial siswa.

b. Hubungan orangtua dan anak

Pola-pola hubungan antara orangtua dan anak mempunyai pengaruh terhadap proses penyesuaian sosial anak.

c. Hubungan saudara

Suasana hubungan saudara yang penuh persahabatan, kooperatif, saling menghormati, penuh kasih sayang memudahkan untuk tercapainya penyesuaian sosial yang lebih baik (Sunarto & Hartono, 2008) dan mengurangi resiko kegagalan melakukan penyesuaian (maladjustment) (Evelyn et al, 2011). Sedangkan suasana yang penuh dengan permusuhan, perselisihan, iri hati, kebencian dapat menimbulkan kesulitan dan kegagalan dalam penyesuaian sosial.


(53)

35

d. Masyarakat

Keadaan lingkungan masyarakat dimana individu berada merupakan kondisi yang menentukan proses penyesuaian sosial karena masyarakat merupakan suatu kelompok sosial yang paling besar dan sangat mempengaruhi pola hidup anggotanya.

e. Sekolah

Sekolah mempunyai peranan sebagai media untuk mempengaruhi kehidupan intelektual, sosial, dan moral para siswa. Hasil pendidikan di sekolah merupakan bekal untuk penyesuaian sosial di masyarakat yang lebih luas.

f. Budaya dan agama

Lingkungan budaya dimana individu berada dan berinteraksi akan menentukan pola-pola penyesuaian sosialnya. Agama memberikan suasana psikologis tertentu dalam mengurangi konflik-konflik, frustasi dan bentuk-bentuk ketegangan lainnya. Agama juga memberikan suasana tenang dan damai yang dibutuhkan oleh seorang anak.

5. Kriteria penyesuaian sosial (social adjustment)

Anak dapat melakukan penyesuaian akan memenuhi kebutuhan dari dalam dirinya dan tuntutan lingkungannya serta mampu mengatasi hambatan yang dihadapinya (Hurlock, 2005). Individu yang bisa melakukan penyesuaian sosial dengan benar akan menunjukkan tidak adanya ketegangan emosional, tidak ada frustrasi, mampu belajar, menghargai pengalaman, bersikap realistik dan objektif (Sunarto & Hartono, 2008). Untuk menentukan sejauh mana penyesuaian diri anak secara sosial, dapat


(54)

diterapkan dengan empat kriteria; penerapan salah satu kriteria saja tidak akan memadai (Hurlock, 2005). Kriteria penyesuaian sosial tersebut, yaitu:

a. Penampilan nyata melalui sikap dan tingkah laku yang nyata (overt performance)

Perilaku sosial seseorang harus sesuai standar yang ada dalam kelompok serta memenuhi harapan kelompok sehingga dapat diterima sebagai anggota kelompok. Bentuk dari penampilan nyata adalah (1) aktualisasi diri seperti proses menjadi diri sendiri, mengembangkan sifat-sifat dan potensi diri yang dimiliki, (2) kemampuan menjalin hubungan antar sesama seperti kemampuan berkomunikasi, kemampuan berorganisasi, dan (3) bersifat terbuka pada orang lain artinya sikap untuk bersedia memberi dan menerima pengetahuan atau informasi dari pihak lain.

b. Penyesuaian diri terhadap berbagai kelompok

Seseorang yang bisa menyesuaikan diri dengan baik terhadap berbagai kelompok, baik kelompok teman sebaya maupun kelompok orang dewasa dianggap dapat menyesuaikan diri dengan baik. Bentuk dari penyesuaian diri adalah (1) kerja sama dengan kelompok yaitu kemampuan saling mendukung dan mengandalkan untuk mencapai tujuan bersama, (2) menjalankan tanggung jawab agar bisa mendapatkan hak, dan (3) setia kawan seperti saling berbagi, saling member motivasi dalam kebaikan.


(55)

37

c. Sikap sosial

Seseorang menampilkan sikap yang menyenangkan orang lain, aktif dalam kegiatan sosial, serta menjalankan peran yang baik sebagai anggota kelompok. Bentuk dari sikap sosial seperti ikut serta dalam kegiatan sosial di masyarakat, memiliki rasa empati, menghormati dan menghargai pikiran orang lain.

d. Kepuasan pribadi

Seseorang yang telah menyesuaikan diri dengan baik secara sosial, maka harus memiliki kepuasan terhadap kontak sosial dan peran yang dimainkannya dalam situasi sosial ketika menjadi pemimpin ataupun anggota. Bentuk dari kepuasan pribadi seperti rasa percaya diri, disiplin diri, dan memiliki kehidupan yang bermakna serta terarah. Sebagai contoh, anak-anak dapat mengatakan bahwa mereka tidak ingin pergi ke luar bermain dengan anak-anak lain karena permainan mereka membosankan atau bahwa mereka lebih senang tinggal di rumah. Kesimpulan yang dapat ditarik bahwa anak-anak kurang mendapatkan kepuasan dari aktivitas sosial dan lebih mendapatkan kepuasan dari aktivitas yang dilakukannya sendiri.

Kriteria penyesuaian sosial juga disampaikan oleh Schneider (1964 dalam Yusuf, 2012), antara lain:

a. Di lingkungan keluarga

1. Menjalin hubungan dengan baik dengan para anggota keluarga (orang tua dan saudara)


(56)

3. Menerima tangung jawab dan batasan-batasan (norma) keluarga 4. Berusaha membantu anggota keluarga sebagai individu maupun

kelompok dalam mencapai tujuannya b. Di lingkungan sekolah

1. Menerima peraturan sekolah

2. Berpartisipasi dalam kegiatan sekolah

3. Menjalin persahabatan dengan teman-teman di sekolah

4. Bersikap hormat terhadap guru, pemimpin sekolah dan staff lainnya 5. Membantu sekolah dalam merealisasikan tujuannya

c. Di lingkungan masyarakat

1. Mengakui dan respek terhadap hak-hak orang lain 2. Memelihara jalinan persahabaan dengan orang lain

3. Bersikap simpati dan altruistis terhadap kesejahteraan orang lain 4. Bersikap respek terhadap nilai, hukum, tradisi, dan

kebijakan-kebijakan masyarakat.

Penelitian Nisa (2011) tentang “Kontribusi Iklim Kehidupan Keluarga terhadap Penyesuaian Sosial Siswa Sekolah Dasar” membagi penyesuaian menjadi dua kategori, yaitu penyesuaian sosial tinggi dan penyesuaian sosial rendah. Kemampuan penyesuaian sosial yang tinggi adalah anak mampu menjalin hubungan dengan teman sebaya, memiliki minat dan mengikuti kegiatan di sekolah, berani berpendapat, dan mematuhi tata tertib dan peraturan sekolah. Sedangkan penyesuaian sosial yang rendah jika anak tidak mampu menjalin hubungan dengan teman sebaya, tidak berani berpendapat, melanggar tata tertib dan peraturan sekolah.


(57)

39

4. Penyesuaian yang Gagal (Maladjustment)

Individu tidak selamanya mampu menyesuaikan diri, karena kadang-kadang ada rintangan tertentu yang menyebabkan tidak berhasil melakukan penyesuaian (Sunarto & Hartono, 2008). Ketidakberhasilan melakukan penyesuaian biasa disebut dengan istilah mal-adjusment. Kegagalan dalam melakukan penyesuaian ini akan mengakibatkan ketegangan, tingkah laku yang serba salah, tidak terarah, emosianal, sikap yang tidak realistik, agresif, dan sebagainya (Sunarto & Hartono, 2008).

Kegagalan penyesuaian sosial (social maladjustment) berkaitan dengan kesulitan dalam bersosial dan emosi yang berhubungan dengan tingkah laku yang didapatkan dari situasi atau pengalaman (LeComer, 2006). Selain itu, kegagalan penyesuaian sosial merupakan masalah tingkah laku yang berkaitan dengan aturan dalam keluarga, sosial, dan/atau sekolah (Whitcomb & Merrel, 2013).

Individu yang mengalami kegagalan dalam melakukan penyesuaian ini biasanya akibat dari kesulitan dalam melakukannya. Melakukan penyesuaian sosial yang baik bukanlah hal yang mudah. Akibatnya, banyak anak yang kurang dapat menyesuaikan diri, baik secara sosial maupun pribadi. Masa kanak-kanak mereka tidak menyenangkan, dan bila mereka tidak belajar mengatasi kesulitan mereka, mereka akan tumbuh menjadi orang yang malsesuai (maladjust), yang tidak bahagia (Hurlock, 2005).

Hurlock (2005) mengemukakan ada 4 kondisi yang paling penting yang dapat menimbulkan kesulitan melakukan penyesuaian sosial pada anak, yaitu:


(58)

a. Bila perilaku sosial yang buruk dikembangkan di rumah, anak akan menemui kesulitan melakukan penyesuaian sosial yang baik di luar rumah, meskipun ia diberi motivasi kuat untuk melakukannya

b. Bila anggota keluarga dirumah kurang memberikan model perilaku untuk ditiru, anak akan mengalami hambatan serius dalam penyesuaian sosialnya di luar rumah

c. Kurangnya motivasi untuk belajar melakukan penyesuaian sosial sering timbul dari pengalaman sosial yang tidak menyenangkan di rumah atau di luar rumah

d. Meskipun memiliki motivasi kuat untuk belajar melakukan penyesuaian sosial yang baik, namun anak tidak mendapatkan bimbingan dan bantuan yang cukup dalam proses belajar ini.

E. Penelitian Terkait

Pike, Coldwe and Dunn (2005) tentang “Sibling Relationships in Early/Middle Childhood: Links with Individual Adjustment” pada 101 orang tua di UK yang memiliki anak 4 tahun sampai 6 tahun dan saudara kandungnya berusia 8 tahun (rata-rata 7,4 tahun) menyatakan bahwa hubungan antar saudara kandung memiliki pengaruh terhadap kemampuan penyesuaian sosial anak dan penyesuaian yang baik mempengaruhi kualitas hubungan tersebut.

Penelitian Deater-Deckard, Dunn, dan Lussier (2002) tentang “Sibling Relationships and Social-Emotional Adjustment In Different Family Contexts” pada 192 keluarga di UK yang memiliki anak berusia 5 tahun dan saudara kandung rata-rata 9 tahun menyebutkan bahwa hubungan antar


(59)

41

saudara kandung yang tidak harmonis atau buruk berhubungan dengan kegagalan penyesuaian anak (child maladjustment) dan proses perkembangan anak tersebut yang mendasari kualitas hubungan saudara dan kemampuan penyesuaian anak.

Penelitian Ensi dan Winarianti (2009) tentang “Hubungan Sibling Rivalry dengan Kejadian Cedera pada Saudara Sekandungnya di RW 12 Kelurahan Kemiri Muka Kecamatan Kota Depok”. Analisis data dengan menggunakan uji chi square pada 69 ibu yang memiliki anak usia toodler dan memiliki adik. Hasil penelitian ditemukan sekitar 89,9% terjadi cedera pada saudara yang lebih muda akibat perlakuan sang kakak dan sebesar 10,1% tidak terjadi cedera pada saudara kandungnya.

Penelitian Yati (2008) yang berjudul “Hubungan Sibling Rivalry

dengan Motivasi Berprestasi pada Anak Kembar” pada anak pra remaja umur 11 tahun sampai 22 tahun. Parstisipan dalam penelitian ini yaitu 16 laki-aki dan 16 perempuan. Analisis data dengan menggunakan Korelasi Pearson Product Moment. Hasil korelasi sebesar 0,078. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat hubungan antara siblingrivalry dengan motivasi berprestasi.

Penelitian Nuswantari (2011) tentang “Hubungan antara Sibling Rivalry dengan Perilaku Asertif Pada Remaja” pada 207 siswa kelas VII SMP Negeri 2 Nganjuk yang berusia 12-15 tahun. Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi Spearman Rank dari Spearman. Hasil korelasi antara sibling rivalry dengan perilaku asertif sebesar -0,255, dengan p sebesar 0,000. Hasil penelitian menunjukkan hubungan yang negatif artinya semakin tinggi sibling rivalry, maka semakin rendah perilaku asertif pada remaja.


(60)

Penyebab sibling rivalry -Faktor internal

(temperamental, mencari perhatian orang tua, perbedaan umur,jenis kelamin, keinginan menang dari saudaranya) -Faktor eksternal (sikap membanding-bandingkan, adanya anak emas).

(Priyatna dan Yulia (2006) dalam Setiawati & Zulkaida, 2007)

F. Kerangka Teori

Input Proses Output

Bagan 2.2 Kerangka Teori

Modifikasi dari teori Hockenberry & Wilson (2007), Suprajitno (2003), Priyatna dan Yulia (2006) dalam Setiawati & Zulkaida (2007), Shaffer (2009),

Dunn dalam Havnes (2010), Gichara (2006), Gunarsa (2004), Anderson (2006), Schneider (1964) dalam Yusuf (2012), dan Hurlock (2005).

Tiga reaksi sibling rivalry

1. Perilaku agresif atau resentment

2. Kompetisi atau persaingan,

3. Perasaan iri atau cemburu dengan mencari perhatian

(Shaffer, 2009)

Kemampuan penyesuaian sosial Anak usia sekolah (6-12

tahun) mengalami: -Perkembangan fisik -Perkembangan

psikososial

-Perkembangan sosial (bekerja sama dan bersosial dengan

keluarga dan

kelompoknya) -Perkembangan emosi

(adanya perasaan cemburu serta iri hati serta menyukai persaingan) atau Sibling rivalry.

-Perkembangan kognitif -Perkembangan moral -Perkembangan

spiritual

(Hockenberry & Wilson

(2007); Suprajitno (2003))

Penyesuaian sosial di keluarga, sekolah, dan masyarakat meliputi: 1. Penampilan nyata 2. Penyesuaian

terhadap kelompok 3. Sikap sosial 4. Kepuasan pribadi

Schneider (1964) dalam

Yusuf (2012), dan

Hurlock (2005).

Dampak sibling rivalry -Mandiri

-Prestasi meningkat -Cedera salah satu anak -Perilaku agresif anak -Masalah penyesuaian

sosial.

Anderson (2006); Dunn dalam Havnes (2010); Gichara (2006); Gunarsa (2004)

Sibling rivalry

penyesuaian sosial rendah Penyesuaian


(61)

43

BAB III

KERANGKA KONSEP,

HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka teori yang telah dibuat dalam bab sebelumnya, bahwa adanya sibling rivalry akan mempengaruhi kemampuan penyesuaian sosial anak. Hal ini sesuai pendapat Hurlock (2006) yang menyatakan bahwa perselisihan antar saudara (sibling rivalry) akan mempegaruhi semua hubungan antar anggota keluarga dan bahkan hubungan yang buruk ini sering menjadi pola hubungan sosial yang akan dibawa anak ke luar rumah. Bank, Patterson, & Reid, 1996 (dalam Pope, 2006) menambahkan bahwa hubungan tidak harmonis antar saudara kandung khususnya anak pada masa usia sekolah akan mengalami kesulitan melakukan penyesuaian sosial.

Berdasarkan hal tersebut, maka variabel yang ingin diteliti adalah sibling rivalry sebagai variabel independen dan kemampuan penyesuaian sosial sebagai variabel dependen. Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Variabel independen Variabel dependen

Bagan 3.1. Kerangka Konsep Sibling rivalry

Kemampuan penyesuaian sosial


(62)

B. Hipotesis

Adapun hipotesis dari penelitian ini yang diajukan sehubungan dengan masalah diatas yaitu ”Ada hubungan antara sibling rivalry dengan kemampuan penyesuaian sosial anak usia sekolah di SDN Cireundeu III”.


(1)

Total 72 100.0 100.0

Penyesuaian thd kelompk 5 Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 8 11.1 11.1 11.1

2 22 30.6 30.6 41.7

3 28 38.9 38.9 80.6

4 14 19.4 19.4 100.0

Total 72 100.0 100.0

Penampilan nyata 4

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 3 4.2 4.2 4.2

2 32 44.4 44.4 48.6

3 8 11.1 11.1 59.7

4 28 38.9 38.9 98.6

22 1 1.4 1.4 100.0

Total 72 100.0 100.0

Penyesuaian thd kelompok 6 Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 2 2.8 2.8 2.8

2 33 45.8 45.8 48.6

3 20 27.8 27.8 76.4

4 17 23.6 23.6 100.0

Total 72 100.0 100.0

Penampilan nyata 5

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 2 11 15.3 15.3 15.3

3 18 25.0 25.0 40.3

4 43 59.7 59.7 100.0

Total 72 100.0 100.0


(2)

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 2 32 44.4 44.4 44.4

3 15 20.8 20.8 65.3

4 25 34.7 34.7 100.0

Total 72 100.0 100.0

Penyesuaian thd kelompok 8 Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 1 1.4 1.4 1.4

2 12 16.7 16.7 18.1

3 22 30.6 30.6 48.6

4 37 51.4 51.4 100.0

Total 72 100.0 100.0

Peyesuaian thd kelompok 9 Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 3 4.2 4.2 4.2

2 25 34.7 34.7 38.9

3 15 20.8 20.8 59.7

4 29 40.3 40.3 100.0

Total 72 100.0 100.0

Sikap sosial 1

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 6 8.3 8.3 8.3

2 34 47.2 47.2 55.6

3 9 12.5 12.5 68.1

4 23 31.9 31.9 100.0

Total 72 100.0 100.0

Sikap sosial 2

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 2 5 6.9 6.9 6.9

3 8 11.1 11.1 18.1


(3)

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 2 5 6.9 6.9 6.9

3 8 11.1 11.1 18.1

4 59 81.9 81.9 100.0

Total 72 100.0 100.0

Kepuasan pribadi 1

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 2 6 8.3 8.3 8.3

3 16 22.2 22.2 30.6

4 50 69.4 69.4 100.0

Total 72 100.0 100.0

Penampilan nyata 6

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 3 4.2 4.2 4.2

2 12 16.7 16.7 20.8

3 18 25.0 25.0 45.8

4 39 54.2 54.2 100.0

Total 72 100.0 100.0

Penampilan nyata 7

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 1 1.4 1.4 1.4

2 30 41.7 41.7 43.1

3 9 12.5 12.5 55.6

4 32 44.4 44.4 100.0

Total 72 100.0 100.0

Penampilan nyata 8

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 29 40.3 40.3 40.3

2 25 34.7 34.7 75.0


(4)

4 13 18.1 18.1 100.0

Total 72 100.0 100.0

Penampilan nyata 9

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 4 5.6 5.6 5.6

2 5 6.9 6.9 12.5

3 12 16.7 16.7 29.2

4 51 70.8 70.8 100.0

Total 72 100.0 100.0

Sikap sosial 3

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 1 1.4 1.4 1.4

2 17 23.6 23.6 25.0

3 25 34.7 34.7 59.7

4 29 40.3 40.3 100.0

Total 72 100.0 100.0

Penyesuaian thd kelompok 10 Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 2 2.8 2.8 2.8

2 16 22.2 22.2 25.0

3 23 31.9 31.9 56.9

4 31 43.1 43.1 100.0

Total 72 100.0 100.0

Kepuasan pribadi 2

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 2 35 48.6 48.6 48.6

3 12 16.7 16.7 65.3

4 25 34.7 34.7 100.0

Total 72 100.0 100.0

Sikap sosial 4

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent


(5)

2 12 16.7 16.7 18.1

3 14 19.4 19.4 37.5

4 45 62.5 62.5 100.0

Total 72 100.0 100.0

Kepuasan pribadi 3

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 4 5.6 5.6 5.6

2 39 54.2 54.2 59.7

3 10 13.9 13.9 73.6

4 19 26.4 26.4 100.0

Total 72 100.0 100.0

Sikap sosial 5

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 8 11.1 11.1 11.1

2 26 36.1 36.1 47.2

3 12 16.7 16.7 63.9

4 26 36.1 36.1 100.0

Total 72 100.0 100.0

Penyesuaian thd kelompok 11 Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 8 11.1 11.1 11.1

2 20 27.8 27.8 38.9

3 12 16.7 16.7 55.6

4 32 44.4 44.4 100.0

Total 72 100.0 100.0

Penampilan nyata 10

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 5 6.9 6.9 6.9

2 40 55.6 55.6 62.5

3 14 19.4 19.4 81.9

4 13 18.1 18.1 100.0


(6)

Penampilan nyata 11

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 22 30.6 30.6 30.6

2 33 45.8 45.8 76.4

3 11 15.3 15.3 91.7

4 6 8.3 8.3 100.0

Total 72 100.0 100.0

Penyesuaian thd klpok 12 Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 8 11.1 11.1 11.1

2 16 22.2 22.2 33.3

3 17 23.6 23.6 56.9

4 31 43.1 43.1 100.0

Total 72 100.0 100.0

Penampilan nyata 12

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 4 5.6 5.6 5.6

2 9 12.5 12.5 18.1

3 7 9.7 9.7 27.8

4 52 72.2 72.2 100.0

Total 72 100.0 100.0

Sikap sosial 6

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 3 4.2 4.2 4.2

2 15 20.8 20.8 25.0

3 21 29.2 29.2 54.2

4 33 45.8 45.8 100.0