pelajaran. Dalam proses belajar tersebut kedua-duanya dituntut aktif sehingga terjadi interaksi dan komunikasi yang harmonis demi tercapainya tujuan pembelajaran
”.
10
Hal yang penting lagi adalah menciptakan suasana dalam pembelajaran, dan dalam praktik drama. Atmosfer pembelajaran akan tercipta atas kerjasama antara guru
dan siswa. Kemudian atmosfer dalam praktik drama akan tercipta dari seorang pemain sendiri dan atas kerjasama antara pemainnya.
Pengondisian di kelas dalam menciptakan atmosfer yang baik, diungkapkan juga oleh Alan Maley dalam bukunya, Drama :
In considering how to create the right conditions and the best atmosphere for drama, we encounter a paradox, for if we agree that drama pervades all aspects of life,
then it is present even in the `wrong`conditions and atmosphere. Perhaps it would be better to talk about the `essential elements` which are required for a lesson using drama
techniques to succeed.
11
Atmosfer yang tercipta dalam praktik drama, diharapkan mampu memunculkan aura, kemudian pesona. Sehingga pembelajaran drama akan semakin hidup dan
pesan-pesannya sampai kepada penonton.
B. Drama 1. Pengertian Drama
Dalam sebuah pementasan drama, yang dilihat dan didengar oleh penonton tidak asing. Dialog-dialog dalam percakapannya ataupun gerakan-gerakannya merupakan
tiruan dari kehidupan sehari-hari.
Drama tidaklah menekankan pada pembicaraan tentang sesuatu, tetapi yang paling penting adalah memperlihatkan atau mempertontonkan sesuatu melalui tiruan
gerak. Seorang aktor dalam drama berbuat seolah-olah menjadi seseorang, dan seolah- olah mengerjakan apa yang diduga secara imajinatif dilakukan oleh seseorang, seperti
meniru gerak tari perang suku Dayak di Kalimantan. Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa drama adalah cerita atau tiruan prilaku manusia yang
dipentaskan.
12
Sering ketika kita melihat seseorang atau sekelompok orang melakonkan drama, tingkah lakunya, sifatnya, gerak-geriknya tidak asing. Karena memang yang mereka
pentaskan adalah hasil tiruan berdasarkan pengamatan dan observasi yang dilakukan
10
Syafruddin Nurdin, Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum, Jakarta: Quantum Teaching, 2005, cet. ke-III, h. 56.
11
Alan Maley, Drama, Hong Kong: Oxford University Press, 1988
12
M. Atar Semi, Anatomi Sastra, Padang: Angkasa Raya, h.156.
sebelumnya. Drama termasuk jenis fiksi, menurut Aart Van Zoest “dalam pengertian
sintaksis, fiksi menunjuk pada sekumpulan teks dengan ciri-ciri khas. Dan dalam pengertian semantik, fiksi menunjuk pada status denotatum, yaitu rekaan
”.
13
“Sastra mempunyai dua genre, yaitu genre non-imajinatif dan imajinatif. Yang termasuk sastra genre non-imajinatif adalah esei, kritik, biografi, otobiografi, sejarah,
memoar, catatan harian, dan surat-surat ”.
14
Dari macam-macam yang disebutkan tadi tercantum kata otobiografi, dan hampir mirip dengan biografi. Namun, yang lebih
sering dikenal adalah biografi. Tapi memang fungsi keduanya pun berbeda. Sebagaimana menurut Ajip Rosidi,
“Biografi sudah mulai dikenal masarakat Indonesia. Bahkan beberapa penerbit mempunyai seri-khusus untuk itu, di mana terbit biografi tentang
orang-orang besar dalam berbagai lapangan dari berbagai negeri dan agama dimaksudkan sebagai cermin kehidupan untuk bangsa Indonesia. Tetapi otobiografi masih agak asing
”.
15
Kembali ke pembahasan sebelumnya mengenai pembagian genre di dalam sastra. “Dan yang termasuk sastra genre imajinatif adalah puisi, fiksi atau prosa naratif, dan
drama ”.
16
Berdasarkan keterangan tersebut, dapat kita pahami bahwa drama berada pada bagian sastra genre imajinatif. Dilihat dari proses pembuatannya yang
membutuhkan ide-ide kreatif, gagasan-gagasan yang matang, dan imajinasi yang liar. Pengungkapan cerita dalam drama adalah melalui dialog-dialog para tokohnya.
Drama sebagai karya sastra sebenarnya hanya bersifat sementara, sebab naskah drama ditulis sebagai dasar untuk dipentaskan.
“Karya sastra itu merupakan struktur makna atau struktur yang bermakna
”,
17
yang di dalamnya mempergunakan medium bahasa dengan memuat ide-ide dan membutuhkan pemahaman. Jadi, tujuan drama bukanlah
untuk dibaca seperti orang membaca novel atau puisi dan karya fiksi lainnya, namun drama yang sebenarnya adalah kalau naskah sastra tadi telah dipentaskan. Gagasan-
13
Art Van Zoest, Fiksi dan Nonfiksi dalam Kajian Semiotik, Jakarta: Intermasa, 1991 hlm. 5
14
Ibid., h.157.
15
Ajip Rosidi, Kapankah Kesusasteraan Indonesia Lahir, Jakarta: CV Haji Masagung, 1988, cet. ke-III, h. 96.
16
Ibid., h.157.
17
Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, cet. ke-IV, h. 141.