Pengertian Perlindungan Konsumen Perlindungan Konsumen

16 BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. Perlindungan Konsumen

1. Pengertian Perlindungan Konsumen

Dalam alinea IV Pembukaan UUD-1945 secara tegas dinyatakan bahwa tujuan Negara Republik Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Meningkatnya kebutuhan – kebutuhan konsumen pada saat ini membuka peluang pasar yang besar bagi para pelaku usaha danatau penyedia jasa. Pada satu sisi konsumen membutuhkan barang danatau pelayanan jasa yang berkualitas, sedang di sisi lain para pelaku usaha danatau penyedia menjadikan para konsumen sebagai objek aktivitas bisnisnya guna mendapatkan keuntungan yang sebesar – besarnya. Perbedaan kepentingan merupakan potensi besar terjadi sengketa antara pelaku usaha danatau penyedia dengan para konsumen. Oleh hak – hak konsumen sebagai objek aktivitas bisnis pelaku usaha danatau penyedia harus dilindungi. Keinginan yang ingin dicapai dalam perlindungan konsumen adalah menciptakan rasa aman bagi konsumen dalam memenuhi kebutuhan hidup. Terbukti dalam semua norma perlindungan konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen memiliki sanksi pidana. 1 Hubungan hukum antara pelaku usaha dan Konsumen dalam sejarah mencakup dua macam doktrin, yaitu doktrin caveat emptor, yang kemudian berkembang menjadi caveat venditor. Doktrin caveat emptor disebut juga let the buyer beware atau pembeli harus melindungi dirinya sendiri yang merupakan dasar dari lahirnya sengketa di bidang transaksi konsumen. Asas ini berasumsi bahwa pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi pihak konsumen. Doktrin ini memiliki makna bahwa konsumen sendiri yang harus memikirkan dan bertanggung jawab atas perlindungan terhadap kepentingannya. Pelaku usaha tidak bertanggung jawab atas cacat atau kerugian. Doktrin emptor kemudian berkembang kearah caveat venditor dimana pelaku usaha yang harus berhati – hati atas produk yang ditawarkan. Doktrin ini dikemukakan karena diyakini bahwa pelau usaha adalah pihak yang paling mengetahui informasi secara benar, jelas, dan jujur atas setiap barang dan atau jasa yang dikonsumsi. Oleh karena itu, pihak pelaku usaha harus lebih waspada dan berhati hati dalam memproduksi sesuatu produk, 1 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, h. 22 jangan sampai bertentangan dengan tuntutan, criteria, dan kepentingan konsumen. suatu prinsip hubungan yang semula menekankan kepada kesadaran konsumen sendiri untuk melindungi dirinya berubah menjadi kesadaran pelaku usaha untuk melindungi konsumen. 2 Fenomena yang terjadi saat ini adalah kelemahan konsumen, dimana tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, perlu dilakukan perlindungan konsumen melalui upaya pemberdayaan konsumen, pembinaan dan pendidikan konsumen. Menurut Troelstrup, konsumen pada dasarnya memiliki posisi tawar yang lemah dan terus melemah, hal ini disebabkan: 3 1. Terdapat banyak produk, merek dan cara penjualannya 2. Daya beli konsumen semakin meningkat 3. Lebih banyak variasi merek yang beredar di pasaran, sehingga belum banyak diketahui semua orang 4. Model – model produk lebih cepat berubah 5. Kemudahan transportasi dan komunikasi sehingga membuka akses yang lebih besar kepada bermacam – macam pelaku usaha 6. Iklan yang menyesatkan 7. Wanprestasi oleh pelaku usaha 2 Abdul Halim Barkatullah, Hak – Hak Konsumen, Nusa Media : Bandung Cet-1, 2010, hal. 19 3 Ibid., hal. 9 Dalam rangka pemberdayaan, pembinaan, dan pendidikan terhadap konsumen, pemerintah telah berupaya melindungi hak – hak konsumen melalui Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Undang – Undang ini menganut asas manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.

2. Hak dan Kewajiban Konsumen