BAB I PENDA HULU AN
A. Latar Be lakang
Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan di segala bidang dalam beberapa dekade ini bergerak dengan kecepatan yang luar biasa. Hal ini diikuti
pula oleh berbagai aspek politik, budaya, dan ekonomi yang terus
berkesinambungan di setiap negara. Fenomena ini mengakibatkan semakin diperlukannya adaptasi dan komunikasi antar negara untuk saling berbagi
informasi, sebagaimana pula untuk tetap menjalin kerjasama yang baik. Sampai saat ini belum ada satu hal yang bisa menggantikan kendala bahasa
sebagai masalah utama yang dihadapi oleh setiap negara di dunia. Sebagai bahasa internasional, sudah ditetapkan bahwa bahasa Inggris
mempunyai peranan penting sebagai alat komunikasi antar negara. Namun, dengan adanya bahasa internasional saja tidaklah cukup. Setiap negara
memiliki bahasa yang diikuti oleh aspek-aspek lain yang berbeda dengan negara lain. Disinilah peranan sebuah penerjemahan muncul.
Seandainya masyarakat ingin mengetahui informasi mengenai suatu kejadian yang terjadi di Negara lain, pemilihan P residen Amerika Serikat,
sebagai contohnya, ada dua media yang menyediakan informasi mengenai hal tersebut. Media cetak, koran dan majalah, dan media lisan, baik audio
misalnya, radio ataupun audiovisual televisi. Kedua media tersebut sama- sama menggunakan bahasa Inggris sebagai sumbernya. Bagi orang-orang
yang memiliki akses ke bahasa sumber, tentu saja hal ini tidak menjadi masalah. Namun, pemenuhan informasi tidak bisa hanya dibedakan menjadi
1 penting, untuk mereka yang mempunyai akses ke bahasa sumber dan 2 tidak penting, bagi mereka yang tidak mempunyai akses ke bahasa sumber.
Diperlukan adanya media yang berfungsi sebagai jembatan akses ketika kita menghadapi sebuah informasi yang menggunakan bahasa asing
selain bahasa yang kita gunakan sebagai sumbernya. Dalam tesis ini, bahasa sumber yang sekaligus menjadi sumber dari permasalahan yang akan dibahas
adalah bahasa Inggris. Dan media yang dimaksudkan penulis adalah terjemahan bahasa Indonesia sebagai jembatan akses komunikas i.
Proses membangun jembatan akses inilah yang dikenal sebagai penerjemahaan. Pada dasarnya, penerjemahan adalah kegiatan mengubah dari
suatu ‘bentuk’ ke ‘bentuk’ lain. Penerjemahan bisa dilihat dari sudut pandang pengguna
terjemahan ataupun dari sudut pandang penerjemah sendiri
Robinson, 2003: 6. Bagi seorang pengguna terjemahan orang yang membaca
buku terjemahan,
misalnya, terjemahan hanyalah dipandang
sebagai suatu teks yang bisa digunakan sebagai media perantara ketika dia tidak mempunyai cukup kemampuan akses ke BSu. Bagi seorang penerjemah,
penerjemahan merupakan sebuah kegiatan yang bertujuan menghasilkan sebuah teks yang dipandang dari bagaimana proses tersebut terjadi, hambatan
apa yang dihadapi, dan strategi apa yang bisa digunakan untuk mengatasi hambatan tersebut.
Salah satu bentuk media umum yang biasa dikaji oleh seorang peneliti penerjemahan adalah novel terjemahan. Novel terjemahan sudah menjadi
media komunikasi sekaligus hiburan yang dikenal umum oleh masyarakat Indonesia. Dalam sebuah novel terjemahan, pembaca tidak hanya disuguhi
dengan alur cerita maupun tema yang bermacam-macam, namun juga informasi budaya yang terdapat di dalamnya.
Novel terjemahan bukan lagi menjadi suatu hal yang asing dalam dunia media komunikasi di Indonesia. Berbagai novel dalam berbagai genre
bisa kita temukan di toko-toko buku ataupun tempat persewaan dan perpustakaan.
Kebanyakan para
pembaca pun
lebih menyukai novel
terjemahan daripada novel aslinya karena bahasanya adalah bahasa Indonesia yang tentu saja mudah dimengerti. Melalui novel terjemahan pula lah, para
pembaca bisa memperoleh pengetahuan mengenai kebudayaan lain yang terdapat dalam ceritanya.
Salah satu bentuk kebudayaan adalah tuturan bahasa. Setiap daerah tentu memiliki tuturan-tuturan yang dianggap khas sebagai ciri kebudayaan
daerah tersebut. Dalam novel asing, sudah barang tentu tuturan-tuturan tersebut muncul. Sebagai contohnya adalah istilah brun ch dalam sebuah
novel bersetting Amerika pada abad pertengahan tahun 1970an. Jika seorang penerjemah menggunakan kamus pada masa itu, bisa dipastikan kata tersebut
tidak akan muncul. Hal ini bisa menghambat penerjemah dalam mengartikan kata tersebut ke dalam Bsa. Namun, dengan melihat konteks dalam kalimat
dan cerita
secara keseluruhan,
penerjemah pada
akhirnya tetap
mempertahankan kata brun ch tersebut dengan memberikan keterangan arti bahwa bru nch merupakan akronim dari b reak fast an d lunch. Hal seperti
inilah yang menjadikan penerjemahaan akhirnya menjadi sebuah kasus. Selanjutnya, tuturan bahasa slan g adalah termasuk dalam yang
dianggap khas dalam suatu kebudayaan, karena selain mempunyai bentuk yang beragam tuturan slan g juga mengandung muatan ekspresif penuturnya.
Oleh sebab itu, tentu saja penerjemahan tuturan sla ng juga merupakan salah satu kasus tersendiri yang dihadapi oleh penerjemah novel asing.
Penulis tertarik untuk mengambil masalah terjemahan tuturan slang ini karena ingin mengkaji bentuk, makna, serta kandungan budaya yang muncul
dalam versi Indonesia-nya. P ersoalan ketepatan dan keberterimaan makna terjemahan tuturan slang juga dikaji dalam penelitian ini. Seperti apakah
bentuk terjemahan tuturan slang yang muncul maupun bagaimakah makna yang terkandung berkaitan dengan budaya baik Bsu maupun Bsa merupakan
hal yang penting untuk dikaji karena Indonesia sendiri juga mempunyai tuturan sla ng sendiri.
Dalam menerjemahkan, penerjemah akan berusaha mencari padanan makna maupun bentuk yang sedekat mungkin dengan bahasa sasaran.
Widyamartaya 1989 menyebutkan bahwa `ekuivalen` yang dimaksud dalam penerjemahan adalah `wajar`sesuai dengan langgam atau idiom bahasa kita
sendiri, i.a. bahasa sasaran. Jika demikian, sudah seyogyanya apabila sebuah kata diterjemahkan menjadi kata, kalimat diterjemahkan menjadi kalimat,
peribahasa menjadi peribahasa, dan slan g juga menjadi sla ng . Namun, pada
kenyataannya, kasus mengenai padanan lah yang umum ditemui dalam sebuah penerjemahan.
Baker 1992 menyebutkan bahwa, Mo st la ng uag es are lik ely to ha ve equ iva lents for th e mo re
g en eral verbs o f speech such a s say a nd sp eak, but man y ma y not h ave
eq uivalen ts for
th e specific
on es. Lan gu ag es
u nderstandably tend to mak e on ly tho se distinctio ns in meaning wh ich a re relevan t to their pa rticular en viro nmen t,
Dari pengertian tersebut bisa dipahami bahwa tidak semua unit linguistik dari suatu bahasa mempunyai padanan dalam bahasa lainnya. Namun, dalam
penyelesaiannya, unit-unit tersebut tidak mungkin tidak dapat diterjemahkan. Suatu istilah asing bisa dimunculkan dengan diberi keterangan, sebuah idiom
bisa dijelaskan dengan cara parafrase, begitu pula dengan sla ng . Seandainya tidak ditemukan padanan slang yang tepat dalam bahasa sasaran, penerjemah
bisa saja mengubahnya dengan memunculkan konsep makna yang terkandung saja dengan mengorbankan bentuk slan g nya. Hal ini bisa dilakukan relevan
dengan peryataan Larson dalam Riazi, 2002 bahwa yang berubah adalah bentuk dan bukan pesanmakna.
Penelitian ini mengkaji mengenai tuturan bahasa slang yang terdapat dalam novel P.S. I Love You karya Cecilia Ahern. P enulis mengambil novel
tersebut sebagai sumber data karena dalam rentang waktu tahun 2004-2009, karya tersebut merupakan salah satu best seller baik dalam buku asli maupun
terjemahannya, bahkan telah dibuat ma jor filmnya pada tahun 2008 dengan bintang Hillary Swank dan Gerard Butler. Novel aslinya dibuat dengan latar
belakang tahun 20032004
dengan setting
negara Irlandia, sedangkan
terjemahannya terbit di Indonesia pada tahun 2008. Dalam novel asli, penulis menemukan banyak tuturan deklaratif yang mengandung slang , dan karena
setting novel itu adalah Irlandia, maka tuturan-tuturan slang tersebut juga memuat budaya Irlandia di dalamnya.
Rentang waktu antara settin g penulisan novel asli pada tahun 2004 dan terjemahannya
pada tahun 2008 juga
menjadi persoalan yang perlu diperhatikan, karena sifat dari slang sendiri adalah berubah-ubah menurut
perkembangan waktu. Fromkin 2003 menyatakan bahwa “on e generatio n’s sla ng is a no th er genera tion’s sta nd ard vo ca bu la ry”. Istilah p ho ne dan TV
dulunya merupakan slan g dari teleph one dan televisio n, namun, dalam perkembangannya,
istilah-istilah tersebut menjadi
kosakata umum yang
diketahui dan digunakan orang dari berbagai kalangan masyarakat. Maka, hal yang perlu diperhatikan dalam meneliti kasus terjemahan tuturan slan g dalam
penelitian ini adalah kapan dan dalam konteks apa sla ng digunakan, serta siapa penuturnya.
Selain kesepadanan makna, kajian mengenai keberterimaan kandungan bahasa informal juga dibahas dalam penelitian ini. Dikutip dari Kusmaul
1995, terdapat pengertian slang yang diambil dari Collins Dictionary of the English Language, yaitu, “sla ng refers to wo rds o r senses that are informa l
a nd restricted in co ntext, for examp le to members of a pa rticu la r social o r cultural grou p. Slang wo rd s a re in ap prop riate in fo rma l speech o r writin g.”
Dari pengertian tersebut, jelas bahwa dalam slang terkandung muatan bahasa informal yang digunakan dalam kelompok atau komunitas tertentu. Oleh
karena itu, menarik untuk dikaji lebih lanjut mengenai kandungan bahasa informal suatu tuturan bahasa asli dengan kandungan dan keberterimaannya
dalam bahasa sasaran. Dalam penggunaannya, bahasa mengandung suatu pengertian. Jika
seseorang mengatakan sesuatu, dia mempunyai maksud dalam perkataannya itu. Tidak akan menjadi masalah jika maksud yang terkandung adalah makna
literal, namun dalam beberapa kesempatan, orang akan menyampaikan maksud ‘non-literal’ melalui perkataannya dan hal itu mungkin saja bisa
menyebabkan kesalahpahaman. Dalam satu contoh kalimat pada novel P.S. I Love You , disimbolkan
sebagai berikut: Co ntoh 1
BSu: Ciara eventua lly ag reed to leave the h ou se when Ho lly’s usua lly calm da d screa med a t the to p of his voice, a nd to everyon e’s a ma zement,
‘Ciara, this is Holly’s bloody day, NOT YOURS And you WILL go to
the wed ding and en joy you rself AND when Ho lly walk s do wn stairs you WILL tell her h ow bea utiful she looks a nd I do n’t wan t h ea r a p eep ou t
of you FOR THE REST OF THE DAY’10CA 10
Dalam ucapannya, sang ayah mengucapkan frasa ‘bloody da y’ yang jika
penerjemah tidak hati-hati dalam mengetahui maksudnya, akan terjadi kesalahan pengalihan pesan yang sangat fatal. ‘bloo dy’ dalam Wojowasito
1974 dikatakan sebagai “ks. berdarah; hendak menumpahkan darah”. Namun dalam kalimat di atas, sang ayah menggunakan maksud slang ‘b lo od y’ yang
berupa kata sifat untuk menguatkan arti kata lain yang mengikutinya Everyd ay Eng lish a nd S la ng in Irela nd. Diakses 26 November 2008.
Dalam novel terjemahannya, penerjemah menerjemahkan kalimat tersebut sebagai berikut:
BSa: Ciara akhirnya mau juga berangkat ke gereja setelah ayah Holly yang biasanya
tenang berteriak
dengan suara
menggeledak hingga
mengagetkan semua orang, `Ciara, ini hari istime wa Holly, bukan
harimu Dan kau harus pergi ke pernikahan dan menikmati hari ini, dan bila nanti Holly berjalan menuruni tangga, kau harus mengatakan
padanya bahwa dia cantik, dan aku tidak mau mendengar rengekanmu lagi sepanjang sisa hari ini` 10MDC 20
Penerjemah mengetahui bahwa kata ‘b lo od y’ dalam BSu di atas bukan berarti ‘berdarah’ seperti makna literalnya, namun mengetahui bahwa kata
tersebut mengandung makna slang untuk menegaskan makna hari pernikahan
Holly yang dimaksud dan menerjemahkannya menjadi ‘hari istimewa Holly’.
Hal ini merupakan salah satu contoh cara yang dilakukan penerjemah untuk memberikan kesepadanan makna dalam terjemahan ketika tidak ditemukan
makna dengan bentuk yang ekuivalen. Contoh lain terdapat dalam kalimat berikut:
Co ntoh 2 BSu: ‘Fine then , I’ll tu rn off the bloo dy light’ CA, p.8
BSa: “Baiklah, biar aku yang mematikan lampu sialan itu sekarang” MDC, p.17
Penerjemah mengambil keputusan untuk menerjemahkan kata ‘bloo dy’ menjadi ‘sialan’. Bisa dilihat bahwa dalam konteks yang berbeda, dalam
kalimat ini kata ‘blood y’ sebagai sla ng mewakili makna yang berbeda pula. Sudah bisa dipastikan bahwa masalah pasti akan muncul ketika seorang
penerjemah berhadapan dengan bahasa sla ng . Selain konteks situasi dan latar belakang budaya bahasa sumber, penerjemah juga harus berhati-hati dalam
memutuskan apakah tepat menerjemahkan ‘bloo dy da y’ menjadi ‘hari istimewa’ ataupun ‘b lo od y lig ht’ menjadi ‘lampu sialan’.
Dalam dua contoh kasus di atas, kandungan bahasa informal dalam tuturan terlihat melalui penggunaan istilah ‘bloo dy’. Dalam terjemahannya,
penerjemah memberikan kesan kandungan bahasa informal melalui penanda istilah sialan dalam kasus kedua dan meskipun tidak ditemukan penanda
dalam bentuk tuturan, terjemahan kasus yang pertama mengandung gaya bahasa informal tersebut dalam intonasi baca dan kesan makna di dalamnya.
Uraian di atas melandasi penyusunan tesis ini bahwa masalah penerjemahan tuturan sla ng perlu untuk dikaji lebih lanjut karena bahasa dan
budaya yang melatarbelakanginya lah yang menjadi ladang yang perlu diolah oleh seorang penerjemah. Dalam penelitian ini, dibahas pula mengenai teknik
apa saja yang digunakan penerjemah untuk menerjemahkan berbagai tuturan sla ng yang ditemukan dan juga tinjauan kualitas terjemahan dari aspek
kesepadanan makna dan keberterimaan bahasa informal oleh pembaca dan para responden yang berkompeten dalam bidang bahasa dan penerjemahan.
B. Rumusan Masalah